alright
Bagian 61 |
with or without you I say that I'm alright
Nah kan aku jadi enak kalo banyak yang komen ehehe
Vote dan komen lagi dong buat part ini✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Kinan."
Mendengar suara samar yang memanggilnya berkali-kali, Kinan mengerjap. Melihat sekitar. Ini kamarnya. Mengerjap lagi, lalu melihat Flora yang sedang duduk di tepi tempat tidurnya. Mana Ayahnya? Mana Gio? Mana... Dean? Mereka sudah tahu kah?
Kinan meraba-raba perutnya yang diperban itu. Lalu, melihat ke arah Flora lagi. "Ayah mana, Ola?" Suaranya serak. Kinan baru bangun dari tidurnya itu. Entah sudah berapa lama.
"Ayah lo lagi ngurus, gue gak tau itu apaan di rumah sakit. Sama bonyok gue juga. Lo bakalan gue jagain di sini. Lo mau minum?" Belum sempat tangan Flora terulur untuk mengambil gelas berisikan air mineral itu di atas nakas, Kinan mencegahnya.
"Kak Rama mana?"
Flora mengernyit. "Kak Rama.. mm, dia lagi ngambil hape gue di RS. Bego banget gue ninggalin hape di sono. Karena gue pengen buru-buru ketemu sama lo, Nan. Lo udah baikkan?"
Kepala Kinan mengangguk lemah.
"Lo mau apa gitu?" Flora bertanya lagi.
Kinan menggeleng kembali. Dirinya hanya ingin berbaring.
Ekspresi Flora terlihat tidak senang. Tetapi tak lama itu berubah. Senyum tipisnya terlihat. "Seharusnya dulu itu lo yang mati, Kinan."
Kinan yang mendengar itu membeku. "Ola? Tadi Ola ngomong apa?"
Flora berdeham. "Lo denger gue." Ekspresinya benar-benar tidak senang.
Iya, itu memang Flora yang mengatakannya. Persis. Seperti yang Kinan ingat saat lehernya dicekik.
Flora.
Teman Kinan dari awal masuk Pertiwi. Selalu berada di dekat Kinan. Pertama melangkahkan kakinya di Pertiwi, Kinan kira Kinan akan kesulitan mendapatkan teman tetapi Flora langsung datang mendekatinya, memperkenalkan diri, mengajaknya duduk bersama. Flora juga dekat dengan Oma Shellyn yang menganggap Flora cucunya seperti Kinan. Tetapi mengapa Flora menjadi seperti ini? Menjadi seseorang yang Kinan rasa akan menyakitinya?
"Dulu emang lo yang harusnya mati, bukan Oma Shellyn." Flora melanjutkan. Ekspresinya dibuat sesedih mungkin.
Kinan bahkan takut untuk melihat wajahnya sekarang. Matanya mengerjap berkali-kali. "Maksud Ola apa?" Suaranya seperti akan hilang sebentar lagi saking tidak percayanya.
"Kecelakaan yang dulu, gue maunya elo yang mati bukan Oma Shellyn," jelas Flora. Mendekat ke arah Kinan pelan-pelan.
"Kenapa?" Suara Kinan makin tercekat.
Flora menyentuh lengan Kinan mengusapnya perlahan. "Lo pacaran sama Gio, 'kan?" Senyum tipisnya terlihat. Agak sedih.
Oh, jadi itu alasannya.
Seharusnya Kinan tahu perlakuan dan perkataan Flora padanya semua itu seperti pecahan kaca transparan yang sewaktu-waktu akan Kinan injak dan melukainya. Berdarah. Sakit. Jatuh.
Seperti;
"Yeay. Makasih, Kinan sahabat aku." Flora memeluk Kinan sebentar dan memainkan rambutnya itu. Flora menyukai kepangan Kinan, tetapi tidak terlalu suka seseorang di sebelahnya.
Dan Kinan lebih memilih melihat bangku yang berada di pojok ruangan. Sudah satu minggu tidak ada yang menempati. Gio diskors.
Flora yang menyadari Kinan hanya diam saja, menengok ke arah teman sebangkunya itu yang ternyata sedang melamun. Tatapan Kinan sedih. Siapa pun tahu itu. Lalu, Flora mengikuti arah pandang Kinan dan bergumam, "Dia emang pantes kok dapetin itu." Yang entah Kinan mendengarnya atau tidak. Semoga saja dengar. Flora mau Kinan tidak menyukai Gio. Benci dengan Gio.
"Cepetan ah, Nan. Jadi lo mau ikut ekskul apa? Capek nih gue diri mulu!"
"Ekskul baseball lah!" Gio juga ikut ekskul baseball. Saat itu, sebenarnya Flora tidak tahu apakah Gio dan Kinan menjalin hubungan atau tidak. Flora harus mencari tahu. Dan saat Kinan akan mengikuti ekskul yang sama seperti Gio, rasa penasaran Flora bertambah. Sial!
"Kabar lo jadian sama Kak Dean udah nyebar lho, Nan. Jahat gak ngasih tau gue!" Tentu saja Flora senang sekali ketika Dean memasuki kehidupan Kinan. Dean—yang Kinan tahu telah menabrak mobilnya dan membuat Oma Shellyn pergi. Saat nanti Kinan mengetahui itu, Kinan akan tersakiti. Lebih. Lebih.
Itu juga yang Flora mau. Kinan itu sudah merebut apa yang seharusnya menjadi milik Flora. Kinan pantas mendapatkan kesakitan itu. Flora tersenyum senang membayangkan kapan itu akan terjadi.
Poor Dean. Flora yakin Kinan akan membenci Dean di saat Dean sudah benar-benar menyukai Kinan. Flora rasa Flora akan meminta maaf padanya, Dean tidak salah itu semua ulah Flora dan sepupunya—Sean. Iya, kecelakaan itu Flora yang menginginkannya dan Sean yang membantunya.
"Kinan pulang dulu ya, Kak Sean pake S. Daaah!" Kali ini lambaian tangannya, Kinan beri untuk Sean. Tak lupa dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.
"Bye, Adri!" Sean agak berteriak saat mengatakan itu karena Kinan yang dengan cepatnya mengambil langkah menjauh dari dirinya.
Sean melihat punggung Kinan yang semakin lama semakin tak terlihat. Masuk ke dalam mobil hitam yang sudah ada Rama di sana dan Sean langsung berpaling, kemudian mengumpat tertahan.
Fak! Gila. Sean tidak salah, 'kan? Dirinya baru saja berbicara dengan Kinan, seseorang yang Sean sakiti. Seseorang yang Sean telah membuatnya menderita karena perlakuannya. Kinan.
Menunggu Adam yang sedang membuka pagar rumah, Kinan menggapai tangan Sean. "Makasih, Kak Sean. Kuacinya buat Kak Sean aja. Daaah!"
Sean membawa bungkus kuaci rasa green tea itu bersamanya. Berjalan ke arah mobilnya di depan sana dan sekali lagi melihat ke arah rumah Kinan. Itu Ayahnya. Itu rumahnya. Sean menahan berbagai banyak kilasan-kilasan yang memukulnya berkali-kali. Bagaimana bisa nanti ia bisa hidup dengan tenang saat seseorang yang kini dekat dengan dirinya, dekat juga dengan penderitaan.
"Itu Kinan yang gue kasih tau fotonya ke elo?"
Sean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Ya."
"Lo kenal dia?" Abby memberikan Sean pertanyaan lagi. Semakin penasaran.
Masih belum mengalihkan pandangannya ke mana-mana, Sean menjawab, "Gue baru kenalan sama dia. Gak sengaja sih pas gue nunggu sepupu gue di Pertiwi."
Dengan spontan Abby mengatakan, "Pacarnya Dean."
Barulah, Sean melihat ke arah Abby kembali. Raut wajahnya agak berubah, lalu Sean mengenyit. "Pacarnya Dean?" Dan mengulang perkataan Abby, mencoba memastikan. Gila! Sean menambahkan dalam hati. Kenapa tidak terpikirkan oleh Sean saat Kinan malah memanggilnya dengan sebutan 'Dean' di awal perkenalan mereka.
"Iya. Kinan yang itu. Jadi, kenapa sama dia?"
Well, Sean benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.
Dean... pacar Kinan. Dean sudah gila kah? Dean mengira dirinya yang menabrak Kinan dan Omanya dan sekarang malah Dean menjadi pacar Kinan? Gila. Sean memikirkan itu.
"Kak Rama!"
Flora sudah terlihat di depan sana. Berjalan cepat dengan wajah merah padam. Rama menghela napas pendek dan melepaskan tangannya pada seragam Gio. Pergi begitu saja. Alasan mengapa Flora mendekati Rama duluan dan tidak menyangka bahwa Rama akan menjadi kekasihnya, membuat Flora semakin gencar untuk mencari tahu mengapa Rama begitu membenci Gio, mengapa Gio tidak boleh mendekati Kinan.
Setelah berada tepat di hadapan Gio, Flora mengangkat jari telunjuknya di depan laki-laki itu. "Lo—" Ucapan yang belum sempat terselesaikan oleh Flora terhenti saat tangan Gio meraih tangannya.
Dengan tarikan di bibirnya membentuk senyum tipis, Gio mengatakan, "Longlast ya, La." Lalu, menarik langkah menjauh juga dari Flora yang masih melihatnya dengan tatapan kesal. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Flora begitu senang. Senang bisa berbicara dengan Gio di jarak sedekat ini.
"Gue kesel banget sama Gio, Nan!" Oh, mungkin yang benar itu justru kebalikannya. Flora harus meyakinkan Kinan dengan ucapannya itu. Kinan jangan sampai curiga.
Kinan agak kaget mendengar suara Flora yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Flora juga sudah duduk di samping Kinan dengan wajah yang memerah. "Ola kenapa sih dateng-dateng malah ngomel-ngomel?" tanya Kinan dan menggerakkan bangkunya untuk mendekat ke arah Flora. Saat ini mereka memang berada di dalam kelas menunggu guru untuk masuk.
Flora dengan cepat melihat ke arah Kinan. "Lo denger tadi gue bilang apa?"
"Ola kesel sama Gio?" Jawaban Kinan malah seperti memberikan pertanyaan baru untuk Flora.
Kepala Flora langsung mengangguk. Raut kesalnya belum juga hilang. "Nah itu! Kita emang harus jaga jarak terus dari tuh cowok bar-bar. Ish!" Kedua tangan Flora terkepal di atas meja. Membayangkan dirinya yang akan memukul Gio sekarang juga. Gio murid yang mesti dihindari tentu saja. Dan lagi-lagi Flora yang harus 'memberitahukan' itu pada Kinan.
Di kelas ini yang membenci Gio sampai sebegitunya ya hanya Flora. Kinan sampai bingung sendiri. "Emang Gio kenapa?" Kinan menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Gio melakukan hal buruk. Lagi.
"Dia udah mukul Kak Rama tadi!" Hanya untuk alasan agar Kinan tidak terlalu curiga dan juga alasannya ya... Rama. Tetapi, alasan itu memang benar, 'kan?
Entah Flora sadar atau tidak saat mengatakan itu, tetapi Kinan masih bersikap tidak tahu apa-apa. "Gio mukul.. Kak Rama?" Kinan mengulang apa yang Flora ucapkan. Ternyata Gio tidak mendengarkan perkataan Kinan kemarin. Kak Rama baik-baik saja gak ya? Gio gak sampe mahatin kaki Kak Rama, kan? Kinan meringis membayangkan itu.
"Iya! Lo inget dia udah janji kemaren-kemaren sebelum dia diskros dia gak akan berantem lagi? Pembohong banget kan cowok begitu!" Dengan menggebu-gebu Flora berujar. Kinan harus diyakinian terus. Flora juga akan selalu menjelek-jelekkan Gio di dekat Kinan. Dan tidak disangka, Gio—laki-laki yang mereka berdua bicarakan—terlihat masuk bersama teman-temannya.
"Jangan ngeliat ke arah dia!" Malah Flora yang paling ingin melihat Gio dari sudut matanya.
"Dia temen gue, Ki. Tapi itu dulu." Tatapan Gio belum beralih ke mana-mana selain ke arah mobil sedan hitam milik Sean yang terparkir.
Kinan mengunyah pelan-pelan. "Dulu?"
Gio mengangguk. "Nanyanya nanti aja ya? Gue bakalan cerita semuanya kok. Abisin makanan lo." Ditariknya sudut bibir untuk memperlihatkan senyum tipis.
"Tapi kayaknya Kinan inget rumah yang pager putih deh. Kinan pernah sekali ke sini."
Tentu saja Gio langsung menoleh ke arah Kinan lagi. "Beneran? Lo gak salah inget, 'kan?"
Kinan mengangguk seraya menggigit burgernya lagi. "Tapi pas itu Kinan cuma disuruh tunggu di luar."
Gio ingin bertanya Kinan ke sana dengan siapa tetapi jawabannya sudah Gio dapatkan saat Sean keluar dengan seorang perempuan yang Gio kenali dan mereka tertawa-tawa sebelum akhirnya berpelukan lalu, Sean masuk ke dalam mobilnya.
"Lo mikir apa yang gue pikirin, Ki?" Semoga tebakan Gio salah.
"Emangnya apa yang Gio pikirin?" Yang Kinan lihat ialah Flora yang sedang memeluk Sean di depan sana.
"Selain dia, siapa aja yang tau kalo kita berdua pacaran?" Gio bertanya tiba-tiba.
"Apa, Gio?"
Gio melirik Kinan. "Lo cerita ke siapa aja kalo kita berdua pacaran?"
"Kinan gak cerita ke siapa-siapa. Kayak yang Gio mau, 'kan?"
"Beneran?" tanya Gio, memastikan.
Kepala Kinan mengangguk. "Mhm-mm. Emang kenapa?" Kinan bertanya balik.
"Gue cuma lagi mikirin tentang orang yang nyelakain lo."
"Gio mikirnya siapa?" Flora. Aneh, 'kan?
Kinan memerhatikan Flora dan Viorent yang sedang duduk di atas tribun sana. Sore menjelang malam ini Kinan sudah selesai latihan baseball. Hari ini beda. Ada Gio. Ada Dean juga. Dan Kinan lebih sering mengobrol dengan Dean. Memainkan lagi perannya untuk menjadi asing di dekat Gio.
Tetapi bukan itu yang Kinan sedang pikirkan. Flora dekat dengan Sean. Itu penting kah untuk Kinan cari tahu?
"Kinan!"
Suara Flora terdengar kencang di atas sana. Kinan melambaikan tangannya. Tersenyum lebar juga. Seraya membawa botol minum, Kinan melangkahkan kakinya ke arah kedua sahabatnya itu.
"Viorent sama Ola ke sini mau ngeliat Kinan latihan ya?" tanya Kinan begitu percaya diri dan ikut duduk di antara mereka berdua. Melepaskan topi berwarna putih, itu milik Dean.
"Yehhh pede banget sih lo, Nan. Gue sama Viorent mau cuci mata di sini. Ya kan, Vi?" Flora menoleh ke arah Viorent yang sedang menjilat lolipopnya itu sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Atau lebih tepatnya mau melihat Gio.
Viorent manggut-manggut. "Aku mau ngeliat Kak Rezvan, tuh!"
"Jangan ditunjuk, dodol!" kata Flora sambil melotot ke arah Viorent.
Kinan cemberut. "Kinan kira mau ngeliat Kinan ke sini. Vio, kok gak latihan balet?"
"Aku meliburkan diri. Besok baru aku latihan lagi. Eh itu, Kak Reza udah dateng. Aku duluan ya, kawan-kawan." Ketika mata Viorent melihat pacarnya di bawah sana, Viorent langsung bangkit. Melambaikan tangannya juga ke arah kedua sahabatnya.
"Hati-hati ya, Viorent. Besok ke rumah Kinan pokoknya."
Viorent membalikkan badan lagi dengan kedua ibu jari yang ia angkat. "Oki-doki."
"Gue gak diajak?"
Mendengar pertanyaan Flora, Kinan menengok ke arah gadis itu. Kinan mengernyit. "Kan Ola bukan kelompok Kinan buat tugas Seni Budaya." Yang harus dikumpulkan hari Rabu. Tugas membuat gantungan dari semen putih.
Flora menepuk kepalanya. "Ah iya, mana gue kelompoknya bareng Gio lagi! Bisa diganti gak? Lo sama gue, Viorent sama Gio. Gimana?" Flora tersenyum lebar. Bagaimana ya reaksi Kinan saat Flora mengatakan itu.
Kalo Kinan sama Gio aja gimana?
Kinan menggelengkan kepalanya. "Bilang sana sendiri sama Pak Nino."
"Ogah." Flora memutar kedua bola matanya.
"Yaudah sih terima aja. Biar Ola gak kesel sama Gio lagi?"
"Lo tau dia kayak gimana, Kinan. Ayo, pulang bareng gue." Flora yang pertama bangkit. Kinan mengulurkan kedua tangannya. Flora mengerti dan menarik tangan Kinan hingga gadis itu berdiri. Flora yang berjalan lebih dulu.
"Ketauan kan Ola ke sini mau ngeliat Kinan terus mau jemput Kinan." Kinan memeluk bahu Flora dari belakang seraya terkekeh. "Makasih ya, Ola."
"Pamitan dulu sana sama Kak Dean. Gue yang bawa tas lo ke mobil." Saat sudah berada di pinggir lapangan, Flora mengambil tas Kinan yang berwarna kuning mencolok itu. Flora harus menjadi pendukung Kinan nomor satu saat bersama Dean.
"Ola, hari ini baik banget sama Kinan. Pasti ada maunya!" Yaiyalah.
Flora mendengus. "Berburuk sangka mulu lo, Nan sama gue. Gue kan cuma mau ketemu sama Om Adam."
"Tuh kan!"
Cengiran Flora terlihat. "Hehe utang foto Om Adam pake batik lo sama gue!"
"Donat rasa green tea dulu tapi."
"Yuk sekalian kita ngopi cantik dulu di Chloe's."
"Ayoooo!" ujar Kinan senang. Saking bersemangatnya mengatakan itu. Semua pasang mata melihat ke arah mereka.
Flora berdeham. "Gue tunggu di mobil ya."
Kinan menoleh ke segala penjuru. Tidak menemukan Gio di mana-mana. Pasti udah pulang, pikir Kinan. Tetapi saat Kinan melangkahkan kakinya menuju parkiran sudah terlihat Sean di sana.
Sean tidak sedang mencari Gio, kan?
Kinan melangkahkan kakinya pelan-pelan. Masih juga belum terlihat di mana Gio. Dan Kinan agak terkesiap saat suara Sean memanggil namanya.
"Adri!" Sean melambaikan tangannya. Menyandarkan punggungnya juga di belakang mobilnya.
Dengan kaku Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya dan mau tidak mau melangkah mendekat ke arah Sean. Semoga Gio memang sudah pulang.
Diperlihatkannya senyum lebar. "Kak Sean, ikut ngeliat anak-anak latihan juga?"
Kepala Sean menggeleng. "Temen gue alumni sini yang ngajar lo-lo pada tadi. Gue mau ngeliat dia."
"Kinan baru tau. Kak Sean, udah mau pulang?" Semoga begitu. Kinan berharap.
"Mau nunggu orang dulu."
"Siapa?" Kinan bertanya dengan cepat. Kelewat cepat malah. "Eh maksud Kinan—"
"Gue nunggu temen gue." Sean mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Terlihat Kinan mengangguk. Sean melanjutkan, "Lo pulang bareng siapa? Bokap?"
"Sama Ola. Tuh." Telunjuk Kinan mengarah pada Flora yang sudah berada di dalam mobil. Menunggu Kinan dengan wajah bete-nya itu.
Sean mendekat ke arah Kinan. "Itu yang namanya Flora dan Fauna?"
Mendengar itu, Kinan tertawa sebentar. "Bukan, Kak Sean. Namanya Flora aja."
Sean menghadap ke arah Flora dan melambaikan tangannya lagi. "Hai, Flora aja!" sapanya. Flora akan memarahi Sean nanti. Jangan sok kenal!
Kinan yang mendengar pertanyaan Gio tadi menahan tawanya dan berjalan ke arah Flora. "Kinan pulang duluan ya, Ola." Dan memeluk Flora dari belakang dengan dagu yang Kinan letakkan di bahu Flora. Melihat ke arah Gio lurus-lurus di depannya itu.
Gio terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang beda juga dari wajahnya. Kinan sudah bisa bernapas lega karena bertemunya Sean dengan Gio semalam tidak menimbulkan apa-apa. Kinan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Gio masih memerhatikannya.
"Balik sama siapa lo? Ojol?" tanya Flora dan melihat ke arah Kinan di bahu kirinya itu.
Kinan mengangguk dengan senyumannya yang belum juga hilang dari wajahnya.
Dan begitu cepatnya Flora menghilangkan senyuman Kinan dengan bertanya, "Kenapa gak pulang sama Kak Dean aja?" Iya, lebih bagus begitu. Gio akan kesal pada Kinan nanti. Flora tersenyum dalam hati.
Kinan diam sebentar. Gio berdeham pelan dan memilih untuk duduk di atas meja di dekatnya. Menunggu apa yang akan Kinan jawab.
"Karena Kinan lagi pengen naik ojek aja."
Gio menggelengkan kepalanya mendengar alasan klasik Kinan barusan.
Flora justru memperlihatkan senyumannya. "Lagi berantem ya lo sama Kak Dean?" Kedua mata Flora menyipit. Semakin ingin memanas-manasi Gio.
Langsung saja Kinan melepaskan pelukannya itu. "Apaan sih, Ola? Enggak, ih." Kinan menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah layar ponsel. "Kinan pulang duluan. Abangnya udah di depan gerbang nih. Daaah!"
"Daahhh, Kinan. Hati-hati!" Seraya melambaikan tangannya, Flora melihat Kinan yang sudah menghilang dari balik pintu. Lalu, menoleh lagi ke arah Gio di depannya yang sudah lebih dulu mengamati dirinya itu.
"Kinaaaaannn!!!"
Suara Flora terdengar di depan pintu dan menghampiri Kinan yang memang sedang berjalan ke kelas. Memeluk lengan Kinan erat-erat. "Lo ke mana aja, Nan? Gue mau samperin kemaren tapi lo gak bolehin. Ngeselin banget asli ninggalin gue duduk sendirian!" cerocos Flora.
Kinan meringis. "Itu... Kinan kan bilang Kinan gak enak badan. Kinan juga seharian tidur." Setidaknya itu alasan yang paling masuk akal kan untuk saat ini.
"Muka lo keliatan masih pucet tapi." Tangan Flora memegang kedua sisi wajah Kinan, mengarahkan pada wajahnya. Dan memang yang terlihat seperti itu.
"Emang ya?"
Kepala Flora mengangguk. Kenapa gak mati aja sih lo?!
"Iya, Sayang." Setelah menjawab pertanyaan putranya, Anneth melihat ke arah Flora lagi. "Flo, Tante langsung masuk kamar ya. Kalo kamu mau apa-apa, bilang aja sama Gio."
Senyum Flora makin lebar. "Pasti, Tante."
Anneth juga tersenyum kemudian sebelum benar-benar masuk ke dalam kamarnya, Anneth menyempatkan untuk mencium pipi kiri Gio.
"Bisa juga lo jadi Flora yang manis kayak gitu." Suara Gio terdengar. Melihat Flora yang sedang membuka softdrink di tangannya. Gio mengambil alih minuman di tangan Flora dan membukanya dengan sekali sentakkan.
Flora menerima botol minum yang Gio berikan. "Biasanya emang gue gimana?" Lo merhatiin gue juga kah?
"Serem, La."
Mendengar itu, Flora mengangkat jari tengahnya tepat ke arah Gio dan Gio lagi-lagi hanya tertawa. Flora tersenyum melihat dan mendengar tawa Gio.
"Lo harus temuin dulu orang yang udah buat adek gue begitu! Siapa yang nabrak lo. Bawa dia ke gue. Atau gue bocorin sekarang kartu lo."
Jelas saja itu ancaman untuk Dean. Dan masalahnya adalah; Dean belum ingin ditinggalkan atau membuat orang yang Dean sayangi berbalik membencinya. Tapi, memang akan seperti itu akhirnya. Tidak bisa dibantah lagi. Meskipun Dean berbuat apa pun.
"Pas itu emang gue apes kali. Jadi, nabrak mereka."
Dan paling buruknya bagaimana jika itu memang kesalahan Dean sendiri.
Matthew mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja Matthew menemukan sesuatu yang ganjal dengan mobil itu. "Kinan ya?"
Ketika nama itu disebut, Dean memandang Matthew lain. Iya, memang Kinan lah alasan mengapa menunggu kehadiran Mikayla di hidupnya bukannya hal yang penting untuknya lagi. Karena Kinan lah alasan mengapa melihat Mikayla setelah sekian lama sudah tidak terasa sama. Biasa saja.
Karena Dean tidak kunjung menjawab pertanyaannya, Matthew menganggapnya bahwa tebakkannya benar. "Lo denger ya, Yan. Mikayla sampe buta karena tuh orang. Dia mau lo mandang dia sama, tapi lo malah begini. Gue pastiin hidup si Kinan gak akan tenang."
Setelah mengatakan itu, Matthew menarik langkah menjauh dari Dean yang sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mau Matthew perbuat. Dean mengeluarkan ponselnya.
"Udah gue bilang dari awal lo emang harusnya diem aja, gak usah ngapa-ngapain!" Flora dengan bodohnya menyerang Kinan dengan tangannya sendiri. Jelas saja Sean marah. Bagaimana jika Flora ketahuan?
"Lo pikir gue bakalan selamanya jadi bayangan lo?" Yang terus-terusan membantu Flora? Sean tidak mau.
"Makanya apa-apa dipikirin dulu sebelum bertindak."
Setelah mengatakan itu, Sean langsung memutuskan sambungan. Membalikkan tubuhnya dan melihat Abby yang sedang duduk dengan senyum di bibirnya, menyadari itu Sean menarik kedua sudut bibirnya juga ke atas. Tersenyum tipis. Menghampiri Abby setelah menghancurkan rokok di tangannya.
"Katanya mau gue jemput aja entar, kok malah ke sini?" tanya Sean dan ikut duduk di samping Abby. Meletakkan kepalanya pada pundak Abby juga yang sekarang Abby mengusap sisi wajahnya.
"Udah kangen duluan," jawab Abby dengan senyuman yang belum hilang di bibirnya. "Tadi siapa yang nelpon? Lo keliatan kesel banget."
Kedua mata Sean melihat ke arah Abby sebentar lalu beralih ke arah balkon sana. "Orang yang otaknya gak pernah dipake, By. Giliran baru sadar dia salah, nangis-nangisnya ke gue. Ngeselin, 'kan?"
Di saat-saat seperti ini—di saat Sean seperti harus menanggung ketakutan orang lain, Sean mau tidak mau memikirkan hal itu juga. Dan berakhir dirinya mempunyai masalah baru
"Gue bukan orang jahat, By." Sean menggerakkan kepalanya untuk melihat ke arah Abby sepenuhnya. Abby sedang mengemudi. "Lo percaya sama gue kan, By? Gue bukan orang jahat," lanjut Sean mengulang kata-katanya. Sean dihadapkan oleh ketakutannya lagi.
Flora menyukai Gio. Sebagai sepupu yang tahu apa yang dibutuhkan Flora. Yang diingini Flora, Sean akan memberikannya. Flora itu tidak pernah bisa mendapatkan kebebasan dari orang tuanya dari orang terdekatnya. Selalu dibatasi oleh apa pun itu, dan di sini lah Sean yang selalu siap membantunya. Flora senang hanya itu mau Sean. Sean sudah menganggapnya seperti adik kandungnya sendiri.
Dan Flora yang mengetahui bahwa Gio menyukai Juli, saat itu juga Flora mau Sean menyingkirkan gadis itu. Sean memaksa Gio untuk mengikuti balapan, Sean sudah merencanakan semuanya. Bagaimana nanti mobil yang Gio kendarai tidak bisa dihentikan dengan kecepatan penuh. Tanpa rem yang sudah Sean buat sedemikian rupa. Tidak boleh sampai gagal. Dan Flora yang membuat Juli datang nanti. Rencananya akan berhasil. Juli itu gampang dibodoh-bodohi. Flora tinggal mengiriminya pesan singkat mengatakan bahwa Gio akan melakukan bla-bla-bla dan Juli akan panik sendiri.
Abby menoleh ke sebelahnya dan menggapai tangan Sean. Meremasnya. "Iya, lo bukan orang jahat, Sean." Setelah mengatakan itu, Abby melepaskan tangannya. Fokus mengemudi lagi.
"Kalo lo di posisi gue, apa lo bakalan ngelakuin hal yang sama kayak gue? Apa lo bakalan bantuin Dean, By?" Maksud Sean begini, dirinya adalah sepupunya Flora, Sean harus membantunya kan? Sama seperti Abby yang dekat dengan Dean. Abby akan membantunya juga?
Mendengar pertanyaan Sean barusan membuat Abby berpikir jauh. Terlalu jauh. Dan selang beberapa detik, kepala Abby mengangguk. Tidak ada yang salah dengan membantu orang terdekat, 'kan? Yang salah mungkin membiarkan orang itu merasa tidak punya siapa-siapa. Tidak punya seseorang yang mau menolongnya.
Sean mengubah posisinya lagi. Menyandarkan kepalanya pada jok dengan pandangan menerawangnya ke depan jalan sana. "Pas balapan kemaren seharusnya dia dateng, biar gue gak terus-terusan mikirin dia lagi. Tapi gue bukan orang jahat, By." Kepala Sean menggeleng pelan. "Gue cuma mau selesaian apa yang gue udah mulai. Itu aja." Seharusnya Kinan datang saat Gio balapan, Sean sudah merencanakan bagaimana mobil Gio akan hancur. Hancur bersama Kinan. Seperti yang Flora mau. Seperti yang terjadi pada Juli dulu.
Percobaan pertama mereka salah sasaran. Oma Shellyn yang pergi bukan Kinan. Mereka harus memutar otak lagi. Waktu bersama Kinan itu banyak sekali, Flora dengan mudahnya keluar-masuk ke dalam rumah Kinan. Dikempatan yang mungkin pas itu—ketika Kinan akan pergi bersama Omanya saat itu pula Flora melancarkan aksinya.
Membuat semuanya seolah-oalah kecelakaan.
Selama di perjalanan hingga sudah sampai di basement apartemen Sean pun, Abby belum mengeluarkan suaranya. Terlalu banyak pertanyaan yang datang.
Lalu, Abby menarik rem tangan dan melepas seatbelt-nya. Memerhatikan Sean di sebelahnya yang perlahan menoleh ke arah Abby juga. Abby mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Mendekatkan tubuhnya pada Sean agar Abby bisa memeluk laki-laki itu. "Malah yang jahat itu dia, Sean.. bukan lo," ujar Abby menenangkan. Itu Flora yang jahat. Bukan Sean.
"Jadi, apa yang mau tanyain?" Flora mengambil sendok dan garpu yang sudah berada di piring nasi gorengnya. Dalam hati, Flora berharap Rama tidak menemukannya.
Gio menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. Menatap Flora di depannya lurus-lurus. Padahal sudah lama Gio memendam rasa penasarannya ini. Soft drink di atas meja, Gio putar perlahan.. "Rama pernah cerita sama lo tentang cewek yang... mm, gimana ya gue ngomongnya." Gio mengalihkan pandangan ke arah botol di tangannya itu.
"Juli?" Flora dengan spontan menyebutkan namanya.
Mendengar nama itu disebut, Gio melihat Flora dengan agak terkejut. Tetapi secepat kedipan mata, Gio hilangkan itu. "Dia udah cerita sama lo?" Seorang Rama yang tidak mudah terbuka pada orang lain malah dengan gampangnya bercerita pada Flora. Gio mendengus.
"Kok lo kaget banget?" Kerutan di dahi Flora terlihat.
Gio menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. "Dia beneran suka sama lo ternyata." Dan mengeluarkan senyum mengejeknya. Karena dari awal kabar Rama sudah jadian dengan Flora, Gio menganggap Rama hanya ingin memutupi bahwa dia tidak lagi menyukai Kinan. Rama tidak menceritakan itu, Flora memang yang lebih tahu semuanya.
Flora mengerjapkan matanya berkali-kali. "Lo pikir Kak Rama main-main sama gue?" Suaranya memelan.
"Awalnya gitu. Ternyata gue salah." Kedua bahu Gio terangkat. Mungkin Gio terlalu jahat sudah berbicara seperti itu pada Flora.
"Pikiran lo ke Rama gak pernah ada baiknya ya, Yo. Gue heran." Dengan menunduk, Flora mengatakan itu. Entah dari kapan yang Flora tahu Rama itu selalu saja berkelahi dengan Gio. Dan yang paling buruknya hingga membuat kaki Gio patah.
"Lo udah tau semuanya tentang Rama ya, La?" Dengan cepatnya, Gio menanyakan hal lain.
Gantian, sekarang kedua bahu Flora yang terangkat. Karena Flora juga tidak tahu. "Lo beneran udah buat Juli.. kayak gitu?" Oh, Gio. Maaf ya.
Gio menegakkan tubuhnya. Melihat mata Flora lagi. "Lo pikir gue bakalan mau ngebuat cewek yang gue sayang gak ada lagi? Gue bener-bener mikir gue dijebak sama temen gue. Bisa lo gak usah cerita ke siapa-siapa semua yang lo denger, apalagi ke Kinan?" Itu yang paling Gio takutkan.
Semakin penasaranlah Flora ketika nama Kinan keluar dari mulut Gio tadi. "Apa kaitannya sama Kinan?"
Gio mengembuskan napas pelan. "Dia.. kenal juga sama Juli." Tidak mungkin Gio mengatakan hal lain.
Sejenak, Flora berpikir. "Lo takut Kinan mikir macem-macem tentang lo? Lo.. suka Kinan?" Ada yang retak lagi di dalam dada Flora. Sial! Sial! Sial!
Dengan bersikap sesantai mungkin, Gio menjawab, "Enggak." Pembohong.
"Gio!"
"Levi, goblok!"
"Levi temen lo, dia gak bakalan sengaja ngelakuin itu!"
Sandra menahan lengan Gio agar tidak pergi ke mana-mana. Mendorong bahu laki-laki itu juga hingga punggung Gio membentur tembok. Kalo aja kena kepala Kinan gimana? Hanya itu yang berada di pikiran Gio hingga saat ini.
Beruntungnya Sandra bisa mencegah Levi mendepatkan pukulan berkali-kali dari Gio yang terlihat kalap.
Memang bodohnya Levi mengapa saat kejadian itu dia berada di sana? Gio berdecak.
Tetapi seharusnya Gio sadar, Levi tidak tahu bahwa Kinan itu pacar Gio.
Lalu, siapa? Yep, itu Flora.
Lalu, kenapa? Flora marah. Gio semakin terlihat bahwa dirinya menyukai Kinan, Flora harus bertindak.
"Dri, kayaknya gue bakalan mati sebentar lagi."
Kinan tidak tahu harus berkata apa ketika kata-kata itu keluar dari mulut Sean. "Kak Sean, kenapa?" Hanya itu yang bisa Kinan tanyakan.
Kepala Sean menggeleng. Matanya melihat ke arah Kinan sekarang. "Gio. Mungkin lo harus dengerin kata-kata dia."
Kinan semakin mengernyit.
"Oke, gue tau lo bingung. Bingung banget malah ngedenger gue yang ngomong ngelantur begini. Tapi gue bener-bener benci sama si Gio. Bego banget tuh anak sampe gue gak tau lagi harus ngapain dia. Bener-bener goblok. Sori-sori gue ngomong kasar." Diselipkannya senyum tipis di sana.
Kinan meremas jari-jarinya. "Kenapa sama Gio?"
Sean menyandarkan punggungnya. Pandangannya tidak teralihkan ke mana-mana selain Kinan di depannya itu. Untuk pertama kalinya Sean bertemu langsung dengan Kinan, berbicara pada gadis itu Sean tahu Sean akan berada di dalam masalah. Masalah pada dirinya sendiri.
Kinan seperti seseorang yang seharusnya dilindungi. Kinan seperti seseorang yang tidak pernah boleh ditinggalkan. Kinan seperti seseorang yang tidak boleh disakiti. Anggap Sean gila karena memikirkan itu, tetapi memang begitu kenyataannya.
Dan pasti berbeda dengan Abby, jangan salah paham. Sean mengerjap dan mengatakan kata-kata yang semakin membuat Kinan bingung.
Sudah dua orang yang mengatakan itu. Meminta maaf pada Kinan. Dean dan sekarang Sean. Untuk apa meminta maaf.
Mereka kenapa?
Kinan harus percaya dengan siapa?
Tidak pernah sekali di hidupnya Kinan dihadapkan oleh seseorang yang membekap mulutnya dan mencekik lehernya. Punggung Kinan membentur tembok di belakang minimarket yang gelap. Napasnya sudah tersengal. Tidak bisa menebak juga siapa orang di depannya sekarang. Memakai pakaian serba hitam dengan masker juga.
Lalu, suara orang itu terdengar.
"Seharusnya dulu itu lo yang mati, Kinan."
Dan kini Flora yakin itu akan terjadi sebentar lagi, ketika Flora menekan luka di perut Kinan hingga Kinan berteriak kesakitan. Tidak ada yang bisa menolongnya. Hingga Flora perlahan-lahan tidak mendengar suara Kinan lagi. Sepi.
...
Dean tidak tahu apa yang ia rasakan saat menatap kosong makam dengan bunga di atasnya yang masih baru itu. Tidak tahu harus mengatakan apa selain maaf yang berulang-ulang Dean ucapkan dalam hati. Dean salah Dean mengakui. Penyesalannya bertambah ketika ia berbohong. Menyembunyikan semuanya.
Kinan, semuanya bakalan baik-baik saja.
Dean selalu mengatakan bahwa Kinan akan aman bersamanya, tetapi malah Dean yang membawa Kinan ke dalam bahaya itu sendiri. Sekarang bagaimana caranya meminta maaf saat Kinan tidak bisa Dean temui lagi? Dean berdiri di sini saja dirinya sudah merasa malu luar biasa.
Dan Dean menutup matanya, mengantarkan doa dan sekali lagi meminta maaf sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menjauh. Dirinya juga akan menjauh. Seperti daun kering yang jatuh dari pohon yang tertiup angin itu. Seperti garis-garis yang ia lewati tanpa tahu bahwa itu akan menyakiti seseorang di sana. Seperti semuanya yang memang dari awal tidak cukup kuat untuk ia genggam dengan tangannya. Seperti yang seharusnya. Seperti yang semestinya.
Dean harap di sana, Kinan bahagia. Kinan tidak akan merasakan sakit lagi. Kinan.... tidak akan melihatnya lagi.
Lebih baik seperti itu memang.
Gio menyetujui. Gio membuka pintu mobilnya dan melangkahkan kakinya dengan pelan ke tempat Dean berdiri tadi. Sudah dari sejak lama Gio memerhatikan Dean di sana. Dan saat Dean pergi, kini saatnya Gio yang menggantikan posisi itu.
Mulai berjongkok, Gio meletakkan bunga mawar putih itu di atas gundukan tanah merah. Mengusap nisan itu berkali-kali lalu melanjutkan berdoa. Setelah itu, barulah kedua matanya terbuka perlahan-lahan. Melihat sosok Kinan di depannya.
"Kinan kan udah bilang jangan tiba-tiba datengnya. Kalo Ayah liat Gio gimana?"
Menanggapi itu, Gio malah tersenyum tipis. "Berdoa buat Oma cepetan."
Kinan menarik kedua sudut bibirnya dan memejamkan matanya kali ini. Membaca doa seperti yang Gio lakukan beberapa menit lalu. Senyum tipisnya belum juga hilang dari wajahnya.
"Jadi, kapan lo perginya?" Gio bertanya. Menahan sesak itu di dalam dadanya.
Kinan tampak berpikir. "Mm.. lusa?"
Kinan akan pergi jauh. Gio pikir itu memang jalan yang paling terbaik yang dipilih Adam untuk Kinan. Meninggalkan kota ini. Meninggalkan Gio. Gio mengangguk-anggukkan kepalanya. Terlalu cepat dan terlalu... baik juga. Semakin cepat, semakin baik.
"Kapan-kapan gue bakalan nemuin lo. Tungguin gue ya?"
Sebagai respons, Kinan mengangguk. "Jadi, Gio ke sini jauh-jauh cuma mau ngomong itu?"
Kepala Gio menggeleng. "Gue udah pernah janji sama lo, bakalan nemenin lo ke makam Oma. Jadi, gue ke sini. Di sini."
Senyum Kinan makin lebar. Jika saja dulu Gio tidak menyelamatkannya dari Flora, mungkin Kinan sudah tidak ada. Gio yang menunggu Kinan di luar rumahnya, seperti yang selalu Gio lakukan. Dan memang yang seharusnya seperti. Selalu seperti itu.
Dan datanglah Rama dengan ekspresi ketekejutannya. Rama memang baru saja pulang dari rumah sakit untuk mengambil ponsel Flora yang tertinggal. Saat di perjalanan ke rumah Kinan, ponsel gadis itu terus-terussan berdering. Rama menepi. Melihat banyaknya pesan singkat yang masuk, chat paling atas itu dari Sean. Mengatakan hal yang Rama tahu bahwa Kinan sedang dalam bahaya. Kinan sedang bersama dengan Flora berdua. Rama tanpa berpikir apa-apa lagi langsung menginjak pedal.
"Ayah bakalan jemput Kinan di sini. Gio pulangnya hati-hati ya."
Gio mengangguk. Ayah Kinan jangan sampai tahu Gio di sini juga. Mereka memang seharusnya seperti itu. Dari awal dan akhirnya pun harusnya seperti itu. Biarlah. Biarlah Gio menggenggam tangan Kinan tanpa Kinan di dekatnya. Melihat Kinan dari jauh. Seperti yang sudah-sudah. Seperti yang sebelum-sebelumnya.
Karena memang harus seperti itu.
"Daah, Gio."
"Daah."
Akhirnya kelar juga cerita ketiga aku;")
Gimana gais endingnya? Coba komen dund huhu mau tau reaksi kalian
Oh iyaa aku mau tanya nih
Apa yang ngebuat kamu mau baca Lines sampai tamat?
Atau
Untuk kamu yang udah baca cerita ini dari awal sampe akhir gini, kesannya itu gimana sih?
udah tau ya sekarang yang paling jahat siapa muehehe
Yaaa.. mereka bakalan LDR cyin..
Akhirnya memang harus ada salah satu yang ngalah. Maaf Dean;") aku sayang anakku, kamu nanti bahagia..
Semoga sukaa gais..
Jangan marah sama aku ya gais wkwkwk
Makasih yang udah sering Vote dan Komen sering ngasih semangat juga tengkyuu banget<3
Dadaah🥺🥺
Ketemu sparkel lagi kuy di cerita baru akuu.
The shooting star★
JANGAN LUPA ISI PERTANYAAN DI NEXT PART GAIS HEHEHEHE
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro