Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01.

And if somehow you knew that your love
would be untrue. Would you lie to me?
drake, Teenage Fever.

"Titan."

Gadis yang memakai seragam putih abu-abu dengan badge Titani Devania itu mengangkat pelan kepalanya dan melihat laki-laki di sampingnya yang sedang menatapnya bingung. "Lo ngelamun, mikir apaan?" tanyanya.

Titan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Dirinya tentu saja berbohong. Banyak sekali yang ia pikirkan akhir-akhir ini. Salah satunya tentang Bara—laki-laki yang duduk di sebelahnya sekarang. Laki-laki dengan senyuman mempesonanya. Laki-laki dengan kata-katanya yang mampu membuat Titan luluh. Laki-laki dengan tingkahnya yang membuat Titan tak ingin jauh.

Bara menghancurkan rokoknya. Dan melihat ke bawah sana. Banyak kendaraan yang sedang berlalu-lalang malam ini. View dari rooftop gedung apartemen yang berada tidak jauh dari sekolah memang sangat membantu dirinya untuk menghilangkan mood buruk, terlebih ada Titan di sampingnya.

"Is everything okay?" tanya Bara dan memperhatikan kembali wajah gadis di sampingnya yang tertutup oleh rambut panjang sebahu itu.

Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya.

Semua orang tahu—dari sikap Titan yang terkesan terlalu diam, pasti gadis itu sedang memikirkan sesuatu atau ada sesuatu yang mengganggunya. Maka, diraihnya tangan kanan Titan dan Bara menggenggamnya dengan erat. Dengan usapan ibu jarinya yang membentuk pola menenangkan, yang Bara tahu, Titan sukai.

"Jangan bohongin gue dong, Tan. Apa yang lagi lo pikirin? Apa yang lo lagi rasain?"

Dilihatnya kini Titan mengeratkan jaket baseball merah milik Bara di tubuhnya dan menggerakkan kakinya yang menggantung. "Lo mau tau, Bar?"

Bara mengangguk pelan. Kemudian, tangannya menyelipkan rambut Titan yang menghalangi wajah gadis itu ke belakang telinga. "Lo lagi kenapa?" bisik Bara. Tidak mengerti juga dengan sikap Titan yang tidak biasa.

"Gue lagi... bingung," jawab Titan akhirnya.

"Masa sih bingung? Kan elo udah pegangan sama gue." Kekehan Bara terdengar setelah mengucapkan kalimat itu, dirinya juga langsung mengeratkan genggamannya.

Titan mendengus. "Gue serius, Bara!"

Bukannya menanggapi ucapan Titan barusan, Bara malah dengan gemasnya mencium leher Titan berkali-kali seraya terkekeh pelan di sana. Titan mendorongnya. "Seserius apa sih?" tanya Bara masih saja memperlihatkan senyumannya itu—terlihat lesung di pipi kirinya yang membuat siapa saja yang melihat tidak ingin mengalihkan pandangannya ke arah mana pun.

Seperti Titan sekarang.

Dan Titan hampir saja lupa dengan perasaan kesal yang ia rasakan pada laki-laki di sampingnya saat melihat senyuman yang sangat menarik itu.

Titan memperhatikan Bara kembali. Laki-laki dengan penampilan cueknya. Laki-laki dengan mata cokelat yang selalu berbinar seakan tidak ada yang bisa membuatnya meredup. Laki-laki dengan dekapan hangat yang seperti rumah tempat Titan untuk mencurahkan apa-apa yang membuatnya lemah. Dan genggaman yang selalu berhasil membuat Titan merasa ia tak pernah sendirian.

"About this stupid feeling. Kalo aja gue bisa milih, gue harap itu bukan lo," ujar Titan dan mengalihkan pandangannya ke arah sepatu putihnya.

Mendengar itu, Bara menghela napas pelan. Tatapannya masih ke arah gadis itu. Bara berharap Titan mengetahui betapa dirinya tak ingin sekali mendengar apa yang baru saja Titan ucapkan.

"Kita bisa—"

"Enggak, Bar."

"Hei, liat gue." Bara meraih dagu Titan agar melihat ke arah matanya. Sekarang gadis itu memandang netra cokelat milik Bara. Dalam dan memilih menjatuhkan dirinya kembali.

Hangat napas Bara di malam dingin ini, Titan rasakan menerpa halus wajahnya. Dan tangannya mulai mencengkeram ujung seragam Bara saat laki-laki itu mendekat lagi ke arahnya dan berbisik, "Everything's gonna be okay. Jangan mikir yang enggak-enggak, ya? Dan lo harus inget, Tan; jangan pernah juga nyuruh gue buat menghindar dari lo apa pun yang terjadi. Oke?" Dan sekali lagi, Bara mengecup lembut lehernya.

...

"Axa!"

Suara Titan terdengar memanggil nama laki-laki tinggi yang sedang bercanda ria bersama teman-temannya itu di koridor kelas mereka—XII IPA. SMA Erlangga memang baru saja membunyikan bel istirahat pertamanya.

Axa, laki-laki yang Titan panggil tadi, langsung menemuinya setelah ber-high five dengan ke empat temannya itu. Berdiri di hadapan Titan dengan skateboard hitam di tangan kirinya. FYI, itu pemberian Titan saat ulang tahunnya yang ke tujuh belas. "Ada apaan lo manggil gue? Mau makan bareng di kantin?" tanyanya kemudian.

Sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Titan menarik lengan Axa untuk mengikuti langkahnya. Titan jelas saja risih diperhatikan oleh murid-murid Erlangga yang melihat ke arah mereka berdua. "Anterin gue ya pulang sekolah nanti?" Titan memberikan pertanyaan balik untuk Axa. Sekarang mereka sedang menelusuri koridor yang agak ramai ini.

Alis Axa naik sebelah. "Ke mana?"

"Ke supermaket. Lo tau kan gue masih baru di sini. Gue butuh bantuan lo banget."

Maklumi Titan, gadis itu memang baru pindah ke pusat ibu kota ini satu bulan yang lalu.

"Kayaknya gue gak bisa, Tan. Hari ini gue latihan basket. Besoknya gue tanding sama Pertiwi. Nonton ya?" Axa menaik-turunkan kedua alisnya itu.

Mendengar itu, Titan mendengus keras.

Axa terkekeh sebentar, ia mulai merangkul leher sahabatnya. "Minta dianter Gendra aja ya?"

"Serius, Xa? Sama si Gendra yang—"

"Gendra. Woy, njing!" Axa langsung memotong ucapan Titan yang belum sempat gadis itu selesaikan. Dan memanggil Gendra yang sedang memainkan ponselnya seraya bersandar di tembok samping loker itu.

Dan yang paling Titan sesali, Axa kini menarik tangannya untuk mendekat ke arah Gendra di sana.

"Pulang sekolah lo gak ke mana-mana, kan?" tembak Axa langsung.

Gendra mengalihkan pandangannya dari ponsel hitam itu ke arah mereka berdua dan menatap ke arah Titan di depannya. "Enggak." Saat mengatakan itu, kedua mata Gendra tidak beralih ke mana-mana selain ke arah Titan.

"Pas banget. Jadi, lo bisa ya anterin Titan. Eh, bentar. Dina!"

Dan yang Titan tahu, Axa meninggalkan mereka berdua untuk mengejar Dina di depan sana. Secepat itu, Axa melupakan Titan karena gadis yang ia suka. Titan memutar kedua bola matanya.

"Hai, Titani." Suara Gendra terdengar lagi. Dan itu berhasil membuat Titan melihat ke arahnya.

Titan memandang Gendra takjub hanya mendengar teman sekelasnya itu memanggil namanya dengan sebutan Titani. Karena memang hanya orang-orang terdekat Titan saja yang memanggilnya begitu. Dan Titan belum mengenal Gendra ini.

Tersadar, Titan mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia melihat ke arah Gendra lurus-lurus. "Lupain yang Axa bilang tadi," katanya. Ia tidak ingin hanya berdua saja dengan Gendra di dekatnya. Gendra terlalu mengintimidasinya.

Sudut kiri bibir Gendra tertarik ke atas sedikit. "Kenapa gak minta dianter sama pacar lo aja?"

Titan mengernyit.

"Perlu gue perjelas, pacar lo si Bara." Gendra melanjutkan. Perkataannya berhasil membuat Titan menatapnya tak suka dan terlihat gadis itu sudah akan melangkahkan kakinya menjauh dari Gendra. Gendra tentu saja langsung mencekal pergelangan tangan Titan. Sekarang gadis itu tersudut di dekat loker. Titan menahan napasnya.

"Gue cuma bercanda kali." Gendra benar-benar memperlihatkan senyumannya itu.

"Gen, lepas!" Titan tak ingin melihat kedua netra cokelat di depannya. Ia dengan cepat berpaling.

Gendra menuruti permintaan gadis yang sudah berhasil membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Lalu, ia membasahi bibir atasnya yang terasa kering. "Lo harus juga mikirin perasaan Dina, Titani." Suaranya terdengar rendah.

Titan sekarang menantang tatapan Gendra dengan senyum kecutnya itu. "Dina ya? Cewek yang lo suka?"

"Gue sama dia cuma sahabatan. Gue suka sama dia gak lebih dari itu."

"Oh ya? Lo bohong kalo gitu." Titan menepuk bahu Gendra dua kali.

Gendra mendekatkan wajahnya sedikit. "Jauhin Bara ya?"

Titan memilih untuk mendorong bahu Gendra dan menarik langkah menjauh dari laki-laki itu. Dan masih bisa Titan dengar, Gendra berteriak,

"Gue tunggu pulang sekolah nanti di parkiran."

[ Titani ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro