Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ketua [Part. 1] - Kaneshiro Goushi

Requested by seizumisafitri_

Buih yang mengapung. Rona biru mendominasi netra. Napas yang sesak. Kehilangan kendali. Semakin dalam. Mencapai titik terendah. Mata terpejam. Tidak kuasa menahan nyeri.

Namun, sang lelaki bersedia menarikmu penuh tenaga.

Membawa raga kembali menghirup oksigen.

"Sadarlah! Oi!"

Pipimu ditepuk beberapa kali.

Kau terbatuk-batuk seiring memuntahkan air yang tertelan. Perlahan oksigen kembali menyelubungi paru-paru. Namun, seolah air menenggelamkan jiwa, kesadaranmu hilang pula.

Ketua
Pair: Kaneshiro Goushi x Reader
B-project (c) MAGES
By agashii-san

.
.
.

"Syukurlah kau kembali hidup berkat CPR," ungkap gadis yang berasal dari jurusan keperawatan.

Berada di balik selimut hangat, kau bengong dengan wajah merona. Cardiopulmonary resusication--- napas buatan--- terjadi di luar kendalimu. Refleks, kau mengingat-ingat peristiwa sembari meraba bibir sendiri dengan wajah merona. Pelakunya samar-samar terdengar bersuara serak maskulin--- jadi, sudah pasti seorang laki-laki yang menolongmu.

"Aku ... tidak akan bisa menikah. Tidak bisa lagi," keluhmu merebah selimut hingga wajah.

Tapi meskipun timbul penyesalan, kau tetap harus berterima kasih. Kepada lelaki yang kembali membawamu bernapas.

× × ×

Sore itu, kau tergelincir dan berakhir tenggelam di kolam sedalam dua setengah meter. Sebuah kejadian bodoh. Apalagi seluruh aktivitas klub masih belum diselenggarakan secara pasti. Kampus baru buka tahun ajaran baru. Jadi, aktivitas perkuliahan dan klub akan berlangsung padat sekitar dua minggu ke depan.

Sebagai mahasiswi baru, kau tertarik mengelilingi seisi kampus sendirian agar tidak tersesat. Banyak mahasiswa yang sudah pulang usai mencatat jadwal kegiatan. Kampus kian menyepi. Dan, pelarianmu berakhir di kolam renang indoor.

"Ayah pasti akan mengomel karena pulang terlalu malam," keluhmu berjalan pelan.

Semburat jingga terlihat di angkasa. Kau berjalan menelusuri gerbang. Sebuah parkiran yang menyepi masih terlihat sesosok eksistensi.

"Apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu menjedakan langkahmu.

Lelaki itu dikaruniai rambut hitam yang kini setengah kering. Sebuah handuk mungil terlampir di sisi tengkuknya. Ia duduk di jok motor yang bukan miliknya.

"Aku ... tak apa-apa," jawabmu pelan.

Ternyata dugaanmu benar. Laki-laki.

"Baguslah. Jangan datang lagi ke kolam renang," tegur lelaki itu bangkit dari jok kemudian menjinjing gitar.

Lelaki itu mendahuluimu. Namun, kau tak langsung membiarkan lelaki itu pergi. Menyentuh sarung gitar miliknya.

"Ano, namaku [Full Name]. Dan aku mau bergabung di klub renang. Bisakah kau membantuku mendaftarkan diri?"

"Haaah?" Lelaki berambut hitam itu dibuat takjub olehmu. "Kau gadis gila. Paling-paling hanya bisa gaya batu."

Tak lama, kau berlari demi menghalangi langkah sang lelaki.

"Karena itu aku ingin belajar karena telah hidup kembali berkatmu. Aku ingin tahu namamu."

Napasmu terengah-engah--- jejak letih usai tenggelam masih belum sepenuhnya pulih--- tetapi ditutupi dengan seulas senyuman. Melihatmu begitu gigih, lelaki berambut hitam itu melengos pelan. Ia memutuskan berbalik badan.

"Panggil saja Goushi. Bisa bergabung atau tidak di klub renang membutuhkan persetujuan dariku."

Kau menganga. "E-eeeh? Doushite (Kenapa)?"

Goushi berdecak. "Atau semestinya senpai. Ketua klub renang."

Kau mengernyitkan dahi.

"Ketua? E-eeeh?"

Saat ingin menagih pertanyaan lanjutan, Goushi pun sudah menghilang. Seakan semua pertolongan menjadi lebih jelas. Siapa pula sosok yang segan mendatangi kolam di sore hari waktu itu?

× × ×

"Senpai!"

"Gochin-senpai!"

"Senpai! Senpai! Senpai!"

Panggilan demi panggilan darimu tak disanggah Goushi. Kau menggembungkan pipi. Selain acuh tak acuh, Goushi ternyata sosok yang sibuk. Namun, dirinya cukup penyendiri. Tidak lagi memanggilnya, kau mengintip dari luar pintu ruang klub yang tidak tertutup rapat.

Goushi duduk sendirian meratapi sinar mentari yang masuk dari jendela. Sebuah gitar yang dijinjing sepanjang waktu tersandar di dinding. Dari saku celana, ia memungut pick yang senada dengan warna rambut. Memetik alunan instrumen yang berasal dari enam senar.

Berdiri dan tetap mendengar senandung pelan Goushi, kau dibuat takjub dalam diam. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Seseorang menepuk bahumu. Jantungmu seolah melorot.

"He? Siapa yang mengintip, ya?" tanya lelaki berambut ikal merah muda.

Kau menyeringai kaku. "Tidak mengintip, kok!"

"Mata yang terus melebar. Bibir yang terbuka. Itu ciri-ciri antusias, bukan?" tebak sang rekan berambut biru cerah. "Yuuta, cepat buka pintunya."

Lelaki yang dipanggil Yuuta berkata, "Kenken, sepertinya Gochin sedang fokus. Tapi jarang-jarang ada gadis yang mau mengintipnya."

"Tidak apa. Gadis baik pasti sangat ingin berkenalan dengan kita. Tidakkah begitu? Panggil saja Kento," ucap Kento mengedipkan sebelah manik.

Tak sempat merespons lebih, Kento telah membuka pintu ruang dari luar.

"Ck, siapa yang masuk?" Goushi tengah menulis bait lirik.

"Jangan kelewat sinis. Kami tak hanya berdua. Ada seorang gadis yang mau bergabung." Kento menepuk bahumu.

Kau masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Tapi segera ditarik Yuuta masuk ke dalam. Goushi tidak terkejut. Dia tahu kau mengejarnya setiap hari.

"Masih belum menyerah rupanya." Goushi membuang muka. "Kau sudah masuk daftar hitam oleh petugas keamanan yang bersedia menjaga kolam."

Alismu tertaut dalam. "Kejamnya! Separah itukah ...."

Goushi berdecak. "Kalau kau sedikit lebih pintar waktu itu, kau tak perlu tenggelam."

"Bukan mauku juga untuk tenggelam!" bantahmu dengan napas memburu. "Aku akan belajar di kolam dangkal dulu. Lalu kolam dalam!"

Menyadari atmosfir perdebatan kalian yang semakin mencekam, Kento menyela, "Aku siap mengajarinya kalau kau tidak mau."

Yuuta mengernyitkan dahi lalu berucap sebagai mediator, "Kalian ... tenanglah."

Saling diam, Goushi meletakkan gitar ke sisi dinding. Yuuta menghela napas. Bukan perkara baru bila kedua rekannya saling bertengkar sepanjang waktu.

"Jangan ikut campur. Dia bukan urusanmu," ujar Goushi memberi tatapan sinis.

Kento mengangkat bahu, tidak merasa terintimidasi. "Hm? Itu haknya untuk memilih."

Kau mengepalkan tangan. Entah alasan Goushi sangat bersikeras melarangmu ke kolam renang. Saat itu bila kau tidak ditolong, bisa saja nyawamu melayang. Namun, kau tidak mau tenggelam dalam ketakutan.

"Aku hanya ingin kau yang mengajarku," tukasmu menatap Goushi lekat-lekat.

Goushi membuang muka. "Aku tak mau memberimu CPR lagi bila tenggelam."

Kento menganga. "Ternyata kalian sudah sejauh itu. Bahkan melebihi bayanganku."

Wajahmu merona lagi. "Itu cuma kecelakaan! Kali ini aku takkan tenggelam karena membawa pelampung! Lagi pula, apa yang senpai bayangkan?"

"Pelampung tidak boleh dipakai di kolam dalam. Kau takkan menguasai renang kalau jadi anak manja," sela Goushi berdecak.

Yuuta memberi cengiran singkat. "Gochin, kau harus mengajarinya! Tidakkah kau lihat semangat [Name] yang berseri-seri itu?"

Goushi melirik kedua temannya. "Haruskah? Dia benar-benar pemula, dekil, dan payah sebagai perenang."

"Gochin ... ucapanmu terlalu kejam kepada seorang perempuan. [Name]-chan jangan masukkan ke dalam hati, ya," hibur Yuuta menautkan alis.

Meski Goushi mengoceh demikian, kau masih tetap tersenyum berseri dengan segenap harapan. Kalau saja tidak ada Kento dan Yuuta, Goushi pasti bersikeras tidak berubah pikiran terhadapmu. Bujukan darimu masih kurang mempan.

Goushi mulai mengembuskan napas. Seakan harus kembali menghadapi pergolakan batin. Ia menatapmu lekat-lekat dari atas hingga bawah. Menimbang-nimbang permintaan kedua temannya.

Menunjuk diri sendiri, kau bertanya, "Ada yang salah denganku? Senpai mau menerimaku, kan?"

"Dengan syarat, kau tidak boleh bertingkah bodoh. Tidak boleh berenang kalau tidak ada aku. Termasuk mencelupkan kakimu ke air kolam sekalipun tidak boleh. Tidak boleh pakai bikini juga. Mengerti?" pesan Goushi berucap panjang lebar.

Bila ucapan Goushi barusan tidak ada jeda, siapapun bisa saja mengiranya sedang rapping.

Tidak merasa terintimidasi dengan segala peraturan Goushi, kau mengangguk optimis.

"Siap! Akan kulaksanakan. Kapan bisa dimulai?" tanyamu sudah menyiapkan notes untuk mencatat hal-hal penting.

Iris merahnya menyipit. "Pukul enam tiga puluh pagi. Terlambat sedikit saja akan kuanggap gugur sebagai murid."

Goushi tidak akan pernah memulai begitu mudah kepada siapa saja yang bergabung. Sengaja, ia menguji sisi antusiasmu.

"Wah. [Name]-chan, kalau tidak sanggup, jangan segan datang kepadaku, ya?" saran Kento menepuk dada bidangnya sembari memberi eye-wink.

Kau menggeleng lalu melingkari informasi waktu tebal-tebal dengan bolpoin tinta merah. "Tidak. Aku tidak selemah itu, senpai. Lihat saja, jangan sampai terpesona dengan kesungguhanku, Gochin-senpai!"

Terkikik penuh kebahagiaan, kau sudah keluar dengan gontai dari ruang klub musik. Tidak lupa, senandung singkat di setiap langkah. Kau tidak tahu, ketiga lelaki itu hingga akhir masih menatapmu dengan beragam ekspresi.

"Badanku merinding," tutur Goushi mengusap lengannya--- meski dibalut jas almamater tebal.

"Kode-kode cinta," ledek Yuuta. "Goushi baru sadar efeknya setelah [Name]-chan pergi."

Kento menggeleng. "Kali ini aku menyerah. Dia jatahmu."

Goushi menganga lalu membela diri. "Aku selalu tahu kalian gila, tapi ini tidak lucu sama sekali."

Meski disemprot Goushi dengan sumpah serapah sekalipun, Yuuta dan Kento tetap tertawa lepas.

× × ×

"Furi ... Furi apa maksudmu?" tanyamu masih setengah mengantuk.

Kau datang tepat waktu. Bahkan kampus masih begitu sepi. Sepeda masih bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak mahasiswa berlalu-lalang di lorong. Begitu pula dengan kolam renang indoor. Hanya ada kau dan Goushi.

"Freestyle! Gaya bebas," ralat Goushi. "Ada tiga gaya lainnya, tapi nanti temukan saja gaya yang mempermudahmu saat berenang."

"Jadi, kita sudah bisa berenang, kan?" tanyamu sudah bosan mendengar penjelasan secara teori.

Goushi menautkan alis. "Ingin sekali, ya? Omong-omong ... kau akan berenang dengan baju itu?"

Karena lelaki itu melarangmu mengenakan bikini, kau berusaha mencari pakaian renang yang tertutup. Alhasil, pakaian khusus scuba diving menjadi pilihan akhir.

"Iya. Salah, ya?" tanyamu mengernyitkan dahi. "Apa seharusnya waktu itu aku membeli tankini, ya?"

Goushi menyela, "Baju yang itu bagus, kok. Apa kau juga membawa tabung oksigen?"

Kau mengerucutkan bibir. "Untuk apa kubawa? Lagi pula sudah ada Gochin-senpai."

Usai berucap demikian, kau dan Goushi sama-sama terdiam. Kau mulai menyadari titik kesalahan dari ucapanmu. Seakan-akan tidak masalah lagi bila tenggelam dan kecelakaan itu bisa terulang kembali. Sebelum lelaki itu menyemprotmu habis-habisan, kau merangkai alasan.

"Ma-maksudku tadi karena senpai mengajariku mengambil napas agar tidak menjadi anak manja! Makanya aku tidak perlu tabung oksigen!" tambahmu tersipu.

Goushi menggaruk tengkuk. "Aku tahu maksudmu. Tidak usah malu-malu begitu."

Lelaki itu melangkah menuju anak tangga kolam. Ia menuruni lebih dulu. Kemudian menoleh dan bersandar di samping tangga yang sudah dituruninya. Disusul olehmu, kau meraba tiang tangga. Ternyata dasar kolam tidak terpijak sama sekali. Ketakutan kembali menyusuri batinmu.

"G-Gochin-senpai ... aku tidak merasakan dasar kolam ini," ujarmu merasakan tubuhmu mulai bergetar.

"Jelas. Kolam ini dalamnya dua setengah meter. Pegang tanganku."

Ketakutan itu baru terasa begitu ragamu tercelup air di dalam kolam. Mengenali air begitu luas. Saat belum mengenal, air seakan siap melahapmu tanpa persiapan. Tanpa kuasa darimu. Kemudian menengelamkanmu sedalam-dalamnya tanpa ampun.

Namun, saat memegang tangan laki-laki itu terasa begitu kokoh. Sedikit kepercayaan yang dipancarkan Goushi menjalar kepadamu. Kakimu akhirnya bisa meraba lantai--- meskipun bukan titik dasar--- melainkan alas kolam dari anak tangga.

"Raba tepi kolam, lepaskan sedikit, dan jauhkan diri. Lalu gapai kembali," ucap Goushi memberi instruksi dengan mempraktikkan secara langsung.

Gerakan singkat itu begitu luwes. Tanpa rasa takut, mengapung, kemudian tiba ke tepi kolam begitu saja. Kau meraba tepi kolam. Kakimu ingin berada dalam posisi melayang di dalam air. Namun, terasa begitu berat. Beban yang terdiam dalam air.

"Tidak mencoba? Sisa setengah jam lagi. Sebentar lagi ada kelas pagi," tukas Goushi menunggu reaksimu yang masih bergeming.

"Aku bingung harus memulai dari mana." Kau menautkan alis. Tiba-tiba jadi ingin menangis. Kepercayaan diri itu seketika pudar. Menghancurkan harapan sejadi-jadinya.

Goushi memegang kedua tanganmu. "Mari menyelam bersama-sama."

"Eh?" Manikmu melebar. "Bagaimana bisa...?"

"Dalam hitungan ketiga masuk ke dalam air. Tahan napasmu. Satu ... dua ... tiga!"

Hatimu belum siap. Atau tidak akan pernah siap. Aba-aba itu berlalu seiring Goushi membawamu bersamanya menyelam ke dalam air. Segalanya biru bening. Sensasi yang sama, meskipun situasi yang berbeda.

Melihatmu tak tahan berada di dalam air, Goushi mengangkatmu kembali ke permukaan. Alhasil, kau terbatuk-batuk karena terminum air. Goushi memandangmu khawatir lalu menggiringmu bersandar di anak tangga.

"Takut?" tanya Goushi jadi merasa bersalah.

"Tidak. Ini baru permulaan, jadi ini bukan apa-apa," katamu mengambil napas banyak-banyak.

Goushi terkekeh. "Baiklah. Karena aku telah menyukai semangatmu, kuharap kau tidak menarik ucapanmu."

Mendengar kata "suka" mendebarkan batinmu, meskipun ditujukan ke arah yang sepenuhnya berbeda. Alhasil, kau hanya bisa tersenyum canggung. Hari pertama, hari permulaan Goushi mau mengajarimu berenang ternyata begitu menyenangkan. Dan kau semakin tidak ingin menyerah. Kemudian memilih untuk menaruh harapan.

× × ×

Sejak saat itu, Goushi mengajarimu seminggu dua kali--- berdasarkan penyesuaian jadwal masing-masing. Kemampuanmu sedikit demi sedikit meningkat. Ketakutanmu terhadap dalamnya air perlahan sirna. Karena terbiasa, kau mulai paham dan mengenali dunia renang. Meskipun ajaran Goushi bermula dari desakanmu (ditambah Yuuta dan Kento). Setidaknya, kau sudah tidak setakut dulu.

Tapi semua ini tidak selamanya. Pertemuan ini. 

Tidak ada yang kekal, apapun itu. Teruntuk momen yang berlalu terlalu singkat.

Waktu demi waktu yang berjalan terus berujung memisahkan.

"Gochin-senpai, mari sama-sama menyelam!" ajakmu penuh antusias. "Kita lihat siapa yang paling lama menahan napas."

Seperti waktu itu, kini kau giliran memulainya.

Goushi mendengus. "Baiklah kalau kau meminta. Tapi aku pasti tetap akan menang seperti dulu."

Setelah aba-aba ketiga, kalian mencelupkan diri ke dalam air. Saling berdiam. Goushi tidak menahanmu seperti dulu karena kau sudah mulai bisa terapung di dalam air. Di satu sisi, kau tidak berani menatap iris merah Goushi seperti dulu. Kolam ini juga yang membawa petaka, tetapi juga membawa kenangan indah.

Sekitar semenit lebih, Goushi memutuskan kembali ke permukaan. Namun menyadarimu masih berdiam seperti gaya batu. Perlahan-lahan tenggelam. Kau tidak ingin kembali. Tapi paru-parumu terasa sesak. Meski demikian, Goushi masih menjemputmu. Seperti dulu.

"Kau gila, ya?!" semprot Goushi memegang kedua lenganmu. "Kita menyelam, bukan tenggelam!"

Matamu terasa basah. Antara perih terpapar klorin atau konflik batinmu, semuanya bercampur menjadi satu. Kau terbatuk-batuk kecil akibat terminum air.

"Sekeras apapun aku belajar, aku tidak akan bisa berenang, senpai. Jadi, mari kita akhiri."

Mengutarakan kebohongan untuk menghindari luka-luka yang lain.

Iris merah Goushi melebar. "Hah?"

"Aku ... sudah tidak ingin berenang lagi," sangkalmu membuang muka.

Dialah sang ketua, tidak selalu bersedia untukmu. Itulah yang terus terlintas dalam benakmu. Meski tidak berani melihatnya, kau bisa merasakan tatapan Goushi yang cukup lama. Tapi tatapan itu tidak kunjung mendapat balasan. 

Tanganmu beralih menggapai anak tangga kolam, tetapi Goushi menahanmu. Bersandar di sana. Enggan membiarkanmu pergi begitu saja. Ternyata deklarasi yang telah kaukatakan tidak disahuti Goushi dengan tawa lepas atau tebaran confetti. Tidak keduanya. Akan lebih baik menurutmu bila laki-laki itu masih terlihat tidak suka dan meremehkan. Meskipun perbuatan itu jelas-jelas menyakitkan hati.

"Jangan berbohong," kata Goushi. "Ck, Apa masalahmu?"

"Sungguh. Aku sudah muak dengan berenang." Kau menaikkan intonasimu karena terpancing emosi.

Masih memegang pergelangan tanganmu, Goushi bertanya, "Apa alasanmu muak berenang karenaku? Oke, itu tidak masalah, tapi kuharap itu bukan alasanmu berhenti belajar."

Manikmu melebar. Tidak seperti pertanyaan tadi, untuk menjawab terasa begitu berat. Lidahmu kelu. Tidak mudah bagimu untuk merasa muak diajari olehnya bila sudah menaruh harapan. Tapi bila kau menjawab "tidak", segala usaha ini akan sia-sia.

"Iya," jawabmu berat hati. "Sekarang aku sudah boleh pergi, 'kan?"

Saat tanganmu beralih melepas genggamannya, lelaki itu masih bersikeras mempertahankan. Membuat pertahananmu sewaktu-waktu goyah.

"Aku paling benci dengan pembohong."

"Aku tidak berbo---"

Goushi menjedakan segala kekuatanmu. Ia melepas genggamanmu kemudian memegang dagumu. Ketika menyentuh bibirmu dengan bibirnya, semilir aroma peppermint menguar. Dibuat terlena--- sesaat turut memejamkan mata. Namun, tidak lama, kau berusaha kembali terpaku dengan akal sehat. Tanganmu menepuk dada bidang Goushi. Memaksa untuk melepas diri. Goushi tertegun ketika bulir manikmu membasahi pipi. Tanpa kata-kata, tanpa kekangan, kau pergi meninggalkan laki-laki itu.

Di saat hati memutuskan untuk melepas, apa yang harus dilakukan bila cinta datang?

To be Continued

A/N:
Akhir-akhir ini, saya memang kurang apdet (sebulan cuma apdet 2-3 kali). Mungkin ada yang merasa kalau saya jadi sering buat twoshoot daripada oneshoot. Sebenarnya, ini sebagai kompensasi buat pembaca; dibuat panjang meski progres lama. Ke depannya, saya akan usahakan jadi oneshoot lagi, kok (UwU). Masih ada sisa rikuesan.

Sampai berjumpa di part selanjutnya!

Love,
Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro