[24] PACARAN
Perjalanan ke Gapyeong jauh lebih menjengkelkan dibandingkan dua jam mendengar ceramah dan omelan Lee Seongsangnim. Sunghoon mengunci rapat mulutnya.
Aku merasakan leherku nyeri semenjak berangkat sampai tiba di Gapyeong, selalu menoleh ke sisi jendela. Sama sekali tidak tertarik untuk menoleh ataupun mengajak bicara dengan pemuda tersebut.
Lima hari terakhir kali aku melihatnya. Dia baik-baik saja usai mendaftarkan aku ke kantor kependudukan vampir. Sekarang dia diam.
Sebenarnya dia punya masalah apa sampai berdampak ke hubungan kami? Aku tidak mengerti alasan dia memicu kehebohan dengan bilang kami pacaran.
Terowongan mulai sepi pada akhir pekan. Tampaknya pendonor sibuk dengan kehidupan mereka, selagi para vampir kelayapan mencari makanan. Aku memastikan kelopak mataku tetap terbuka, berkeyakinan kuat bahwa minggu lalu aku tidak tidur. Namun, memang benar bahwa aku ketiduran akibat pingsan. Syok pertama kali melihat iris mata Sunghoon yang menyeramkan minggu lalu.
Dalam gelap, terowongan memindai apa yang terjadi pada kami, melihat situasi dalam terowongan jauh lebih spesifik. Tidak ada yang spesial kecuali jalur-jalur beda arah. Terowongan ini jalur cepat bagi para vampir untuk mencapai tujuannya. Tidak ada teleportasi yang menunjukkan vampir menghilang secara ajaib. Secara teknis, kami cuma lari, hanya saja kecepatannya ekspres, sehingga mata telanjang manusia sulit mengikutinya, seperti yang Sunghoon lakukan saat pertama kali memergoki aku minum darah hewan.
Aku menoleh ke sisi samping. Sunghoon terkulai lesu. Bahunya merosot jatuh ke bawah, tidak bertenaga. Dia gemetaran kurang sesuatu. Baru aku menyadari bahwa dia butuh minum.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku semakin khawatir.
Bagaimana kalau Sunghoon pingsan sebelum mencapai kafe langganan? Aku tidak tahu lingkungan Gapyeong. Ingatanku tumpul selagi meraba kening Sunghoon yang beberapa derajat lebih dingin dibandingkan aku.
Sunghoon tidak menjawab. Bibirnya berkedut hendak tersenyum secara paksa, tetapi kedua sudut bibirnya seperkian detik turun. Gawat, dugaanku benar. Aku jadi ingat saat diet ngawur, membiarkan diri kelaparan seharian tanpa makan, akibatnya gemetaran kurang gula. Aku nyaris pingsan saat itu. Situasi Sunghoon sama persis, bedanya dia harus minum darah.
Tepat saat itu juga bus berhenti di sebuah halte mungil. Tidak ada penumpang selain kami berdua. Aku menarik Sunghoon berdiri dan turun dari bus. Langkah Sunghoon terhuyung, tetapi celakanya kami harus mendaki bukit untuk mencapai puncak di mana kafe penjaja patbingsu tersedia.
Selang beberapa waktu, kami berhasil memasuki kafe itu lagi. Wanita gemuk menyambut kami, seolah tidak ingat kejadian minggu lalu saat aku melempar banyak mangkok untuk mencelakai Sunghoon. Kejadian itu tidak satu dua kali terjadi. Dia terbiasa dan sekarang sedang membereskan kekacauan di lantai dari pengunjung sebelumnya.
"Apakah ada semangkuk darah segar?" tanyaku langsung, tanpa harus mengecek buku menu.
"Tentu saja ada."
"Berikan untuknya," pintaku.
Tenggorokanku sakit, tapi aku bisa menahannya selagi orang di sampingku nyaris semaput. Dia harus terjaga agar bisa mengendalikanku. Bagaimana kalau aku menghabiskan ratusan ribu Won dalam kartu tagihan Sunghoon saat pemuda itu pingsan? Tidak lucu kalau Sunghoon menagih ganti rugi besok pagi.
"Tidak sekalian untukmu juga?"
"Aku tidak siap," ujarku.
Membayangkan semangkok darah segar manusia jauh lebih menggelikan. Setidaknya patbingsu atau makanan olahan lain menjadi klamufase.
"Tunggu sebentar." Pemilik kafe sudah selesai dengan aksi bersih-bersih. Dia berdiri menuju balik mini bar dan mencuci tangan.
Aku mendudukkan Sunghoon di kursi kafe, eh, bukan kursi tinggi mirip singgasana. Secara keseluruhan, kursi-kursi di sini berbentuk acak. Aku bisa melihat kursi kosong yang kududuki minggu lalu ditempati orang lain.
Pemilik kafe mengantarkan mug putih besar berisi cairan kental. Aroma manis membangunkan sesuatu di dalam tubuhku. Hidungku mengendus aroma itu, terlalu terkesima akan warna darah. Aku melengkung ke tengah meja, tidak tahan pada dahaga yang menyiksa. Semakin aku haus, semakin berlimpah produktivitas saliva di bawah lidah.
Aku mengabaikan sedotan yang dikemas dalam plastik. Sunghoon tidak punya tenaga meskipun menghisap darah dalam sedotan. Satu-satunya cara adalah menyorongkan mug ke mulutnya.
Terjangan aroma manis darah sangat menyiksaku. Aku ingin menyerobot minuman Sunghoon. Bukan perkara mudah jika insting mengendalikan otak.
Sunghoon tersedak minumannya. Namun, dia menyesap kuat segelas darah dengan cepat. Perlahan rona wajahnya yang seperti tembok mulai berwarna. Napasnya yang terlalu lambat menjadi teratur. Dia kembali bergerak layaknya manusia. Matanya yang sayu berkedip cepat.
"Gomawo (Terima kasih), Yuri-ya," ucapnya.
Aku tidak menanggapi perkataan lawan bicaraku. Aku membuka buku menu dan membaca isinya. Buku itu seperti buku indeks karaoke. Ada terlalu banyak menu dalam tulisan kecil-kecil.
"Tolong beri aku steik sapi, medium. Juga nasi goreng dengan saos Asia Tenggara. Ah, minumannya, dua patbingsu plasma."
Aku tidak mau berbelit. Kutemukan menu pesananku secara acak-mengambil dari menu pertama tiga halaman pertama. Minumannya pun aku tidak peduli.
"Hei, patbingsu plasma lain. Itu mengandung alkohol. Kita belum cukup umur!" Sunghoon cemas.
"Kita sudah mati sebenarnya, kan?"
"Tidak!"
"Katamu kita sudah mati karena menjadi vampir."
"Jangan bodoh. Kau belum waktunya minum itu. Tolong beri patbingsu biasa."
"Ugh... aku capek membopongmu kemari, masa menunya biasa?" protesku.
"Minggu lalu kau habis 11 mangkok."
"Sial!"
Sunghoon kembali tertawa melihat emosiku yang mudah meluap.
"Oh ya, bisa jelaskan kenapa kau menghilang? Kalau kejadiannya seperti itu lagi, aku bisa bersiap-siap pergi ke sini tanpa kesulitan." Aku bicara cepat. Tidak bisa mengontrol kejengkelan yang kutahan lima hari. Aku sulit tidur dan sibuk memikirkan ketiadaan Sunghoon. Sekalinya berjumpa, Sunghoon sudah lesu seperti itu. Bagaimana tidak memicu salah paham?
"Kau ingat kasus pembunuhan preman itu?" pancing Sunghoon.
"Yang tubuhnya biru?"
"Ya."
"Aku sedang mencari pelakunya. Itu belum terlacak sama sekali," kata Sunghoon.
"Itu alasanmu tidak bisa dihubungi?"
"Ya."
"Kenapa kalian belum bisa menemukan pelakunya?"
"Pembunuhan itu jelas bagian dari vampir haus darah. Bukan karena efek obat seperti yang dituduh oleh manusia."
"Lalu?"
"Berbahaya kalau vampir itu berkeliaran bebas. Makanya aku terus menjagamu, memastikan bahwa orang yang kugigit tidak berulah."
"Kalau begitu jangan menggigitku dari awal!"
Aku tersinggung. Cara bicara Sunghoon menunjukkan kecurigaan yang besar. Siapa tahu dia kecolongan karena aku membunuhnya. Namun, tidak. Itu bukan aku!
"Baiklah, kuterima alasanmu hilang. Kau melakukan upaya perdamaian. Tapi kenapa kau mengatakan kita kencan di depan Jay dan anak-anak lainnya? Memalukan sekali, tahu!"
Sayangnya tidak ada sesuatu yang bisa kujangkau di meja, selagi pesananku belum tiba. Jika ada satu, tentu saja bisa kulempar ke muka Sunghoon. Ada pun mug sisa Sunghoon agak jauh dari jangkauan tanganku.
"Aku tidak mau mengundang kecurigaan kenapa kita terus pergi bersama tiap akhir pekan," tandas Sunghoon.
"Tapi pemujamu menyerangku lagi nanti!"
Aku khawatir bakal menghancurkan tengkorak mereka.
"Akan kuurus. Tugasmu adalah tetap tenang di rumah dan sekolah. Jangan berulah. Semua bukti menyudutkan padamu, karena kau bertransformasi di waktu yang tidak tepat," beber Sunghoon.
"Itu salahmu sendiri!" kataku tidak mau disalahkan.
"Mianhae. Akan kuurus semuanya. Aku agak sibuk belakangan ini. Tapi pada akhir pekan, akan kujemput kau."
"Awas bohong!" kecamku tidak main-main.
"Bisa menjauh dari teman baru itu, tidak?" pinta Sunghoon. Alisnya bertaut tidak senang.
"Wae? Dia temanku. Kami kenal juga bukan kemarin sore. Sudah lama sekali, tahu! Bagaimana bisa aku mengacuhkan sahabatku sendiri. Enak saja!"
Hebat sekali. Park Sunghoon selalu saja membuat tekanan darahku naik. Aku berharap bisa menjauh dari pemuda itu.
Sudah mengataiku pelaku pembunuhan, sekarang disuruh menjauhi Jay. Keterlaluan sekali. Tidak. Tidak akan kubiarkan dia mengaturku.
Memangnya dia siapa? Boleh saja dia membangun batas di antara kami sebagai teman. Namun, aku tidak akan menolerir Sunghoon yang mengatur hubungan sosialku. Aku punya keluarga dan teman yang kuurus sendiri. Lagi pula aku tidak serampangan dalam bongkar rahasia.
Menjadi vampir tidak semenakutkan yang kukira. Manusia jauh lebih menakutkan saat mereka terdesak. Contohlah saat berhadapan dengan binatang buas. Manusia bakal membela diri dengan membunuh predator. Tidak ada yang lebih mengerikan selain senjata berbahaya.
Mati, tidak sesederhana digigit Sunghoon.
Bertahan hidup adalah kerumitan yang sulit terurai. Tidak ada yang salah, bahkan antara mati dan hidup. Ular pun tidak bisa disalahkan selain dia tercipta menyerang hewan yang lebih lemah. Semuanya akan bertingkat. Masalahnya terletak pada jumlah lawan.
Aku harus menyeimbangkan hal-hal itu sebelum benar-benar menghilang dari mereka yang menyayangiku.
To be continued
Hayoh hayoh.....
Author CoC mulai bolong update karena kesibukan RL. Cobaaaa.... tag temen² Engene yang demen FF di sini.
Sapa tau klean2 suka. Dibom vote karena klean suka cerita ini tuh udah bikin author happy. Apalagi komen. Nggak bikin hidup author sepi dan garing kek keripik usus tiga kilo yang author bikin gatot gegara salah taburin tepung beras, padahal kudunya terigu. Renyahnya jadi alot.
Dan.....
Klean bingung enggak sama alur ini? Atau mumet karena diksinya yang ketinggian?
Bosen enggak bacanya karena masih stuck di situ-situ aja. Belum nemu rollercoacster konfliknya kah?
Lemparin uneg-uneg, wahai reader. Biar author uleg si Sunghoon, Yuri dan Jay biar makin pedes dan sedep dinikmatin. (Lah diuleg emangnya bumbu nasgor?!) :p
Jumat, 04 Desember 2020
Revisi, 18 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro