CHAPTER 36
Hei Yanjing menampakkan dirinya dari dalam kegelapan. Tidak ada waktu untuk berpikir. Dia menembakkan peluru ke salah satu preman yang menyerang Xiao Hua dengan membabi-buta. Semua orang yang berada di sana terkejut luar biasa, menoleh bersamaan pada sosok pria tinggi serba hitam yang tampak mengancam.
"Sialan! Mau apa kau kemari? Cari mati?!" Salah satu dari mereka menyalak, sedangkan preman yang tertembak berguling-guling di tanah, mengerang, memegangi bahunya yang berdarah.
Yang pertama mengenalinya tentu adalah Xiao Hua. Semangatnya tumbuh kembali setelah hampir kewalahan menghadapi tiga preman yang cukup kuat. Beberapa lebam menghiasi wajahnya dan pakaiannya kotor oleh debu.
"Hei Ye!" pekiknya senang.
Ketua dari kawanan preman itu kini menjadi sedikit resah. Sindikat penculikan yang telah dia pimpin selama beberapa tahun berhasil diporak-porandakan para petugas polisi andal. Mereka baru saja akan mengubah keberuntungan dengan menculik salah satu kapten polisi dan mengancam pihak-pihak tertentu demi keuntungan mereka. Saat ini bukannya sukses, mereka justru didatangi satu pria gila lagi.
"Hajar dia!"
Tanpa menunggu lama, dua orang yang tengah menghisap rokok melempar puntung dan menyergap ke arah Hei Yanjing.
"Kalian tidak bisa menyingkirkanku dengan mudah." Dia memberi kawanan bajingan itu memberinya senyuman serigala.
"Beraninya kalian menculik Kapten Xie! Apa kalian ingin diopname sepuluh tahun?"
Selesai mengumpat dia menembakkan dua peluru lagi masing-masing ke paha penyerangnya. Jeritan keras seketika membelah angkasa malam.
Tempat yang awalnya sepi kini dipenuhi suara-suara yang tumpang tindih antara letusan tembakan dan teriakan. Sisa preman yang mengepung Xiao Hua terlihat mulai frustasi tapi masih mencoba melumpuhkan sang kapten. Dalam situasi genting itu, pria yang tengah meneguk minuman membanting botol penuh amarah, menarik pistol dan mengarahkannya pada Hei Yanjing, mengira pria itu lengah.
Hei Yanjing melemparkan dirinya ke satu sisi untuk menghindari desingan peluru, lututnya jatuh ke tanah, berputar dan menembakkan peluru balasan.
"Jangan bunuh dia, Hei Ye!" Xiao Hua yang baru saj menjatuhkan satu lawan terakhir meraung demi melihat aksi si supir taksi yang membuatnya cemas. Terlambat, peluru itu menembus dahi si ketua.
Untuk kesekian kali, Xiao Hua merasa deja vu. Dia berdiri kaku menatap sosok ketua sindikat yang sudah menjadi mayat dengan tatapan mata membelalak. Darah mengalir dari kepalanya yang bocor. Pemandangan mengenaskan ini mengingatkannya pada adegan serupa. Entah kapan dan di mana.
Di sisi lain area, tampak Hei Yanjing meniup pistolnya sebelum menyeka sisa sidik jari di senjata itu kemudian melemparnya ke samping satu preman yang terkapar.
"Lihat, aku telah merekayasa TKP untuk mempermudah urusanmu. Tapi sepertinya kau harus membayar ganti rugi karena aku terpaksa membuang pistol yang berharga ini."
Xiao Hua, "...."
Pria hitam itu bergerak cepat menyentuh bahu para preman yang tersisa, lalu dengan cara yang sulit dipahami, semua preman itu jatuh pingsan berbarengan.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Xiao Hua, suaranya mengandung kecemasan.
Hei Yanjing tidak menjawab, lalu dia berjalan menghampiri Xiao Hua. Senyumannya santai, kejam, mau tak mau membuat Xiao Hua bergidik.
"Keadilan di tempat," katanya.
Xiao Hua menggeleng tidak setuju. "Ini melanggar aturan," gumamnya.
"Aku tahu. Kepemilikan senjata api ilegal, penyalahgunaan, manipulasi bukti, main hakim sendiri." Hei Yanjing masih mempertahankan senyum kejinya.
"Bajingan itu sudah beraksi begitu lama dan kalian cukup lambat menangkapnya. Mereka pasti memiliki jaringan yang kuat di bawah tanah. Membunuhnya tidak akan mengubah banyak hal, tapi jika dia tidak dilenyapkan, dia bisa menggerakkan pihak lain untuk terus melakukan kejahatan. Kau pasti tahu lebih banyak tentang ini, Kapten Xie."
Sebenarnya, Xiao Hua pun merasakan amarah yang menggelegak dan kebencian yang bergelora. Begitu kuat hingga dia merasakan naluri kejam bangkit dalam dirinya seperti hewan buas yang bangun dari tidur. Namun dia memikirkan tentang hukumannya. Hei Yanjing bukan petugas polisi, dia bisa saja mengelak dan menyerahkan kekacauan ini untuk dibereskan oleh Xiao Hua. Tapi bagaimana cara membungkam beberapa orang saksi? Haruskah ada intimidasi lain yang akan berbuntut panjang?
"Ini masalah besar,Hei Ye,"desahnya, putus asa. "Para peman ini---"
"Jangan khawatir," tukas Hei Yanjing, menoleh padanya. Lalu dalam sekejap senyuman kejinya berubah manis.
"Kau hanya perlu menjelaskan apa yang terjadi, mereka semua tidak akan membahayakanmu."
"Tidak mungkin, mereka akan bersaksi."
Bertekad mengakhiri semua ini, Hei Yanjing meraih tangan Xiao Hua dan menariknya untuk meninggalkan area itu. "Percayalah padaku, Kapten Xie. Mereka tidak akan mengatakan apa pun. Lagi pula mengapa kau khawatir? Mereka telah melakukan banyak kejahatan dan mencoba menculik serta menghajar polisi. Dan hal yang paling penting bagiku adalah bahwa polisi itu adalah dirimu."
Untuk sekian detik, Xiao Hua tidak bisa berbicara. Keduanya tiba di samping taksi Hei Yanjing yang terparkir dalam gelap. Supir taksi itu membukakan pintu dan membantu Xiao Hua duduk serta memasang sabuk pengaman.
"Alih-alih berdebat, sekarang ucapkan terima kasih padaku karena begitu baik hati menyelamatkanmu."
Xiao Hua hanya duduk kaku menampilkan ekspresi wajah yang berubah-ubah. Melihat pria babak belur itu diam saja, Hei Yanjing terkekeh dan mulai menghidupkan mesin.
"Lupakan saja," katanya sedikit muram, "Kau lebih suka menghamburkan uang untuk mentraktir seseorang daripada mengucapkan kata-kata tulus yang romantis."
Berpura-pura tidak mendengar ocehan supir taksi, Xiao Hua sibuk mencari ponsel dan tanpa basa-basi melaporkan kejadian nahas yang menimpa dirinya dan juga lokasi di mana preman-preman itu memukulinya.
"Ketua mereka telah mati," katanya pada seorang rekan, "Salah seorang anggota kawanan itu mencoba menembakku tapi pelurunya mengenai target lain. Kalian bisa memeriksa TKP secepatnya, aku akan pergi ke rumah sakit dengan taksi."
Kebohongan itu terdengar menggelikan, tapi Xiao Hua mengatakannya dengan sangat serius. Dia juga tidak khawatir dituduh karena dia tidak membawa pistol. Begitu panggilan telepon berakhir, Xiao Hua menghela napas dan berkedip-kedip seperti orang linglung.
"Aku merasa aneh," katanya.
Taksi melaju kencang di jalan perbukitan yang gelap dan curam. Medan yang berbahaya, tapi Hei Yanjing masih bisa mengemudi dengan gesit bahkan sambil tersenyum.
"Bagus sekali, Kapten Xie. Jadilah kejam. Dunia ini terlalu keras untuk seorang pria manis."
Xiao Hua melebarkan matanya, "Manis katamu?" dia memprotes disambut ringisan oleh Hei Yanjing.
"Astaga, kau pasti lemas karena telah berkelahi dengan para preman. Tubuhmu babak belur, tapi anehnya bicaramu masih saja sinis. Kau memang pria yang unik, Kapten Xie."
Kata-kata terakhir itu cukup membuat Xiao Hua semakin lemas dan lelah. Matanya berat, dan seluruh tubuhnya sakit. Tanpa memperhatikan lagi ocehan Hei Yanjing, dia mulai bersandar santai, memejamkan mata. Menit demi menit berlalu saat suasana dalam mobil mulai tenang. Kemudian tanpa diduga, beberapa patah kata meluncur dari bibir lebam Xiao Hua.
"Ngomong-ngomong aku belum mengatakannya padamu," ia bergumam.
Hei Yanjing menoleh sekilas, menaikan alisnya hingga melewati batas kacamata.
"Kukira kau tertidur," sahutnya, menyeringai.
"Terima kasih." Ucapan itu terdengar tulus.
Hei Yanjing merasa bahwa ia salah dengar. "Kau mengigau, ya?" kekehnya.
Ada sebuah jeda yang sangat menyenangkan baginya saat Xiao Hua terkunci dalam alur pikirannya sendiri. Detektif itu tidak bisa tidur dan kini membuka mata lebar-lebar menatap jalan raya.
"Tapi Hei Ye, kata-kata yang kau ucapkan di sarang penjahat tadi, entah mengapa seperti sebuah deja vu bagiku."
Kekhawatiran yang tak dapat dijelaskan menguasai Hei Yanjing.
"Apa itu?" tanyanya.
"Bunuh dia, keadilan di tempat..."
Tenggorokan Hei Yanjing bergerak sedikit saat ia menelan liur.
"Aku merasa seseorang pernah mengatakan itu padaku. Tapi aku tidak ingat kapan dan di mana," lanjut Xiao Hua.
"Jangan dipikirkan," sahut Hei Yanjing, mencoba terdengar santai. "Mungkin itu hanya dialog dalam film."
Sebagian dari diri Xiao Hua berharap bahwa itu benar, tapi bahkan setelah mengatasi situasi genting dan melakukan tugasnya, Xiao Hua masih tidak mengerti mengapa beberapa ingatan terus mengganggunya seperti lembaran hitam yang berkeping-keping.
"Mungkin kau benar," akhirnya ia mendesah, lalu memejamkan matanya lagi.
"Kapten Xie, ke mana aku harus mengantarmu? Rumah sakit atau apartemenmu?"
Xiao Hua tidak langsung menjawab, mempertimbangkan apakah kondisi fisiknya saat ini membutuhkan dokter atau tidak.
"Jika ke rumah sakit, mungkin aku tak bisa menemanimu. Apartemen kedengarannya lebih---"
"Rumah sakit," Xiao Hua memutuskan, memotong kalimat Hei Yanjing yang berselimut harapan.
Pria hitam itu mengangkat bahu, tidak bisa memprotes keras. "Huh, oke..."
Dia kehilangan semangat dan mulai mengurangi kecepatan taksinya. Cara mengemudinya yang lebih nyaman kali ini mulai membuat Xiao Hua mengantuk lagi, dan dalam waktu sepuluh menit perjalanan, detektif itu benar-benar jatuh tertidur.
Dalam kilasan mimpi yang suram, dia melihat sosok samar dalam gelap dengan sepasang mata berkilau. Gema suaranya rendah dan kejam, mengatakan hal-hal yang tak bisa dipahaminya.
Dia mungkin bisa menghapus ingatan. Tapi ada satu hal yang tak bisa dihapuskan oleh The Eraser...
Apa itu?
Perasaan.
Mimpi aneh yang sama muncul kembali, diringi desisan tawa yang menakutkan, dan saat Xiao Hua nyaris tersedak sampai mati, dia mendapati taksi sudah berhenti di depan rumah sakit. Matanya yang terbuka lebar menatap nyalang, dipenuhi bara.
"Kita sudah sampai, Kapten Xie..."
Jemari Hei Yanjing yang menyentuh punggung tangannya terasa menenangkan. Mungkin hantu yang hadir dalam mimpi buruknya akhirnya sudah muak bercanda karena sebagian besar teror itu perlahan mereda dan Xiao Hua akhirnya bisa menarik napas dalam-dalam.
"Baiklah," bisiknya, mengangguk lemah. "Aku akan menemui dokter."
"Biar kuantar," ujar Hei Yanjing, lebih sigap dibandingkan dengan petugas paramedis. Dia melompat turun, membuka pintu dan membantu Xiao Hua agar bisa berjalan tegak tanpa terhuyung ke depan.
"Sepertinya kau sedikit mabuk, Kapten."
"Uh, ya. Aku dan rekan tim baru saja makan malam dan minum-minum bersama."
Keduanya berjalan melintasi halaman rumah sakit. Wajah Hei Yanjing terlihat sedikit cemberut saat ia mulai kembali pada gayanya yang khas.
"Aku sudah menyelematkanmu. Sesuai sifatmu, seharusnya kau juga mentraktirku makan enak."
Senyum kaku menghiasi wajah Xiao Hua. Matanya melirik sekilas pada si pria hitam lalu berkata, "Tentu. Saat kondisiku lebih baik dan urusan selesai. Aku akan mengajakmu makan enak di sebuah restoran tepi sungai. Bagaimana?"
"Hanya itu?"
Nada ganjil dan menjengkelkan terdengar sangat jelas dalam suara Hei Yanjing. Reaksi pertama Xiao Hua adalah mengernyit dan senyumnya pun perlahan pudar.
"Ya. Apa lagi yang kau mau dariku? Kau tidak berniat memerasku, kan?"
Ada rasa dingin di dadanya yang sudah dia abaikan selama berbulan-bulan. Hei Yanjing tidak bisa berkata banyak pada seorang kawan baru. Dia menatap Xiao Hua sejenak kemudian tersenyum miring.
"Serius sekali. Aku hanya bercanda, Kapten Xie."
Xiao Hua memutar bola matanya. "Itu sama sekali tidak lucu."
"Tidak ada hal lain. Makan enak sudah cukup bagiku."
Hei Yanjing menutup ocehannya dengan senyum yang lebih tulus, sepertinya dia benar-benar bahagia atas selamatnya Xiao Hua. Tersentuh oleh ketulusan itu, Xiao Hua pun membalas senyumannya.
Mereka tiba di lobi rumah sakit yang hidup. Di tengah petugas medis andal yang berlalu lalang, Hei Yanjing pun melepas Xiao Hua.
"Sampai nanti, Kapten Xie...."
Dia berbalik dan pergi, melepaskan tangan Xiao Hua yang masih terulur kaku. Tertegun sendiri, Xiao Hua pun seolah mendengar suara dalam mimpi buruk itu bergema lagi.
Dia mungkin bisa menghapus ingatan. Tapi ada satu hal yang tak bisa dihapuskan oleh The Eraser...
Apa itu?
Perasaan, Detektif Xie.
Rasa takut, gelisah, benci, dan ... cinta.
Rasanya seperti ada embusan angin dingin menyapu dada Xiao Hua menyaksikan pria itu pergi. Bahkan saat dia memikirkannya lagi di kemudian hari, dia tak tahu mengapa ada dorongan kuat untuk mencegah Hei Yanjing pergi.
"Hei Ye, tunggu!"
Langkah pria itu belum mencapai jarak lima meter dan ia masih bisa mendengar panggilan Xiao Hua. Perlahan Hei Yanjing menoleh, tersenyum sekilas seperti memahami sesuatu.
"Setidaknya, temani aku menemui dokter dan antar aku kembali ke apartemen. Kau tega meninggalkan pria babak belur sendirian di sini?"
Hei Yanjing menaikkan sebelah alis, berdiri tanpa menghampiri dan berpose seperti seorang foto model tahun tujuh puluhan.
"Tarifku mahal, Kapten Xie," candanya.
"Jangan khawatir," Xiao Hua tidak bisa menahan untuk tersenyum bodoh, "Aku pasti akan membayarnya."
Hei Yanjing kini tersenyum lebar, menyentuh bingkai kacamata dengan jarinya. Lalu dia menatap Xiao Hua dengan ekspresi heran.
"Sebenarnya aku tidak benar-benar berniat untuk pergi. Aku akan menunggu dalam taksi. Reaksimu tampak sangat khawatir dan takut aku akan meninggalkanmu sampai-sampai membuatku terharu. Apa kau lupa, Kapten? Argo taksi masih terus berjalan sementara kau bengong di sini dan mengatakan kata-kata romantis."
Xiao Hua, ".... "
Dasar bedebah licik!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro