Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[16] MIRIP

Aku gelisah. Terowongannya sangat panjang. Bus bergetar tidak menyenangkan selagi ban melindas sesuatu yang kasar. Akselerasi mesin semakin cepat, seperti melintasi turunan paling mengerikan.

Jantungku terpompa habis-habisan. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku terlalu beku. Sebenarnya terowongan ini apa? Ke mana bus membawaku?

Kepalaku pening. Telinga berdenging. Aku memejamkan mata, gagal mengendalikan ketenanganku. Udara menjadi padat. Aku kehilangan kendali napasku. Jemariku mencengkeram kerah seragam, sangat ketakutan dengan situasi yang terlalu asing. Anehnya dua bulatan merah yang sejajar dengan wajahku semakin terang meskipun mataku tertutup.

Aku merapatkan gigi, berusaha menyingkirkan bayangan terburuk. Tidak mungkin Sunghoon berubah seaneh itu. Tubuhku menggigil ngeri.

"Hei, Yuri-ya, palli ireonna (cepat bangun)!"

Sunghoon mengguncang tubuhku. Aku tersentak menyadari cahaya yang sangat terang. Bus masih tenang melintasi jalan aspal. Beberapa penumpang tambahan duduk di depan kami, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku mengerjapkan mata linglung, lalu menemukan lingkungan kota yang tenang. Beberapa deret kafe dengan keunikan masing-masing masih buka. Aku kesulitan mencerna situasi yang terjadi.

"Ayo, kita akan turun di pemberhentian berikutnya." Sunghoon berdiri dengan santai. Tangan panjangnya menekan bel. Bus melaju lambat sebelum berhenti tepat di depan halte berwarna merah mencolok. Langkahku terseok, tak mampu menahan kantuk. Sunghoon harus menahan ranselku agar berjalan lurus.

"Nyenyak sekali tidurmu?" ledek Sunghoon. Dia mengimbangi langkahku yang pelan.

Udara semakin menggigit. Aku memeluk diriku sendiri. Sweater yang kupakai tidak cukup untuk menahan laju angin yang menggila. Tampaknya musim dingin siap menerjang beberapa pekan lagi.

"Aku tidur?" tanyaku sangsi. Aku bahkan kesulitan tidur. Kejadian barusan terlalu nyata. Mulai dari terowongan dan kilat mata monster di sampingku.

Jelas semuanya berlalu dengan cepat dan menakutkan. Mana mungkin aku ketiduran.

"Eoh."

Aku menggelengkan kepala tidak percaya. Kulihat jam digital di ponsel. Sudah menginjak pukul 9.30 tepat sejak kami naik bus di Jongno. Busnya melaju lebih cepat dibanding naik oper kereta. Aku masih gelisah karena mendekati batas jam malam yang dibuat Eomma. Semalam aku setuju dengan jam malam yang dibuat Eomma. Maksimal aku bisa masuk rumah pukul sepuluh malam. Lewat itu, Eomma tidak mengizinkan masuk. Eomma juga memberitahu semua orang rumah kalau hari ini, sandi pintu elektrik sudah diganti. Karena aku belum tahu sandinya, aku menghadapi kesulitan besar nanti.

Seingatku, jendela kamarku tidak pernah terkunci. Hanya itu satu-satunya peluang. Namun, aku tidak bodoh. Mana bisa memanjat dinding jika tali dan pengait saja tidak punya.

Gara-gara Sunghoon!

Aku terus berjalan, walau kantuk semakin melanda. Tidur di tepi jalan sepertinya tidak masalah. Energi yang kumiliki sudah habis. Aku hanya ingin istirahat dengan tenang. Namun, aku benar-benar jauh dari rumah demi jajan patbingsu dengan stroberi super merah.

Tempatnya cukup jauh dari halte. Destinasi ke kafe yang dituju seharusnya mengendarai motor atau mobil. Justru aku banyak berjalan mengikuti Sunghoon. Aku tak tahan. Duduk berselonjor dengan kepala tertekuk ke bawah, tetapi Sunghoon menarik tubuhku berdiri. Dia menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Aku tidak bisa melawan perbuatan Sunghoon. Mataku terlalu lengket untuk sekedar terbuka. Aneh sekali bisa tidur di sembarang tempat.

Jauh sekali rasanya kami berjalan. Aku tidak sanggup bergerak, tetapi kurasakan Sunghoon akhirnya berhenti di suatu tempat. Aku berhasil memaksakan diri. Mataku terbuka sedikit, tetapi yang kulihat hanyalah permukaan lantai terbuat dari batu bata. Gelap sekali. Sepertinya semua pil tidur yang kuminum seminggu terakhir akhirnya bekerja.

"Adeul, neo wasseo (Nak, kamu sudah datang)?" Seseorang menyapa ramah. Suaranya riang dan penuh kehangatan.

Aku merasakan getaran di sisiku. Rupanya Sunghoon yang tertawa.

"Itu teman yang sering kamu bicarakan, Hooh-ah?" tanya wanita itu.

"Benar." Suara Sunghoon tampak berbeda. Dia nyaris berteriak, seakan berhasil membawa buruan terlezat untuk dibawa pulang.

"Kenapa dia?" tanya wanita itu penasaran. Tangannya sibuk mengelap gelas-gelas dengan kain putih.

"Kelelahan."

"Seharusnya kau bawa dia pulang ke rumah. Bukan ke sini."

"Tidak ada waktu. Dia bisa jadi orang yang terlibat semalam," kata Sunghoon semakin gusar.

Walau mengantuk—tidur sambil diseret makhluk bernama Park Sunghoon—aku masih bisa mendengarkan percakapan tersebut.

"Ya sudah, duduk dulu," lawan bicara Sunghoon tertawa. Suaranya sangat menyenangkan.

Kakiku seperti jeli, terseret tanpa tenaga menuju suatu tempat. Sunghoon mendudukkan aku dengan cara yang tidak lembut. Dia nyaris membantingku. Otomatis aku terbangun dengan kelopak mata terbuka lebar. Sebelum omelan melayang dari mulutku, semua indra tubuh terkunci.

Aroma kue lezat, dinding bata hitam memenuhi seluruh ruangan, obor elektrik yang terpasang di setiap sudut dan rak tinggi berisi botol dan gelas kaca. Semuanya terlalu familiar dengan ingatanku. Tidak mungkin aku tidur dan memasuki mimpi yang sama, menyaksikan kelanjutan kisah mimpiku.

Aku mencengkeram sweater bagian dada. Tepat di bagian jantung, aku merasakan kekhawatiran yang terlalu besar atas tusukan tombak bermata perak. Dadaku berdesir. Sesuatu yang dingin seperti baru melintas di atas kepala. Agaknya aku masih trauma dengan mimpiku sendiri.

Aku meneguk ludah. Serangan cemas terus menghantuiku.

"Kau mau pesan apa?" tanya Sunghoon, sengaja menyerahkan buku menu.

Aku kembali ke realitas. Kulihat sampul bukunya yang terlalu mewah. Memangnya siapa yang memakai kulit asli? Dan aku menyadari bahwa aku juga duduk di sofa satu orang dengan model unik. Kepala kursinya jauh di atasku. Aku merasa seperti ratu duduk di kursi mirip kerajaan dalam dongeng-dongeng klasik.

"Patbingsu." Aku menyahut cepat, sama sekali tidak terkesan pada isi buku menu. Ekor mataku mengikuti gerakan Sunghoon yang membolak-balikkan bukunya.

"Tidak mau mencoba yang lain? Steak di sini juga enak," pancing Sunghoon.

"PAT-BING-SU!" tekanku tidak mau diganggu. Aku harus menyudahi acara makan bersama Sunghoon di tempat serba misterius ini. Suasana serba gelap sangat tidak cocok untuk sekadar makan olahan manis seperti cake dan macaron. Seharusnya tempat ini cocok dijadikan lokasi syuting dokumenter penangkapan hantu.

"O-ke!" Sunghoon meniru intonasi bicaraku saat mengeja.

Dia pergi menuju meja bar dan memanggil wanita ramah tadi. Kini aku melihatnya dengan jelas bahwa pemilik kafe memiliki paras keibuan. Wajahnya yang bulat telur dan memiliki senyum serupa dengan Sunghoon. Aku menyipitkan mata, menemukan betapa miripnya mereka karena warna kulit.

Barangkali efek cahaya sehingga aku menilainya seperti itu. Erangan terdengar keras dari mulutku. Aku tidak tahan pada serangan kantuk yamg terlalu besar kutanggung. Aku rindu ranjang di kamar, bersama selimut tebal beraroma jeruk. Kulihat Sunghoon masih bicara dengan wanita di balik meja bar.

Aroma kuenya terlalu enak. Aku harus kembali. Menyesal rasanya malah ketiduran dalam perjalanan kemari. Aku menyalahkan diri. Seharusnya tidak ketiduran agar bisa mengunjungi kafe ini tanpa tersesat dan tanpa Sunghoon. Itu kalau patbingsu andalan kafe ini cocok dengan lidahku.

Ah, sudahlah. Aku tidak mau berekspektasi ketinggian. Nanti kecewa seperti ayam goreng, jeokbal, dan sundae.

Sunghoon kembali duduk di depanku beberapa menit kemudian. Aku tidak tertarik bicara dengan Sunghoon. Atensiku masih tertarik pada interior kafe. Kafe ini memiliki tiga pintu. Pintu pertama adalah pintu keluar masuk pengunjung, pintu kedua adalah bagian dapur kafe di balik meja bar, dan pintu terakhir menuju sebuah lorong yang lebih gelap, nyaris tidak ada penerangan sama sekali. Aku seperti tersedot untuk datang ke arah pintu, tetapi yang kulakukan hanyalah mengetuk kedua kakiku ke lantai bata dengan heboh.

Hidungku diterjang oleh bau menyengat. Aroma manis memenuhi seluruh ruangan. Aku terpesona dengan dua porsi patbingsu yang diletakkan di mangkok besar berkaki satu. Mulutku terbuka, tak kuasa pada pesona patbingsu.

"Selamat menikmati, Nak," kata pemilik kafe.

Wajah sang pemilik bukan cuma mirip karena pucat. Mulai dari bibir, alis, hidung dan mata, dia sangat mirip dengan Sunghoon.

Namun, siapa wanita itu?

******
Revisi, 17 September 2022

Help vote ceritaku di Cabaca ya agar lolos 10 besar.

Periode voting sampai 30 November 2020

RESONASI BEDUG DAN MIC AL WANNAWAN

Bisa login pakai akun FB dan email. Terima kasih.

Link bisa diakses di bio.

https://cabaca.id/#/book/challenge/588/resonasi-bedug-dan-mic-al-wannawan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro