Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[41] RESEP PATBINGSU

Aloooo.... saya ngabisin stok tabungan bab saking gemesnya sama part ini. Ditunggu reaksi kalian yaaa.

Klik dulu ⭐⭐⭐⭐VOTE⭐⭐⭐⭐

Aku bebas! Luar biasa setelah 12 hari terkurung di rumah, akhirnya bisa jalan-jalan di lingkungan yang sangat tenang ini. Aku langsung pergi ke salah satu restoran paling eksentrik untuk sekadar makan-makan. Aku memilih menu yang menarik atensiku, walaupun rasanya tidak enak karena terlalu hambar. Namun, aku memaksakan diri untuk mengingat semua rasa makanan yang pernah kucicipi.

Beberapa remaja melirikku aneh karena cara makanku yang terlalu bebas. Aku membuka mulut selebar mungkin, menjejalkan banyak macaron manis ke dalam mulut. Tentu saja aneh. Aku menyadari itu, tetapi tidak peduli. Seingatku, macaron memang makanan yang manis. Seharusnya aku meringis akan kadar gula yang tinggi.

"Hei, aku punya ide!" kataku tiba-tiba, menelan sebutir macaron bulat secara utuh. Bodoh! Kue legit itu tersangkut di tenggorokan. Aku melirik gelasku yang kosong. Tanpa segan, aku merebut segelas jus apukat milik Sunghoon. Padahal dia sedang meminumnya dengan tenang.

"HEI!" serunya.

Aku meneguknya sampai kosong. Tekstur jusnya terlalu lengket. Mencuri minuman Sunghoon sama sekali tidak membantu.

"Aku ingin patbingsu!"

Ekspresi datar Sunghoon mengundang decak gemas. Aku mendengkus keras atas reaksinya.

"Katamu, Bibi Mija sudah tak ada. Apalagi aku sungguh ingin patbingsu seperti buatan Bibi Mija. Atau minimal makanan apa saja yang layak konsumsi untuk kita. Jadi bagaimana kalau kita masak di rumah?" usulku penuh semangat. Kedua bola mataku nyaris meloncat jatuh saking antusiasnya dengan ide brilianku.

"Kau bisa masak?"

Ah, kenapa pertanyaan Sunghoon menjatuhkan semangatku, ya? Apakah aku bisa masak? Kurasa aku bisa jika selalu menyiapkan sarapanku sendiri. Namun, orang lain belum pernah mencoba masakanku. Eh, Jiho dan orang tuaku apa pernah makan masakanku, ya? Entahlah. Tidak ingat, tapi akan sangat menyenangkan sekali kalau melakukan sesuatu di dapur daripada tidak berbuat apa-apa selain mengisi ulang air pada kotak es di lemari pendingin.

"Coba saja cicipi nanti." Aku menyahut jengkel. "Bagaimana? Mau belanja?"

"Baiklah. Kita pergi sekarang." Sunghoon berdiri.

Kami berjalan cepat—menyesuaikan kecepatan manusia—menuju toko terdekat. Sunghoon masih bersikap waspada, selalu melihat sekitarnya sebelum melangkah lebih jauh ke depan. Dengan tiga keranjang, satu keranjang kupegang dan berisi bumbu dapur. Sedangkan dua berisi sayur, buah dan daging diangkat Sunghoon. Berkat sering melihat proses memasak sundae, aku jadi hafal banyak bumbu yang perlu dipakai. Namun, kalau harus ditinggal lama di dalam rumah, tidak ada salahnya borong semua bumbu dapur. Lagi pula Sunghoon banyak uang, pasti maklum. Dia senang aku tidak akan mengeluh ingin keluar.

Saat berada di bagian daging dan sosis, langkahku terhenti di depan satu pak sundae kemasan. Bentuknya yang bulat montok, membuat lenganku dengan cepat menyambarnya. Aku semringah manakala Sunghoon sedang melihat arah lain. Dengan hati-hati, aku menyusupkan di bawah tumpukan sayur.

Tujuanku memang mencari bahan patbingsu, yang isi utamanya adalah kacang merah. Namun, tidak masalah jika melenceng dari rencana awal dengan bahan sampingan yang jauh lebih banyak. Terbersit ide lain untuk mengasah apapun yang kuinginkan dalam melunakkan tatapan Sunghoon yang terlalu ketat mengawasiku. Aku senang Sunghoon mengizinkanku keluar rumah, tetapi harus dikawal olehnya. Namun, aku ingin mendapatkan kepercayaan seutuhnya untuk bisa keluar rumah sendirian, tanpa dicurigai bakal kabur atau memangsa semua kambing satu kota.

Setelah menyisir satu per satu rak, memindai semua barang dengan cermat dan terpaksa menambah satu keranjang penuh, Sunghoon membayar semua bahan dapur tanpa komentar. Secara terang-terangan, pegawai toko melotot kaget melihat jumlah barang yang kami sodorkan di meja kasir. Belum lagi melihat jumlah biaya yang dikeluarkan. Di kota yang terlalu tenang ini, mungkin memang tidak lazim melihat sepasang remaja tanggung merogoh uang terlalu banyak untuk keperluan dapur.

"Eomma butuh tepung buat sujebi tidak, ya?" tanyaku asal, sengaja mengeraskan suara agar pegawai itu mendengar.

Sunghoon menatapku datar, belum menyadari tatapan nanar sang pegawai.

Aku tersenyum canggung, ikut melotot ke arahnya.

Ish.... Improvisasiku gagal ternyata. Sunghoon tidak bisa membaca gerakanku. Menyebalkan sekali. Apa aku yang harus mengikuti semua tindakannya? Seingatku dulu, saat akting drama dengan naskah payah itu, aku menyelamatkan alur ceritanya agar tidak kacau. Namun, menyelamatkan diri dari kecurigaan manusia tentu saja jauh lebih sulit. Apa karena Sunghoon terbiasa hidup tanpa kekurangan uang, sehingga belanja lebih dari satu 2,5 juta won bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

"Apa kita harus memasak sujebi juga?" tanya Sunghoon.

Aku mengerang kesal. Lama-lama aku bisa gila jika Sunghoon seperti ini. Harus bagaimana agar dia paham rencanaku?

"Tentu saja harus. Kudengar ibumu juga bilang membuat sujebi. Ah, kita harus tambah daun bawang kurasa. Kuambil dulu!"

Aku berbalik cepat, mengambil segulung daun bawang yang helai daunnya tiga kali lipat lebih besar dibandingkan jari kelingkingku. Begitu kembali, semua barang sudah selesai dipindai. Aku meletakkan satu-satunya barang tambahan ke atas meja kasir. Helai daun bawang sedikit menyengat. Aku terus mengernyitkan dahi, benar-benar tidak suka dengan aromanya. Sedikit banyaknya, aku teringat penderitaanku mengupas bawang sepuluh bombai kilo di restoran sundae. Belum lagi bawang putih.

Apakah seperti kisah vampir di kebanyakan negara, yang kabur karena benda-benda religius nan keramat dan dilempar bumbu dapur? Kurasa tidak juga. Aku baik-baik saja, kecuali benci pada penderitaan mengupas bawang saja.

Aku melirik Sunghoon. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan daun bawang. Seingatku pula, Sunghoon makan apapun yang melibatkan bawang putih. Masakan Eomma memang banyak menggunakan bahan tersebut. Kalau memang vampir tidak bisa berdekatan dengan manusia, tentu saja Sunghoon tidak akan pernah bisa makan makanan manusia.

Teori evolusi itu ada benarnya. Bukan hal mustahil di masa mendatang, kalau vampir lebih membaur dengan manusia. Kuharap menu-menu makanan terpampang bebas di berbagai restoran secara terbuka. Bukan saling bacok ketakutan bahwa vampir pembunuhnya. Sesama manusia saja saling bacok. Masa vampir disudutkan terus? Lagi pula, pengendalian diri vampir lebih baik di sini dibandingkan di tempat lain.

Ah, lama-lama aku semakin melantur. Kenapa bisa punya pemikiran yang dalam seperti ini, ya? Sudahlah. Aku menggelengkan kepala. Lagi-lagi menggunakan taksi untuk klamufase kecepatan kami. Transportasi manusia memang merepotkan. Untuk apa kecepatan pribadi dimiliki, tapi jarang digunakan? Terpaksa menggunakan benda ciptaan, itu pemborosan bahan bakar.

Aduh ya ampun. Aku menjadi apa, ya? Kenapa terus begini?

"Dari tadi kau diam terus, apa yang kau pikirkan?" tanya Sunghoon penasaran.

"Tidak ada. Cuma memikirkan bagaimana cara memasak kacang merahnya," kataku.

Sisa perjalanan itu, aku terus mereka-reka cara mengolah panganan apapun dengan bahan yang berhasil dibawa pulang. Begitu tiba di rumah, Sunghoon mengantar semua belanjaan yang dikemas dalam kantong plastik. Tidak tanggung-tanggung, dia memikul lima kantong sekaligus dengan enteng. Ah, menjadi vampir ada bagusnya juga. Cepat dan membawa semua barang tanpa mengeluh punggung encok. Aku segera mengatur bahan yang perlu disimpan di lemari pendingin lebih dahulu.

Menyenangkan sekali bisa memasak sendirian. Aku terus bersiul. Kebiasaan itu muncul semenjak sering tinggal di hutan. Biasanya akan ada burung yang datang menghampiriku. Hanya hewan itu yang mau mendekat tanpa gentar dengan vampir. Namun, sejauh yang kulihat, belum ada yang datang menanggapi siulan tersebut.

Sunghoon menonton proses memasakku. Hampir semua yang kulakukan berujung kekacauan. Aku merobek terlalu kuat bungkus kacang merah sehingga biji-bijian itu tumpah ke lantai. Sunghoon memungut semua kacang itu, sementara aku beralih tepung. Kekuatan tanganku tidak terkendali. Serbuk itu tumpah menimpa Sunghoon.

"Ups.... Tidak sengaja." Aku mengatupkan bibir, meringis bersalah, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan karena seluruh rambut, wajah dan tubuhnya sudah putih semua.

"Ya, kemari kau!"

Sunghoon menggeram kesal. Dia mengambil tepung di atas cawan dan membalasku. Aku berteriak menghindar. Namun, Sunghoon lebih sigap dalam menangkapku. Dapur semakin kacau karena tepung berada di mana-mana.

Sunghoon kembali merapikan yang lain. Aku berkutat dengan kacang merah lagi yang bakal dikukus lama. Kemalangan tidak cukup menimpa Sunghoon. Aku tertawa berguling-guling. Saat aku membawa air dalam panci, kakiku tersangkut kaki Sunghoon yang masih memunguti kacang. Akibatnya seisi panci tumpah di tubuhnya.

"HEI, APA KAU MAU MEREBUSKU SEBAGAI BAHAN BINGSU?" Dia berteriak kesal, berdiri dan melepas pakaiannya yang sudah lengket tepung.

"Maaf. Tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?" tanyaku. Air mataku tumpah. Yang kulihat di depan mataku terlalu lucu.

"Tidak usah memasak lagi, tolong!" racau Sunghoon. Dia bergegas ke kamar mandi dengan dongkol. Menyenangkan sekali bisa melihat emosi Sunghoon satu ini. Dia marah karena hal yang tidak sengaja. Setidaknya kedongkolanku selama beberapa hari terbalaskan. Malah lebih baik dibandingkan harus menyekik lehernya.

Aku mengelap air di lantai dan masih tertawa. Sementara Sunghoon mandi. Dia kembali dengan rambut basah dan wajah yang lebih segar. Aku terus mengaduknya kacang tanpa henti. Saat beralih untuk menakar gula, aroma hangus mengisi seluruh ruangan. Aku dan Sunghoon tersedak oleh aroma itu. Kacangnya kekurangan air. Namun, aku pantang menyerah. Gagal dengan kacang merah pertama, aku mencoba lagi dengan adonan kedua. Kali ini kadar airnya terlalu banyak.

Sisa hari itu melelahkan karena Sunghoon dan aku terus berdebat soal masak. Barulah pada percobaan kelima, alias sepuluh kilogram kacang merah terbuang sia-sia, kami berdua memutuskan ganti makan ramyun. Tak ada rasa karena otakku masih ingin menyelesaikan bingsu.

Entah terlalu hambar, encer, kemanisan, pahit, dan lainnya lagi, aku berupaya membuat makanan.

"Beli saja di luar. Kenapa harus repot memasak jika tidak bisa?" Sunghoon menggerutu.

"Tidak. Aku tetap akan membuat sendiri. Omong-omong, Sunghoon-ah, di mana bisa beli darah manusia?" tanyaku lugu.

"Mwo?! Kau mengacau ini cuma demi patbingsu?"

"Tentu saja! Kau menolak berburu atau minum dengan baik. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padamu. Kalau kau pingsan, aku yang akan repot mengurusmu. Bagaimana kau bisa menjaga jika tidak bisa melindungiku? Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Jadi kau harus mati-matian melindung leher kita. Atau jika memang kau berniat mati, matilah setelah namaku bersih." Aku mengamuk.

"Tak usah khawatirkan aku." Sunghoon yang balas mengomel.

"Ya, setidaknya aku berusaha untuk bersikap baik padamu. Baiklah. Aku akan mencuri darah kambing untukku sendiri. Jangan ikuti aku!"

Aku melempar spatula ke sisi meja. Aku pergi lewat pintu belakang. Emosiku yang meluap itu tidak bisa kukendalikan. Tenggorokanku terlalu sakit untuk tidak minum setetes darah. Pandanganku berkunang-kunang. Aku merasa pusing dan berjalan sempoyongan menuju hutan. Sialnya tidak banyak hewan di sana. Lalu aku berbelok ke arah cahaya, yang mana itu adalah pemukiman penduduk.

Cabik. Cabik lehernya. Oh, menyegarkan sekali. Minum sebanyak-banyaknya. Cabik. Cabik yang kuat.

Leherku kering kerontang dan terbakar, sementara racun dan saliva sudah memenuhi mulutku. Aku membuka mata, tak kuasa pada aroma darah yang terlalu memikat di depan mataku. Aku tertawa, senang sekali dengan suguhan lezat tersebut.

Manusia itu berjalan lurus di depanku. Dia menenteng tas besar cukup kesulitan.

Sempurna sekali. Aku akan menghisap darahnya sampai habis. Persetan dengan aturan Gyeonghyui. Peraturan tidak akan tercipta jika tidak ada pelanggaran. Selama tidak ketahuan, tidak akan ada hukuman. Karena itu, aku akan menghisap darah manusia itu sampai habis tanpa sisa.

Aku tersenyum lebar menatap satu-satunya mangsa itu.

****

Omo omo omo.....

Bakal dihisap nggak ya manusia itu?

Shout your reaction, please. Wkwkwk.

Bwi - 14 Februari 2021
16:47 Waktu Indah Bermain


Revisi, 20 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro