Twenty First Trouble
(When the picture is not perfect but it's oke b'coz you are Zhu Yilong 😁😍
Love you so much, so much, and much more and more everyday, Long ge ❤)
Sweet Moment
Wu Xie seharusnya tidak merasakan sensasi tegang di perutnya ketika Zhang Qiling meletakkan jari di lehernya, menelusuri hingga ke tulang selangka sementara ia tidak melepaskan ciumannya yang panas dan lengket. Bukannya mereka tidak pernah menyentuh, berciuman atau semacamnya sebelumnya. Tentu saja pernah. Tapi Wu Xie tidak mengerti mengapa berpegangan tangan dan berciuman terasa sangat berbeda kali ini.
Dia menahan nafas dan melirik ekspresi Zhang Qiling saat ciuman itu terus berjalan. Zhang Qiling melirik sebagai balasannya, matanya penuh tanda tanya namun tidak mengatakan apa-apa. Dia menarik bibirnya untuk memberi jeda, menatap Wu Xie selama beberapa saat dengan ekspresi kosong di wajahnya. Dan kemudian dia membungkuk dan mencium lagi.
Ciuman itu manis dan lembut dan itu membuat Wu Xie merasa...istimewa. Jantungnya terasa melompat-lompat, membuat dadanya sakit, sensasi berputar di kepala juga memperburuk suasana. Wu Xie megap-megap kehabisan nafas, tapi Zhang Qiling membingkai wajahnya erat dengan kedua telapak tangan.
Astaga, Xiao ge bisa-bisa menciumku sampai mati...
Saat itu, tiba-tiba ponsel Zhang Qiling berdering keras di saku jas yang membuatnya melompat menjauh dari wajah Wu Xie karena terkejut.
Sialan!
Dia mengutuk dalam hati.
Zhang Qiling mengerang frustrasi dan mengacak-acak rambutnya dengan kesal. "Kenapa kita selalu diganggu?"
Wu Xie tersenyum lemah sebagai balasannya dan dengan cepat membuang muka.
"Aku akan pulang sekarang. Kau naik taksi saja," Zhang Qiling berkata di telepon, sudah bisa dipastikan bahwa pengganggu itu adalah Liu Sang.
Kerutan di kening Zhang Qiling semakin dalam ketika ia berkata sebelum menutup telepon.
"Jangan mencariku. Aku sibuk sampai besok, sudah! Bicaranya nanti saja."
Menghembuskan nafas kasar, Zhang Qiling menutup telepon, kemudian menoleh kembali pada Wu Xie. Mata pemuda itu sudah semakin berputar-putar, akhirnya..
Srukkk!
Wu Xie menjatuhkan kepala dan bahu ke samping, nyaris pingsan karena pusing.
"Wu Xie.. Wu Xie.. Astaga," Zhang Qiling menggoyang lembut bahu Wu Xie tetapi pemuda itu tidur dengan manisnya.
❤💛❤💛❤
Untuk beberapa alasan yang aneh, saat itu, secepat yang telah terjadi, membuat Zhang Qiling menyadari betapa banyak hal telah berubah antara dirinya dan Wu Xie. Dia merasa senang dengan perubahan ini dan ia juga mengira Wu Xie baik-baik saja dengan apa yang terjadi.
Zhang Qiling memutuskan tidak pulang ke rumah pada lewat tengah malam begini, memilih untuk menikmati waktu berdua dalam ketenangan bersama Wu Xie. Dia mengemudi dan memarkir mobil di pelataran Wuchang di tepi sungai, hanya tinggal sebentar lagi hingga fajar tiba.
Duduk di balik kemudi, dengan kepala Wu Xie di bahunya, pikiran Zhang Qiling dipenuhi dengan banyak hal. Sarafnya berputar menjadi simpul dan napasnya mulai sedikit berat ketika ia memikirkan cara bagaimana agar tidak berpisah lagi dari Wu Xie.
Memandang menembus kaca, di luar di tepi sungai ada beberapa sosok bergerak, mungkin petugas kebersihan taman dengan peralatan di tangan mereka. Zhang Qiling memiringkan kepala menatap langit yang tertutup awan. Dia tidak tidur sama sekali, menikmati aroma tubuh Wu Xie memenuhi mobilnya, dan dengkur halus nafas pemuda itu di lehernya
Zhang Qiling bingung harus berbuat apa sekarang.
Jika ia bisa menggunakan beberapa kata untuk meyakinkan Wu Xie, ia pasti akan melakukannya.
Tenggelam dalam pikiran sendiri, Zhang Qiling tidak menyadari bahwa Wu Xie mulai membuka mata dan terbangun.
"Apa yang kau pikirkan?" bisiknya bertanya, menggosok-gosokkan pelipisnya di bahu Zhang Qiling.
"Kau sudah bangun?" Zhang Qiling tersenyum. Menyentuh rambut Wu Xie, mengusapnya sekilas.
"Di mana ini?" Wu Xie terbiasa disambut kamar berantakan tiap kali membuka mata. Kini, wajah tuan tampan dan pemandangan sungai menyambutnya, membuatnya bingung apa ia sudah bangun atau masih bermimpi.
"Wuchang River Beach, tepi sungai. Tempat kita jalan-jalan pada malam itu," jawab Zhang Qiling.
"Mengapa kau membawaku kemari?"
"Kau ingin aku membawamu kemana?" Zhang Qiling membalas protes Wu Xie dengan senyum nakal.
Wu Xie menyeringai.
"Jam berapa sekarang? Aku perlu ke toilet," ia merengut, masih sedikit pusing dan mengantuk.
Zhang Qiling melirik jam tangannya, memikirkan sebuah gagasan dan berkata, "Aku ingin minum kopi. Kita ke Coffe Bar sekarang, kau akan menemukan toilet di sana."
"Oh astaga... Xiao ge, kau benar-benar sulit ditebak. Kenapa tidak pulang ke rumah saja. Sungguh merepotkan."
Zhang Qiling tersenyum, menyalakan mesin dan mulai mengemudi.
❤💛❤💛❤
Coffee'Bar hanya berjarak lima puluhan meter dari jalur pejalan kaki River beach. Kafe itu buka dua puluh empat jam, menyuguhkan keindahan pemandangan sungai, dan menyediakan tempat bagi anak-anak muda yang menghabiskan waktu semalaman di jalanan.
Dua cangkir latte sudah di depan keduanya, serta dua potong tiramisu. Wu Xie lebih segar sekarang, siap menikmati minumannya di bawah tatapan Zhang Qiling yang intens dan mencurigakan.
"Jangan melihatku seperti itu," protes Wu Xie, mencibir tipis. Zhang Qiling seakan masih merasakan bibir lembut sewarna mawar itu dalam ciumannya yang singkat.
"Aku ingin bertanya sesuatu," Zhang Qiling memutuskan mengakhiri sikap main-main dan tidak bertanggungjawab yang selama ini ditampilkan Wu Xie padanya.
"Tidak perlu terlalu serius," Wu Xie menelan liur kasar, mengaduk lattenya tanpa henti.
"Apa yang ingin kau lakukan dengan hidupmu, Wu Xie?" Zhang Qiling bertanya hati-hati.
Wu Xie menatap dengan terkejut. "Maksudmu?"
"Jawab saja pertanyaannya."
Wu Xie merasakan kecemasan saat Zhang Qiling terus menatap, seolah dia tahu bahwa Wu Xie memendam sesuatu yang tidak ingin ia ceritakan padanya. Zhang Qiling mengetukkan kuku ke cangkir dan menunggu dengan cemas Wu Xie menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak tahu," Wu Xie akhirnya berkata, memalingkan muka dari tuan tampan.
"Aku telah menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengkhawatirkan masa depan dan masalah yang belum terjadi."
"Itu sangat tidak penting."
Wu Xie melirik ke arah Zhang Qiling dengan ekspresi tak terdefinisi di wajahnya. "Mengapa kamu begitu peduli tentang hidupku?"
Zhang Qiling tercengang dengan pertanyaannya.
"Kamu pantas untuk diperhatikan," katanya, merasa sedikit malu.
"Kupikir, aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganmu," ia berbisik ke inti masalah.
Zhang Qiling mengamati wajah Wu Xie untuk mencari tanda-tanda emosi yang akan mengungkapkan apa yang mendesak dalam hatinya. Sejujurnya apa yang dikatakan si tuan tampan membuat Wu Xie gugup, memejamkan matanya dan menghela napas gemetar.
Ketika Wu Xie menjawab, suaranya nyaris di atas bisikan. "Aku akan mengatakan apa yang ada dalam pikiranku, sesuatu yang menggangguku."
"Pernikahan Ah Ning mengganggumu?" usik Zhang Qiling.
"Sama sekali tidak. Aku memang tidak menyukai pernikahan. Tapi aku tidak merasa terganggu."
"Lalu apa?"
Keheningan melingkupi mereka, memungkinkan alunan lagu dari cafe mengambil alih. Nampaknya Wu Xie tengah memfilter beberapa kata yang ingin ia sampaikan.
"Aku berusia tujuh tahun saat orang tuaku meninggal," ia menjeda untuk waktu lama, pandangannya turun dan kedua lengannya terlihat melemas.
"Paman Wu Sangxing membesarkanku seorang diri. Dia hebat.." Wu Xie menghela nafas.
"Dia tidak pernah membuatku merasakan bahwa aku telah kehilangan orang tua. Dia mengajariku banyak hal. Aku sangat menyayanginya."
Zhang Qiling mengangguk-angguk, memutuskan untuk jadi pendengar yang baik.
"Beberapa tahun lalu, pamanku yang bekerja di departemen pemerintahan memutuskan untuk menikahi rekan sekerjanya, nona Chen Wenjin. Tetapi entah mengapa, pernikahan itu tidak pernah terjadi. Bibi Chen tidak pernah datang ke altar di mana pamanku menunggunya untuk menikah."
Wu Xie menggosok hidungnya yang memerah.
"Sejak itu pamanku hidup seorang diri dan tidak memikirkan pernikahan hingga saat ini. Aku terpukul melihat kehidupannya yang sepi, menyibukkan diri dengan bekerja, mencoba melupakan kegagalan yang pahit. Dua tahun lalu, hal yang sama terjadi padaku. Ah Ning memutuskan meninggalkan aku di hari pernikahan."
Zhang Qiling terseret arus kepahitan dalam penuturan Wu Xie, melayangkan tatapan prihatin, ia ingin sekali menggenggam tangan kurus dan pucat itu. Tapi bahkan jemarinya tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya.
"Semenjak itu, di mataku -- hubungan menjadi terlihat berbeda. Kau tak harus terikat untuk menjalani kehidupan bersama."
Bahu Zhang Qiling terkulai lemas. Menyandarkan punggungnya pada kursi, di menggumam perlahan.
"Kau ada masalah dengan pernikahan dan komitmen, dan itu akibat pengalaman pahit pamanmu dan juga hidupmu sendiri, bukan?"
Wu Xie menggeleng lambat-lambat, selambat kata-kata yang terucap.
"Ini bukan hanya tentang pernikahan atau hubungan, melainkan drama yang juga mengikutinya. Aku tidak suka komitmen dan hubungan, karena aku benci perpisahan."
Zhang Qiling mengulurkan tangan, menghapus satu titik air di bawah mata sendu kecoklatan milik Wu Xie. Pemuda itu mengangkat pandangannya, lantas tersenyum hambar.
"Maafkan aku. Ini memalukan," ia menggumam sedikit canggung.
"Wu Xie, aku mengerti.. " Zhang Qiling menggenggam jemari Wu Xie dalam telapak lembutnya.
"Jika kau tidak menyukainya. Tidak masalah bagiku. Kita cukup hanya bersama, karena aku mencintaimu. Kau tidak harus memiliki ikatan hubungan apapun denganku."
Untuk sesaat, Wu Xie menatap ragu.
"Dengar, Xiao ge," kata Wu Xie, suaranya rendah dan intens.
"Aku tahu kau peduli dengan perasaanku, tapi aku tidak ingin kau memaksakan diri."
"Tapi -"
"Aku tidak berharap kau mengerti," gumam Wu Xie, menghela nafas berat.
"Karena kau juga kesepian sama sepertiku. Bedanya, kau menginginkan satu hubungan yang terikat untuk memastikan bahwa kau tidak ditinggalkan begitu saja."
Wu Xie mengucapkan kata-kata yang menyengat melampaui keyakinannya sendiri.
Zhang Qiling kaku dalam duduknya mencoba mengatur napas. Dia agak terkejut melihat kekosongan di mata Wu Xie.
Mendengarkan apa yang dikatakannya memang menyakitkan, tapi dia benar. Dirinya tidak dekat dengan keluarga, merasa kesepian dan terbebani pekerjaan. Lalu saat cinta datang, seseorang yang ia inginkan tidak ingin berkomitmen dengannya.
Jadi apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Aku berjanji. Asal kita bisa bersama. Aku tidak akan mengikatmu dalam satu hubungan."
"Sungguh?"
"Hm--" Zhang Qiling mengangguk.
Telapak tangannya mengelus satu sisi wajah Wu Xie, melekatkan tatapan dan senyum lembut yang menenangkan.
"Katakan kau mencintaiku," ujarnya perlahan.
Wu Xie mengerjap-ngerjap lambat, membalas senyuman sang tuan tampan.
"Ya. Aku mencintaimu, Xiao ge."
"Ayo kita jalan-jalan di luar, bersama sebentar saja."
Wu Xie mengangguk. Mereka berjalan keluar kafe, menyusuri tepian sungai di seawalk, pada pagi hari damai beratmosfer sejuk.
Mereka berbagi cerita, berbagi sedikit hati. Selama jalan masih lurus terbentang, mereka akan berbagi kebersamaan. Siapa yang tahu, kapan akan bertemu persimpangan, di mana jalan mereka akan bercabang.
Ketika hati terisi cinta, wajah pun dihiasi senyuman. Serasa ada sihir di udara dan hasrat pun terbakar dalam hati. Sama-sama merindukan, sama-sama memimpikan. Satu mimpi kini akan menjadi milik satu sama lain.
"Jadi mulai sekarang, kita akan menyelesaikan masalah bersama," Wu Xie berkata dengan nada ceria, keduanya saling bergenggaman tangan, terayun-terayun seiring langkah.
"Aku ingin mencari satu apartemen untuk tempat tinggal kita bersama," Zhang Qiling menyahut di sela hembusan angin dari arah sungai.
Mata Wu Xie berbinar, tapi kemudian ia memikirkan hal lain.
"Kau saja yang mengurusnya, seleramu sangat tinggi bukan?" ia tertawa kecil, walaupun dalam benaknya ia memikirkan kemungkinan memilih apartemen di lokasi berdekatan dengan pemandangan sungai Yangtze. Tetapi tentu saja harganya sangat fantastis. Memikirkannya saja sudah membuat Wu Xie merasa terjangkit asma.
"Oke. Tapi sekarang, katakan apa yang akan kita lakukan dan mau kemana?"
"Hmmm... Tunggu, Xiao ge! Apa kau membawa dadu cinta itu?"
Zhang Qiling meraba saku jasnya, dia merasa benda itu selalu ada di dekatnya. Jika tidak ada di sana, berarti dia simpan di tas.
Beberapa saat kemudian, ia memegang dadu itu di telapaknya, melirik Wu Xie penuh siasat.
"Kau yakin akan melempar ini?"
Wu Xie tersenyum miring.
"Cobalah!"
Komat kamit sejenak, Zhang Qiling melempar dadu, kemudian menangkapnya lagi. Mereka terpaku pada telapak tangannya yang terangkat sedikit demi sedikit.
Zhang Qiling dan Wu Xie melebarkan mata secara bersamaan, kala dadu itu menampakkan diri.
"Ouchhh!" Wu Xie tertawa gugup dan kering, satu pihak, Zhang Qiling tersenyum licik, menatap dadu itu dengan mata bersinar.
Di sana tertulis.
Sex.
Waduh 😁
To be continued 🏃🏃🏃
Please vote and comment if you like this cute pair
❤💛❤💛❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro