Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 30

Bayang-bayang ilusi itu seakan-akan masih di sana dan memecah fokus Xiao Hua. Sesekali, dia melirik ke sana kemari selama duduk di meja makan bersama si pria hitam. Sebaliknya, rekannya tampak santai, menikmati makanannya dan setiap kali menyuapkannya, gumaman pelan keluar dari bibirnya memuji Xiao Hua. Bagi sang detektif, kata-katanya hilang ditelan angin yang bertiup kencang menyapu jendela. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena dinginnya angin, tetapi karena rasa frustrasi yang terpancar darinya.

"Kau tidak menikmati makananmu, Xiao Hua. Sejak tadi tingkahmu sangat kacau," komentar Hei Yanjing setelah selesai dengan makanannya dan mendorong mangkuk ke tengah meja.

"Aku dihantui. Tidak mungkin kalau aku tidak kacau." Xiao Hua pun mendorong mangkuknya tapi isinya masih bersisa. Dia jelas kehilangan selera makan. Jika itu berlangsung beberapa hari lagi, bisa dipastikan tubuhnya akan semakin kurus dan wajahnya tirus.

"Kau harus segera pergi tidur," saran Hei Yanjing. "Sejak kemarin kau pasti kelelahan menjagaku."

Senyuman kecil mengiringi akhir kalimat, ucapannya terdengar tulus seperti seorang pria yang menghargai pengabdian istri setia. Hal itu membuat Xiao Hua semakin lelah, bahunya turun dan punggungnya bersandar lesu. Sesekali dia memejamkan mata.

"Entahlah. Tidur seperti suatu kemewahan saat ini. Aku takut pria itu datang di mimpiku."

Hei Yanjing meneguk air mineral, lalu menggeleng dengan bibir terkatup.
"Dengan aku di sisimu, mimpi buruk tidak akan berani mengganggu," ia membual yang segera disalahpahami oleh Xiao Hua.

"Aku tidak berencana tidur di sisimu," tukasnya, menatap lurus pada lensa kacamata hitam.

"Maksudku," ralat Hei Yanjing, "aku ada di sekitarmu. Kau boleh gunakan tempat tidur. Aku akan tidur di sofa."

Xiao Hua mengembuskan napas. Otot-ototnya perlahan sedikit mengendur.

"Tapi..." Rupanya Hei Yanjing belum selesai, "kalau kau tiba-tiba terbangun, menghampiri dan memelukku lagi, aku tidak keberatan jika harus bergabung denganmu."

"Hei Ye..."

"Oke. Bercanda." Hei Yanjing tertawa, dan sebelum pertunjukan keangkuhan palsu itu dilakukan Xiao Hua lagi, ia segera melanjutkan.
"Sofa sudah cukup bagiku."

Lagi-lagi Xiao Hua mengembuskan napas. Dadanya disesaki rasa waswas.

"Makanannya enak, kau menambahkan banyak bahan bergizi dan mahal. Terima kasih, Xiao Hua. Aku tidak yakin  hal baik ini akan terjadi lagi di masa depan."

Xiao Hua mengerutkan kening.

Matanya kembali menatap ke wajah Hei Yanjing, pikirannya bergulat dengan beragam prasangka. Hanya kata-kata yang diucapkan secara santai, hembusan napas normal, lalu... tidak ada apa-apa. Namun, rasa takut membelenggu kakinya ke lantai.

"Apa maksudmu?" suaranya nyaris berbisik. "Kau bicara tentang perpisahan?"

Hei Yanjing tersenyum kecil, mengetuk botol air mineral dengan kukunya.
"Kau akan segera mengerti."

Xiao Hua tidak bertanya lagi. Hanya menatap kosong ke lensa kacamata hitam. Perlahan wajahnya berubah kian suram, mengalihkan pandangan ke jendela. Di luar, langit malam menaungi kota, menyimpan misteri tanpa memberikan cahaya, seperti hakim yang terdiam.

Beberapa jam kemudian Xiao Hua telah berbaring di tempat tidur, terlelap susah payah setelah menelan dua pil tidur. Saat itu hampir tengah malam. Hei Yanjing tidak berada di sisinya maupun meringkuk di sofa. Sebaliknya dia berdiri lama di depan jendela, menatap ke luar dan memikirkan puluhan masalah sekaligus.

Memikirkan kembali apa yang dialami Xiao Hua dan bagaimana bajingan manipulatif itu mengotori pikiran rekannya membuat kemarahan mendidih dalam dirinya, bercampur dengan rasa pahit kekalahan.

Dia bisa mengakhirinya. Tapi ia belum punya keberanian. Namun, itu berarti Xiao Hua yang harus membayar. Dia harus menderita. Sepasang alisnya bertaut, menatap tajam pada satu titik di kegelapan cakrawala. Ruangan sunyi senyap, hanya terdengar deru lembut napas Xiao Hua yang gelisah. Hei Yanjing menoleh, menatap pria tampan yang mengernyit dalam tidurnya. Perlahan berjalan mendekat dan mengusap rambut kusut yang menutupi sebagian keningnya. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan, tapi setelah dia berpikir ulang, akan lebih baik jika semua disimpan dalam hati.

=====

Matahari pukul sepuluh pagi menghangatkan punggung Xiao Hua sewaktu dia berjalan dalam penyamaran yang baik mencari telepon umum. Pagi ini dia terbangun dengan kepala pening, sesaat tidak ingin memikirkan apa pun. Tapi dia cukup penasaran dengan apa yang terjadi di kepolisian. Jadi dia memutuskan keluar dan menghubungi Jiang Han. Debu mengepul tipis di bawah sepatunya saat dia terus berjalan di sepanjang jalan kecil dan berkelok-kelok di kawasan Xishan.

Begitu dia menemukan telepon umum, dengan cepat ia menghubungi nomor Jiang Han.

"Kapten!" Rekannya itu nyaris berseru di telepon. "Kami mencoba menghubungimu sejak tiga hari lalu. Apa kau baik-baik saja?"

"Ya. Aku berada di tempat aman tapi belum bisa mengaktifkan ponselku. Bagaimana situasi di sana?"

Dengan penuturan yang singkat dan jelas, Jiang Han menginformasikan bahwa kasus kematian Huo Dofu tengah dilanda badai pro dan kontra di tengah anggota kepolisian. Sebagian menginginkan The Eraser ditangkap dan dihukum, sisanya memilih membiarkan dia ditangani Badan Intelijen. Kesimpulannya, Xiao Hua tidak akan dilibatkan karena dalam insiden itu ia hanyalah korban. Sementara kasus kematian Huo Dofu telah ditutup. Empat polisi yang berada di lokasi telah kehilangan ingatan mereka akan peristiwa itu dan hanya memasang ekspresi bengong yang membosankan.

"Itu bagus," gumam Xiao Hua.

"Kau aman, Kapten. Pimpinan Wei akan memanggilmu kembali bergabung di Tim dua pekan ke depan. Jadi, kau bisa keluar dari persembunyianmu."

"Aku menunggu waktu yang tepat."

"Oke. Apa pria hitam itu bersamamu?"

Tak ada jawaban. Xiao Hua memikirkan apa yang harus dia katakan.

"Kapten," desaknya lagi.

"Ya. Tapi tolong, jangan bocorkan informasi ini. Dia baru pulih dari kolaps." Kekhawatiran muncul dalam nada bicaranya.

"Apakah dia kehilangan kekuatannya?"

"Tidak. Tapi aku tak ingin pihak mana pun menahan dan memanfaatkan dia."

"Hmmm. Baiklah. Kapan kau kembali ke apartemenmu?"

"Secepatnya. Oke, Jiang Han. Sampai nanti."

Dia terburu-buru mengakhiri pembicaraan, menghela napas lega karena ketegangan mereda dan situasi aman terkendali. Dia hanya perlu memperingatkan Hei Yanjing bahwa pihak-pihak tertentu mungkin akan mengejarnya.

=====

Ponsel Xiao Hua mengeluarkan bunyi notifikasi dan getar yang tiada henti begitu diaktifkan. Hei Yanjing meliriknya, tersenyum miring dan berkomentar, "Kupikir kau memang selebriti, Xiao Hua. Sembunyi tiga hari dan semua orang panik mencarimu."

Keduanya tengah duduk santai di siang hari yang berawan, di ruang tamu yang hening. Xiao Hua sibuk menonton berita di layar, menyimak berita terkini.

"Situasi aman sekarang," sahutnya. "Aku perlu menonton berita, jadi kuhidupkan ponselku. Di sini tak ada televisi. Bagaimana kau bisa tahan dengan kesunyian ini?"

"Untuk apa harus berisik. Tempat ini khusus untuk bersembunyi. Jangan bilang kau tidak tahu alamatku. Pihak taksi mengatakan bahwa seseorang menyelidikiku dan mencari alamatku. Itu pasti dirimu. Apa aku benar?"

Lagi-lagi pria hitam ini membuatnya malu. "Uh, ya. Rumah di alamat itu kosong," jawabnya jujur, mengundang senyum penuh kemenangan di bibir Hei Yanjing.

"Kau pasti sangat merindukanku," katanya.

"Lumayan." Xiao Hua mencoba mengabaikan ucapan itu, fokus pada satu siaran berita di ponselnya.

"Ah, itu lebih baik daripada tidak."

Xiao Hua mengangkat wajah sesaat, menatapnya. "Hei Ye, aku akan kembali ke apartemenku. Tapi sebelumnya aku ingin memperingatkan. Ada pihak-pihak yang masih mengintai dan berusaha menangkapmu."

"Aku tahu," tangan Hei Yanjing terangkat, mengibas pelan dan tersenyum malas. "Itu sudah terjadi selama bertahun-tahun. Tapi tidak mudah menangkapku, bukan? Kau sudah membuktikannya sendiri."

"Tentu tidak mudah menemukan seseorang yang hilang dari ingatanmu," timpal Xiao Hua. "Tapi tidak mungkin kau selamanya bersembunyi di tempat ini. Apa rencanamu? Kembali menjadi supir taksi?"

"Sepertinya begitu. Pekerjaan itu sangat cocok untukku dan aku menikmatinya."

"Hmmm. Beritahu aku jika kau mengganti nomor ponsel."

Di layar ponsel ia melihat konferensi pers yang diadakan pihak kepolisian. Pimpinan Wei terlihat seperti pahlawan sungguhan di sana, mengundang seringai sinis dari Hei Yanjing.

"Pria tua itu," gumamnya sedikit kesal. "Dia mengambil kredit atas semua kerja kerasmu. Tersenyum di atas penderitaanmu. Dunia benar-benar aneh. Kau yang berjuang, atasanmu yang disanjung."

"Aku tak peduli. Bagiku yang paling penting para bajingan itu mati."

"Termasuk aku?"

Xiao Hua menyipitkan mata padanya. Nyaris saja mengatakan hal-hal basi seperti 'kau berbeda', atau 'kau bukan penjahat, tapi pahlawan kesiangan'. Kata-kata yang dipelintir tidak akan mengubah kenyataan.

"Aku tidak tahu," Xiao Hua mengangkat bahu, "tapi aku tidak akan melenyapkanmu."

Tontonan itu seketika jadi tidak menyenangkan lagi dan Xiao Hua meletakkan ponselnya. Masih ada banyak pesan yang harus dibalas, ia akan melakukannya nanti.

"Mengapa?" Hei Yanjing masih dengan gigih mendesak alasannya. Namun Xiao Hua bertekad untuk mengganti topik sensitif. Dia berdiri dari sofa, menatapnya, dan bertanya,

"Tidak ada alasan khusus. Nah, aku akan membuat kopi. Kau mau satu?"

Hei Yanjing tersenyum. "Ya, tentu saja. Terima kasih, Kapten Xie yang tampan dan perkasa."

Xiao Hua hanya memutar bola mata, kemudian bergegas menuju dapur.

Lima menit kemudian dua pria itu berdiri di jendela yang terbuka, memegang cangkir kopi di tangan masing-masing. Angin kencang berembus terasa lebih sejuk dari sebelumnya, menyapu wajah mereka.

"Sepertinya sore ini akan turun hujan." Xiao Hua memandang langit dari tepian cangkir kopi. Kesejukan dan suasana tenang melahirkan senyuman tipis yang manis di bibirnya. Si pria hitam menoleh untuk menikmati senyuman itu, tanpa sadar ikut tersenyum.

"Kau menyukainya, bukan? Memandang hujan dari jendela. Sayangnya, pemandangan yang bisa dilihat dari sini tidak seindah pemandangan di jendela kamarmu."

Hal itu mengingatkan Xiao Hua akan rencana pulang. Dia meneguk kopinya, berkata perlahan sambil melirik pada Hei Yanjing. Helaan napasnya berubah berat.

"Di mana pun aku berada, aku masih tetap akan merasa gelisah selama ilusi Huo Dofu belum sepenuhnya hilang."

Beberapa detik berikutnya ia menambahkan dengan suara ragu, "Hei Ye, aku tahu permintaan ini berbahaya untukmu. Tapi ... maukah kau membantuku dengan menghapus ilusi Huo Dofu?"

Dia merasa jadi penjahat saat meminta seseorang yang baru saja pulih untuk kembali menantang bahaya. Namun seperti yang dikatakan Hei Yanjing sebelumnya, tidak terlalu beresiko jika mengerahkan energinya dalam jarak waktu tertentu. Dia tidak bisa memikirkan solusi lain, dan untuk menghindari akibat yang di luar dugaan juga demi keselamatan si pria hitam, Xiao Hua bersedia menunggu beberapa hari lagi.

Senyuman di wajah Hei Yanjing perlahan-lahan memudar. Menunduk beberapa saat, ia meneguk kopinya lagi lalu mengangguk samar.

"Tapi jika itu terlalu berbahaya untukmu, aku---"

"Tak apa, Xiao Hua," tukas Hei Yanjing.

"Semua akan baik-baik saja. Aku akan membuat semua ilusi dan kenangan buruk itu hilang tanpa jejak. Seolah-olah itu tak pernah ada."

=====

Ketika Xiao Hua kembali menginjakkan kaki di apartemennya yang luas dan sepi, ia masih tidak yakin apakah mampu melewati beberapa hari sendirian di bawah teror ilusinya sendiri. Dia berusaha meyakinkan diri, percaya bahwa ia mampu membedakan dan mengabaikannya sampai semuanya hilang. Tapi tak urung ia menyiapkan sebotol obat penenang. Mungkin ia akan memerlukannya saat sudah tidak tahan lagi.

Perlahan-lahan, semuanya kembali berjalan normal. Setidaknya terasa seperti normal. Hei Yanjing mengganti nomor ponselnya, terjun kembali ke jalanan sebagai supir taksi setelah beberapa hari beristirahat. Sementara Xiao Hua kembali mempersiapkan diri untuk kembali bergabung dalam Tim. Walaupun masa skorsingnya masih sekitar dua pekan ke depan.

Pada awalnya, Xiao Hua masih bisa mengendalikan diri dan mengabaikan apa yang sesekali menghantuinya. Namun hanya karena bantuan pil penenang saja maka dia bisa melewati malam dan terbangun dengan wajah pucat, lelah dan mata dilingkari roan keabuan. Dia masih berkirim pesan dengan Hei Yanjing, sampai suatu malam Xiao Hua merasa kepalanya mencapai puncak kekacauan.

Fenomena yang dialaminya sudah sangat sulit dibedakan antara ilusi ataukah mimpi buruk. Kadang Xiao Hua merasa ia seperti kerasukan. Dia berjalan lambat dalam ruangan asing dan gelap, serasa tidak menapaki lantai. Suara siulan bernada kacau, diselingi kekehan pelan datang silih berganti menyerang telinganya. Xiao Hua memutar pandang, cemas, takut, beragam emosi yang sulit dijelaskan. Seperti ia tengah berjalan menuju lorong depresi yang gelap. Kemudian tangan-tangan pucat bermunculan dari kegelapan mencoba menggapainya. Tangan tanpa tubuh, suara tanpa wujud. Kemudian sepasang lengan memeluknya erat dari belakang. Dingin, kulitnya seketika merinding.

Xiao Hua menggeliat lalu terbangun. Mimpi! Semua hanya mimpi, tapi terasa sangat nyata. Mungkin efek pil penenang memperburuk gejala kecemasan dan paranoia yang membelitnya. Dia duduk tegang, napasnya terengah. Suara siulan yang terus mengalun dalam mimpi ternyata hanya gesekan angin di daun jendela, serta derik serangga entah di mana.

Angka di jam weker menyala kebiruan. Ini masih pukul dua pagi. Xiao Hua bangun dari tempat tidur, tersaruk-saruk keluar kamar dan menuju dapur. Dia mengambil sebotol air mineral dingin dari lemari es dan bersandar dalam kegelapan untuk beberapa lama. Berharap tak ada ilusi atau mimpi buruk lagi sepanjang sisa malam.

Namun itu hanyalah harapan kosong. Dia sudah merasa cukup lega karena tak ada fenomena ganjil di mana pun. Dia sama sekali tidak menduga bahwa hal paling kotor menunggunya di dalam kamar. Ketika dia membuka pintu dan berjalan lambat dengan kepala agak pusing, dia melihat sosok hitam di atas tempat tidur. Langkah Xiao Hua seketika terhenti. Suasana kamar remang-remang karena mengandalkan cahaya lemah dari lampu meja. Tapi sosok itu cukup jelas saat ia melebarkan mata yang penuh dengan kengerian.

Di atas tempat tidurnya dua sosok tubuh tanpa pakaian tergambar jelas dalam posisi yang tidak senonoh bagi mata mereka yang sopan. Pria yang membungkuk di atas tiba-tiba menolehkan wajah padanya, menunjukkan seringai keji.

"Halo, sayang..."

Huo Dofu!

Xiao Hua terjajar. Perutnya seakan diaduk brutal oleh tangan-tangan tak terlihat. Secara reflek ia menutup mulut dengan telapaknya, menahan bunyi tercekik yang lolos lewat tenggorokan. Teror yang melewati batas kesopanan itu tidak berhenti sampai di situ. Hal paling menjijikkan yang bisa dibayangkan oleh Xiao Hua terwujud di depan mata. Sosok pria lain di bawah tubuh Huo Dofu perlahan tersentuh cahaya, dalam gerakan lambat ia menolehkan wajah padanya.

"Apa kau menyukainya?" pria itu berkata padanya dengan senyuman.

Kali ini pertahanan Xiao Hua runtuh. Menahan gejolak panas yang naik dari perut ke mulutnya, dia memekik histeris dan berlari keluar kamar, menyerbu kamar kecil dan memuntahkan isi perutnya ke wastafel. Terengah-engah, tangannya memutar kran yang menyemprotkan banyak air dingin.

Ekspresi pria di tempat tidur tercetak jelas di ingatannya, membuat ia ingin menjerit sekuat-kuatnya. Mustahil ia masih bisa tetap waras saat melihat pria di bawah Huo Dofu adalah dirinya sendiri.

Demi Tuhan! Ini mengerikan!

Seperti orang gila Xiao Hua membasuh wajahnya berkali-kali sampai sebagian rambutnya basah kuyup. Dalam bayangan cermin oval di atas wastafel, ia menatap pantulan wajah pucat dan tirus yang terlihat asing. Tatapan mata kosong, jauh, dan terdistorsi. Xiao Hua nyaris tidak mengenal dirinya sendiri dan merasa seperti objek lemah tak berdaya.

Dia bergerak kacau balau, melempar semua benda di atas meja hanya untuk menemukan ponselnya. Ketika dia menemukan benda itu, ia meringkuk di kaki sofa dengan tubuh menggigil. Matanya memerah dan berkaca-kaca, dan jemarinya terlalu gemetar untuk menekan nomor dengan benar.

Akhirnya nomor yang dia tuju tersambung juga. Nada sambung terdengar samar dan seolah jauh melalui gemuruh di telinganya.

"Halo, Xiao Hua?" Hei Yanjing bicara di saluran.

Bibir Xiao bergetar sementara matanya melirik ngeri ke pintu kamar yang tertutup. Itu hanya ilusi! Tidak ada apa pun di sana! Dia tahu itu tapi semuanya terlalu mengerikan dan di luar batas yang menghancurkan kewarasannya yang telah rapuh.

"Hei Ye..." desisnya.

"Ada apa? Kau baik-baik saja?"

"Aku sudah tidak tahan lagi," bisikan Xiao Hua, suaranya tenggelam.

"Ini terlalu kotor dan tak bermoral. Hapuskan ilusi terkutuk itu, ingatanku, semuanya! Kumohon ... sekarang juga. Hei Ye, aku takut jadi gila."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro