Une: Ataraxia
Engkaulah sapta urna yang mewarna sanubari hampa ini
Segala kelabu kau tepis melalui hadirmu dalam atma tak berperasaan ini
Daksa yang semula buta warna kini mampu memandang dikaranya pancawarna
Bagai pelangi yang datang selepas rintik tirta jatuh dari bumantara, dan lalu menarik kembalinya baskara, engkau datang menyinggahi hati tanpa warna ini
Kau torehkan warna-warni indah di atas kanvas kosong ini, lalu kau halau duka yang berkecamuk
Namun kini warna itu itu memudar, seiring samarnya eksistensi sang Pelangi
Segalanya kembali seperti semula, gulita akan kembali menjadi gulita, hati yang sepi akan kembali sepi, sunyi tak bergeming
Allegro bernuansa ceria kini berganti menjadi sendunya Aria
A poem by Faa
Chapter 1
—Ataraxia—
(n.) Kedamaian jiwa
Dihimpit tiga orang berisik itu tidak nyaman.
Kini ia bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi sampai-sampai ia bisa bergabung dalam kumpulan orang aneh itu?
Candaan tak lucu dari tiga orang itu membuatnya terganggu. Serius, mereka ini anak kuliahan atau bocah SD? Terlebih Manusia Albino itu, benar-benar tak ingat umur.
"Hei, bisakah kalian diam? Aku harus mempelajari beberapa materi. Memangnya kalian tidak ada kesibukan?"
"Nee, Fushiguro, terlalu stres memikirkan perkuliahan itu tidak baik. Bisa-bisa rambutmu rontok karena itu," seorang gadis dengan rambut sepanjang bahu menyahut.
Lelaki bermarga Fushiguro dengan nama belakang Megumi itu makin tidak tahan. Memangnya Nobara pikir kuliah itu apa? Masa untuk bermain-main?
"Tapi kulihat frekuensi belajarmu agak berkurang akhir-akhir ini," salah seorang yang lainnya berkomentar.
"Yuji benar. Kau sedikit lebih santai daripada biasanya. Kau ... masih sendiri, kan?" Nobara membenarkan ucapan Yuji.
Perkataan Nobara barusan sukses membuat Fushiguro tersedak ludahnya sendiri. Ia lalu menepuk-nepuk dadanya. "Maksudnya?"
"Maksud Nobara, kau belum punya pacar, kan?" jawab seorang pria dengan penampilan aneh sok nyentrik yang merupakan salah satu Dosen di Fakultas Ekonomi.
"Bicara apa kalian? Sudah kubilang, kan, kalau aku ingin fokus kuliah?"
Ia bohong.
Sebetulnya, ada seorang gadis yang menarik perhatian Fushiguro akhir-akhir ini. Gadis itu adalah putri tunggal dari pemilik restoran Eropa tempat Fushiguro bekerja paruh waktu.
Mereka sudah lama saling mengenal, namun baru akrab sejak sekitar 3 bulan lalu. Eliane Iris, lengkapnya Eliane Iris von Waldemar, itulah namanya. Ia seorang mahasiswi di Fakultas Sastra.
Padahal, Eliane hanyalah gadis normal seperti biasa. Fushiguro tak pernah tertarik satu kali pun pada gadis yang kelewat pasaran seperti itu. Tapi entah mengapa, Eliane terlihat berbeda di mata seorang Fushiguro.
Bahkan kini Eliane menjadi salah satu alasan Fushiguro bertahan hingga saat ini. Eliane selalu ada kapan pun saat Fushiguro membutuhkan bahu untuk bersandar, ia juga selalu menghibur Fushiguro dengan senyuman tulusnya. Semua tutur yang ia utarakan membuat Fushiguro merasa seolah baik-baik saja. Itulah alasan ia menjatuhkan hati pada Eliane.
"Aku pulang duluan hari ini." Fushiguro beranjak dari kursinya. Ia mulai merapikan buku-bukunya lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Loh, bukannya jam kerjamu masih lama?" tanya Nobara.
"Fushiguro, jangan bilang kau...." Yuji menggantungkan kata-katanya.
"Menyukai putri dari pemilik restoran itu?" Gojo meneruskan ucapan Yuji yang tergantung.
Fushiguro mengacuhkan omongan tiga orang aneh itu. Ia memutuskan untuk segera pergi sambil membawa tasnya. "Jangan berkata kalau tidak ada faktanya." Ia lalu melenggang pergi.
☁
☁
☁
Fushiguro mengayuh sepedanya menuju ke arah Taman Kota, tempat ia biasanya memenangkan diri dari penatnya aktivitas sehari-hari.
Atmosfer yang diciptakan lingkungan penuh sekar dan rumput hijau itu selalu berhasil menenangkan jiwa raganya.
Ia kembali mengingat Eliane.
"Dia itu ... selalu bisa menenangkanku. Tapi apakah dia juga merasakan apa yang kurasakan?" ucapnya sebelum ia menampar pipinya sendiri. "Kau bicara apa sih, dasar!"
Fushiguro melihat seorang ayah bersama putrinya melintas di depannya. Satu pertanyaan yang muncul: mengapa ia tak mampu mendapat kebahagiaan dari keluarganya sendiri? Malahan orang-orang yang bukan keluarganyalah yang mampu membuatnya merasa berharga.
Ia lalu menarik sebuah benda berbentuk persegi panjang dari ranselnya. Dinyalakannya benda itu, sekejap, lalu ia matikan kembali.
"Hari ini, ya?"
Hatinya dipenuhi kegelisahan serta kebimbangan. Ia lalu menengok ke arah sepasang ayah dan putrinya yang telah berjalan menjauh, hingga hanya menyisakan punggung mereka yang makin mengecil semakin lama Fushiguro memandangnya.
"Masih ada 30 menit lagi."
☁
☁
☁
Mega mendung menghias langit sore ini. Warnanya kian menggelap, pertanda titik-titik banyu sedang menunggu waktunya untuk jatuh menuju bentala. Tinggal menunggu beberapa menit lagi untuk hujan turun.
Fushiguro menapakkan kakinya di sebuah tempat penuh bunga bermekaran dengan aroma yang semerbak. Tepatnya, aroma semerbak bunga kematian. Di kanan-kirinya terdapat banyak batu nisan berjejer dengan nama orang-orang yang telah beristirahat di bawahnya.
Hari ini, tepat memperingati 13 tahun meninggalnya kedua orangtua Fushiguro.
Ia berjalan lurus ke depan menuju dua buah batu nisan dengan letak bersebelahan yang menjadi tempat persemayaman terakhir dua insan yang pernah menjadi kebanggaan Fushiguro.
Ya, ia selalu bangga dengan kedua orangtuanya sebelum kejadian itu.
Fushiguro berdiam sejenak di hadapan kedua orangtuanya. Ia lalu maju sambil membawa dua buah buket bunga krisan putih. Ia letakkan buket itu di atas tempat orangtuanya beristirahat untuk selamanya.
Fushiguro berlutut, bersamaan dengan jatuhnya rintik kecil air dari cakrawala yang disebut sebagai gerimis. Ia membiarkan dirinya dibasahi rintik gerimis yang kian lama kian deras. Gerimis kecil kini berubah menjadi hujan deras.
Ia menengadah ke langit yang tertutup sempurna oleh gegana berwarna hitam kelabu.
"Jika ada pelangi setelah hujan, apakah ada kebahagiaan setelah kesedihan?"
Sang hujan makin menggila. Fushiguro menggigil kedinginan dibuatnya. Pucuk dicinta, ulam tiba. Fushiguro bisa merasakan rintik hujan yang berhenti membasahinya. Pemandangan langit kelabu pun tertutup oleh sebuah benda berwarna hitam yang menjadi pelindungnya saat ini.
"Jangan begitu, Fushiguro, nanti kau masuk angin."
"Eli ... ane?"
"Berdirilah, Fushiguro."
Fushiguro menuruti perintah sang gadis. Ia berdiri, lalu berbalik agar pandangan mereka saling bertemu.
"Kau sedang apa di sini, Eliane?" tanya Fushiguro sambil merangkul dirinya sendiri karena kedinginan.
"Aku...." Tatapan mata Eliane bergerak ke kanan dan ke kiri. Fushiguro segera mengerti bahasa tubuh gadis itu.
"Tidak apa, kau tidak perlu bercerita."
Eliane menggeleng. "Tidak. Karena kau sudah menceritakan segalanya, maka aku juga akan menceritakannya."
"Sebetulnya, aku memiliki seorang adik," Eliane tampak senang saat membicarakannya, namun semuanya segera berubah 180 derajat, "tapi adikku meninggal saat di dalam kandungan."
Fushiguro kini benar-benar merasa bersalah. "Maaf sudah mengingatkanmu. Aku turut berdukacita."
"Setelah kejadian itu, Mama jadi stres berat. Aku dan Papa selalu mencoba menguatkan Mama. Kami juga membawa Mama ke beberapa Psikiater, dan syukurlah sekarang Mama sudah membaik kondisinya."
Elaine melanjutkan ceritanya, "Aku ... ingin sekali bisa berjumpa dengan adikku. Makanya, hampir setiap hari aku selalu mengunjungi makamnya, lalu bercerita tentang segalanya, dan berharap ia akan menanggapi ceritaku. Aku memang aneh," ia tertawa di akhir kalimat.
"Eliane, kau—"
Eliane mengambil langkah agresif yang sukses membuat Fushiguro salah tingkah. Padahal, tadi Fushiguro berniat melakukannya duluan, namun Eliane jauh lebih cepat dibandingkan dirinya.
Eliane mengeratkan pegangannya pada pinggang Fushiguro. Perbedaan tinggi mereka yang terbilang cukup jauh membuat kepala Eliane menempel di dada Fushiguro. Satu saja harapan Fushiguro; semoga Eliane tidak mendengar bunyi detak jantungnya yang ritmenya tak karuan.
"Kalau aku bisa, kau juga harus bisa. Apapun yang terjadi, bertahanlah, karena aku akan selalu ada untukmu!"
Faa,
01-06-2021
1140 words.
(1112 words without poem)
***
Cringe parah, asli. :")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro