05.
❝If my heart was paper, I'd fold it. Throw it to the wind and just hope it ends
up with you❞
— the vamps, Paper hearts.
Titan berjalan masuk ke dalam kamarnya dan langsung merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Kedua matanya menatap langit kamarnya yang polos. Dirinya sudah merasa lelah, tetapi matanya enggan sekali terpejam. Lamat-lamat ia mendengar suara langkah kaki menuju ke kamarnya, kemudian terdengar bunyi berderit. Titan cepat-cepat menutup matanya dan berpura-pura untuk tertidur.
"Ayah tau kamu gak tidur." Oh, itu suara Revan. Laki-laki itu berjalan mendekati putrinya. Titan mendengus pelan, ternyata tidak mudah untuk membohongi Ayahnya ini. Lalu, ia membuka matanya kembali dan perlahan bangkit. Melihat punggung Revan yang kini sedang membelakanginya.
Terdengar helaan napas berat dari laki-laki yang kini sedang melihat ke arah depan balkon kamar Titan seraya bersedekap. "Ayah gak tau lagi harus gimana, Tan," ucapnya yang mengawali pembicaraan. Gadis itu bergeming menanti kalimat apalagi yang akan keluar dari mulut Ayahnya. "Mungkin Ayah terlalu egois, tapi ini keputusan Ayah," lanjutnya.
Jeda sejenak dari ucapannya. Titan masih saja diam tidak merespons. "Untuk sementara Ayah akan pindah ke Bandung dan pilihan ada di tangan kamu."
Gadis itu sudah tidak tahan. Ia melangkahkan kakinya dan berdiri di samping Revan. "Aku kira Ayah gak akan bahas ini lagi, tapi ternyata aku salah ya! Ayah tau kan aku masih ada masalah.. dan seharusnya Ayah gak ngasih masalah baru ke aku," katanya dan mencoba mengontrol suaranya itu.
Revan menoleh ke sampingnya. "Justru Ayah mau bantu kamu, Sayang," sahutnya dengan nada lembut. Gadis itu malah menggelengkan kepalanya dan menatap ke depan sana.
"Mau bantu aku? Bantu dalam hal apa, Yah? Gak ada, 'kan? Ini justru nggak ngebantu aku sama sekali."
Revan yang sekarang terdiam. Bukan maksudnya untuk membebani putrinya lebih berat lagi. Ia sudah tidak punya alasan lain untuk menenangkan pikirannya yang sedang berkecamuk. Tangan Revan mengelus rambut Titan penuh kasih sayang. "Ayah ngerti gimana sama masalah kamu, tapi Ayah juga gak bisa lama-lama di situasi kayak gini. Dan lebih buruk lagi, kalo Ayah masih tetap di sini, Tan." Revan mencoba meyakinkan Titan.
"Ayah sendiri yang buat situasi jadi kayak gini! Apa susahnya sih bicara baik-baik sama Mama?"
Revan hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ayah harap kamu mengerti ya, Tan. Sama semua keputusan Ayah." Setelah mengucapkan kalimat itu Revan langsung menarik langkah menjauh dari Titan yang masih terdiam.
"Aku gak mau Ayah pergi." Hanya kalimat itu yang Revan dengar. Tetapi ia bisa apa? Bertahan dalam situasi yang tidak ia inginkan? Terus di tempat yang sama sekali tidak membuatnya tenang? Untuk kali ini, Revan tidak bisa menuruti keinginan putrinya itu. Dan sebelum menutup pintu kamar anaknya, Revan terdiam beberapa saat, melihat Titan kemudian mengembuskan napas berat.
Lama terdiam, akhirnya Titan memutuskan kembali ke ranjangnya. Hari ini semua orang membuat kepalanya menjadi pusing. Titan kira bebannya akan berkurang setelah ia pulang ke rumahnya dan melihat kedua orangtuanya akur kembali, tetapi ternyata ia salah. Ia malah mendapatkan beban baru, dari Ayahnya pula. Gadis itu menghela napas panjang. Ia butuh istirahat.
Tangannya sibuk mencari-cari botol kecil berwarna putih di dalam lacinya. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, lantas ia membuka tutup botol itu dan mengeluarkan isinya. Satu butir obat berwarna putih bulat ia masukkan ke dalam mulutnya diikuti dengan menegak air mineral.
Lalu, Titan membaringkan tubuhnya di ranjang dan meraih selimutnya. Perlahan kedua matanya tertutup dengan rapat, dan kemudian ia tertidur.
...
Pukul delapan malam Gendra berpamitan kepada teman-temannya. Ia baru saja latihan futsal. Laki-laki itu lalu mengambil sepedanya dan mulai menganyuhnya. Tempat futsal yang berada tidak jauh dari apartemennya membuat laki-laki itu sengaja membawa sepeda.
Tepat di persimpangan, Gendra memelankan kayuhannya. Lelaki itu memperlihatkan senyumannya saat ia melihat Titan yang sedang berjalan sendirian. Kemudian, Gendra langsung turun dari sepeda itu. "Titani," panggil Gendra pelan saat ia sudah di samping Titan.
Titan terkesiap dan mengeratkan jaket jinsnya. "You scared me!" kata Titan dengan ekspresi kaget yang sangat kentara.
Gendra malah terkekeh. "Sori. Lagian lo ngapain sih, sendirian jalan-jalan di kompleks malem-malem kayak gini? Ngelamun lagi."
Titan melihat jalan di depannya. "Gue bosen di rumah."
"Well, lo gak akan bosen lagi. Karena kita bakalan sering ketemu."
Perkataannya berhasil membuat Titan menghadap ke arahnya dengan mengangkat sebelah alisnya. "Gue sering latian futsal di sekitar sini," jelas Gendra.
Lalu, tanpa Titan duga sebelumnya Gendra memegang pergelangan tangannya, menyuruhnya berhenti dan mereka duduk bersebelahan. Gendra meletakkan sepedanya di sebelahnya dan mulai mengeluarkan earphone dan ponsel dari ransel hitam yang ia bawa.
Titan menerima earphone itu dan mulai mendengar alunan lagu yang sangat dikenalnya.
Please don't see just a boy caught up in dreams and fantasies..
Please see me reaching out for someone I can't see...
Take my hand, let's see where we wake up tomorrow...
Ia mengalihkan pandangannya ke arah Gendra. "Lost stars?"
Gendra mengangguk. "So, gimana sama SMA Erlangga? Lo udah mulai betah di sana?" tanya Gendra membuka pembicaraan baru.
"Gak ada yang menarik sama sekali," jawab Titan.
"Masa? Gue?"
Titan memutar kedua bola matanya mendengar itu. "Elo? Gak ada menarik-menariknya." Tentu saja Titan berbohong.
Bagaimana tidak bisa dikatakan menarik. Gendra. He's good looking. Jika ada yang melihatnya, bisa saja orang itu akan menengok dua kali ke arahnya. Kedua bola mata yang berwarna cokelat terang yang begitu teduh. Yang bisa saja menenggelamkan siapa saja yang melihatnya berlama-lama.
"Oke, gimana kalo Bara?" tanya Gendra seperti mengerti apa yang ada di otak Titan.
Titan terdiam beberapa saat mendengar Gendra tiba-tiba menyebut nama Bara. Ah, laki-laki itu. Yang bertemu dengan Titan pertama kali saat berada di kantin, Titan mengingat. Saat itu Bara baru saja mendapat surat peringatan, ia tertangkap basah karena berkelahi dengan murid SMA tetangga sedangkan Titan sendiri, sedang berada di kantin ketika jam pelajaran berlangsung. Bara lalu menghampirinya dan mereka berbincang-bincang tentang banyak hal. Dan kemudian mereka menjadi dekat.
"Kenapa sama Bara?"
"Gue nanya aja."
"Dia udah punya Dina, kan?" tanya Titan dengan suara yang begitu pelan.
"Gimana kalo belum?"
"Gimana kalo kita gak bicarain ini?"
Gendra tidak menyahut lagi. Titan melihat ke arahnya. Meneliti secara baik-baik wajah laki-laki itu. Seperti yang ia katakan sebelumnya, ia tidak akan pernah bosan memandang wajah laki-laki di sampingnya ini. "Kenapa lo belum punya pacar, Gen?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutnya.
Gendra mengangkat kedua bahunya. "Sekarang lo mulai peduli?"
"Apa gak boleh?"
"Apa gue bilang gak boleh?"
He's so annoying, kalimat itu yang terlintas dipikiran Titan.
Gendra melihat Titan yang menendang batu-batu kecil di dekatnya. "Apa lo mau jadi pacar gue?"
Titan tahu laki-laki itu hanya bercanda. "Nice joke."
Gendra terkekeh. Hanya itu. Ia kemudian tidak menyahut lagi.
Dan berterima kasihlah karena malamnya tidak seburuk malam-malam sebelumnya karena ada Gendra di sini.
Mendengar lagu favoritnya berdua lewat earphone. Duduk di bawah langit penuh bintang. Gendra melihat ke langit dengan tatapan kagumnya. Dan Titan; melihat ke arah cowok itu.
[ Gendra ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro