Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

air

Bagian 21 |
never thought that we would end up here

Berasa lama banget gak up huhu. Mood menulisku hilang hiks

Yang nungguin Lines tunjukkan dirimu dong :))
Biar semangat ngetik gitchu kalo ada yang nungguin ehe
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Kinan, fokus dong!"

"Kinan, tolong bolanya diambil cepetan!"

"Kinan, jangan diem aja!"

"Kinan, jangan lari-larian mulu!"

"Kinan, bisa gak foto-fotonya nanti kalo udah selesai?!"

Dari sore hingga menjelang malam seperti sekarang, sudah segala macam perkataan dari pelatih baseball yang tidak lain adalah Rezvan—alumni Pertiwi, terdengar berkali-kali saat ekskul berlangsung dan agak greget juga sebenarnya dengan murid yang namanya Kinan-Kinan itu, apalagi ketika Kinan dengan sikap santainya malah berfoto-foto di pinggir lapangan.

Tetapi, akhirnya selesai juga ekskul pertama Kinan. Kinan dengan langkah gontainya berjalan menuju ke arah Reksha yang duduk di lapangan berumput, sedang membuka topi yang laki-laki itu pakai selama latihan. Teman Dean yang mengikuti ekskul baseball ya hanya Reksha. Kinan mengatur napasnya yang masih saja tersengal dan ikut duduk di samping Reksha. Menjulurkan kedua kakinya juga.

"Mau minum lo?" Reksha mengulurkan botol air mineral yang ia bawa dari rumah kepada Kinan di sebelahnya.

Kinan menggelengkan kepala. "Buat Kak Reksha aja. Kinan nunggu Kak Rama yang lagi ngambil botol minum di mobil." Seperti yang sudah Rama katakan, ia akan mengantarkan Kinan dan menunggu Kinan hingga Kinan selesai dengan ekskulnya. Kinan hanya menurut saja. Tidak tahu juga harus memberikan alasan apalagi untuk menolak itu.

Lalu, Kinan mengedarkan pandangannya ke arah bangku penonton di atas sana. Ada teman-temannya Dean, Geraldi dan Angga, ada banyak kakak kelas yang tidak Kinan tahu kecuali Ardi dan Dimas, dan pandangan Kinan jatuh pada Gio yang duduk sendiri—melihat ke arah Kinan juga. Ternyata seseorang yang Kinan cari tidak ada.

Dean ke mana?

"Lo harusnya perhatiin tuh Kak Rezvan kalo lagi ngomong." Setelah mengatakan itu, Reksha tertawa sebentar mengingat kelakuan konyol Kinan saat latihan.

Ucapan Reksha tadi membuat Kinan mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki itu. Kemudian ikut tertawa juga bersama Reksha. "Lagian bagus tau Kak Reksha spot buat foto-foto di sini. Pas juga sama feeds Instagram Kinan. Besok-besok Kinan bakalan fokus deh!"

Reksha manggut-manggut. "Eh tapi gak apa-apa kalo lo mau foto-foto lagi terus lari-larian kayak cacing kepanasan sama temen lo. Buat jadi hiburan juga ngeliat Kak Rezvan ngomel. Biasanya latihan tuh flat banget," sahut Reksha dan mengambil tas di sampingnya itu. Mengeluarkan ponsel juga.

Gantian, sekarang Kinan yang manggut-manggut. "Kak Reskha, nama IG-nya apa?" tanya Kinan dan ikut mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Lumayan juga bisa saling follow di Instagram dengan temannya Dean.

Mendengar itu, Reksha memiringkan kepalanya untuk melihat layar ponsel Kinan di tangan gadis itu. "Reksha A-nya tiga," jawabnya.

"Follback Kinan langsung ya, Kak Reskha."

"Oke."

Dengan pelan, jari Kinan men-scroll layar ponselnya. Melihat satu-satu dari banyaknya foto yang telah di upload Seniornya itu di Instagram. "Wah, enak banget jadi Kak Reksha kerjaannya jalan-jalan terus." Kinan melihat kebanyakan foto Reksha itu sedang berada di negara yang berbeda. Dan ada foto Reksha juga dengan Angga, Dean dan Geraldi—Kinan menebak, sepertinya sedang merayakan ulang tahun Reksha. Kinan menarik sedikit kedua sudut bibirnya.

"Manjain diri sendiri gak salah kan, Nan?" Suara Reskha terdengar lagi.

Kinan mengangguk, menyetujui. "Kalo Kinan udah berani jalan-jalan sendiri, Kinan mau jalan-jalan terus ah kayak Kak Reksha!" Dan semakin lebarlah senyum Kinan saat membayangkan betapa menyenangkannya itu.

Reksha melihat ke arah lawan bicaranya kali ini. "Jalan sama cowok lo lah," ujarnya.

"Kalo dia-nya mau." Kinan mengangkat kedua bahunya setelah mengatakan itu.

"Pasti mau!"

Iya, Kak Reksha semoga aja dia mau. Dan Kinan lebih memilih untuk tidak mengeluarkan isi batinnya itu. Dengan keberanian yang sudah Kinan kumpulkan, Kinan menutup aplikasi Instagramnya dan membuka Line untuk mengirimkan pesan singkatnya kepada Dean.

Kak Dean : Kak Dean, lagi ngapain?
Delete.

Kak Dean : Kak Dean, kok gak latihan baseball? Kinan dari tadi nungguin Kak Dean tau.
Detele.

Kak Dean : Kak Dean, sekarang lagi dimana?
Send. 05.36 pm.

Kinan meletakkan begitu saja ponselnya di atas rumput di dekatnya dan Kinan mulai menekuk kedua kakinya untuk Kinan peluk lututnya itu dengan kedua tangannya. Sesekali memperhatikan layar ponselnya juga. "Oh ya, Kinan minggu depan pengen nyobain yang jadi pelempar bola ah!" ucap Kinan dengan pembicaraan awal mereka.

"Pitcher." Reksha menjelaskan.

"Apa, Kak Reksha?" Kening Kinan berkerut.

"Yang lo maksud namanya Pitcher. Lo bakalan kebagian kok jadi—"

Reksha menghentikan ucapannya ketika dengan kencangnya suara Gio yang memanggil nama Kinan terdengar dari arah bangku penonton di atas sana.

"Kinan!"

Kinan melihat ke arah Gio yang sudah berdiri di dekat besi pembatas dan melihat ke arah Reksha lagi. "Bentar ya, Kak Reksha. Kinan mau nemuin Gio dulu." Terlihat Reksha hanya menganggukkan kepalanya dan Kinan langsung bangkit. Menepuk bokongnya juga berkali-kali sebelum akhirnya dengan berlari kecil mendekat ke arah Gio. Kinan lalu mendongakkan kepalanya ketika Gio sudah berada tepat di atasnya.

"Kenapa, Gio?" Kinan dengan cepat bertanya.

"Kak Rama lo masih lama kayaknya. Nih tangkep!" Tanpa aba-aba, Gio langsung melempar botol minuman isotonik ke arah bawahnya, yang beruntungnya bisa Kinan tangkap.

Dan sebelum Gio pergi, Kinan lebih dulu menaikki anak tangga untuk mendekat ke arah laki-laki itu. Setelah sampai di tempat Gio, Kinan melihat Gio sudah duduk kembali. Kinan juga ikut duduk di samping Gio. Memerhatikan Gio dari samping sebentar kemudian bertanya, "Kok Gio tau kalo Kak Rama bakalan lama? Kak Rama ngasih tau Gio ya?!" Dan jika tebakkan Kinan benar, mungkin tidak ada lagi kasus Rama dan Gio berkelahi terdengar di Pertiwi.

Tetapi, harapan Kinan langsung dipatahkan oleh senyum kecut Gio. "Pikiran lo kejauhan, Kinan. Gue liat dia lagi ngobol sama cewek. Langsung dilupain kan lo." Sindiran Gio begitu kentara. Sengaja juga sebenarnya. Agar Kinan sadar.

Kinan menggigit bibir bawahnya. "Mungkin Kak Rama emang lagi ngobrol hal penting. Jadinya lama nemuin Kinannya. Gio, udah mau pulang ya? Tadi dianter ke sini sama siapa, Gio?" Kinan mencoba mengalihkan pembicaraan yang sudah Kinan mulai.

"Sama Levi. Lo liat tuh kakak kelas. Lo pasti kenal lah siapa." Dagu Gio menunjuk ke tempat Ardi dan Dimas yang sesekali melihat ke arah mereka berdua juga. Gio dengan sikap santainya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di belakangnya itu dan melihat ke arah Kinan lagi.

"Iya, Kinan kenal. Itu kan pacarnya Elara. Kak Ardi. Sama temennya, Kak Dimas. Kenapa emangnya, Gio?" Tingkat keingintahuan Kinan meninggi sekarang.

"Temen mereka lagi nyari gue." Yang dimaksud Gio itu Sean. Dan Gio berpikir jika Gio menyebutkan nama laki-laki itu, Kinan juga tidak akan mengenali. Dan bodohnya Gio, dengan cepatnya bayangan di mana awal Rama membencinya langsung terngiang kembali. Jika Gio dapat mengulang waktu pun, akan Gio kembalikan apa yang Rama mau.

"Gio, emang abis ngapain sampe dicari-cari? Gio gak ngelakuin hal macem-macem, kan?"

Gio mengerjapkan matanya. Ia menggeleng perlahan. "Cuma satu macem aja kok," jawabnya tanpa ekspresi sama sekali.

"Apa?"

Sebelah alis Gio terangkat sebelah. "Lo mau tau?"

"Iya, Kinan mau tau."

Sebelum menjawab, Gio menatap lurus-lurus netra cokelat Kinan. "Kalo gitu jangan pernah percaya sama omongan Rama." Gio berharap Kinan mau mendengarkan ucapannya yang satu itu. Sebenarnya Gio sedang merasa takut sekarang.

Kinan masih belum mengerti. "Kenapa?"

Gio mendengus pelan. "Lo kebanyakan nanya, Kinan. Dan jangan terlalu cepet juga percaya sama orang." Itu kalimat sindiran kedua yang Gio keluarkan untuk Kinan.

Di sampingnya, Kinan belum ingin mengalihkan pandangannya ke mana-mana selain Gio dan pertanyaan-pertanyaan yang mengerubungi kepalanya kini. "Gio, maafin Kak Rama ya." Kinan berkata dengan hati-hati sekali.

"Seharusnya bukan elo yang ngomong."

"Kinan yang ngewakilin Kak Rama supaya Gio gak berantem terus sama Kak Rama tau. Ya, Gio ya? Maafin ya?" Kinan menatap Gio dengan tatapan memohonnya sekarang.

"Gue cabut."

Dan Kinan cukup mengerti, Gio belum bisa memaafkan Rama meskipun Kinan juga tidak tahu alasannya apa, namun Kinan mencoba memahami itu pasti masalah serius.

Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya. "Hati-hati ya, Gio."

"Lo yang seharusnya hati-hati."

Senyum Kinan langsung lenyap saat itu juga dan Kinan memilih untuk menunggu Rama di dekat mobil Rama yang terparkir. Di perjalanannya, Kinan menyalakan lagi ponselnya yang ternyata belum ada balasan dari Dean padahal chat-nya sudah terkirim.

Dan Kinan memelankan langkah kakinya ketika matanya menangkap Flora yang sedang berbicara dengan Rama di samping mobil laki-laki itu. Kinan sebenarnya tidak ambil pusing juga perihal Rama yang dekat dengan temannya, tetapi yang membuat Kinan bingung mereka berdua berbicara seperti orang yang sedang marah.

Satu lagi pertanyaan yang muncul di otak Kinan, selain tentang ucapan Gio dan tentang di mana Dean sekarang.

...

Dean memerhatikan Abby yang terlihat berbaring membelakangi Dean. Di kamar gadis itu yang dingin, Dean masih setia untuk menunggu Abby terbangun. Sore tadi, tepat saat Dean sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Pertiwi—Dean akan mengikuti latihan baseball, tiba-tiba Abby menelponnya dengan suara seraknya yang pasti siapa pun tahu bahwa gadis itu sedang menangis. Dan Dean tanpa memikirkan apa-apa lagi langsung menemuinya. Yang Dean sesali, ia meninggalkan ponselnya. Tidak bisa mengabari Kinan juga.

"Aku kira kamu pulang." Suara Abby yang masih saja terdengar serak, menginterupsi pikiran Dean.

Dean menjauh dari jendela dan duduk pada tepi tempat tidur Abby. "Gue buatin lo makan ya. Gue tau lo belum makan sama sekali." Dean sudah akan bangkit jika tangan Abby tidak menahan pergelangan tangannya lebih dulu.

Kepala Abby menggeleng pelan. "Aku mau makannya nanti aja. Kamu jangan ke mana-mana dulu, plis temenin aku di sini," kata Abby penuh harap. Karena yang Abby butuhkan hanyalah seseorang di dekatnya.

Dan Dean mengurungkan niatnya. Melihat Abby yang masih saja terlihat tidak nyaman dan juga pipi kiri Abby yang memerah, Dean mengembuskan napas pelan. "Lo itu cewek kuat yang pernah gue kenal, By. Lo cuma mau buktiin kalo lo bisa ngelakuin apa pun sendiri. Gue kasih tau sama lo ya, lo gak salah. Mungkin mereka aja yang belum paham lo."

Abby menutup kedua matanya perlahan. "Aku nggak tau lagi gimana kalo gak ada kamu."

"Lo gak mau coba terbuka sama Sean? Dia juga berhak tau kan, By?"

Kepala Abby terlihat menggeleng lagi. "Sean nggak perlu tau. Dia bakalan ninggalin aku juga nanti." Kedua mata Abby terlihat menerawang. Di hatinya yang terdalam, Abby tidak bisa menyangkal bahwa apa yang Abby takutkan akan menjadi kenyataan juga.

Mendengar itu, Dean mengalihkan pandangannya ke arah jendela lagi. "Jangan pesimis gitu lah. Gue tau tuh cowok suka banget sama lo. Dia pasti bakalan nerima." Atau setidaknya akan mengerti keadaan Abby. Mengapa Abby tidak menginginkan suatu hubungan di antara dirinya dengan Sean. Mengapa Abby masih saja takut untuk terbuka dengan laki-laki itu.

"Aku yang gak nerima kalo gitu. Aku gak mau bahas ini dulu. Dean, makasih kamu mau temenin aku ya. Makasih juga udah beres-beres kamar aku tadi." Dengan kekehannya yang berusaha Abby keluarkan senormal mungkin, gagal.

Kepala Dean mengangguk. Dan Dean merogoh saku jaketnya dan terlihatlah gelang kaki perak di tangannya kini. "Gue nemuin ini tadi di bawah tempat tidur lo."

Abby mengambil alih gelang kaki pemberian Sean itu dari tangan Dean. Ah, beruntung tidak hilang. Abby menyelipkannya di bawah bantalnya sekarang. Melihat ke arah Dean lagi. "Mamah udah pergi lagi ya?" tanya Abby kemudian.

"Udah, tadi sebelum lo bangun. Tante Ashlyn juga bilang sama gue kalo dia minta maaf, nyokap lo juga bilang gak sengaja nampar lo, By."

Oh. Nggak sengaja ya?

Abby memilih memejamkan matanya sebentar dan mengingat-ingat apa saja yang telah Ashlyn katakan padanya beberapa jam yang lalu.

"Kamu bisanya cuma ngebantah Mamah aja, By!"

"Aku beli ini pake uang aku sendiri, Mah. Aku kerja setiap ada panggilan buat jadi model brand-brand yang bisa ngasilin uang walaupun gak sebanyak yang Mamah punya."

"Udah mulai berani kamu nyahutin omongan Mamah ya!"

"Mamah kayak gini cuma mau yang terbaik buat kamu, By!"

"Lov, Mamah minta maaf. Mamah nggak bermaksud buat ngebentak kamu kayak tadi."

"Aku nggak apa-apa."

"Jangan ngebuat Mamah kecewa."

...

"Terus gimana keadaan Abby?" Geraldi menolehkan kepalanya pada Dean di sampingnya yang sedang mengamati para alumni Pertiwi yang sedang bermain baseball di bawah lapangan sana.

Niat Dean tadinya setelah pulang dari rumah Abby, Dean ingin menemui Kinan tetapi Kinan bilang ditelpon tadi, Kinan sedang pergi dengan Adam dan Kinan akan menelpon Dean jika Kinan sudah pulang ke rumahnya. Dan di sini lah Dean sekarang, menemui teman-temannya yang ternyata belum juga meninggalkan lapangan di jam tujuh malam ini. "Abby udah baikkan kok. Dia lagi istirahat," jawab Dean dengan pandangan yang masih tertuju ke bawah.

Akhirnya Abby ingin makan juga setelah Dean bujuk dan langsung tertidur lagi. Dean tidak meninggalkan Abby sendirian, ada pengurus rumah yang menjaga Abby di sana.

"Kinan juga kayaknya nyariin lo banget tadi. Lo yang ngajakin dia, malah lo yang gak dateng." Itu Reksha yang berbicara. Reksha sudah membersihkan diri, sudah berganti pakaian baru yang selalu laki-laki itu bawa di tas ranselnya.

"Dia nggak kenapa-kenapa, kan?" Dean memberikan Reksha pertanyaan baru, kali ini Dean sempatkan melihat ke arah temannya yang sedang merokok itu.

Kepala Reksha menggeleng. "Cuma nyebelin aja sih, anjingnya ngikut ke mana-mana. Seharusnya lo ngomong dong, Yan. Kasian juga si Kinan." Reksha juga tidak habis pikir sampai segitunya Rama kepada Kinan.

Dean tahu yang dimaksud Reksha adalah Dean semestinya mengatakan pada Rama, tidak perlu untuk menjaga Kinan sampai sebegitunya. Tetapi, di sini Dean juga sadar Rama seseorang yang lebih dulu dekat dengan Kinan. Dean tidak bisa langsung berlagak mengurusi laki-laki itu. Meskipun Dean tidak ingin juga Rama dekat-dekat dengan Kinan.

"Tapi itu bagus kok. Jadi, Kinan bakalan baik-baik aja. Cuma itu yang gue mau juga." Iya, saat Dean berpikir lebih jauh lagi seharusnya Dean juga berterima kasih pada Rama. Karena saat Dean tidak dapat berada di dekat Kinan, masih ada Rama yang bisa menjaga gadis itu. Apalagi sekarang ancaman Matthew akan sering Dean dapatkan. Tidak menutup kemungkinan juga, Kinan akan terkena imbasnya.

"Baik-baik aja tapi bukan lo yang jagain dia?" Geraldi menarik sudut kiri bibirnya setelah mengatakan itu.

Dean lebih dulu mengangkat kedua kakinya yang ia letakkan ke atas bangku di bawahnya itu. Mengubah posisinya hingga senyaman mungkin. "Yang paling penting dia baik-baik aja, Ral." Dean menyahuti perkataan Geraldi dengan sikap santainya.

Geraldi mendengus mendengar ucapan Dean barusan. "Oh ya? Rama bakalan punya peluang lebih dibanding lo, Yan. Gue harap lo gak bego buat nyadarin itu."

Dean hanya menanggapi ucapan Geraldi dengan gumaman dan menutup kedua matanya. Menikmati terpaan halus dari angin malam yang berembus di wajahnya itu.

"Padahal si Gio sama si Rama sama-sama di sini. Tumben amat akur. Tadinya gue pengen ngeliat tonjok-tonjokan gratis. Lumayan hiburan." Lalu, Angga tertawa setelah itu sambil matanya memerhatikan Gio dan teman-temannya yang ternyata sama dengan dirinya yang belum juga meninggalkan lapangan.

Masih menutup matanya, Dean mendengarkan omongan teman-temannya itu. Dan sedikit tertarik juga saat nama Gio disebut.

"Gue harap yang patah ntar lehernya," timpal Reksha ikut tertawa. Dan mengembuskan lagi asap abu-abu pekat itu keudara.

"Gue kasih lo duit, Sha kalo lo berani matahin lehernya."

Reksha menoleh ke arah Angga cepat-cepat. "Leher siapa?"

"Si Rama!"

"Tapi buat apa juga gue matahin lehernya si Rama? Gak ada pengaruhnya anying di hidup gue." Reksha geleng-geleng. Udah gila kali si Angga.

Angga terdiam sebentar, tampak berpikir. "Bener juga lo. Yaudah gak jadi."

"GOBLOK!" Reksha tidak bisa menahan untuk tidak langsung mengeluarkan kata itu dari mulutnya untuk Angga. Bener-bener gobloknya udah mendarah daging nih si kunyuk!

"Mana yang namanya Gio?" Dean yang kali ini mengeluarkan suaranya kembali.

Reksha hampir tersedak asap rokok di dalam mulutnya itu. "Wah ada apaan nih? Lo mau patahin lehernya si Gio?"

"Jangan didengerin omongan si Reksha, Yan. Tuh yang lagi ngeliat ke arah sini."

Dean melihat Gio yang Angga beritahukan padanya itu. Teman-teman Dean salah. Karena bukan Rama yang seharusnya Dean khawatirkan.

...

"Hei." Dean langsung menyapa Kinan saat dilihatnya Kinan sudah berdiri di depannya dengan wajah yang terlihat kesal itu. Dean tidak bisa menyangkal juga bahwa Dean salah membuat gadis itu menunggu. Setelah pulang dari Pertiwi, Dean menyempatkan untuk membeli donat rasa green tea kesuakaan Kinan dan di sini lah Dean sekarang di depan pintu rumah Kinan.

Dan yang Dean lakukan ketika Kinan masih membungkam mulutnya adalah menarik ujung rambut Kinan dengan pelan. "Mau makan donat green tea kesukaan lo?" Dean mengulurkan kardus kotak yang ia pegang sedari tadi ke arah Kinan.

Kinan melirik ke arah kardus di tangan Dean dan beralih mendongak lagi untuk melihat wajah Dean di hadapannya. Kinan masih diam saja.

"Oke. Gue pulang aja kalo gitu." Dean tidak benar-benar dengan perkataannya barusan. Dan ternyata berhasil juga, Dean merasakan tangan Kinan di lengannya.

"Jangan pulang, Kak Dean!" Rengekkan Kinan terdengar. Menarik lengan Dean untuk masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu utama. Sebelum akhirnya mengambil alih kardus kotak yang Dean pegang dan juga gelas kertas yang sudah dapat dipastikan isinya kopi hangat.

"Iya, gue gak pulang. Om Adam mana?" Dean harus menemui Adam juga kan saat berkunjung ke rumah Kinan.

Dengan kaki telanjangnya, Kinan berjalan menaikki anak tangga. "Ayah lagi nganterin temennya ke bandara, Kak Dean temenin Kinan sampe ayah pulang ya. Ayo, nunggu di kamar Kinan aja. Kinan lagi beres-beres kamar, takut Ayah marah lagi kayak kemaren." Tanpa menunggu jawaban dari Dean, Kinan dengan cepatnya berjalan ke arah kamarnya.

Setelah meletakkan kardus donat dan minuman yang Dean bawakan ke atas nakas, Kinan masuk lagi ke dalam kamar mandi. Dean memilih untuk langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang sudah terlihat begitu rapi. Melihat langit-langit polos kamar Kinan sambil menunggu gadis itu selesai dengan kegiatannya.

"Sekalian beresin kamar gue dong, Nan." Dean mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar Kinan, dan memang terlihat rapi.

"Wani piro?" Kinan tiba-tiba muncul di sampingnya dengan rambut yang sudah Kinan ikat menjadi bun memperlihatkan lehernya itu.

Dean tidak menyahuti perkataan Kinan lagi, karena Dean langsung mendudukkan tubuhnya dan Kinan naik ke atas tempat tidurnya. Bersandar pada headboard dan mulai menyesap kopi hangat yang Dean belikan untuknya. "Kok gak ada sedotannya, Kak Dean?"

"Sengaja gue gak ambil sedotannya. Lo tau karena apa kan? Jadi, gimana tadi ekskul pertama lo?"

Sebelum menjawab, Kinan membuka kardus di depannya dan mengeluarkan donat itu dari sana. "Kinan tadi gak terlalu fokus sama latihannya. Kinan sama temen baru Kinan namanya Windi lebih milih buat maen lari-larian sama foto-foto. Bagus banget Kak Dean foto-foto di sana, Kinan baru tau." Kinan mulai berceloteh.

"Capek?" tanya Dean.

Kepala Kinan mengangguk. "Kaki Kinan sakit." Itu juga pasti akibat dari Kinan yang jarang sekali berolahraga.

"Yang mana?" Dean bertanya lagi.

"Dua-duanya."

Dean membawa kedua tangannya ke kaki kanan Kinan terlebih dahulu. Memijat kaki Kinan pelan-pelan. "Bilang kalo sakit ya?" Dean melihat Kinan mengangguk lagi. "Terus lo diomelin?" lanjut Dean.

"Kak Rezvan kayaknya marah juga sama Kinan, minggu besok Kinan mau minta maaf."

"Kalo lo jago nanti lo bakalan tanding sama sekolah lain. Keren kan?" Dean berkata seperti itu sambil sesekali melihat tangannya yang masih memijat kaki Kinan itu.

"Kak Dean, pernah ya?"

"Di SMA gue dulu."

Kinan mengeluarkan senyumannya. "Kinan tim nontonin Kak Dean tanding aja deh!"

Dean hanya manggut-manggut.

"Jadi, Kak Dean tadi ke mana?" Kinan membuka topik pembicaraan baru. Agak kesal juga sih sebenarnya menunggu balasan pesan singkat yang Kinan kirim. Menunggu kehadiran Dean di lapangan.

Dean beralih mengusap kaki Kinan perlahan. "Temen gue lagi butuh gue banget, Nan. Gue gak bisa ninggalin dia sendirian. Hape gue juga ketinggalan tadi di kamar. Sori ya," jelas Dean dan memang seperti itu kenyataannya.

"Kinan kira Kak Dean kenapa. Baik-baik aja kan temennya, Kak Dean?" tanya Kinan kembali dan meletakkan kardus donatnya di tempat semula.

"Iya, dia baik-baik aja. Makasih udah nanyain itu, Nan."

Kinan mengangguk dan bergeser sedikit saat Dean ikut berbaring di sampingnya. Kinan melihat, Dean sedang mengamati lagi langit-langit kamarnya sebelum akhirnya melihat ke arah Kinan yang tidak sempat mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Kinan tertangkap basah memerhatikan Dean.

"Apa?" Dean mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi.

Kinan mengenyit. "Ya, apa?"

Dean menyentuh helaian rambut Kinan. Memainkannya sebentar. "Lo mau ngomong apa?"

Kepala Kinan menggeleng dua kali. "Kinan nggak mau ngomong apa-apa."

"Oke, gue yang ngomong ya?"

"Iya. Apa?" Kinan merasakan tangan dingin Dean kini bergerak menyentuh rambut Kinan, sisi wajah Kinan lalu permukaan kulit lehernya dan meraih tengkuk Kinan dengan gerakan lambatnya itu untuk semakin membuat Kinan menunduk. Kinan memegang bahu Dean pelan.

"Sini gue bisikin."

"Apaan sih, Kak Dean?" Kinan menundukkan kepalanya lagi. Merasakan bagaimana dekatnya bibir Dean di telinganya itu. "Geli, ih." Kekehan Kinan terdengar sekarang.

Dean membuat Kinan agar lebih dekat ke arahnya. Membisikkan sesuatu di sana. Kinan tersenyum saat mendengar kata-kata Dean itu.

"Denger nggak yang gue bisikin?" Dean mendorong pelan leher Kinan untuk menjauh dari dirinya. Walaupun Dean ingin menghirup dalam-dalam wangi manis Kinan, lama. Tapi tidak bagus juga kan untuk dirinya?

Kinan sudah kembali duduk. "Iya." Senyumannya belum juga pudar dari wajahnya itu.

"Apa?" Dean bertanya, memastikan.

Kinan terlebih dahulu membaringkan tubuhnya. Menatap mata Dean di depannya juga beberapa saat. Tangan Kinan lalu memeluk leher Dean dan berbisik, "Kinan juga sayang Kak Dean."

Dan Kinan sudah akan duduk lagi, tetapi saat tangan Dean menahan tengkuknya. Kinan yang tidak bisa ke mana-mana lagi merasakan bagaimana lembutnya kecupan Dean di sana. Itu hanya sebentar, leher Kinan didorong pelan lagi oleh Dean untuk menjauh.

Iya, sebentar.

"Tadi lo nge-Line gue ya?"

"Sampe sekarang belom Kak Dean bales chat Kinan. Sombong banget!" Kinan lalu mendengus pelan.

"Yaudah gue bales sekarang. Liat hape lo."

Kak Dean : Kak Dean, sekarang lagi dimana?
Send. 05.36 pm.

Itu chat Kinan tadi. Lalu, Kinan melihat Dean mengetikkan sesuatu di ponselnya yang entah apa Kinan tidak bisa melihat karena Dean menutupi sebagian layar ponselnya itu. Kinan menggigit bibir bawahnya menahan senyum. Dan saat ponselnya bergetar, Kinan langsung membuka balasan pesan singkat dari Dean.

Kak Dean : Lagi di deket cewek gue.
Read. 21.44 pm.

cewek gue, Yan? Azeeq

Berikan komentarmu untuk part ini gais :))

Udah part segini menurut kalian Lines itu gimana sih?🙈🙈

Kalian ngeship siapa juga di Lines?

Aku buka sedikit-sedikit dulu ya kode-kodenya eheheehe

Jadi, satu kata untuk part ini?

Untuk Kinan?

Dean?

Gio?

Rama?

Karena aku belum pernah upload foto karakter dari temen-temennya Dean, so here we go..

[ Angga ]

[ Reksha ]

[ Geraldi ]

Revisi dikit ehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro