CHAPTER 32
My Immortal - Evanescence
Kematian, rasa sakit, kegilaan, darah....
Bayang-bayang mengerikan mengepung Xiao Hua dari berbagai arah, seperti kabut tebal hitam, menyelimuti jiwanya yang meringkuk di sudut kegelapan. Udara terasa dingin, ia menggigil, memeluk diri sendiri. Matanya sesekali terpejam menghindari hal-hal yang tak ingin dilihatnya. Tiba-tiba semua hilang. Satu per satu, kengerian itu pudar dan lenyap dalam kabut yang menjauh. Semua gambaran buruk terpecah, compang camping, hilang tertiup angin. Xiao Hua menatap sekelilingnya, hampa. Ada perubahan temperatur yang nyata, tidak dingin, tidak panas. Rasanya nyaman, tubuh dan pikirannya ringan. Ada bayangan hitam datang mendekat. Ada kehangatan yang lembut memeluk dan mengirimkan rasa nyaman. Perlahan-lahan, ia pun terkulai dan lelap dalam tidur panjang tanpa mimpi.
Sinar matahari menyentuh ujung kakinya. Menembus kaca, jatuh di beberapa tempat seperti dinding, lantai dan sofa tempatnya berbaring sekarang. Sambil mengernyitkan kening, Xiao Hua membuka mata perlahan-lahan. Dia merasa lebih segar. Ternyata benar, tidur berkualitas adalah solusi dari masalahnya. Perlahan-lahan dia bangun, duduk menyangga wajah. Ada botol air mineral yang terguling di meja. Dia mengambil dan meminum isinya. Buku-buku, asbak, dan benda lain yang biasa dia letakan di meja berserakan di lantai. Hanya ponselnya yang terlihat normal di tempat yang tepat.
Ada apa dengan kekacauan ini? pikirnya heran. Mencoba mengingat peristiwa semalam, ia mengamati benda-benda itu, menduga-duga bahwa ia mungkin pulang terlambat dan melampiaskan kekesalan yang dibawa dari tempat kerja pada benda-benda kecil di rumah. Namun ia hanya mengingat beberapa potongan peristiwa samar, tidak menemukan deskripsi yang sesuai. Xiao Hua menggelengkan kepala, menyentuh pangkal alisnya.
Sudahlah, pikirnya.
Tatapannya sedikit berbinar sewaktu menoleh ke jendela dan menatap langit biru cerah. Sepertinya ini sedikit terlambat, tapi tidak perlu buru-buru, dia baru saja dimarahi kemarin dan sekarang hari pertamanya menjalani skorsing.
Xiao Hua bangun dari sofa, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia cukup terkejut saat menatap bayangan wajahnya di cermin. Dia tertegun selama dua menit, kesulitan menggambarkan diri sendiri. Wajah dalam cermin itu tampak aneh. Sangat pucat, tulang pipi yang terlalu menonjol, pipi tirus dan tidak segar. Mata gelapnya sayu, menatap kosong, dihiasi lingkaran keabuan di sekitarnya yang merusak pemandangan. Bibir kering nyaris tidak dialiri darah, dan tubuhnya pun terlihat lebih kurus.
Xiao Hua memaksakan seulas senyum masam. "Ini mengerikan," gumamnya pada diri sendiri, menyentuh permukaan cermin dengan ujung-ujung jarinya.
Wajahnya masih tampan. Hanya saja sedikit ... aneh.
Apa yang terjadi?
Dia seperti orang yang menderita gizi buruk, juga memerlukan lebih banyak asupan kalsium.
Selama lima belas menit berdiri di bawah pancuran, pikiran Xiao Hua terus bekerja keras, mencari ke sana kemari apa penyebab kekacauan penampilannya. Mungkinkah ia terlalu lelah bekerja? Kejar-kejaran dengan bajingan, berkelahi, debat di ruang konferensi. Minum sampai mabuk. Entahlah.
Selesai mandi, Xiao Hua beralih ke dapur, memasak air panas untuk menyeduh kopi, tidak henti berpikir sambil menatap air yang meletup-letup.
Hari apa sekarang?
Tiba-tiba dia menjadi sedikit linglung.
Apa yang kulewatkan? Mengapa rasanya sangat kacau?
Kepalanya yang biasa berisik dipenuhi banyak kasus kejahatan yang belum terpecahkan dan banyak teori-teori kini terasa sunyi dan hampa. Membawa cangkir kopi di tangan, Xiao Hua masuk ke ruangan kerjanya, memeriksa catatan di meja, dan mengamati bagan yang terpasang di dinding terkait kasus Pembunuhan Berantai Gaun Putih.
Sesekali ia menyeruput kopinya, tatapannya terfokus pada foto dan keterangan di papan putih. Kasus ini masih belum selesai dan ia telah membuat onar dengan menembak seorang preman pengedar narkoba.
Benar-benar kacau, batinnya.
Menghela napas berat, dia duduk di kursi, meletakkan cangkir dan menatap gelisah pada laptop terbuka dengan layar hitam. Memikirkan ini saja sudah membuatnya lelah. Mungkin dia harus bicara dengan seseorang. Xiao Hua memutuskan untuk menghubungi Jiang Han. Dia mengambil ponsel dan menggulir nomor. Tapi baru saja ia akan menekan tombol panggil, Jiang Han lebih dulu meneleponnya.
"Halo Jiang Han," sapanya.
Ada suara-suara kesibukan di seberang. Kertas-kertas yang berderik, dering telepon, gumaman orang-orang. Xiao Hua merindukan kantornya seketika.
"Kabar baik, Kapten!" teriak Jiang Han di saluran. Semangatnya menular melalui sinyal, mengundang senyum kecil di sudut bibir Xiao Hua.
"Ada apa?"
"Pimpinan Wei telah mengurangi sanksi skorsing-mu. Besok kau sudah bisa bergabung dengan Unit Kejahatan Kriminal dan kembali menjadi Ketua Tim."
Xiao Hua, "...."
Dia menyesap kopinya lagi, lebih dalam dari sebelumnya.
"Kapten!" panggil Jiang Han lagi. Mengira kebisuan Xiao Hua adalah karena terkejut dan juga senang. "Kau tidak ingin mengatakan sesuatu? Bagaimana kalau kita mengadakan makan siang bersama untuk merayakan kembalinya dirimu. Oh ya, anak-anak yang kelaparan ini pasti bahagia mendapat traktiran dari Kapten tampan kita yang sempat terusir." Tawa kecil Jiang Han menutup kalimatnya.
Kata-kata yang dipahat indah itu seharusnya membuat Xiao Hua gembira dan bersemangat. Tapi alih-alih bereaksi, dia termangu seperti orang linglung, mengetuk tepi cangkir berkali-kali.
"Kapten, kau masih di sana? Satu kejutan lagi, Kepala Polisi telah mengirimkan bonus pada kami karena telah berhasil mengungkap pelaku pembunuhan berantai. Kau tidak mendapatkan bagianmu. Tapi aku yakin uangmu masih berlimpah, bukan?"
Xiao Hua menarik napas. "Ya, Jiang Han ... tapi aku sama sekali tidak paham apa yang kau bicarakan."
Jiang Han, ".... "
"Bukankah aku baru saja diskors, bagaimana tua bangka Wei itu bisa begitu bermurah hati. Apa dia mengalami benturan keras di kepala dan menjadi abnormal?"
Jiang Han ternganga di seberang sana.
"Dan untuk makan siang bersama, rasanya tidak etis. Kita masih harus memecahkan kasus pembunuhan berantai gaun putih, bukan?"
Ada yang tidak beres. The Eraser pasti telah bermain-main dengan kaptennya. Jiang Han tiba-tiba merasa perlu bertemu langsung dengan Xiao Hua dan memeriksa keanehan yang terjadi pada dirinya. Jadi dia tidak berupaya menjelaskan lagi di telepon. Untuk sesaat kegembiraan dan semangatnya menyurut.
"Kapten," Nada suaranya lebih serius, "Bagaimana kalau hari ini kita makan siang di Hershey? Kau ada waktu?"
"Tentu saja. Aku pengangguran sekarang."
"Oke. Kita bertemu di sana. Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
=====
Kecanggungan yang ganjil melingkupi dua rekan yang telah bekerja sama sekian lama. Siang itu mereka makan dalam diam. Jiang Han sibuk menerka-nerka ingatan apa saja yang telah hilang dari kepala sang kapten sementara Xiao Hua memikirkan kejanggalan dan omong kosong yang dilontarkan Jiang Han tadi pagi.
Keramaian dalam kafe mereda sekitar pukul dua siang, tepat setelah mereka sama-sama mendorong piring kosong ke tepi meja. Cuaca di luar cukup cerah dengan langit biru berselimut awan tipis kemilau. Di mata Xiao Hua, pemandangan jalan raya di depan kafe masih menarik seperti biasa. Dengan banyaknya ingatan yang hilang, tak ada yang perlu diratapi. Kenangan di Hershey hanya sebatas makan dan minum kopi bersama Jiang Han.
"Jadi," ia mulai bersuara, memainkan sedotan es jeruknya sambil menatap Jiang Han, "perkembangan apa yang kulewatkan?"
Jiang Han telah lama jadi petugas polisi, mengikuti banyak rapat, mengajukan pendapat atau berdebat. Dia juga memiliki pengalaman menginterogasi. Dengan kemampuan berbicara yang baik, seharusnya tak ada masalah dalam menjelaskan sesuatu. Namun kali ini dia kehilangan kata-kata. Informasi tak terhitung dan tersebar di sana sini membuatnya bingung dari mana harus memulai.
"Kupikir cukup banyak," ujarnya singkat, menghela napas dan menatap lekat pada wajah Xiao Hua. Sorot mata yang biasanya hidup, tajam dan berkobar dari pria tampan itu kini terlihat disesaki kebingungan dan kekosongan.
"Langsung saja ke intinya." Xiao Hua tidak suka bertele-tele, pun ia kesal pada diri sendiri karena tidak tahu apa-apa.
"Kapten..." Otak Jiang Han berputar, memilah diksi yang tepat.
"Kasus Pembunuhan Berantai Gaun Putih sudah ditutup. Kita berhasil mengungkap pelakunya, dia Professor Lima, pimpinan Wisma Heaven. Dia pun sudah tewas sekarang, dibantai secara sadis oleh seseorang."
Xiao Hua menatap Jiang Han seakan-akan dia alien yang tersesat dan mengoceh omong kosong di depannya.
Dengan cepat dan pemilihan kata yang tepat, Jiang Han menuturkan kronologisnya. Dia cukup cerdik untuk tidak mengungkit Huo Dofu dan Hei Yanjing terlalu sering. Kisah penangkapan dan drama hebat setelahnya, dia rangkum dalam kesimpulan yang singkat. Seakan-akan semua terjadi begitu normal.
"Begitu, ya?" Xiao Hua masih termangu.
Dia kewalahan menerima arus informasi yang mengalir deras, menciptakan benang kusut dalam benaknya. Dia benar-benar bingung tapi sulit mengungkapkannya. Seakan-akan ada sepenggal ingatan yang dipotong dengan rapi oleh sebilah silet nan tajam.
"Kurasa aku harus memeriksa sendiri laporan kasusnya."
"Tentu, Kapten. Lagi pula kau bisa mulai aktif lagi besok."
Xiao Hua mengangguk-angguk. Ada kilatan kekecewaan di matanya, atau mungkin sesuatu yang lain. Jiang Han tidak sempat mendefinisikannya. Namun diam-diam dia merasa sedih untuk sang kapten. Dia yakin Xiao Hua telah kehilangan beberapa ingatan penting, seperti yang terjadi pada saksi-saksi kejahatan di Wisma Heaven, pembunuhan Sang Nan, dan penembakan Huo Dofu.
Kenangan buruk memang mengganggu, dan tidak perlu diingat lagi. Waktu tidak dapat merusak mereka, tapi di sisi lain semua hal buruk yang terjadi bisa menjadi pelajaran di masa depan. Tidak bisa mengingat apa pun justru terasa menyedihkan bagi seseorang. Tidak ada kesan yang tertinggal, hanya tersisa kehampaan, seperti yang terpancar di wajah Xiao Hua sekarang.
"Baiklah. Apa pun yang terjadi. Itu sangat bagus," komentar Xiao Hua, masih diselimuti sejuta tanya dalam kepalanya. Dia merasa ada banyak hal yang hilang tapi tidak tahu apa. Mungkin ia bisa menggali sedikit demi sedikit di masa depan.
"Kapten," ujar Jiang Han setelah mereka terdiam lama. "Ada yang ingin kutanyakan padamu."
Xiao Hua mengangkat pandangannya dari permukaan meja ke wajah Jiang Han. Kepolosan, kemurnian dan rasa bingung di wajahnya membuat Jiang Han terenyuh.
"Apa kau ingat The Eraser?" tanya Jiang Han hati-hati, mengurangi keseriusan dalam suara dan ekspresinya.
Sesuai dugaannya, Xiao Hua hanya menatap dengan pandangan menyelidik, mengangkat bahu lantas menggeleng.
"Kedengarannya seperti sebutan untuk seorang super hero," ujarnya, tidak kuasa menahan senyuman bodoh.
"Hmmm, ya. Kurang lebih seperti itu." Jiang Han meringis.
Lagi-lagi Xiao Hua terdiam dan tenang. Seperti cangkang kosong, tapi hidup dan bernapas. Semenit kemudian, ada rasa penasaran menyelinap di hatinya.
"Ngomong-ngomong, siapa sebenarnya The Eraser?" Pertanyaan itu membuat Jiang Han yang tengah minum jadi tersedak.
"Ah, itu ... dia seorang supir taksi. Kita pernah berjumpa dengannya dulu sekali. Hanya pertemuan biasa. Wajar kalau kau tidak ingat."
Xiao Hua mengangguk-angguk. Di hadapannya Jiang Han hanya menatap. Dia bertanya-tanya mengapa Hei Yanjing melakukan ini pada Xiao Hua. Menghapus ingatannya hingga lenyap tak bersisa. Bukankah pria hitam itu sepertinya sangat ingin mencari perhatian Xiao Hua?
Satu-satunya orang yang menjadi saksi keakraban mereka hanyalah dirinya, selain dinding-dinding apartemen yang bisu. Aneh sekali, Jiang Han tidak bisa memikirkan alasan. Padahal emosi ambigu di antara dua pria itu sesekali terlihat sangat nyata, bahkan setelah insiden penculikan Xiao Hua oleh penjahat Huo Dofu, mereka bersembunyi dan tinggal bersama sampai-sampai Jiang Han curiga bahwa mereka adalah sepasang...
"Lalu kenapa kau membicarakan dia?" Alur pikirannya terputus oleh pertanyaan Xiao Hua.
"Yah, itu karena..." Jiang Han menggigit lidahnya, menimbang apakah perlu mengatakan ini pada Xiao Hua.
"Apa?"
"Dia mengalami kecelakaan fatal, luka-luka dan jatuh koma. Badan Intelijen menemukannya dan kini dia berada di bawah pengawasan mereka."
Jiang Han menatap langsung pada manik mata Xiao Hua, penasaran dengan reaksinya. Namun tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada bayangan wajahnya sendiri. Mata bening dan dingin itu sungguh menutupi rapat emosi di baliknya. Jika memang emosi itu memang ada.
"Mengapa Badan Intelijen terlibat?" Xiao Hua mengambil sebungkus rokok, menawarkan pada Jiang Han. Rekannya itu menarik sebatang, menunggu Xiao Hua menyulut pemantik logam.
"Karena pria itu memiliki bakat khusus yang dicari oleh mereka."
Asap rokok membentuk pita panjang dan naik ke udara. Dalam diam Xiao Hua mengamatinya. Nama yang disebutkan Jiang Han terdengar asing, tapi beberapa waktu kemudian ia merasakan sesuatu yang familiar. Perasaan ini membuatnya bingung dan gelisah. Dia menghisap rokoknya lagi, menyeret asap dan mengembuskannya kuat-kuat.
Cahaya datang dari jendela-jendela besar yang terbuka, dan angin bertiup lembut. Sesaat kilasan kenangan samar melayang di antara asap, menjangkau padanya seperti jari jemari yang terkembang di depan wajah. Lalu ilusi itu hilang sekejap mata. Xiao Hua tertegun, merasakan kesunyian dan rasa getir dalam hati, tanpa bisikan masa lalu di dinding-dinding jiwanya. Ekspresinya berubah murung hampir seketika kala kesedihan yang aneh dan tidak beralasan menyelimuti dirinya seperti lapisan salju yang membeku.
"Kapten, kau baik-baik saja?" tanya Jiang Han, menatap cemas pada wajah rekannya.
"Hmmm."
Xiao Hua hanya menggumam pelan, tidak jelas, lalu tersenyum hambar. Dia mengalihkan tatapannya ke luar jendela kafe, di mana ia bisa melihat lambaian dedaunan di ranting yang rapuh, perlahan jatuh berguguran di jalanan. Ada sesuatu tentang nama itu yang mengusik hatinya. Berharap pemandangan sepi di luar jendela bisa memberinya secercah petunjuk akan ingatan yang hilang. Namun dia masih tak bisa mengingat apa-apa. Hanya ada kekosongan dan keresahan yang tak bertepi.
=====
Shanghai, satu tahun kemudian
Hawa panas dan lembap mereda pada beberapa hari pertama bulan November. Senja hari menjadi sejuk dan berjalan-jalan di kawasan The Bund terasa menyenangkan. Udara lengas menghilang dan matahari kehilangan teriknya saat ia tenggelam ke dalam sungai, menyisakan pendar jingga merah di langit keunguan.
Setelah hampir setengah jam berjalan dan berkeliaran dengan sebatang rokok terselip di jemari, Xiao Hua menuju barisan kafe di sisi lain dan memilih secara acak dari beberapa kedai kopi kecil yang tenang. Duduk menyendiri dalam dunia imajinasinya yang sepi, ia menikmati secangkir kopi tanpa gangguan, lalu sibuk menggulir ponsel untuk memantau beberapa berita penting.
Setelah beberapa bulan terakhir bekerja keras dalam menangani satu kasus kriminal yang berat, Xiao Hua dipindahtugaskan dari Distrik Yanqing ke Pudong, Shanghai. Dia menyambut kepindahan dengan sukacita dan merindukan momen tenang untuk dirinya sendiri di suatu lingkungan baru. Dia baru bergabung dengan Special Investigation Unit Distrik Pudong selama tiga bulan dan masih harus banyak menyesuaikan diri. Beberapa orang rekan cukup solid dalam Tim tapi sesekali Xiao Hua ingin menyendiri, seperti malam ini.
The Bund adalah salah satu tempat favoritnya. Xiao Hua beruntung karena dia bisa menyewa satu unit apartemen yang molek di lantai delapan belas di mana ia bisa melihat hamparan pemandangan sungai lewat jendela kamar. Namun menikmati keindahan sungai secara langsung adalah hal yang berbeda. Setelah merasa bosan, Xiao Hua berjalan keluar kafe dan menuju tepian sungai.
Berdiri menyandarkan tubuh pada pagar besi pembatas, Xiao Hua menikmati suasana malam yang indah di sepanjang tepian sungai Huangpu yang memikat. Menatap pada satu dua kapal penumpang yang melayari sungai hanya untuk sekedar berkeliling menikmati pemandangan dan teringat cerita-cerita para wisatawan yang membawa kesan dan kenangan menyenangkan tentang berlayar memutari sungai yang membelah kota Shanghai.
Suasana cukup ramai, ini akhir pekan dan ia mengambil cuti selama tiga hari. Dia akan kembali pada rutinitas membosankan di pertengahan minggu dan ia mulai memikirkan betapa menyenangkan duduk sendirian di salah satu bangku terisolasi di kawasan The Bund atau menghadapi secangkir kopi di kedai kopi kecil seraya mendengarkan lantunan piano instrumental, daripada dikelilingi dokumen dan barang bukti yang berasal dari sekawanan bajingan.
Xiao Hua berjalan lambat-lambat, dua tangan dimasukkan ke dalam saku mantelnya. Anak rambut di pelipisnya bergeletar ditiup angin. Tiba di tempat yang lebih sepi, Xiao Hua kembali menumpukan siku pada pagar besi, tersenyum sendiri sembari memejamkan mata sesekali. Saat perasaan sangat santai, dorongan untuk merokok pun datang. Padahal dia sudah menghabiskan dua batang sebelum masuk ke kafe M. Tangannya mengambil sebungkus rokok dari saku, menarik sebatang dan menancapkan di sela bibirnya. Kemudian dia mencari pemantik logamnya, bersiap untuk menyalakan rokok. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti.
Kewaspadaan Xiao Hua sebagai seorang polisi selalu tajam. Dia memiliki insting kuat dan bisa mendeteksi kehadiran penjahat atau bahaya di sekitarnya. Saat ini dia tidak merasakan keduanya hanya saja ia menangkap pergerakan dan langkah kaki seseorang di belakang. Xiao Hua berpikir mungkin dia hanya pejalan kaki biasa yang menikmati pemandangan The Bund. Namun sepertinya seseorang itu mendekat ke arahnya. Xiao Hua mengangkat bahu, menyulut rokoknya dan mematikan pemantik. Dia belum sempat menghisap dengan benar sewaktu angin yang berembus menghantarkan suara santai seorang pria ke telinganya.
"Bolehkah aku meminjam pemantikmu, Kapten Xie?"
Kyaaa... 😍 mau tamat mau tamat mau tamattt...
Akhirnya, ga nyangka perjalanan cerita ini udah sampe di sini. Pantengin terus ya gaezzz, salam manis selalu buat Heihua Lover
Uwuw😘
See you ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro