Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Setengah Kepo

    Paginya setelah sarapan masakan Mas Joko, Jennitra dan Sena check out. Masakan Mas Joko ternyata enak sekali. Sego sambel dan rawon surabaya buatannya mantap polll. Rasanya tidak cepat hilang dari lidah, bahkan setelah minum semangkok angsle. Angsle ini semacam kolak dengan isian petulo, ketan putih, kacang hijau, potongan roti, mutiara, daun pandan, jahe, kacang tanah goreng, santan, gula, irisan buah kolang-kaling, dan emping melinjo. Sena memberi tahu keadaan Jennitra yang harus menjaga makanannya, Mas Joko dengan telaten mengukur bahan dan rempah serta rasa masakannya agar cocok dikonsumsi Jennitra.

    "Terima kasih, Mas. Layanannya baik sekali." Sena berpamitan pada Mas Joko pagi itu.

   "Terima Kasih juga. Tolong kasih bintang lima ya di google!"

  Jennitra yang mukanya tidak kusut lagi mengacungkan dua jempol dan tersenyum lebar. "Makasih, Mas Joko! Sampai jumpa lain waktu. Besok saya rekomendasikan penginapan ini ke orang-orang!" Ternyata, masakan dan kebaikan lelaki itu bisa membuatnya bahagia.

    "Huft. Nggak buruk juga. Mas Joko baik," kata Jennitra setelah masuk ke dalam mobil.

    "Ngeri ya sama dia semalem?"

   "Iyalah! Dikira kita mau ngapain? Orang kalau ke penginapan ya tidur. Ngapain dijelasin ranjangnya aman nggak akan ambrol, jebol, apalah itu."

   Sena tertawa renyah. Tawa yang selalu Jennitra sukai sejak keduanya memilih untuk berteman dekat. "Mas Joko Bercanda." Lelaki itu memulai perjalanan mereka dari Surabaya ke Bali.

     Dulu, Jennitra punya banyak teman. Sebelum dia sering tidak masuk sekolah karena penyakitnya dan teman-teman bilang kankernya menular. Anak SD yang belajar biologi saja tahu kalau kanker hati tidak menular. Itu hanya akal-akalan musuh bebuyutannya, Helen, untuk membuat Jennitra kesepian di akhir bangku SMP. Sejak saat itu, Jennitra sering dijauhi. Dibicarakan di belakang kalau bisanya ngerepotin orang tua. Diusir oleh teman-teman dekatnya layaknya dia adalah virus yang bisa menyerang kapan saja. Untung dasarnya Jennitra cuek, gadis itu malah senang jadi tahu, mana teman baik, mana teman buruk. Lama-lama kebal juga. Bahkan setelah divonis sembuh, Jennitra acuh tak acuh. Dia sudah biasa sendiri, ada teman atau tidak sama saja. Lebih baik tidak sekalian.

    Akan tetapi, semua memang ada baik buruknya. Baiknya ya tadi itu. Buruknya, dia tidak bisa masuk SMA Taruna.

    Hingga suatu hari saat benar-benar terpuruk gagal masuk SMA Taruna, Jennitra mengenal Bimasena. Saat sedang menunggu bus untuk pulang, Sena muncul memberi tumpangan. Lelaki itu adalah kakak kelasnya yang sudah lulus. Rumah mereka tidak terlalu jauh, SMP-nya dan SMA Sena sebelahan, jadi setelah interaksi pertama mereka, Sena rajin memberi tumpangan. Kata Sena, "Ayo bareng aja nggak apa-apa. Biar sekalian. Sebelahan juga kok sekolahnya."

    Sejak itulah, bahkan sebelum Sena tahu Jennitra sempat mengidap kanker, keduanya menjadi akrab. Yang awalnya berangkat-pulang bareng, jadi sering nongkrong berdua. Yang tadinya terpisah sekolah, jadi se-SMA dan semakin sering jalan berdua atau menyambangi rumah satu sama lain. Saking dekatnya, Jayanti dan Rama jadi mengenal Arjuna dan adik perempuan Sena, Ambara. Usianya masih enam tahun. Masih TK. Lucu sekali mirip Sena waktu kecil. Bedanya Sena usil, Ambara ini pemalu. Seharusnya anak itu kemarin ikut ke rumah Jennitra, tetapi karena sedang menginap di rumah Tantenya jadi tidak bisa.

    "Gue mau ngabarin Mama," Jennitra mengambil ponsel Sena, "Pinjem, ya." Karena ponselnya digunakan untuk Maps oleh lelaki itu.

   "Pap aja, Jen."

   Jennitra mengangguk, membuka aplikasi WhatsApp, kemudian mencari kontak Jayanti. Setelah ketemu, dia membuka kamera dan mengarahkan kamera pada wajahnya dan wajah Sena. "Ayo senyum dong."

   "Gue lagi nyetir."

   "Hadap sini bentar elah."

   "Mau mobilnya nabrak trotoar?"

   Jennitra cemberut. Akhirnya membiarkan Sena dan sibuk berpose. "Perasaan gue udah mandi deh. Tapi kok jelek." Berkali-kali jennitra menjepret gambarnya, tetapi tidak ada yang bagus.

   Mobil VB yang Sena kendarai melambat, berhenti di lampu merah. Tangan kanan Sena yang sudah bebas meraih ponselnya. "Sini." Sena menarik Jennitra mendekat dan menjepret gambar keduanya.

    "Beres." Lelaki itu langsung mengirim fotonya. Tidak lama-lama seperti Jennitra

   Lampu merah pada traffic light berubah hijau. Sena segera tancap gas. Jennitra di sampingnya merengut. Tolonggg, dia tidak siap difoto sampai wajahnya syok dengan mulut terbuka, sangat kontras dengan Sena yang—

   "Shit."

   "Lo bilang apa?" Sena memastikan kupingnya tidak salah dengar kalau Jennitra baru saja mengumpat.

   Jennitra menggeleng cepat. Gadis itu membuang muka keluar mobil. Dari dulu, Jennitra sadar Bimasena adalah laki-laki yang tampan dengan tubuh proporsional walau sering menyebalkan. Rambut lurus halus kecokelatan dengan hidung bangir dan mata tajam itu selalu membuatnya ketar-ketir kalau dalam jarak dekat. Belum lagi bibirnya yang selalu pink merona kayak habis dicipok Sanu alias ikan koi gembul itu. Ini serius. Sena sering menciumi ikannya. Aneh memang. Freak!

    Walau begitu, entah kenapa kesadaran Jennitra semakin meningkat alias saraf matanya semakin sensitif setiap melihat Sena.

Tahan, Jen ....

Tahan perasaan lo.

Itu bakal ngerusak pertemanan kalian, nanti Sena pergi!

    "HP gue bunyi."

   Celetukan Sena membuat Jennitra mengecek notifikasi. Wajahnya mengeruh. Ada dua pesan dari nomor bernama kontak Aime.

    "Cewek lo ngirim chat."

   "He?"

   "Ini Aime, Aime, cewek lo, kan?"

   Sena mengernyit. Itu temannya. "Bukan. Nge-chat apa dia?"

   Dengan berat hati, Jennitra membacakan pesannya lewat notifikasi. "Udah sampai mana, Sen? Hati-hati, ya. Bales apa ini? Iya, Sayang. Makasih?"

   "Kok gitu pake sayang?"

   "Ya iyaaa sayang."

    "Sayang?"

   "Iya."

   Krik-krik. Kalau ada jangkrik di mobil pasti bunyinya garing sekali. Jennitra mendelik pada Sena yang tertawa ngakak. "Bercandaaa. Nggak usah dibales."

    "Jahat banget nggak dibales. Sok narsis."

   "Nggak usah dibales. Nanti dia berharap."

    HELLOOOOO. Jennitra ingin berteriak. Berarti dia kebal banget ya sampai digituin Sena masih sehat walafiat.

Enggak, deng. Hati gue sakit.

     "Tapi ini cantik, Sen. Lumayan. Degeman lo, ya?" Jennitra asyik menge-zoom nge-zoom foto profil Aime yang full face itu. "Atau salah satu friend with little benefits lo?

   Sena berdecak. "Nggak punya." Lelaki itu hendak mengantongi ponselnya, tetapi Jennitra menjauhkan ponsel Sena dari jangkauan si pemilik.

   "Ettsss. Bales dulu. Gue cewek. Gue tahu rasanya diginiin."

   "Pernah?" Sean tersenyum miring.

   "Taulah." Jennitra menyerahkan ponsel Sena, tetapi Sena justru menahannya.

   "Balesin iya aja. Jangan ditambah-tambahin emot kayak lo nge-chat gue."

   Jennitra mencibir. "Bales sendiri! Privasi."

   "Privasi apaan orang nggak ada apa-apanya."

   Akhirnya, dengan setengah kepo, Jennitra membuka room chat Sena dan Aime. Keduanya sepertinya tidak sering chatting-an. Namun, bagaimana bisa Aime tahu Sena sedang road trip?

   "Kita nggak pernah chatting-an. Kemarin sebelum berangkat, waktu beliin lo jajan, nggak sengaja ketemu di swalayan."

   "Nggak penting juga. Nggak usah dikasih tahu." Setelah membalas Aime dengan satu kata 'ya', bodo amatlah bukan 'iya', Jennitra mengembalikan ponsel Sena.

   Setelah percakapan aneh itu. Bobi yang melintasi Probolinggo menuju Bali diisi keheningan. Bobi keluar dari Probolinggo, berlanjut di jalan arteri Pantura ke arah Banyuwangi melewati Situbondo. Sena menyalakan radio mobil, melirik Jennitra yang asyik dengan dunia luar dan ikannya di akuarium mini atas dashboard.

     Bobi melewati Bondowoso, saat itulah Jennitra mulai bertanya tentang ini-itu, apalagi saat mereka sampai di Pelabuhan Ketapang, pelabuhan Ferry, gadis itu tidak lagi sunyi.

   "Berapa jam lagi sampai Bali?"

   "Sebentar lagi kok. Paling tiga jaman."

   "Agak lama, ya."

    "Tapi seru, kan? Naik ferry juga ini."

   "He'em! Gue belum pernah." Jennitra asyik melihat-lihat sekitar dari jendela di sampingnya.

    Mobil Volkswagen itu mengantre di loket bersama mobil lainnya. Biaya menumpang kapal sebesar 150 ribu permobil. Setelah dituntun masuk ke dalam salah satu kapal, Sena baru bisa menyandarkan punggung santai ke sandaran kursi.

   "Capek?" tanya Jennitra khawatir. Ya bagaimana tidak khawatir, menyetir sendiri itu pasti melelahkan. Bohong kalau Sena bilang 'enggak'.

   "Dikit. Semalem nggak bisa tidur."

   "Kenapa?" Jennitra penasaran. Biasanya Sena itu pelor, nempel molor. Apalagi dalam perjalanan jauh seperti ini, mustahil tidak mengantuk.

   Tapi Sena mengabaikannya. Lelaki itu justru memejamkan mata.

   Kurang lebih 40 menit kapal berlayar dan sampai di Pelabuhan Gilimanuk. Orang Jawa yang berkunjung biasa menyebutnya Tanjung Selat, sedangkan orang Bali menamainya Ujung. Pelabuhan ini adalah akses utama transportasi laut dari Banyuwangi menuju ke Pulau Bali yang melintasi Kabupaten Jembrana.

    Turun dari Ferry, roda Bobi menginjak tanah Pulau Dewata. Segera saja, Sena melajukan mobilnya menempuh 2 jam lebih perjalanan yang tersisa.

   "Bimaaaa, laper."

   Sena yang fokus menyetir menoleh, menatap geli Jennitra yang mengacungi tempat makan di pinggir jalan. Kalau ada maunya saja memanggil Bima. "Oke, oke, kita mampir."

    "Yeyy!" Jennitra memikik heboh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro