Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bad reputation

Bagian 11 |
i don't care what they say about you, baby

Seperti biasa, aku up cepet kalo banyak yang komen nich✨✨

Ini belum diedit tapi... Enjoy gais.
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

304. Masih sama, Yan.
Read. 21.25 pm.

Dean membaca sekali lagi pesan singkat yang beberapa menit lalu temannya itu kirim. Membiarkannya begitu saja tanpa ada niatan untuk membalas. Karena Dean tahu, untuk apa juga. Dan dari banyaknya pesan singkat yang mengatakan hal serupa, Dean bisa menarik satu garis besar; Dean seharusnya tak perlu sampai sebegininya.

Lalu, Dean melihat ke arah Abby yang baru saja menyingkirkan mug putih dari tangannya—itu berisikan hot chamomile tea, dan beralih memeluk kedua kakinya yang memang Abby naikkan ke atas kursi di depan meja makan itu. Mereka sedang duduk berhadap-hadapan. "Boleh aku tebak gak siapa yang ngirim kamu itu chat, yang ngebuat kamu jadi langsung diem gini?" Suara Abby terdengar. Raut wajahnya terlihat berbeda.

Tadinya Abby senang mengetahui bahwa Dean malam ini jadi untuk menemaninya di rumah. Dan juga sebelum Dean fokus pada ponselnya, mereka membahas banyak hal, walaupun Abby yang paling banyak berbicara. Dean yang di depannya beberapa menit lalu, berbeda sekali dengan yang sekarang. Abby harap tebakkannya salah mengenai perubahan didiri Dean itu.

"Siapa?" Dean bertanya. Memasukkan benda pipih hitam itu ke saku jaketnya. Lalu, Dean bangkit untuk menuju ke arah lemari pendingin di dekat Abby.

Abby mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja. Melihat ke arah sampingnya. Dean sedang mengeluarkan botol air mineral dari lemari pendingin. Menegaknya langsung. Kemudian, Abby menarik napasnya pelan sebelum akhirnya mengatakan, "Apa yang harus ditunggu lagi sih? Bukannya udah jelas ya semuanya?" Abby justru memberikan Dean pertanyaan baru.

Mungkin Abby tidak tahu betapa berefeknya kata-kata itu untuk Dean, karena yang terlihat kini Dean sudah mengencangkan rahangnya. Lalu, tak lama Dean mendengus seraya tersenyum masam. Berjalan mendekat ke arah Abby, berdiri tepat di sampingnya. Dean menyandarkan belakang tubuhnya pada meja di belakangnya itu dan sekarang menundukkan kepalanya untuk melihat Abby. "Lo cuma tau sebagiannya aja, By," katanya dengan pelan. Nyaris berbisik.

Abby mendonggakkan kepalanya, menantang tatapan Dean itu. "Coba kasih tau aku apa yang aku gak tau?" tanyanya kemudian.

Banyak, By. Dean menjawab dalam hati. Jawabannya memang banyak sekali hal yang tidak Abby ketahui dan Dean selalu berusaha untuk menutupi—meskipun Dean sadar, pasti hal itu akan menyakiti dirinya nanti. Dan Abby tidak perlu tahu itu.

Apalagi keadaan sekarang sudah berbeda jauh dari yang dulu. Sungguh berbeda hingga Dean sendiri pun masih belum bisa menerima bagaimana semuanya berubah. Meninggalkan luka lama itu bersarang di dalam dirinya. Kilasan-kilasan yang belum sempat atau ingin Dean hilangkan.

"Tidur sekarang aja, By. Gue gak akan ke mana-mana." Tatapan Dean melembut melihat ke arah Abby. Posisi mereka masih tetap sama.

Dengan mudahnya Dean mampu membangun kembali tembok tinggi itu antara dirinya dengan Abby. Secepat itu juga. Abby langsung saja memeluk lengan kanan Dean yang berada di sampingnya dengan kedua tangannya itu. Menyandarkan juga sisi wajahnya pada lengan Dean. "Aku belum ngantuk, masih mau di sini sama kamu," sahut Abby dan perlahan menutup kedua matanya.

Dean membiarkan.

"Besok kamu mau ke mana?" Abby membuka suaranya lagi setelah beberapa saat mereka berdua hanya diam.

Merespons pertanyaan Abby, Dean bertanya balik. "Kenapa?" Sebenarnya Dean sudah tahu apa yang akan ia lakukan besok. Telah terencanakan juga di pikirannya.

"Jalan yuk?" Dikarenakan juga besok weekend tidak ada salahnya juga untuk berjalan-jalan. Apalagi bersama Dean. Abby tersenyum samar membayangkan itu.

Tetapi mendadak senyum di wajah Abby hilang ketika Dean berujar, "Gue gak bisa. Sori."

"Mau ketemuan sama cewek yang lagi deket sama Rama ya?" Abby bertanya seperti itu dengan nada sindiran yang begitu kentara. Abby sadar juga siapa yang selalu Dean temui itu. "Kamu harusnya cari tau dulu dong, Yan. Dia siapanya."

"See? You don't even know a thing." Dean menggeleng-gelengkan kepalanya. "Inget ini ya, By. Jangan ganggu dia, plis."

...

Sabtu di jam 07.35 am ini, Kinan baru selesai mandi. Rapi-rapi juga, padahal nyatanya Kinan hanya akan berada di rumahnya seharian. Jika hari libur seperti sekarang kegiatan Kinan hanya makan, tidur, nonton TV, ngemil, memberi makan Pororo juga, terus makan lagi. Dan Kinan terlihat sebegitu rapinya.

Kinan lalu melangkahkan kakinya menjauh dari kamarnya itu, Kinan ingin sarapan bersama Ayahnya yang Kinan harap belum pergi. Kakinya dengan terburu-buru menuruni anak tangga. Bersenandung ria juga, entah apa juga yang sedang Kinan nyanyikan. Dan langkahnya memelan saat berada di anak tangga terakhir.

Demi apa? Kinan langsung mendekat ke arah Dean yang pagi ini sudah terlihat di dalam rumahnya. Sedang berdiri di dekat aquarium kecil, mengusap tempurung kura-kura milik Kinan.

"Yah? Ayah?" Suara Kinan yang terdengar oleh Dean membuat Dean berbalik untuk melihat ke arahnya. Kinan memperhatikan Dean juga yang sekarang sudah ada di depannya itu. Pagi-pagi udah keliatan di sini, mana ganteng banget lagi. Bikin Kinan repot aja!

"Hei," sapa Dean, ia menoleh sebentar dan pandangannya Dean alihkan lagi ke arah Pororo yang ternyata Kinan baru tahu, sedang Dean beri makan. "Ayah lo baru aja pergi," jelas Dean menanggapi panggilan Kinan itu.

Kinan terlihat manggut-manggut.

Pagi-pagi sekali Dean sudah berada di rumah Kinan. Mengobrol juga dengan Adam seraya menunggu putrinya itu untuk bangun. Lalu, Adam pergi dan Dean memberi makan kura-kura kecil itu. Kemudian, terlihatlah Kinan yang sudah dari tadi Dean tunggu-tunggu. Terlihat lucu juga menggunakan dress floral selututnya.

"Kak Dean, ke rumah Kinan mau ngasih makan Pororo ya?" Kinan sudah berada di samping Dean. Melihat ke arah Dean dan kura-kura miliknya secara bergantian. Lalu, Kinan lebih memilih mengamati Dean lebih lama. Dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat Dean menengok ke arahnya.

Kepala Dean mengangguk. Kedua matanya memperhatikan Kinan sebentar. Kali ini Kinan membiarkan rambut panjangnya tergerai. "Mau ke mana lo?" tanya Dean akhirnya.

Kinan menoleh lagi ke arah Dean yang ternyata masih saja melihat ke arahnya. Kinan menggelengkan kepalanya itu dua kali. "Kinan nggak mau ke mana-mana. Kak Dean, mau ke mana?"

"Ngajakin lo sarapan bareng, mau?"

Kebetulan juga Kinan belum sarapan, maka Kinan menganggukkan kepalanya. "Tadinya Kinan mau sarapan berdua sama Ayah, tapi Kinan udah ditinggal duluan. Kak Dean, mau sarapan apa nih?" Tangan kanan Kinan hendak menarik lengan Dean untuk mengikuti dirinya ke dapur mencari tahu makanan apa yang ada di sana, namun Dean menahannya.

Pergerakkan Kinan yang tiba-tiba berhasil membuat ujung rambutnya menyangkut di resleting jaket yang Dean gunakan. Kinan meringis. "Lo buru-buru banget mau ke mana sih? Udah laper ya?" Tangan kanan Dean—yang beruntungnya tidak ia gunakan untuk mengusap punggung Pororo, berusaha untuk melepaskan rambut Kinan dari jaketnya. Dan yang Dean lakukan juga adalah menarik punggung Kinan untuk mendekat ke arahnya.

Kinan menahan napasnya sebentar. Entah ini keberapa kalinya Kinan harus dihadapkan dengan Dean yang kelewat dekat dengan dirinya. Kinan mendongak memperhatikan Dean di depannya itu.

"Kita sarapan di luar aja ya? Sekalian pergi," kata Dean. Tatapannya masih mengarah pada rambut Kinan.

Kinan bahkan tidak sadar bahwa rambutnya sudah terlepas dari resleting jaket Dean itu. Lalu, Kinan mengerjap saat dirasakan tarikan di ujung rambutnya itu. "Kak Dean, tadi ngomong apa?"

Alis Dean terangkat sebelah. "Mana nih Kinan yang gampang inget?"

"Kinan bukan nggak inget, tapi tadi Kinan nggak denger."

Dean mencoba mengerti. Dan yang selanjutnya Kinan tahu, itu sungguh tidak baik untuk jantungnya, Dean mendekat ke arahnya. Menundukkan kepalanya juga dan benar-benar berbisik di telinga kanannya. "Sarapannya di luar aja ya, sekalian pergi sama gue."

...

"Makasih ya, Kak Dean udah ngajak Kinan sarapan. Tadi makanannya enak." Kinan memperlihatkan senyum lebarnya. Melihat ke arah Dean yang sekarang sedang mengemudi. Entah akan membawa Kinan ke mana, Kinan juga tidak tahu.

Ini hari libur yang berbeda dari biasanya. Kinan pikir ia akan tidur-tiduran terus sepanjang hari. Tetapi, untunglah ada Dean yang dari pagi sudah berada di rumahnya. Menjelang siang juga mengajak Kinan jalan-jalan seperti ini.

Dean menoleh sebentar ke arahnya. Senyum Kinan belum juga pudar. Dan itu berhasil Dean simpan. Kinan dan senyumannya. "Iya, sama-sama ya, Nan." Hanya itu yang Dean ucapkan.

"Kapan-kapan Kinan deh yang ajak Kak Dean sarapan. Di rumah Kinan tapi. Kinan bisa buat scrambled egg," ujar Kinan bangga.

"Oh ya?"

Kepala Kinan lantas mengangguk cepat. "Yep. Itu keahlian Kinan juga selain bisa masak mie."

"Selain bisa ngebuat gue kayak gini juga ya?"

"Maksud Kak Dean apa?" Selalu pertanyaan seperti itu yang Kinan keluarkan. Kinan memang harus benar-benar memastikan juga.

"Coba cari tau sendiri." Lalu, Dean melepas seatbelt dan membuka pintu mobil. Kinan mengikutinya. Berjalan di belakang Dean. Melihat itu, Dean memegang lengan cardigan hitam yang Kinan gunakan, membuat mereka berjalan bersebelahan.

Kinan melihat sekitar, lapangan luas yang ditumbuhi rumput halus dan juga banyak kuda-kuda berwarna cokelat sedang berkeliaran. Kinan lalu menarik ujung jaket Dean. Dean menoleh ke arahnya. "Kita mau liat pertunjukkan kuda ya, Kak Dean?" tanyanya.

"Mau liat lo?" Dean malah bertanya balik.

Menanggapi pertanyaan Dean barusan, Kinan mengangguk mantap. Dan yang Kinan tahu saat ini Dean sedang menghampiri seseorang laki-laki tinggi yang langsung memeluk Dean saat itu juga. Mereka lalu berbincang entah apa. Kemudian, Dean menoleh ke arahnya, menyuruh Kinan untuk mendekat.

"Ini Kinan, Om." Dean memperkenalkan Kinan di sebelahnya.

Kinan langsung mengulurkan tangannya ke arah laki-laki tinggi di depannya itu. "Adrianna Kinandita, Om." Senyum lebarnya terlihat.

"Panggil aja Om Adriel ya. Ini siapanya Dean?"

Ditanya seperti itu, Kinan menjawab, "Kinan adik kelasnya Kak Dean."

Adriel hanya mengangguk-anggukan kepalanya seraya melihat ke arah Dean dengan senyum tipis. "Kinan kalo mau liat kuda-kuda di sini boleh kok. Mau nyoba naik juga boleh."

Kepala Kinan menggeleng. "Kinan belum pernah naik kuda, Kinan takut." Tetapi tatapan Kinan seperti ingin tahu. Memperhatikan kembali, kuda-kuda itu di sana dan pastinya masih ada lagi di dalam kandang besar tepat di sebelahnya itu.

"Yaudah liat aja. Ayo ke sana." Suara Dean terdengar lagi. Setelah berpamitan dengan Adriel, laki-laki itu adalah kakak dari Ayahnya Dean, Dean mengajak Kinan untuk duduk di pinggir pagar pembatas yang langsung bisa dengan jelas memperhatikan kuda-kuda yang dengan bebasnya berkeliaran. Ada juga gadis yang menunggangi kuda dengan gerakkan yang membuat Kinan takjub.

"Kuda-kuda di sini punyanya Om Adriel ya, Kak Dean?"

Dean berdeham sebelum akhirnya menjawab, "Sebenernya punya bokap, tapi karena bokap lagi nggak ada di sini jadi Om Adriel yang ngurusin semuanya." Ayah Dean tentu saja sedang bersama Ibunya. Yang terasa jauh.

Kinan mengangguk mengerti. "Kak Dean, pernah dong naik kuda itu?" Telunjuk Kinan mengarah pada kuda cokelat di sana. Yang memiliki badan lebih besar dibanding yang lain.

"Pernah. Gue kenalin ya, dia namanya Sergio. Kuda yang tadi lo tunjuk."

Pandangannya, Kinan langsung alihkan ke arah Dean di sampingnya. "Wah bagus banget nama kudanya, kura-kura Kinan kalah." Kinan tertawa setelah mengatakan itu.

Dean tidak membalas lagi dan entah apa yang tiba-tiba Dean pikirkan, kepalanya kini Dean jatuhkan pada pundak Kinan. Menggumamkan kata yang Kinan tidak mengerti apa, berkali-kali.

Kinan jadi bingung sendiri. Memperhatikan sikap Dean di sampingnya. "Kak Dean, kenapa?" Seraya menundukkan kepalanya untuk melihat dengan jelas wajah Dean di pundaknya itu, Kinan bertanya. Kinan masih menunggu Dean untuk menjawab pertanyaannya. Selama itu, Kinan dengan ragu-ragu membawa tangannya mendekat ke sisi wajah Dean. Mengusapnya perlahan. Lalu naik untuk merapikan rambut laki-laki itu. Dan berhenti untuk menyentuh luka di dahi Dean.

Satu pikiran muncul di kepala Kinan. "Ini gara-gara Kak Dean jatoh dari kuda ya?" Kinan dengan segala keingintahuannya, menebak lagi.

Kepala Dean di pundaknya, menggeleng. Masih belum ingin membuka kedua matanya. Masih belum ingin merubah posisinya.

"Kak Dean, mau cerita sama Kinan gak? Kak Dean kenapa? Kinan bakalan dengerin." Dengan pelan, Kinan bertanya.

Barulah, Dean mengangkat kepalanya dari pundak Kinan itu. Memperhatikan kedua mata Kinan lekat-lekat. Tidak pernah di dalam hidupnya, Dean dengan begitu mudah dekat dengan seseorang yang termasuk baru, seperti Kinan ini. Kinan yang dengan berhasilnya membuat Dean ingin melihat senyumannya. Kinan yang dengan mudahnya menarik Dean untuk selalu berada di jarak yang dekat dengan dirinya.

Jangan sampai apa yang Dean tidak inginkan berubah menjadi kenyataan, karena yang Dean tahu Kinan sudah membuka celah itu perlahan.

"Apa yang lo lakuin ke gue sih, Nan?"

Ada yang kangen Abby-Dean? Wwkw

Makin deket aja yaa Kinan sama Dean. Mana nih shipper mereka?🙈🙈

Banyak kode-kode berterbaran gais, jangan sampai terlewatkan tuh ehe

Eh ya, ada yang kalian udah curigain belum di Lines? Siapa gitu?👀

Next part mau siapa nih yang ada? Sean? Rama?

Sparkel pamit, ketemu malming lagi. Mau?

[ Dean ]

[ Abby ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro