Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❛𝐖𝐞 𝐒𝐡𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐍𝐞𝐯𝐞𝐫 𝐇𝐚𝐯𝐞 𝐌𝐞𝐭❜

Kenyataannya, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini.

Semuanya telah diatur, direncanakan seapik mungkin namun terkadang, kita lupa kalau semuanya tidak bisa kita kendalikan.

Adakalanya, hidup seperti diatas tanah, di mana ada pijakan, disana lah kita memulai perjalanan hidup, merancang kehidupan yang kita inginkan dengan pasti. Namun kita tidak tahu, kapan dan dimana pijakan itu bisa berubah menjadi bendungan atau ombak yang bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap. Merebut semua yang kita miliki secepat kilat dan menghilang bak tiupan angin yang datang dan pergi.

Sama halnya dengan nasib Dahyun dan Jungkook saat ini, dimana dalam sekejap, hubungan mereka musnah. Tanpa ucapan perpisahan, keduanya sama-sama mengerti, kalau semesta seolah memisahkan mereka—atau justru, sejak awal mereka memang tidak boleh disatukan.

Seharusnya ini tidak terjadi.

Seharusnya Jungkook sudah membawa Dahyun pergi dan melarikan diri dari kota ini. Atau mungkin, seharusnya ia tidak pernah bertemu dengan Dahyun dan menolak permintaan terakhir sang Ayah, yang jelas-jelas dilakukan bukan untuknya, melainkan demi putra sulungnya.

Ya, Jungkook sudah bilang kan kalau dia punya seorang kakak laki-laki dan kedua orangtuanya itu lebih mencintai putra sulungnya dibandingkan dirinya. Jungkook tahu itu, makanya ia mau melakukan hal ini demi memperjuangkan kebebasannya.

Jungkook sudah lelah hidup tertekan dibawah kendali orang lain, namun bagaimana bisa ia hidup tanpa Dahyun? Karena wanita itu secara tidak langsung sudah merenggut segalanya darinya. Momen bersamanya selama beberapa bulan dalam hidupnya ini begitu membekas hingga melenyapkan penderitaan yang selama ini ia pendam seorang diri.

Jungkook termenung. Larut dalam kekosongan hingga tak dapat merasakan sakitnya pukulan dan tamparan dari sang ayah yang tengah menyiksanya.

"Dasar anak tak tahu diri! Aku mengizinkanmu pergi ke sana untuk mencaritahu soal kakakmu! Tapi kau malah berkencan dengan wanita sialan itu? Cih! Seharusnya aku tidak menaruh harapan besar padamu! Kau sama seperti ibumu, tidak dapat diandalkan dan bisanya hanya menyusahkan saja."

Ya, dirinya dan sang kakak lahir dari ibu yang berbeda. Jungkook lahir dari seorang wanita yang menjadi selingkuhan ayahnya. Wanita yang selama ini tinggal bersamanya adalah ibu tirinya sementara ibu kandungnya entah dimana, Jungkook baru diberitahu saat dia masuk sekolah menengah atas.

Mulutnya sudah penuh darah. Pun pelipis, pipi hingga rahangnya juga penuh lebam. Jungkook sama sekali tidak melawan, namun begitu sang ayah kembali menyebut nama ibunya dan mengatai Dahyun sebagai pembunuh, ia langsung mendongak seraya menatap nyalang sang ayah.

"Berhenti menyalahkan mereka. Mereka tidak bersalah," ujarnya setelah sekian lama disiksa. Jungkook masih ingat reaksi Dahyun saat ayahnya tiba-tiba mendatangi mereka. Wanita itu terlihat sangat syok hingga sesak napas, serangan panik.

Rasanya Jungkook ingin langsung memeluknya dan membawanya pergi namun ia segera diseret dan dimasukan ke dalam mobil lalu disiksa habis-habisan di ruangan sempit ini.

"Tidak bersalah?" Yoon Junggoo—ayahnya Jungkook—tertawa remeh. Sejak kecil, lelaki paruh baya itu sepertinya tidak pernah menyukai Jungkook, ia menganggap Jungkook beban dan pembawa masalah dan begitu mengagung-agungkan kakaknya.

Menundukan tubuhnya hingga wajah mereka sejajar. Junggoo menarik rahang Jungkook supaya mau mendongak ke arahnya. "Apa kau lupa, apa pesanku sebelum mengirimu ke kota ini? Aku menyuruhmu untuk mencaritahu soal wanita itu, dia sudah merenggut nyawa kakakmu dan menyembunyikannya selama bertahun-tahun! Kau lupa?!"

"ITU TIDAK BENAR! NOONA TIDAK MUNGKIN—"


PLAK!!!


Junggoo kembali melayangkan tamparan keras ke pipinya hingga darah kembali keluar dari sudut bibir Jungkook. "Kau sudah terbutakan olehnya. Apa kau tidak ingat? Dia juga berkencan dengan kakakmu sebelum menghabisi nyawanya."

Jungkook malah mendengkus remeh, seolah yang dikatakan sang ayah hanyalah candaan namun sesuatu terbesit dalam benaknya ketika merasakan kejanggalan malam ini.

"Geunde aboeji, kenapa kau tahu dimana aku berada? Bukankah aku masih punya waktu satu minggu lagi sebelum kembali untuk melaporkan semua yang aku tahu?"


"Namanya Jeongguk. Kau pernah berpacaran dengannya semasa SMA sampai kuliah. Waktu itu saat kita kembali bertemu di rumah sakit, saat kau hendak bunuh diri, kau kehilangan sebagian ingatanmu."

Dahyun menatap kosong bayangannya pada kaca yang memperlihatkan pemandangan malam Newt City yang begitu gemerlap.

"Kenapa kau baru memberitahuku soal ini sekarang?" tanyanya setelah sekian lama terdiam. Kali ini dia sudah mulai tenang, tidak seperti tadi yang sempat mengalami serangan panik karena ingatan yang tiba-tiba muncul ke permukaan dengan hebatnya.

"Bukankah itu yang ada diperjanjian?" Jimin berjalan mendekat ke arahnya. Lelaki itu meraih bahu mungilnya, membalikan tubuhnya hingga mereka kini saling berhadapan. "Kau lupa? Saat di atap, kau memintaku untuk menyelamatkanmu. Itu sebabnya kita sampai membuat kontrak supaya kita tetap bersama, tidak akan ada yang pergi tanpa kesepakatan dan mengubur sebagian ingatanmu adalah caraku untuk menyelamatkanmu. Aku tidak mau melihatmu menderita karena ingatan buruk di masa lalu."

"Mwo?" Dahyun balas menatap Jimin dingin. "Menyelamatkanku? Memangnya apa yang sudah kulakukan? Apa ... Apa benar kalau aku telah membun—aarrghh." Dahyun meringis saat merasakan hantaman keras di kepalanya. Telinganya berdengung, lagi-lagi suara itu terdengar di dalam rungunya, diiringi bayangan hitam yang samar-samar terlihat, bak sebuah kaset yang rusak.

"Saranghae, Im Dahyun."

"Sampai kapanpun, kau akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Aku mencintaimu."


[]
Epilog

Disebuah restoran ternama, seseorang terlihat tengah memainkan ponselnya. Raut wajahnya terlihat serius namun begitu seseorang yang tengah ditunggunya datang, kedua sudut bibirnya otomatis tertarik ke atas. Berdiri seraya menjabat tangan lelaki paruh baya itu dengan hangat, selanjutnya Jimin kembali duduk dengan santai namun penuh wibawa.

"Akhirnya kita bertemu juga ya, Yoon Junggoo-ssi."



[]

Selamat datang di konflik utama cerita ini :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro