act like you love me
Bagian 30 |
I wake up wishing everything was
just a dream
Ini part buat yang nunggu aja✨✨
Jangan lupa vote dan komennya ehehhee
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Ini dia si tukang tidur."
Kinan mengusap kedua matanya yang masih saja terlihat sembab. Setelah menangis hingga ketiduran ditemani Ayahnya—itu karena pergi bersama Dean tadi sore dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul 19.10 pm. Di rumahnya sekarang lebih tepatnya di dapur sudah terlihat Rama dan Adam di sana. Tadinya niat Kinan ingin mengambil air minum untuk di bawa ke kamarnya. Suaranya masih serak.
"Anna udah bangun dari tadi," sangkal Kinan dan Rama malah menarik dirinya ke dalam pelukannya itu. Mendekap Kinan erat-erat seraya tertawa. Kinan sendiri mencoba melepaskan tubuhnya dari kukungan Rama. "Anna gak bisa napas, Kak Rama!"
Rama langsung melonggarkan kedua tangannya itu. "Capek gak nangis?" tanya Rama. Kedua matanya mengamati Kinan yang sekarang sedang menuangkan air mineral ke dalam gelas berukuran besar. Rama tahu Kinan menangis ya karena siapa lagi jika bukan Adam yang memberitahukan dirinya.
Saat ini juga Adam sedang membuat cupcakes—sebagai permintaan maaf untuk Kinan dan juga berharap Kinan tidak akan sedih lagi. "Ann, mau bantu Ayah?" Kini Adam yang angkat bicara. Di depannya sudah ada dua wadah berisikan krim putih.
Kinan tidak perlu repot-repot untuk menjawab pertanyaan Rama tadi. Dengan kedua tangan yang ia eratkan di gelas, Kinan menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya Kinan tidak marah pada Ayahnya hanya saja Kinan belum bisa menerima apa yang sudah Ayahnya lakukan di belakangnya itu. Tetapi tetap saja sekecewa apa pun Kinan pada Adam, Kinan tidak akan pernah bisa berlama-lama mendiamkan Adam. Kepala Kinan terlihat mengangguk. Senyum Adam terlihat.
"Anna tinggal aduk krim yang ini sama yang ini. Ayah udah kasih pewarna makanannya. Kuning sama pink kesukaan Anna." Adam memberikan intruksi, sedang dirinya sekarang mengeluarkan cupcakes dari oven. Meletakkannya di meja samping Kinan.
"Kak Rama bantuin sini." Tangan Rama mendekatkan satu wadah krim yang berwarna kuning itu. Mengaduknya perlahan dengan satu gerakkan memutar dengan arah yang sama.
Kinan menoleh ke arah Rama sebentar dan menemukan warna merah keunguan di rahangnya. Itu pasti karena pukulan Gio. Kinan meringis. "Sakit gak, Kak Rama?" Kinan tidak bisa menahan untuk tidak bertanya. Dan ketika jarinya sudah akan menyentuh rahang Rama yang lebam itu, tangan Rama menepisnya pelan.
"Gak sakit, Ann." Rama memberikan senyum tipis di akhir kalimat.
Untuk seseorang yang Kinan sayangi, tentu saja Kinan sedikit marah pada Gio yang sudah Kinan peringatkan untuk tidak memukul Rama dan malah melakukan hal sebaliknya.
Tadi sebelum Kinan memutuskan untuk keluar dari kamarnya sebenarnya Kinan baru saja menutup facetime dari Gio. Untuk hal itu, Gio menepati janjinya. Kadang Gio bahkan lupa dengan perkataannya beberapa menit yang lalu. Dan Kinan mulai memperingatkan Gio lagi untuk tidak berkelahi dengan Rama. Semoga saja Gio ingat itu, karena bagaimana pun juga Rama adalah orang yang paling dekat dengan Kinan sendiri.
"Kok Kak Rama gak ke rumah Ola? Tadi Ola nge-chat Anna kalo Ola sendirian di rumahnya." Kinan membuka suaranya lagi, kali ini tangannya sibuk menaruh buttercream ke atas cupcake itu dengan hati-hati. Lalu menaburkan serutan dari cokelat batang ke atasnya dan selesai.
Rama mengikuti pergerakkan Kinan di sampingnya. Laki-laki itu mengernyit. "Ola?" Rama mengulang nama yang Kinan sebutkan tadi. Memastikan bahwa Rama tidak salah dengar.
Kepala Kinan mengangguk. "Iya, Ola."
Baru lah kali ini Rama melihat ke arah Kinan. Rama berdeham pelan. "Anna udah—"
"Iya, Anna udah tau," tukas Kinan cepat. Maksudnya sudah tahu bahwa Rama dan Flora berpacaran. Kinan melihat ekspresi Rama berubah menjadi agak terkejut.
"Tau apa tuh?" Adam baru saja mengambil piring putih besar itu dan meletakkan di atas meja, ikut nimbrung. Kemudian, menata cupcakes yang sudah Rama dan Kinan selesaikan.
"Kak Rama udah jadian sama Ola, Yah." Setelah mengatakan itu, Kinan menyeringai ke arah Rama.
Adam melihat ke arah Rama juga. Senyumannya terlihat. "Pantesan ya, Ann sekarang Kak Rama sibuk mulu." Itu memang sindiran.
Kinan menyetujui. "Tapi Anna seneng, Yah karena pacarnya Ola. Jagain Ola ya, Kak Rama. Awas aja sampe Anna tau kalo Ola nangis karena Kak Rama!" Kedua mata Kinan menyipit ke arah Rama. Mencoba memperingatkan.
Rama hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Kalo Anna mau tau itu Ola sendiri yang mau backstreet, jadi Kak Rama gak bisa ngasih tau Anna," jelas Rama dengan suara pelan dan melanjutkan kegiatannya untuk menaburkan serutan cokelat itu.
"Besok Ola ajak dinner aja di sini. Terus Anna bawa pacar Anna deh."
Perkataan Adam barusan langsung mendapatkan gelengan dari Kinan. "Enggak, Yah."
Sekarang gantian, Rama yang menyeringai ke arah Kinan.
Rama 1 : Kinan 1
Melihat ekspresi kesal dari putrinya, Adam hanya tertawa dan mendengar suara bel berbunyi. "Ayah mau keluar sebentar."
Pasti Rama langsung bertanya lebih lanjut perihal ucapan Adam tadi.
"Oh udah ngasih tau Ayah ya udah punya pacar sekarang?"
Tuh kan!
Kinan memutar kedua bola matanya. "Apaan sih? Enggak." Dan menata ulang cupcakes di piring besar di depannya.
"Siapa tuh?" Rama masih saja terus bertanya walaupun tahu wajah Kinan kini sudah menunjukkan raut yang super bete.
"Anna gak mau jawab." Kinan memandang Rama dengan agak kesal sekarang dan melihat Ayahnya yang sudah muncul lagi di depan mereka berdua.
"Ada Dean di depan tuh, Ann. Inget ya jangan nangis lagi." Dan Adam langsung mencium puncak kepala Kinan.
Menanggapi itu, Kinan hanya menganggukkan kepalanya saja. "Kak Rama, diem aja di sini gak usah keluar-keluar!" kata Kinan lagi-lagi memperingatkan dan membawa satu cupcake di tangannya. Sebenarnya Kinan tidak menyangka juga Dean akan ke rumahnya malam ini. Kinan kira Seniornya itu masih kesal dengan Kinan.
Dan kedua mata Dean masih mengamati pagar hitam di sampingnya itu hingga sosok Kinan muncul. Kinan menundukkan kepalanya seperti enggan melihat ke arah Dean. Dean yang sedang bersandar pada pintu mobil langsung menegakkan tubuhnya.
"Nih buat Kak Dean." Tanpa sapaan atau apa pun, Kinan mengulurkan tangan kanannya yang terdapat satu cupcake di sana. Belum ingin juga melihat ke arah Dean di depannya itu. Kak Dean masih kesel gak ya? Hanya itu memang yang Kinan pikirkan.
Dean menerima cupcake yang Kinan berikan padanya dengan baik. Melihat kue itu di tangannya dan melihat ke arah Kinan lagi secara bergantian. "Ini yang buat lo apa Om Adam?"
Ditanya seperti itu, Kinan mulai mendongakkan kepalanya. Memerhatikan Dean yang sudah melihatnya lebih dulu. Untuk seseorang yang sangat cuek dengan penampilan, Dean justru terlihat menarik hanya mengenakan kaus abu-abu dengan luaran jaket denim yang sering Dean gunakan.
Dan dengan senyum yang begitu mudah untuk Kinan keluarkan, Kinan menjawab, "Kinan yang buat!"
"Bener nih?" Dean membuka sedikit kertas di kue itu dan menggigitnya kemudian. Matanya lalu melihat ke arah Kinan dengan satu alis terangkat tinggi.
"Iya-iya.. Kinan cuma bantu Ayah buat krim sama naburin cokelat-cokelatnya aja." Kinan menjelaskan. Dan memerhatikan Dean yang memakan lagi cupcake itu. Kinan mendekat. "Enak?" tanyanya.
"Buatan Om Adam gak pernah gak enak."
Mendengar ucapan Dean, senyum Kinan tercetak jelas di wajahnya lagi. Kali ini lebih lebar. Dean melihat itu.
"Lo gak mau nanya dulu kenapa gue ke sini?" Dean membuka topik baru.
Masih dengan senyumannya Kinan menyahut, "Kenapa?" Dan membawa tangannya mendekat ke arah Dean saat dilihatnya ada krim yang tertinggal di sudut bibir Dean itu.
Dean merasakan ibu jari Kinan mulai mengusap sudut bibirnya perlahan. "Mau mastiin kalo lo baik-baik aja, Nan." Dan menyingkirkan tangan mungil Kinan untuk kemudian Dean genggam erat-erat. Rasanya masih sama; hangat dan tentunya nyaman berada di dekat Kinan seperti ini.
"Kenapa langsung nangis tadi? Lo buat khawatir, lo tau?" Suara Dean memelan, melanjutkan.
"Kinan udah gak apa-apa kok, Kak Dean."
Tetapi dari jarak sedekat ini, siapa pun bisa melihat bahwa Kinan masih terlihat tidak baik-baik saja. "Mata lo masih merah." Itu setelah Dean memerhatikan lekat-lekat Kinan di hadapannya. Kedua mata Kinan juga sembab.
Kinan mencoba untuk melihat lawan bicaranya. "Ini karena Kinan ketiduran tau," sahut Kinan dan mengusap matanya itu dengan tangan satunya yang bebas.
"Karena capek nangis?"
Seperti pertanyaan Rama tadi. Kinan menggeleng. "Kinan buat Kak Dean kesel lagi ya?" Malah Kinan memberikan Dean pertanyaan baru.
"Enggak, Kinan." Dean menjawab dan berpikir juga Kinan menanyakan hal itu terus-menerus. Sebegitu takutnya kah? Dan demi mencairkan suasana yang mulai agak kaku, Dean mengatakan, "Tadinya gue mau ngajak lo beli donat rasa green tea, tapi Om Adam udah buat cupcakes." Dan mengangkat kue di tangannya itu yang tinggal sedikit.
Mata bulat Kinan agak membesar. "Sama ngeliat Sergio?"
Dean beralih untuk menarik ujung rambut Kinan yang tergerai itu. "Gak bisa sekarang udah malem. Beli es krim stoberi aja mau?" Dikarekan Dean juga tahu pasti mood Kinan sedang buruk dan untuk memenuhi keinginan Kinan tadi sore, kenapa tidak.
Dengan sisa senyumannya Kinan mengangguk dua kali. "Mau. Tapi Kinan mau ambil uang dulu di kamar."
"Gak usah, kelamaan ntar. Gue yang traktir, karena udah di kasih cupcake enak." Dean memasukkan gigitan terakhir kue di tangannya dan langsung membuang kertas yang membungkus cupcake tadi ke tempat sampah.
"Beneran?" tanya Kinan memastikan.
"Kapan gue bercanda sih sama lo, Nan? Ayo, ke minimarket sekarang."
Kinan memilih untuk bungkam. Melihat Dean yang berjalan di sisinya tetapi dinding yang menjulang tinggi itu mencoba memperingatkan Kinan untuk tidak perlu bersusah payah melewati. Biarlah nanti dengan sendirinya dinding itu roboh ketika Dean menginginkannya juga.
Funny, right? Di saat Kinan mempunyai seseorang yang dengan begitu terbukanya pada Kinan. Menuruti kemauan Kinan walaupun sebelumnya dia menentang keras. Tetapi justru Kinan perlahan-lahan melewati garis itu, meski tidak banyak.
Sebut Kinan jahat, saat kenyataan malah memutar balikkan semuanya. Lalu, Kinan harus bagaimana? Melanjutkan semuanya yang ia mau atau menghapus garis-garis itu?
"Kak Dean." Kinan mencoba menyamai langkah kaki Dean di depannya. Menarik ujung jaket Dean juga. Dan itu berhasil membuat Dean menyamai langkah kakinya.
Dean tidak mengeluarkan suaranya hanya melihat ke arah Kinan sambil terus berjalan. Menunggu Kinan mengatakan apa yang ingin gadis itu beritahukan padanya.
Kinan menghela napas pelan. "Tadi sore pas Kinan nangis itu.. Kinan ngerasa bersalah sama Kak Dean. Kinan udah buat Kak Dean kesel terus. Kinan gak mau aja kalo Kak Dean marah. Soalnya Kinan bakalan keinget sama Bunda. Kinan takut banget kalo ada orang yang deket sama Kinan terus orang itu marah. Kinan gak mau." Kepala Kinan menggeleng pelan. Sebisa mungkin untuk mementalkan pikiran yang sudah lama menggerayangi kepalanya.
Dan menekan dalam-dalam hal yang ingin sekali Kinan keluarkan saat ini juga.
Dean memelankan langkah kakinya. Mengamati Kinan dengan pandangan tidak percaya. Padahal sudah berkali-kali Dean memberitahukan Kinan bahwa Dean tidak kesal sama sekali. "Pantesan jadi cengeng banget lo." Dean menarik lagi ujung rambut Kinan. Mencoba untuk mengalihkan Kinan agar gadis itu tidak menangis lagi. Terlihat juga dari matanya yang sudah berkabut.
Dan itu berhasil. Dean melihat Kinan tersenyum lebar seraya menepuk bahu Dean dengan tenaga yang tidak seberapa. Dean kira Kinan akan mengatakan hal lain. Ternyata Dean salah ya. Tetapi bukankah itu bagus?
"Tadinya Kinan gak mau nangis, ih! Kak Dean-nya aja nyebelin tiba-tiba cuek banget sama Kinan. Dingin juga. Kalah tuh gunung es di Antartika sama sikapnya Kak Dean!"
Dan Kinan sudah menjadi Kinan yang memang Dean kenal.
"Emang ya?" Dengan jailnya, Dean bertanya.
Dengan nada yang agak keras Kinan menjawab, "Iya!"
"Udah pernah lo ke sana ngerasain dinginnya?"
Kinan menggeleng pelan. Entah dia sadar atau tidak, tangannya masih berada di jaket Dean. "Belum sih. Tapi pasti dingin!"
Dean mendorong kepala Kinan pelan dengan jari telunjuknya, setelah mendengar ucapan Kinan barusan. Saking gregetnya. "Yaiyalah dingin."
"Bener kan Kinan berarti?" tanya Kinan seraya berjalan mundur di depan Dean persis. Mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Dean itu.
"Iya, lo bener."
Senyuman Kinan terlihat lagi. Dan berjalan di samping Dean kembali. Mereka sudah akan sampai di minimarket. "Kinan gak jadi mau beli es krim deh, Kinan mau beli kuaci rasa green tea aja."
"Beneran gak mau? Mood lo udah bagus emangnya?" Dean memerhatikan Kinan di sampingnya yang sedang mengangguk.
"Udah. Kinan mau nonton film serem."
"Nonton film di mana?" tanya Dean lagi.
"Di kamar."
"Sendiri?"
Kali ini Kinan melepaskan tangannya dari jaket Dean. "Iya, sendiri. Ayah mah gak akan berani."
"Yaudah, nonton yuk berdua sama gue besok."
Kinan yang ingin mendorong pintu kaca di depannya langsung terdiam. "Apa, Kak Dean?"
"Nonton berdua sama gue, Ann."
Ann.
...
Nyatanya, di jam sembilan malam ini Kinan malah menutup kedua matanya rapat-rapat. Tidak jadi untuk menonton film yang direkomendasikan Flora. Kuaci rasa green tea yang dibelikan Dean juga tidak Kinan sentuh. Masih utuh di atas nakas. Entah karena lelah atau apa Kinan memutuskan untuk langsung tidur. Kinan merasakan tempat tidurnya bergerak, Kinan membiarkan. Matanya tidak ingin terbuka.
"Kinan."
Bisikan itu lalu terdengar memanggil namanya. Berkali-kali. Kinan melawan rasa kantuknya itu dan mengubah posisi tidurnya menghadap ke arah kiri. Kedua matanya pelan-pelan terbuka. Dan terlihatlah sosok yang tidak Kinan kira akan berada di kamarnya saat ini. Matanya langsung terbuka lebar. "Gio?!" pekik Kinan.
Gio meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya itu. Mengisyaratkan Kinan untuk memelankan suaranya. "Sttt. Iya, ini gue." Dan dengan santainya Gio membaringkan tubuhnya di samping Kinan. Kinan memilih untuk mendudukkan tubuhnya itu.
"Kok bisa ada di kamar Kinan?" Kinan bertanya dengan berbisik. Takut Ayahnya dengar. Jangan sampai Ayahnya tahu.
Dengan jari telunjuk yang mengarah ke kirinya Gio menjawab, "Lewat jendela, tuh."
"Bisa?"
Gio mengangguk. "Kalo gak bisa gue gak akan ada di sini, Ki."
Menanggapi itu, Kinan manggut-manggut. Ini pertama kalinya dari sekian lama Kinan melihat Gio di rumahnya. Di kamarnya. Segitu beraninya Gio sekarang. Kinan saja sampai kaget melihat Gio ada di dekatnya kini. Bagaimana jika Rama tahu?
"Ah iya. Gio, ngapain ke sini?" Masih berbisik Kinan bertanya lagi.
Menyahuti pertanyaan Kinan, Gio lebih dulu melepaskan jaket hitamnya itu. Masih berbaring dengan kepala menghadap ke arah Kinan, Gio malah memberikan Kinan pertanyaan baru. "Lo nangis lagi? Mau cerita?" Karena tadi saat facetime dengan Kinan, Gio melihat mata Kinan sembab. Suara Kinan juga serak. Gio tentu saja ingin tahu penyebabnya.
"Nanti Kinan ceritanya. Kaki Gio udah gak kenapa-kenapa?" Kedua mata Kinan beralih melihat kedua kaki Gio yang dibalut celana jins hitam dan sepatu yang tidak Gio lepaskan itu.
"Lo gak liat gue kemaren lari pas Olahraga? Kaki gue udah gak kenapa-kenapa, Ki." Senyum Gio lalu terlihat memberitahukan Kinan untuk tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Dan yang Gio lakukan sekarang adalah meletakkan sisi wajahnya di atas kaki Kinan itu.
"Gio, mau cupcake gak?" Kinan bertanya seraya tangannya mengelus rambut tebal Gio di atas kakinya. Berulang-ulang.
Gio mengangguk. "Mau. Laper juga gue."
Kinan mulai mendekatkan wajahnya itu ke telinga Gio. "Gio mau makan nasi aja? Ayah tadi masak Ayam pedes manis. Mau gak?"
"Mau cupcake aja." Setelah menjawab, Gio mengubah posisinya lagi. Menghadap ke arah Kinan lagi. Tangan kanannya terangkat dan menyentuh pelan-pelan bawah mata Kinan. Mengusapnya perlahan.
"Jelek banget mata lo kalo abis nangis begini. Jangan keseringan nangis makanya!" Dengan wajah yang Gio buat untuk terlihat sedang kesal itu, Gio berujar. Semua orang punya cara tersendiri untuk menunjukkan rasa perhatiannya pada orang yang mereka sayang. Dan ini lah cara Gio.
Kinan memberenggut. "Kinan juga kalo gak mau nangis gak akan nangis kok!"
"Yaudah gak usah sewot gitu dong muka lo." Dan Gio mulai terkekeh pelan kemudian beralih membawa tangannya ke tengkuk Kinan untuk membuat Kinan mendekat ke arahnya. "Jangan keseringan nangis lagi, Ki. Kan udah janji juga, oke?"
Dengan tak kalah berbisik Kinan menjawab, "Iya, Gio." Lalu, Kinan menyandarkan kepalanya pada headboard. Gio masih memerhatikan dirinya. Kinan menangkat kedua sudut bibirnya perlahan.
Gio mengernyit. "Kenapa lo senyam-senyum?" tanyanya seraya jari-jarinya bergerak di atas kaki Kinan dengan gerakkan lambat.
"Seneng aja." Kinan memperlebar senyumannya itu.
Sebelah alis Gio terangkat. "Karena?"
"Ada Kelvin di sini."
Mendengar itu, Gio menghentikan gerakkan tangannya itu. "Gue gak suka dipanggil begitu." Dan menatap Kinan lurus-lurus.
"Tapi Kinan suka."
"Gue enggak."
"Bodo." Kinan mengikuti cara Gio menanggapi ucapannya itu. Dan Kinan menunduk, berbisik di telinga Gio. Memanggil nama laki-laki itu berkali-kali. "Kelvin. Kelvin. Kelvin."
"Shut up." Gio menutup mulut Kinan dengan satu tangannya itu. Dan Gio rasakan adalah gigitan Kinan di tangannya.
"Curang maennya gigit-gigittan ya lo."
"Bodo." Kinan menyahut.
"Baru tau enaknya ngomong bodo ya?"
"Iya. Gara-gara Gio."
Gio menggelengkan kepalanya. "Tapi gak boleh ngomong gitu sama Ayah lo, Ki. Nanti gue diomelin lagi."
"Bodo." Kinan menahan untuk tidak tertawa sekarang.
Gio menarik sudut kiri bibirnya sedikit. "Sekali lagi lo ngomong gitu lo bakalan dapet hadiah."
Oke.
"Bodo."
Hadiah yang Gio maksud membuat Kinan terdiam. Gio mencium pipinya berkali-kali. Mengingatkan Kinan dengan Dean lagi. Hingga Gio menjauh dari dirinya pun, Kinan masih tetap diam.
"Gue mau cupcake-nya sekarang." Gio berujar sambil tangannya mengambil ponsel Kinan yang memang sedang berada di dekatnya itu.
Merasa tidak direspons, Gio berkata lagi. "Ki, cupcake-nya."
Kinan mengerjap. "Oh. Iya-iya. Jangan ke mana-mana ya, Gio. Di sini aja!" ucap Kinan dan perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Melihat Gio yang masih memainkan ponselnya itu.
"Iya, Ki. Gue di sini." Gio menyempatkan untuk melirik ke arah Kinan dan tersenyum tipis ke arah gadis itu.
Dan Kinan mulai memutar kenop pintu kamarnya. Berjalan dengan langkah paling pelan untuk sampai ke dapur. Melihat pintu kamar Ayahnya yang tertutup rapat. Kinan mulai membuka pintu lemari pendingin dan membawa tiga cupcakes dengan piring yang Kinan ambil dari rak.
"Ann, kok belum tidur?"
Hampir saja Kinan menjatuhkan piring di tangannya itu mendengar suara berat Adam di belakangnya. "Ayah, kok belum tidur?!" Kinan memberikan Adam pertanyaan yang sama.
"Ayah emang dari tadi gak tidur. Nonton TV di ruang tamu." Adam membalikkan gelas kaca di depannya itu untuk ia tuangkan air mineral ke dalamnya.
Kinan agak melotot. "Dari tadi Ayah gak tidur?" Ayah denger suara Gio gak ya?
"Iya. Kamu mau Ayah temenin?"
Dengan cepat Kinan menjawab. "Enggak usah, Yah. Anna mau ke kamar sekarang. Jangan tidur malem-malem ya, Yah." Dan memberikan kecupan di pipi Adam sebelum akhirnya menjauh dari area dapur.
"Ini bawa botol minumnya sekalian." Adam menghentikan langkah kaki Kinan dan memberikan botol air mineral ke tangan putrinya itu setelah dilihatnya cupcakes di tangan Kinan.
"Ah iya. Inget, Yah. Jangan tidur malem-malem!"
"Iya, Anna juga."
"Sippp!" Kinan buru-buru melangkahkan kakinya ke dalam kamar lagi dengan degupan jantung yang masih berdetak dua kali lebih cepat.
"Untung aja!" kata Kinan dan meletakkan piring yang ia pegang dan botol air mineral ke atas nakas. Cepat-cepat juga mengunci pintu kamarnya.
"Kayak dikejar setan lo. Kenapa sih?!"
Kinan melihat ke arah Gio kini. "Ih Gio ngatain Ayah Kinan setan ya!"
"Eh, gak gitu. Lo ketemu Ayah lo?" Gio mengubah posisinya menjadi duduk. Menarik tangan Kinan untuk duduk di sebelahnya juga.
"Iya, Ayah ternyata belum tidur. Nih cupcakes-nya. Abisin pokoknya!" Kinan memberikan Gio piring berisikan tiga cupcakes itu yang langsung Gio makan.
Gio memperlihatkan senyumannya lagi melihat wajah ketakutan Kinan. "Udah baikkan sama Om Adam?"
"Kinan gak marahan sama Ayah, Gio. Besok Kinan mau pergi juga sama Ayah dong pulang sekolah."
"Ke mana tuh?" Gio memandang Kinan di sampingnya. Kinan terlihat senang sekali. Gio mau melihat Kinan seperti ini terus.
"Ngopi bareng terus beli waffle di Chloe's deh," jawab Kinan dengan nada cerianya.
"Oh ya? Lo seneng?"
"Banget." Kinan menganggukkan kepalanya.
"Gue seneng kalo lo seneng, Ki."
Kinan menanggapi ucapan Gio dengan memeluk leher laki-laki itu. "Gio kayak gini aja terus biar Kinan seneng." Tak lama Kinan merasakan Gio menganggukkan kepalanya.
"Iya. Gue mau makan susah nih kalo lo meluk gue kayak gini. Lepasin dulu."
Kinan melepaskan kedua tangannya dan tertawa pelan. Memerhatikan Gio yang sedang melihat ponselnya kembali. Gio sedang membuka kontak Line di ponsel Kinan.
Sekali lagi, perasaan memang tidak bisa dibohongi. Dan benar saja Gio melihat satu kontak yang langsung membuatnya terdiam beberapa saat. Nama kontaknya Kak Sean pake S. Gio membuka poto profil kontak itu dan tidak salah lagi. Ini Sean yang Gio kenal. Ada tato juga di lengan laki-laki itu.
"Ki, lo kenal sama nih orang?" Gio memperlihatkan layar ponsel Kinan ke si empunya.
Kinan menganggukkan kepalanya. "Itu kan Kak Sean. Kinan kenal kok. Baik lagi sama Kinan."
Gio menggeleng samar. "Kenal di mana?"
"Itu.. pas pulang sekolah di depan gerbang. Kak Sean juga yang benerin tas Kinan yang rusak. Terus pernah ketemu juga di depan rumah Elara."
"Dia baik sama lo?" Gio bertanya lagi.
Kinan mengangguk lagi.
Apa lagi ini?
Dan harapan Gio hanya satu;
Semoga Sean tidak tahu.
Mau curhat lagi ah. Beberapa hari ini aku gak ngetik sama sekali gais. Gak ada ide juga;( kzl banget. Tapi akhirnya nyoba buat ngetik ye kan, dapetnya yaa begini hm. Semoga suka deh;")
Yang minta scene Kinan-Dean banyak udah ya. Suka gak?
Yang minta Kinan-Gio juga udah panjang ya. Suka gak?
Ada yang tau gak konflik Lines bakalan kayak gimana?☺️☺️
Dan siapa juga yang jadi pemeran antagonisnya ya?😏😏
Oke, lanjut gak?
[ cupcake anyone? ]
Lines udah 102K reads tengkyu tengkyu yang udah mampir ke sini💖💖💖💖
Revisi cyin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro