2 soon
Bagian 57 |
call me up, stay over. And we'll
call it love
Enjoy
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
Gio menjauhkan ponselnya dari telinga, setelah Anneth menutup panggilan di seberang sana. Hoodie putihnya, Gio lampirkan ke bahu kanan. Berjalan di koridor sekolah sendirian untuk menemui teman-temannya di kantin sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Satu tarikan senyum tipis, Gio keluarkan ketika membaca pesan singkat yang Mamanya kirimkan padanya itu. Dan senyumannya tidak berlangsung lama karena pemandangan di lapangan sana kini membuat Gio mendengus.
Kinan sedang berjalan bersama Dean menuju ke parkiran mungkin. Hanya punggung mereka yang terlihat. Gio diam. Memerhatikan mereka berdua hingga punggung keduanya tidak terlihat lagi. Jika bisa, sudah Gio tarik tangan Kinan saat itu juga. Gio berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh tembok belakang.
Kini ponselnya Gio letakkan kembali pada telinga kirinya. Menelpon Kinan, tetapi yang Gio dapatkan adalah Kinan tidak menjawab panggilannya.
Kinan langsung menonaktifkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Menoleh ke arah sampingnya di mana Dean berada sekarang. Kinan mendongak untuk melihat wajah Dean lebih jelas lagi. Dan tarikan di ujung rambutnya membuat Kinan mengaduh. "Kebiasaan!" Dan Kinan melihat ke arah depannya lagi. Meminum sedikit demi sedikit es susu cokelat yang baru ia beli di kantin.
Dean memasukkan kembali ponselnya ke saku seragam. Mengabaikan pesan singkat Matthew yang masuk berkali-kali. Lalu, menarik tas ransel Kinan, membuat gadis itu berhenti tiba-tiba. "Lo tunggu di sini aja, gue yang ambil mobil. Jangan ke mana-mana, oke?" Dean menunduk.
Kinan mengangguk. "Yep!"
Sebelum akhirnya menjauh dari Kinan, Dean menarik ujung rambut Kinan sekali lagi.
Di jalan, barulah Dean membalas pesan singkat Matthew itu.
Dean :
Gue harus bilang berapa kali
kalo gue udah gak peduli?
Apa lagi jika bukan tentang Mikayla? Apa gadis itu peduli juga pada Dean yang harus menanggung semuanya sendiri? Apa gadis itu peduli saat Dean membutuhkannya malah dia pergi sejauh-jauhnya? Apa gadis itu peduli ketika Dean tidak bisa melakukannya di saat bersamaan Dean ingin mengakhiri hidupnya? Apa gadis itu peduli?
Kepala Dean menggeleng samar. Jika iya, mungkin kabar dari Mikayla sudah cukup. Tetapi, Dean tidak mendapatkan itu. Dean yang selalu harus mencari lebih dulu.
Sebenarnya ini salah siapa?
Pertanyaan yang selalu ada di dalam kepalanya.
Salah dirinya kah yang sudah jatuh pada Kinan? Salah dirinya kah yang tidak ingin meninggalkan Kinan? Salah dirinya kah yang tidak ingin menyakiti gadis itu dan memilih untuk menyakiti dirinya sendiri demi membuat Kinan tidak melewati garis yang sudah Dean dan Mikayla buat?
"Jangan bengong!"
Suara Kinan di sebelahnya, membuat Dean mengerjapkan matanya berkali-kali. Kinan sudah terlihat duduk di sebelahnya, sudah memakai seatbelt juga. Dean menggeleng. "Gue gak begong." Dan mulai mengendarai mobilnya menjauh dari gerbang Pertiwi.
"Makan dimsum di taman deket SD deket rumah Kinan dong, Kak Dean. Makannya sambil duduk di ayunan. Mau ya?"
"Makan nasi aja dulu." Dean menyahut, pandangannya melihat ke arah depan jalan sana.
Kepala Kinan menggeleng. "Makan nasinya nanti pas udah makan dimsum. Kinan lagi pengen makan itu banget. Kalo makan nasi dulu, keburu abis dimsumnya dibeli sama anak SD."
"Anak SD jam segini udah pulang."
"Masa? Tapikan abang dimsumnya belom pulang. Pokoknya Kinan mau makan itu dulu." Kinan meminum kembali es susu cokelatnya.
Dean akhirnya mengganggukkan kepalanya saja.
Dengan tangan dinginnya, Kinan memegang lengan Dean. Membuat laki-laki itu menoleh ke arahnua sebentar. "Eh iya, hampir aja Kinan lupa. Semalem Kak Mikayla nge-line Kinan. Katanya nanti malem dia mau ngajak Kinan ketemuan."
Mendengar itu, Dean diam.
"Kak Mikayla tau id Linenya Kinan dari mana ya?"
"Dari Kak Dean bukan?"
Menjawab pertanyaan Kinan, kepala Dean menggeleng. "Bukan."
"Oh."
Dengan tangan kirinya, Dean menggenggam tangan Kinan. Meremasnya perlahan. "Kinan."
"Ya?"
"Jangan temuin dia. Lo di rumah aja."
...
"Kak Dean, benaran gak mau?" Kinan menggerakkan kakinya. Sekarang memang Kinan sedang berada di taman depan SD dan duduk di ayunan dengan dimsum yang sudah berada di tangannya. Enak banget. Kinan mau beli lagi nanti.
"Enak banget ya?" Dean di sebelahnya bertanya. Memerhatikan Kinan yang sedang makan itu.
Kinan menganggukkan kepalanya dua kali. "Nih. Cobain." Tangannya terulur. Hendak menyuapi Dean dimsum yang ia beli. Dean menerimanya. Mengunyahnya perlahan. Kinan menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
Jadi, seperti ini ya rasanya baik-baik saja? Rasanya tidak perlu memikirkan apa pun? Rasanya bisa melihat semuanya tanpa terlihat abu-abu lagi? Rasanya bisa terlepas dari bayang-bayang yang mengukungnya? Rasanya.... berada di dekat Dean?
Jika mau sudah Kinan lepas jeruji yang mengikatnya dan menarik tangan Dean, kemudian menggenggamnya erat. Jika mau sudah Kinan lakukan itu saat ia sadar bahwa ada sebagian dirinya yang sudah jatuh pada Dean.
Jika mau.
Jika bisa.
Jika saja itu mudah untuk seorang Kinan.
"Abis itu langsung pulang ya. Jangan ke mana-mana lagi."
Kinan mengubah ekspresinya. Cemberut. Tetapi kepalanya mengangguk.
Bagaimana bisa Kinan membuat dirinya seperti orang yang jahat pada Dean yang begitu baik padanya. Kinan akan tertawa sekencang-kencangnya saat dirinya menyesal nanti. Padahal Kinan sudah tahu apa yang akan terjadi, dan dirinya membiarkan itu mengalir tanpa ingin mencegahnya. Tanpa ingin mengubah semuanya dan berjalan seperti yang ia mau.
"Kak Dean, mau juga gak?" Tiba-tiba pertanyaan itu datang begitu saja. Kinan tidak berusaha untuk meralat pertanyaannya. Biarlah untuk saat ini dirinya menjadi seseorang yang lebih jahat lagi. Menyakiti kedua hati itu lagi.
"Mau apa?"
Kinan melihat ke arah Dean perlahan. Bangkit. Membuang tempat dimsum yang ia pegang. Lalu, berjalan ke depan Dean. Mengulurkan tangan kanannya, Dean menerimanya. Mengikuti langkah kaki Kinan. Kinan menoleh ke belakang, tersenyum lebar ke arah Dean di belakangnya. Rasanya seperti bebas sekali. Rasanya seperti tidak ada beban di pundaknya lagi.
Bagaimana bisa perasaan seperti ini datang?
Bagaimana bisa hati bisa sejahat itu juga?
"Mau kayak gini terus?" Dengan pelan, Kinan menjawab pertanyaan Dean tadi.
"Mau jawaban jujur gue?"
Kinan merasakan tangan Dean mengerat. Kinan mengangguk. Tidak apa-apa jika Dean tidak menginginkannya. Kinan sudah akan menerima.
"Enggak, Kinan."
Iya, siapa juga yang mau dengan hubungan yang menggantung tanpa arah. Meskipun keduanya sama-sama ingin. Satu hati harus dilepas. Kinan belum mau.
Sekali lagi, sebut Kinan jahat.
"Tapi, semuanya ada di tangan lo. Buat gue gak mau ngelepasin lo gitu aja, Kinan. Buat gue gak akan ke mana-mana. Gampang, 'kan?"
Hingga sampai di depan pagar rumahnya, Kinan tidak menjawab. Tangannya membuka seatbelt. Menghadap ke arah Dean sepenuhnya yang sedang bermain dengan ponselnya itu. Dengan segala keberanian, Kinan mengambil alih benda pipih itu. Memilih memeluk leher Dean erat dengan kedua tangannya. Memejamkan matanya.
"Yakinin Kinan lagi," bisiknya.
Tangan Dean perlahan-lahan naik ke punggung Kinan. Mengusapnya berkali-kali, pelan-pelan. Kapan terakhir kali dirinya dipeluk Kinan seperti ini?
"Lo mau gue yakinin kayak gimana lagi?" Dean mengusap pingang Kinan sekarang. Berbicara dengan tak kalah pelannya.
"Gak tau."
"Aneh lo."
"Oke, Kak Dean?"
"Jangan dilepas dulu."
"Iya." Kinan tersenyum.
Dean yang memberikan mereka jarak. Tidak terlalu jauh. Tangannya masih berada di pinggang Kinan. Matanya lurus-lurus mengamati Kinan di depannya. "Inget, nanti malem jangan ke mana-mana. Gue bakalan nelpon lo sepanjang malem. Lo gak bisa boong."
Saat Kinan akan mengalihkan pandangannya ke arah lain dan mendengus, Dean menahan sisi wajah Kinan agar melihat dirinya.
"Ayo dong, nurut sama gue. Gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa."
"Emang Kinan bakalan kenapa?"
Kedua bahu Dean terangkat. Dean tidak bisa memastikan juga. Tangannya yang berada di pinggang Kinan, Dean tarik lagi. Membuat Kinan mendekat lagi. "Jangan ya?"
"Mhmm."
"Jangan boongin gue."
"Iya, enggak."
Dean mengerjap. "Iya atau enggak?"
"Iya." Dengan gregetnya, Kinan menjawab.
"Jangan ngelakuin hal ekstrim juga ya?"
Kinan memperlihatkan senyumannya kali ini. "Iya."
"Sana, keluar." Dean menarik tangannya. Bersandar pada pintu mobilnya. Melihat Kinan yang cemberut lagi.
Kinan melihat ke depan rumahnya. "Besok jemput Kinan lagi."
"Iya, kalo gue gak kesiangan."
"Jangan sampe kesiangan."
"Liat nanti."
"Buatin Kinan sarapan." Ucapan Kinan menjadi ke mana-mana. Padahal dirinya hanya ingin berlama-lama di sini.
"Nanti gue beliin aja."
"Gak usah deh."
"Pulangnya aja makan donat greentea."
"Setuju!" Kepala Kinan mengangguk.
"Yaudah, cepetan keluar. Gue udah ditungguin temen-temen gue. Siniin hape gue."
Kinan memberikannya. Membuka pintu mobil di sebelahnya. Saat di depan pagar Kinan agak berteriak. "Makasih udah nganterin Kinan pulang. Kak Dean pulangnya jangan malem-malem."
Dean mengangkat ibu jarinya.
Kinan tersenyum. Dan membuka pagar rumahnya. Ayahnya sudah terlihat berdiri di depan pintu. Wajahnya datar-datar saja. Kinan pelan-pelan mendekat. Ayahnya masih diam.
Hingga Kinan ingin menyapanya, Adam lebih dulu mengatakan,
"Ann, Ayah mau tanya. Kelvin sama Gio itu orang yang sama ya?"
Well, sama gak gais Gio dan Kelvin? Wkwkw
Setelah berabad-abad akhirnya ide datang juga padaku
Maaf lama. Marahin aja biar sadar hm
Jadi, gini gais... Lines udah mau tamat
Endingnya Dean apa Gio ya wkowkwo
Yang lupa part sebelumnya baca ulang aja biar gak lupa hehehehe
Oh ya, yang kangen Sean dia bakalan muncul dinext part yeay
Semoga suka.
Masih mau baca part selanjutnya kan ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro