Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kitakore + MooNs: Things

Special drabble karena saya ultah semalam xD (26/8)

Enjoy! Happy reading!

Kitakore

Kitakado Tomohisa - Cangkir
(Reader as his girlfriend - based on part 20)

Pantulan dari chandelier menyinari kumpulan cangkir beragam model. Rata-rata merupakan bahan porselen dengan warna dasar putih. Siapa lagi yang punya hobi mengoleksi benda serupa ... terkecuali hanya seorang Kitakado Tomohisa?

"Kumpulan cangkirmu banyak sekali. Mungkin bisa dipajang ke dalam museum," ucapmu terpukau.

Banyak di antaranya dikhususkan untuk pengguna kelas atas. Kau yakin gaji bulanan pekerjaan sambilanmu pun tidak cukup untuk membeli salah satu cangkir itu. Tapi semua cangkir itu punya satu fungsi yang sama; semakin cantik ketika terisi cairan cokelat kemerahan. Teh merah klasik yang diseduh dalam teko baja.

"Pilihlah satu," kata Tomohisa membuka lebih lebar rak yang setengah terbuka. "Yang mana saja, tak masalah."

Kau terkekeh pelan. "Tidak, tidak perlu. Semua cangkir ini pasti sangat mahal. Aku takut bila berakhir memecahkannya."

Terlihat ekspresi sedih dari Tomohisa. Ketahuilah, kau jadi tidak tega, meskipun tadi cukup yakin menolak secara halus.

"Mungkin aku egois, tapi ... kali ini saja."

Tanganmu akhirnya beralih memilih salah satu cangkir. Ada yang begitu ala bangsawan--- berlapis emas melingkar. Ukiran mawar. Namun, kau tidak memilih itu. Puluhan, bahkan ratusan cangkir bahkan mungkin saja ada yang tidak terpakai. Alhasil, kau mencari cangkir terdalam.

Uniknya, cangkir mungil putih itu bermotif hati yang menjadi satu. Bisa dipisahkan, tetapi akan berbentuk seperti retakan hati. Syok, kau lalu beralih memandang Tomohisa.

"Ca ... cangkirnya ada dua."

Tomohisa tersenyum lebar. "Tidak masalah. Saat kau datang ke rumahku lagi, mari minum bersama dengan cangkir yang sama. Disatukan juga tidak apa-apa."

Seketika, wajahmu merona akan ajakan yang sangat tidak terduga.

Korekuni Ryuuji - Handmade Eye Cover
(Reader as his classmate - based on part Gunting)

Matamu sembap. Segala kejadian yang terjadi seolah tidak baik. Menekanmu. Membiarkanmu didera lelah. Kau duduk merenung. Siku tertancap di meja belajar. Awan bergulung tebal bagaikan kapas.

"Menangis lagi?"

Kau menghela napas. "Kelilipan."

Ryuuji yang bertanya membalik kursi di hadapanmu. Kelas sedang kosong. Tahun ajaran berganti, tetapi kau kini menjabat sebagai sekretaris. Mengisi absen kelas.

Pipi pemuda imut itu menggembung bagaikan balon. Ia melihatmu kembali sibuk mencatat nama murid satu per satu. Baru satu bulan, artinya pencatatan ketidakhadiran mulai berubah-ubah.

"Aku kesal melihatmu bersendu."

Kau menoleh bingung. "Aku ... tak apa-apa. Sungguh. Kemarin aku kurang tidur. Makanya mataku jadi seperti ini."

"Tutup matamu."

Alismu bertaut. "Hah? Untuk apa?"

Ryuuji berdecak. "Jangan banyak tanya dan lakukan saja."

Memilih menurut, manikmu terpejam. Ternyata Ryuuji mengambil sebuah penutup mata berwarna [Favorite Color]. Benda itu disematkan dari puncak kepalamu.

"Ryuuji, apa yang kaulakukan? Aku boleh buka mata, tidak?" tanyamu harap-harap cemas.

"Sampai aku bilang boleh baru buka," kata Ryuuji memasang letak yang sesuai dengan matamu secara perlahan. "Selesai."

Meski membuka mata sekalipun, kau tidak bisa melihat apapun. Gelap. Tetapi alas yang menutupi terasa begitu halus.

"Ini ... penutup ma---haup," ucapmu yang segera terpotong ketika mendapati jejak manis di indera pengecap.

Rasa stroberi.

Ryuuji menyentuh penutup mata yang sudah terpasang rapi. "Kini tak bisa melihat, tetapi masih bisa merasa. Itu yang kaualami sekarang, kan? Kadang kau perlu istirahat sejenak."

"Ryuuji ... terima kasih, ya," ucapmu tersenyum.

Semburat merah memenuhi kedua pipi Ryuuji. "Kau tidak berhak menolak karena ini buatan sendiri. Me-mengerti?"

MooNs

Masunaga Kazuna - Perfume
(Reader as his girfriend - based on part Luka)

Suasana mall begitu sejuk berkat pendingin ruangan. Tepat kalian berada di depan sebuah etalase department store, seorang pramuniaga memberikan sebuah kertas mungil. Kazuna menerima lebih dulu.

"Silakan coba dihirup dulu. Bila suka, bisa coba dibeli."

Sembari kembali berjalan melalui toko tersebut, Kazuna mendekatkan kertas itu tepat ke indera penciumannya. Tidak lama, kertas itu diberikan kepadamu.

"[Name], apa kau suka aroma ini?"

Kau mencoba menghirup. Aroma musk yang menunjukkan esensi maskulin.

"Tidak buruk, tapi aku lebih suka aroma parfummu yang biasa."

Terkejut akan kata-katamu sendiri, kau langsung membuang muka. Khawatir dianggap mesum. Namun, ucapanmu sudah telanjur

Kazuna mengusap dagu. "Ah, begitu."

"Itu karena dulu kau pernah meminjamiku syal. Makanya aku tahu," tambahmu agar tidak muncul pemikiran ambigu.

Lelaki berambut oranye itu terkekeh pelan lalu beralih menggandeng sela-sela jemarimu. Kau melirik sepasang iris emerald-nya dengan malu-malu. Namun, gandengan itu tetap terkait begitu saja.

"Terima kasih sudah jujur kepadaku."

Kau mengangguk pelan. Kazuna memang ramah dan baik hati. Dia mungkin tidak marah, tapi kau tidak bisa menduga pemikirannya.

Kazuna tersenyum kecil. "Kalau aroma itu bisa membuatmu teringat kepadaku, aku akan sangat senang dan terus memakainya. Tapi tentu sewajar mungkin."

Kau bertutur, "Apa ... tidak apa-apa?"

"Mungkin ini buruk. Sepertinya aku ingin memonopolimu," kata Kazuna lalu menutup sebagian wajahnya dengan punggung tangan.

Onzai Momotaro - Terminal
(Reader as his friend - based on part Bus)

Hujan tidak sering muncul saat musim panas. Bus datang dan pergi tepat waktu setiap tiga puluh menit sekali. Namun, sejak insiden hujan deras di terminal, kau tidak pernah menemui Momotaro lagi.

Musim panas akan segera berakhir. Terik mentari masih siap menemani. Kau berteduh lagi di bawah terminal sambil mengipas diri dengan kipas tangan. Tidak ada siapapun. Hari juga sudah sore.

Masih ada sepuluh menit hingga bus berikut tiba. Matamu terasa berat. Tadi pagi teman sekelas mengajak ke pantai bersama. Terbawa suasana musim panas, kau bermain voli pantai hingga puas. Alhasil, kulitmu cukup terbakar.

"Sendirian?"

Kalau suara itu tidak muncul, kau sudah pasti tertidur. Manikmu terbuka dan bertemu dengan sepasang manik heterokrom. Lelaki yang sama dengan musim berbeda. Lelaki bernama Momotaro yang membalas pesan singkatnya usai dirinya mengembalikan payung.

"K-kau ...," ucapmu terkesiap. Ingin memanggil nama, tetapi tidak mau dianggap sok kenal.

"Ya, aku Momo."

Menyelipkan rambut ke telinga, kau bertanya, "Sedang menunggu juga, ya?

Momotaro membawa dua kantong putih berisi bahan makanan. Peluh keringatnya membasahi tulang selangka yang dibalut kaus putih berpadu jaket bomber abu-abu. Melihat sosok secara langsung mendebarkan jantungmu. Gugup.

"Habis belanja sayur untuk makan malam bersama teman asrama. Kau barusan bersenang-senang di pantai ya?"

Refleks, kau menyadari warna kulit lenganmu yang sudah belang karena terbakar. Malu. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, kau hanya bisa memberikan cengiran konyol.

"Begitulah. Aku terlalu menikmati hingga tak sadar sudah terbakar."

Bus pun tidak disangka tiba. Saat bercengkrama, waktu bisa berlalu sangat cepat. Seisi bus rupanya cukup ramai, tetapi masih menyisakan sejumlah kursi penumpang di belakang. Kau duduk lebih dulu di sisi jendela. Momotaro menyusul di belakang.

Kau mengira Momotaro akan duduk di bangku belakang atau seberang. Alih-alih demikian, Momotaro duduk di sebelahmu dengan santai. Seolah kalian memang begitu dekat dan dia sah-sah saja duduk bersamamu.

Memutuskan untuk diam, ternyata kantuk melandamu. Beberapa kali, kepalamu terantuk mengenai jendela bus. Momotaro sedikit mengernyitkan dahi karena benturan itu tidak membuatmu kembali terjaga.

Tidak tega, Momotaro mendaratkan kepalamu pelan-pelan ke bahunya.

Ia pun berbisik, "Kepalamu bisa benjol bila terus terantuk. Lebih baik bersandar kepadaku."

Nome Tatsuhiro - iPod
(Reader as his friend - based on part Dandelion)

Lelaki berambut ungu itu berkata kepadamu bahwa ia belum memiliki kekasih. Kalau saja tidak berseru sembari meniup dandelion, pertemuan itu tak terjadi.

"Hai," sapamu ketika mendapati Tatsuhiro menuruni lembah.

Nyaris setiap sore begitu pulang sekolah, kau akan berada di sana. Merenung, makan, atau sekadar berbaring dengan tas sebagai alas kepala. Selain itu sesekali menggambar di buku sketsa.

"Sudah lama berada di sini?"

Kau menggeleng. "Baru setengah jam."

Karena Tatsuhiro dan kau sudah berjanji, rahasiamu masih tersimpan rapat. Begitu pula tempat ini. Tempat yang menyimpan banyak kenangan.

Awalnya, kau dan Tatsuhiro saling diam. Mungkin karena kau terlalu sibuk menggambar. Mengira Tatsuhiro melihatmu, ternyata dia malah sibuk mendengarkan lagu dengan iPod

Tanganmu ternyata tidak lagi menari bersama pensil. Tatsuhiro menyadari begitu sepasang iris kalian saling bertemu. Samar-samar, kalian malah salah tingkah.

Tatsuhiro melepas salah satu kabel earphone. "Mau dengar?"

Kau mengangguk kemudian segera memasangkan kabel yang diberikan tepat di telinga kananmu. Karena panjang kabel yang tidak panjang, jarak kalian jadi sedikit lebih rapat. Alunan instrumen piano terdengar lembut dan manis.

"Kalau sudah libur, apa kau akan tetap datang ke sini?" tanyamu ingin tahu.

Tatsuhiro menyahut, "Sepertinya tidak. Aku lewat di sini karena dekat dengan sekolah."

Mendengar jawaban Tatsuhiro membuat bahumu merosot. Tatsuhiro jadi panik. Tidak menyadari bahwa ucapannya membuatmu begitu sedih. Cukup jelas, pertanyaan itu tadi sebenarnya menaruh harapan.

"Mungkin kita tak bertemu di sini. Di tempat lain," tambah Tatsuhiro. "Kita bisa berkencan."

Usai bertanya, wajah Tatsuhiro merona padam hingga ke telinga. Belum mendengar responsmu, ia pun sudah pergi tunggang langgang karena malu. Begitu sadar, sejujurnya kau merasa ajakan Tatsuhiro termasuk imut.

Osari Hikaru - Buku Dongeng
(Reader as his girlfriend - based on part Ikat Rambut)

Hikaru mulai intensif menerima perawatan di rumah sakit. Sejak menjadi kekasihnya, kau lebih sering mengunjunginya. Lelaki itu masih tak banyak berubah. Berisik dan ceria. Ramah dan ekspresif.

"Jam besuk sisa satu jam lagi," gumammu memandang jam dinding.

Jemarimu menggeser pintu ruang pasien. Dulu ada dua pasien lain di ruang yang sama, tetapi perlahan kian menyepi. Sekat tirai mulai direnggangkan. Menyisakan Hikaru.

Alih-alih mendapat sapaan heboh, ternyata lelaki itu sedang tertidur. Kau tersenyum kecil. Berjalan mengendap-endap agar lelaki itu tidak terbangun.

"Tatsu ...?" tanya Hikaru masih memejamkan mata.

Oh, lelaki itu rupanya masih setengah tidur.

"Bukan. Ini [Name]," ralatmu menghampirinya.

Hikaru langsung buka mata, menolehmu dengan senyum berseri.

"Biasanya kau datang sore hari. Ternyata kau tidak pernah absen sekalipun untuk mengunjungiku."

"Karena setiap harinya selalu berharga buatku," tuturmu. "Ada yang kauperlukan? Katakan saja."

Hikaru mengelus pelan punggung tanganmu. "Ceritakan aku dongeng pengantar tidur."

Alismu tertaut. "Dongeng apa?"

"Apa saja. Aku akan mendengarkan," jawab Hikaru. "Kalau bingung, kau bisa cari di laci."

Sesuai instruksi, ternyata memang ada sejumlah buku dongeng anak-anak. Dengan ilustrasi imut dan menarik. Kau memilih salah satunya secara acak.

"Kau ini manja, Hikaru," tukasmu terkekeh.

"Padahal buku ini kukoleksi agar bisa dipinjamkan kepada pasien anak-anak."

Hatimu sontak merasa hangat. Hikaru mungkin memang kerap berada di dalam ruangan, tetapi begitu mudah berbaur dengan pasien. Akhirnya, kau memilih sebuah buku berkover biru pekat berjudul "Si Cantik dan Buruk rupa". Membaca tiap lembar hingga tiba di akhir bagian 'bahagia selama-lamanya.'

"Hikaru ... apa kau sudah tertidur?" tanyamu pelan.

Lelaki itu bergeming; tiada suara.

Kau menutup buku lalu merapatkan selimut Hikaru. Tidak menyangka, Hikaru memegang pergelangan tanganmu. Cukup erat.

"Jangan ... pulang," gumam Hikaru.

Kau menyahut, "Tapi perawat akan segera datang. Jam besuk sudah hampir habis."

Hikaru menggeserkan posisi tidurnya. "Aku mau ditemani."

Pipimu merona. "Baiklah. Hanya sampai kau sudah tertidur. Mengerti?"

Sekimura Mikado - Susu
(Reader as his childhood friend - based on part Kacamata)

Desahan demi desahan terucap.

Mata sayu dan berair.

Rasa panas yang menjalar.

Terlena menjelang malam hari.

"Ah, ah, masih kurang. Lagi!" ujarmu dengan wajah memerah padam.

"Hah. Tambah lagi?" tanya Mikado penuh semangat.

Kau mengangguk penuh keyakinan.

Bibirmu bengkak, tapi hatimu terasa bahagia.

Ini bukan kali pertamamu ke rumah Mikado. Kau berusaha untuk tidak menangis. Namun, Mikado justru sudah menangis ditambah banjir keringat.

Karena sebuah ide bodoh.

Tantangan memakan kare pedas level sepuluh. Tentu saja kare itu dibuat bersama. Mulai dari mencari bahan masakan hingga diolah hingga jadi. Selain dari bubuk cabe, bumbu kare yang digunakan yakni mengandung merica.

Meski begitu, kare hasil kolaborasi berakhir sukses. Sensasi gurih yang nikmat dari rempah-rempah, sayuran, dan daging ayam yang terasa empuk.

"Ah! Pedas sekali! Hah!" Mikado kembali melahap potongan wortel.

"Apalagi aku juga sudah menangis. Bagaimana nasib perutku nanti," gerutumu meneguk air banyak-banyak.

Mikado bangkit dari kursi menuju pintu kulkas. Dengan santai, ia menyeruput susu kotak. Alismu tertaut dalam.

"Curang! Kau malah minum susu!"

Wajah merah Mikado perlahan sirna. "Aku benar-benar tidak tahan lagi. Mau?"

"Masih ada?" tanyamu mengipasi diri yang sudah kepanasan.

Lelaki berambut cokelat itu menggeleng. Ia mengarahkan kotak susu ke hadapanmu.

"Cuma ada satu. Kau tak masalah bila berbagi, 'kan? Bibirmu bengkak sekali. Nih."

Tidak ada pilihan, kau menerima pemberiannya. Bobot susu kotak itu masih terasa berat. Ternyata Mikado tidak banyak meminum isinya. Mungkin ia memang sengaja menyisakannya untukmu.

Sadar atau tidak, sebenarnya kau meminum dengan sedotan yang sama.

"Kapan-kapan, kita challenge seperti ini lagi, ya," ajak Mikado tanpa merasakan kejanggalan apapun.

Yup, sebenarnya tadi terjadi ciuman, meskipun secara tidak langsung.

Words: 1983

Note:
As usual, THRIVE dan KiLLER KiNG menyusul!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro