Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Di Luar Nalar

    Kekenyangan.

   Jennitra nyengir lebar setelah mengunyah sate lilit terakhir milik Sena. Sena menggeleng tak habis pikir. Jennitra boleh punya tubuh yang langsing, tapi makannya banyak sekali seperti kuli. Tidak cukup hanya makanannya seporsi, gadis itu melahap jatahnya juga. Sena yakin sahabatnya itu makan banyak bukan karena lapar, tapi doyan.

    Ternyata, makanan khas bali enak-enak. Sate lilit yang disantap dengan nasi campur memang top markotop. Sate lilit ini terbuat dari daging ayam yang dicincang, dicampur parutan kelapa, santan, jeruk nipis, bawang merah, dan merica. Di tempat mereka singgah, tidak hanya menawarkan sate lilit ayam, tapi ada juga babi, sapi, ikan, bahkan kura-kura. Agak ngeri juga Jennitra membayangkan kura-kura disate, tapi sate lilit ayam ini bintang tujuh!

    "Udah?"

   Jennitra mengganguk.

   "Nggak mau nambah?"

   Jennitra mencembik. "Udah kenyang." Kalau inw Jennitra kenyang beneran. Bukan karena penyakitnya yang membuatnya mudah kenyang, tapi karena makanan yang masuk ke perutnya banyak sekali.

   "Okay."

    Lalu perjalanan pun berlanjut. Destinasi utama mereka di Bali adalah Pantai Kuta. Sebelum ke sana, mereka mampir dulu ke Tanah Lot. Tanah Lot merupakan pulau kecil yang mengambang di laut. Di atasnya berdiri dua pura yang berada di dua lokasi berbeda. Satu pura yang dikenal dengan Pura Luhur Tanah Lot terletak di atas bongkahan batu karang besar. Dibangun untuk memuja Dewa Laut demi memohon keselamatan dan kesejahteraan dunia, serta keseimbangan antara laut dan bumi. Di sebelah baratnya, terdapat Pura Batu Bolong yang terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Digunakan umat Hindu untuk menggelar upacara Melasti atau upacara keagamaan lainnya. Tanah Lot juga punya pantai indah. Pantai yang membuat Jennitra menyuruh Sena mengebut agar cepat sampai di sana.

   Dan di sanalah mereka berdiri. Di tepi pantai dengan kamera Nikon FG 20 vintage milik Sena yang menjepret pemandangan sekitar. Sena hanya bisa pasrah saat Jennitra menyeretnya naik ke atas untuk melihat pura dan turun lagi sambil lari-larian.

   "Jen, pelan-pelan. Nanti kecapekan."

    Jennitra menulikan telinga. Baginya, kata pelan-pelan justru membuatnya semakin aktif.

   "Sini deh, Sen!" Jennitra justru berlari ke air.

   Sena kalang kabut. "Jangan basah-basahan!" Bisa gawat nanti.

   Perkataan Sena bagai tertelan ombak, tak kedengaran karena Jennitra menjeburkan diri ke air hingga basah.

   Sena tepok jidat. Belum apa-apa sudah basah kuyup, padahal mereka harus hemat baju. Dia yang baru saja mengangkat kamera hendak memotret Jennitra lagi-lagi dibuat tepok jidat saat Jennitra berlari ke arahnya. "Mampus." Dia tahu akal bulus sahabatnya.

   Segera, sekuat tenaga Sena berlari sebelum dipeluk si 'basah kuyup'. "AAAA JANGANNNN." Tapi karena terjalnya batu karang, si 'basah kuyup' yang aktif sejak dini itu berhasil memeluknya dari belakang.

    "BASAAAH!" Jennitra heboh sendiri.

   "Siapa bilang kering?!" Sena memekik geregetan.

   Sambil memeluk Sena erat, Jennitra tertawa ngakak. Dengan tenaga ekstra dia menyeret lelaki itu ke air.

    Harusnya, Sena melawan. Tenaga Sena jelas lebih kuat dari Jennitra. Lolos dari pelukan dan tarikannya ke air sangatlah mudah. Namun, yang Sena lalukan adalah sebaliknya. Lelaki itu membiarkan Jennitra mendorongnya ke air hingga baju yang basah karena pelukan paksa Jennitra tambah basah. Kalau saja tangannya tidak diangkat ke atas, maka kamera nikon jadulnya akan rusak kemasukan air.

   "Hahahahaha rasain! Sok kering sih lo! Jangan-jangannnn, nanti basah. Jangan-jangannn, nanti kecapekan! Mam tuh air! HAHAHAHA."

   Dan ... Jepret! Kamera Sena berhasil mengabadikan tawa lepas Jennitra yang sudah lama tidak dia lihat sejak gadis itu menangis dua bulan yang lalu.

   Walau ... dia harus merelakan tubuhnya yang menggigil kedinginan.

•••


  Sena tidak mau membawa pakaian yang basah. Minimal sudah dicuci dan dikeringkan. Setelah selesai main air, mereka membersihkan diri dan mencari tempat laundry yang searah dengan pasar tradisional Tanah Lot. Setelah menitipkan baju yang dicuci, keduanya bergegas untuk mencari oleh-oleh.

   Tidak banyak yang Jennitra beli, hanya beberapa kaos bertuliskan Tanah Lot dengan gambar sunset, juga sandal-sandal imut. Sena yang sempat menghilang ternyata membelikannya sebuah topi pantai yang tidak terlalu lebar dengan hiasan pita mungil yang sangat serasi dengan bajunya. Sama-sama warna krem.

    "Ada gelang Sen lucu bangettt." Melihat ruas penuh pernak-pernik, Jennitra menggandeng tangan Sena agar lelaki itu mengikutinya.

    Dengan antusias Jennitra menggajal beberapa gelang di tangannya yang berkulit sawo matang, lebih gelap dari kulit Sena yang putih bersih. Kadang kalau dilihat sekilas Sena ini mirip bule, ya wajar Bunda Sena punya darah Amerika yang cukup kental.

     "Bagus ini atau ini?" Jennitra memperlihatkan dua gelang warna-warni dengan manik yang berbeda.

  Sena mengernyit. Terlihat sama, tapi bagi Jennitra itu pasti beda. "Dua-duanya bagus."

   Jennitra berdecak. Memang ya, cowok paling tidak bisa memilih yang seperti itu. Semua saja dibilang bagus.

   "Beli dua-duanya biar nggak bingung."

    Usulan itu mendapat menolakan dari Jennitra. Gadis itu akhirnya memilih sendiri dan malah menukar gelang di tangan kanannya dengan gelang lain yang warnanya lebih gelap. Jadilah tetap beli dua kan?

   Sena geleng kepala. Semua cewek seperti ini? Ribet, aneh. Begitu pikirnya. Sampai Sena lihat ibu-ibu yang jualan menyimak sambil tahan tawa. Sudah seperti nonton reality show saja.

   "Lo nggak beli apa-apa?" Melihat Sena tidak membeli apa pun, Jennitra heran.

   "Lo kan udah beliin buat Ayah sama adek gue. Ntar gue belinya di tempat lain aja biar nggak mirip."

   Jennitra membuat bibirnya membentuk huruf 'O'. Setelah itu, keduanya kembali ke mobil. Mereka mengambil baju yang telah selesai di-laundry dan kembali berkendara menuju Pantai Kuta.

   Ini saatnya melihat sunset!

    Jennitra dan Sena asyik menirukan suara penyiar radio di mobil, lalu bernyanyi bersama saat Jennitra menyetel salah satu kaset koleksinya. Walau jujur Sena awalnya tidak suka musik-musik Rock kesukaan Jennitra, berteman dengan gadis itu membuat kupingnya jadi terbiasa. Dan lama-lama, "Not bad-lah, Jen."

    Namun, kesenangan itu harus hilang ketika Jennitra panik dan memekik, "Sena!! Sanu mati! BERHENTIIN MOBILNYA SEKARANG JUGA!"

    Bobi mengerem mendadak di pinggir jalan. Wajah Sena pias, apalagi Jennitra. Dengan perasaan kacau dan tanpa persetujuan Sena, Jennitra mengobok akuarium. Tidak peduli bau, basah, dan apa pun itu karena akuriumnya tidak bisa dilepas tanpa obeng.

   Jennitra berlari keluar mobil disusul Sena. Jennitra berjongkok lalu terisak. Seharusnya yang menangis meratapi Sanu adalah Sena, tetapi sekarang malah Jennitra yang menangis di pinggir jalan seperti orang gila.

   "Sen .... Kayu, Sennn."

   Sena menatap sekeliling bingung. "Kayu?"

   "Ah, kelamaan lo!" Tanpa ba-bi-bu Jennitra mengeruk tanah di bawahnya. Dia kubur Sanu dan diberi batu kerikil di atasnya. Dia mencabut rerumputan di pinggirnya dan ditaburkan seperti menaburi makam asli.

     Sena menahan napas.

    Ikan koi kesayangannya mati. Dia kaget, sangat kaget. Memang syok, syok berat, tetapi tidak menyangka Jennitra akan seperti ini ....

   "Lo yang sabar, ya." Dan seperti ini juga, merangkulnya, menarik kepala dan tubuhnya untuk dipeluk, lalu punggungnya di-puk-puk-puk. Padahal tangan Jennitra kotor bekas mengeruk tanah dan parahnya kaos Sena warna putih.

   Yang lebih parah ini, "Ayo, Sen. Kita bacain yasin. Biar Sanu tenang di alam sana."

   Sena tak habis pikir. Sejak dulu, di balik tampang garangnya, Jennitra memang di luar nalar.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro