Vision ~ 24
Dalam sekejap beberapa warga berkerumun di sekitar mayat Shun Zi. Seorang wanita tanpa sengaja menoleh ke arah dari mana dua preman yang telah menganiaya dan menembak Shun Zi muncul. Keduanya berlari menuruni tangga dan terkejut sewaktu ada banyak saksi di sana.
"Lihat dua pria itu! Mungkin mereka pelakunya!" salah seorang warga berteriak kencang.
"Aku melihat mereka mengejar pria ini!" satu saksi lagi berteriak.
"Sialan!!" kedua preman menggeram. Kalap karena ingin melarikan diri, salah satu dari mereka menodongkan pistol ke arah warga.
"Mundur!! Atau kutembak kalian!" ia berteriak kacau balau.
"Kau berani mengancam kami?" Seorang pria bertubuh tegap merasa tersinggung karena diremehkan. Dengan gerakan cepat ia membungkuk memungut sebuah batu sekepalan tangan kemudian melemparkannya ke kepala preman itu.
"Aarrggh!"
Tepat sasaran. Pistol terjatuh seiring kepalanya tersentak ke belakang.
"Ayo kita hajar mereka!"
Seruan itu memicu amarah beberapa pria yang berkumpul di lokasi. Tanpa ampun mereka memukuli dua preman itu beramai-ramai. Nasib sangat buruk yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Keduanya hanya bisa berteriak kesakitan karena meskipun berusaha melawan, keduanya kalah dalam jumlah. Wajah, kepala dan tubuh mereka mulai babak belur.
Sebenarnya sejak awal, Zhang Qiling telah mengintruksikan tiga orang petugas untuk memantau pergerakan Shun Zi di stasiun. Tetapi saat Shun Zi melarikan diri di stasiun berikutnya, petugas kehilangan jejak. Saat peristiwa pengeroyokan terjadi, salah seorang warga akhirnya berinisiatif menghubungi layanan darurat polisi.
"Hallo, polisi! Aku ingin melaporkan peristiwa penganiayaan dan pembunuhan di sini!"
"Katakan di mana lokasi Anda?"
"Kawasan Guanlin, sekitar dua kilometer sisi timur stasiun."
"Kami akan mengirim bantuan."
Tanggapan polisi sangat cepat karena posisi ketiga petugas tersebut tidak terlalu jauh dari lokasi. Salah satu dari mereka menghubungi Zhang Qiling dan juga Pangzhi.
Kedatangan dua mobil polisi diiringi raungan sirine bersahutan menghentikan aksi main hakim sendiri dari warga.
"Hentikan!" Pangzhi melepaskan tembakan peringatan ke udara.
"Polisi tiba, mundur semua!"
Warga menoleh serentak, sebagian pengeroyok merasa terkejut sekaligus takut setelah tertangkap basah polisi.
"Apa yang terjadi?" Pangzhi berjalan menerobos kerumunan.
"Dua pria itu membunuh seseorang," sahut salah satu warga, menunjuk pada tubuh Shun Zi yang masih berada dalam posisi sama sejak awal kematian.
Zhang Qiling bergabung dengannya, tanpa banyak bicara dia bergegas menghampiri mayat terlentang di atas tumpukan pasir dan batu.
Ekspresi Zhang Qiling berubah pucat untuk sesaat. Namun dengan cepat ia menguasai diri. Bergerak mundur, dia menatap keseluruhan mayat Shun Zi yang babak belur.
"Kau mengenalnya, Xiao ge?"
Yang ditanya mengangguk. "Tentu saja. Kau juga mengenalnya. Dia Shun Zi."
"Shun Zi?" Pangzhi mendelik, memanjangkan lehernya untuk memastikan mayat siapa.
"Kenapa semua orang tiba-tiba mati?" Si gendut menggaruk dagunya dengan mulut miring.
"Padahal kita baru saja akan melakukan penyelidikan ulang terhadapnya. Selama ini dia bekerja sama dengan Touba dalam aksi kriminal," Pangzhi mengomel sambil menatap mayat Shun Zi seakan ia mengharapkan si mayat bangun kembali akibat omelannya.
"Dua preman sial itu, apa benar mereka pelakunya?" gumam Pangzhi. Di sampingnya Zhang Qiling mengamati luka tembakan di dada dan lambung Shun Zi.
"Periksa bagaimana kondisi mereka," ia berkata pada Pangzhi, menyuarakan kekhawatiran akan lenyapnya si tersangka pembunuhan.
Pangzhi mengangguk, mundur ke lokasi di mana dua petugas lain memeriksa du preman yang terbujur di tanah berlumuran darah dan debu.
"Mereka terluka parah dan jatuh pingsan. Kami baru saja menelepon ambulan," salah satu petugas berkata pada Pangzhi.
"Usahakan mereka mendapatkan perawatan dengan cepat. Kita memerlukan dua orang itu dalam keadaan hidup."
"Ya. Tentu."
Menjauh dari keramaian, Zhang Qiling termangu, tiba-tiba menemukan dirinya sendiri larut dalam logika yang bergoyang-goyang di akal sehatnya. Entah mengapa, setiap kali dia menemukan satu petunjuk yang mengarah pada seseorang, maka orang itu mati lebih dulu. Kematian Shun Zi hanya berjarak satu pekan dari penemuan mayat Touba di sungai. Bahkan sebelum ia menemukan pelaku pembunuhan Touba, satu-satunya yang bisa ia minta kesaksian bahkan saat ini menyusul Touba ke alam baka dengan tidak sabar.
Kepalanya penuh dengan pikiran yang bertentangan dan hampir menenggelamkannya dalam lubang hitam dan kosong, persis seperti saat ia mengalami kecemasan akut dan gejala awal depresi. Siang hari berganti senja dengan bias samar matahari tenggelam, dan kesibukan di lokasi perlahan mereda. Orang-orang bergerak mundur, selesai dengan tontonan menarik mereka.
Zhang Qiling menghela nafas panjang. Menikmati angin senja yang sejuk membelai kehampaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.
"Xiao ge." Pangzhi berjalan menuju padanya, menunjukkan raut wajah lapar.
"Kau mengirim dua petugas ke stasiun sebelum insiden ini. Kukira kau sudah bisa memprediksi akan kemunculan Shun Zi, bahkan kematiannya."
Komentar Pangzhi cukup terus terang, menyeret opini Zhang Qiling pada beragam dugaan. Seharusnya Wu Xie sudah mengetahui tentang rencana Shun Zi.
"Kukira kau memiliki seorang informan yang handal," lanjut Pangzhi.
Zhang Qiling tidak bereaksi. Dia tengah memikirkan alasan.
"Hanya untuk berjaga-jaga. Aku memiliki dugaan kuat bahwa Shun Zi pasti melarikan diri. Perjalanan dengan kereta bisa menjadi pilihan yang bagus." Dia merangkai cerita palsu untuk mencegah Pangzhi agar tidak menghujaninya dengan pertanyaan. Tidak untuk saat ini.
"Oke. Jadi kau tidak memiliki informan?"
Zhang Qiling menggeleng.
Pangzhi mengambil napas dalam-dalam ketika dia melihat rekan petugas sedang mengawasi mobilnya. Dari kejauhan, masih ada beberapa wartawan. Suasana TKP selalu terlihat sama seperti dulu. Ketika cahaya dari matahari berada di belakang gedung, semangat pun ikut surut dan menghilang ke dalam pemandangan senja.
"Xiao ge, bagaimana jika kita pulang untuk beristirahat," Pangzhi berkata.
"Baiklah. Kau bisa pergi sekarang." Zhang Qiling memberikan persetujuan.
Setelah Pangzhi pergi, ia mundur beberapa meter lagi ke tempat sepi, bertekad menghubungi seseorang. Dia ingin menanyakan pada Wu Xie, dari siapa informasi ini berasal, apakah kematian Shun Zi sudah direncanakan sebelumnya, dan apakah Wu Xie sudah menduga tentang ini sebelumnya.
Dia mengeluarkan ponsel, menggulirnya untuk memeriksa panggilan masuk. Mudah baginya untuk menghubungi nomor itu kembali. Dia menunggu dengan sabar kala nada sambung yang monoton berlangsung cukup lama. Mungkin Wu Xie tidak dalam situasi bisa menerima panggilan, mungkin dia sibuk, atau ...
"Hallo?"
Suara seorang wanita paruh baya menyentakkan Zhang Qiling. Siapa ini? Keningnya berkerut saat kembali memeriksa nomor mana yang ia hubungi. Tetapi dia tidak salah menekan nomor.
"Hallo, siapa ini?" Suara wanita itu terkesan lelah. Namun keras dan mengomel. Terdengar seperti seorang pekerja yang baru saja pulang dan kesal karena menerima telepon dari nomor tak dikenal.
"Hallo," Zhang Qiling nyaris bergumam saking bingungnya. "Bisakah aku bicara dengan Wu Xie?"
"Wu Xie??" Wanita di sambungan telepon mengulang, nadanya jelas bingung.
"Siapa Wu Xie?"
Ada yang salah, batin Zhang Qiling rumit.
Ini nomor orang lain. Wu Xie pasti meminjamnya dari seseorang.
"Maaf, dengan siapa aku bicara?" tanya Zhang Qiling.
"Aku Bibi Shui, pedagang es krim buah-buahan di East Mailroad. Belakang stasiun, kau pasti tahu. Aku cukup populer di daerah ini." Wanita itu bicara lancar dan bawel.
Zhang Qiling menarik nafas dan menangkup wajahnya dengan salah satu tangan. Ya Tuhan, apa ini? Dia menghubungi orang yang salah.
"Apakah kau pernah meminjamkan ponselmu pada seorang pemuda?"
Bibi Shui terdiam sekian detik lalu kembali berkata, "Entahlah, aku tidak ingat. Saat pelanggan banyak, mungkin aku meletakkan ponsel sembarangan. Astaga, apakah anak-anak nakal itu mengerjaiku. Sebenarnya siapa kau, anak muda?"
"Aku polisi." Zhang Qiling menelan liur.
"Ya ampun. Mereka benar-benar menjengkelkan. Apakah pemuda yang kau bicarakan tadi berniat mengadukanku pada polisi?"
Zhang Qiling masih berdiri di tempatnya, menatap kosong pada kawanan burung layang-layang di kejauhan. Tanpa berkedip.
Satu-satunya hal yang membuatnya terlihat masih hidup adalah denyut nadi di lehernya. Dia terkejut, dan terlalu bingung untuk bergerak. Suara di seberang tidak menyerap ke dalam pikirannya, dan ia hanya terdiam membisu.
"Apakah kau mendengarkanku?”
Suara Bibi Shui yang melengking membuatnya tersadar dari lamunan.
"Maaf. Aku salah sambung."
Dia menutup telepon, memasukkan ke dalam saku dan sebagai gantinya, mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya.
Wu Xie tidak memiliki nomor baru. Dia menggunakan ponsel orang lain tanpa sepengetahuan pemilik. Dia memiliki masalah dengan ponselnya sendiri. Atas alasan apa, Zhang Qiling tidak tahu.
Malam ini ia akan pergi mencari Wu Xie. Zhang Qiling memutuskan sambil menikmati hisapan demi hisapan. Dia berjalan menuju mobilnya saat langit mulai dibanjiri rona jingga senja.
*****
Pukul sembilan malam di Chloe Bar and Vins, Xiao Hua duduk dalam kegelapan sendirian, jauh dari semua orang. Setiap sepuluh menit atau lebih dia akan kembali memesan anggur, bertekad membuat dirinya tenggelam dalam kemabukan. Sejak beberapa hari terakhir, dia merasa sangat marah dan kesal pada diri sendiri. Dan pada Hei Yanjing, ada dendam yang tak tertahankan.
Ingatannya selalu kembali dan kembali lagi pada malam itu di mana ia dipaksa mentraktir makan malam pria aneh licik dengan senyuman menyebalkan, lantas malam itu, Hei Yanjing membawanya ke apartemen miliknya tanpa sepengetahuan Xiao Hua yang ketiduran di dalam mobil.
Ahh, sialan! Bagaimana dirinya bisa seceroboh ini?
Xiao Hua meneguk segelas anggur lagi dengan kasar.
Malam itu, ketika ia tahu bahwa Hei Yanjing membawanya ke apartemen pribadi, dia menolak dan memberontak dengan gaduh.
"Sialan! Apa kau bermaksud menculikku?" ia menggeram.
Hei Yanjing membungkamnya dengan telapak tangan, diiringi tatapan jarak dekat penuh gairah. Membuat Xiao Hua mencoba melepaskan diri tapi ia balas menekan lebih kuat ke dinding.
Xiao Hua menjadi memerah karena wajah pimpinan polisi itu begitu dekat dengannya. Dan aroma maskulin mengepung di sekelilingnya. Membuat Xiao Hua lebih lemah di lututnya saat dia lebih ditekan ke dinding.
"Kau pikir bisa menjadi lebih kuat dengan hanya mengandalkan otot dan tinju," Hei Yanjing berkata pada dirinya sendiri saat tubuhnya menjadi panas dengan keinginan.
"Tapi ngomong-ngomong, tubuhmu lumayan seksi juga."
"Tutup mulutmu!" Xiao Hua mendengus.
"Dan berhenti memberiku senyuman cabul atau aku akan merontokkan seluruh gigimu."
Alih-alih marah, Hei Yanjing justru memberikan ciuman jauh, mengundang kekesalan Xiao Hua sampai ke puncaknya. Butiran keringat muncul di pelipis dan leher Xiao Hua mengingat betapa terjebaknya dia bersama pria menyebalkan ini. Dia khawatir akan ditemukan mati karena jengkel pada esok hari. Melihat betapa berkeringat dan menariknya dia. Hei Yanjing tidak bisa menghentikan rasa sukanya yang meluap kepada Xiao Hua karena dia sangat merindukannya. Imajinasinya menjadi liar dan ia tidak sabar untuk memilikinya.
"Xiao Hua, bolehkah aku memilikimu malam ini?" Matanya berbinar mengatakan permintaan tidak tahu malu itu.
Xiao Hua mendelik geram. "Dalam mimpimu!"
"Oke! Oke!" Hei Yanjing mengangkat kedua tangan, senyum liciknya menawarkan perdamaian yang sia-sia.
"Aku tidak ingin bertengkar denganmu malam ini. Kau sudah berada di tempatku, bagaimana jika melewatkan separuh malam bersama anggur? Aku memiliki yang terbaik di persediaanku."
Xiao Hua tidak menyuarakan persetujuan, tapi juga tidak membantah. Hanya lirikan ganasnya yang terus menghujam Hei Yanjing.
"Aku anggap kau setuju. Tunggu sebentar!"
Walaupun curiga, Xiao Hua tidak bisa menolak satu gelas kecil anggur itu, dia pikir itu sangat ringan. Tapi di luar dugaan, akibatnya cukup fatal. Dia masih belum memahami benar betapa liciknya pria berkacamata ini.
Segera setelah itu, kantuk hebat menyerangnya tanpa ampun dan Xiao Hua jatuh tertidur di sofa.
"Aih, kau kalah dalam tegukan pertama, anak manis," gumam Hei Yanjing, menyeringai.
Xiao Hua benar-benar tertidur lelap hingga dia tidak merasakan seseorang mencium bibirnya dengan penuh gairah dan membelai wajahnya. Hei Yanjing memeluknya erat-erat.
"Xiao Hua! Kau sangat cantik!"
Ada sedikit respon dari Xiao Hua. Itu membuat Hei Yanjing terkejut dan membuka matanya lebar.
"Kau sudah bangun!!!"
Tidak ada reaksi lagi kali ini. Xiao Hua rupanya masih tertidur. Dia memberinya hujan ciuman membuat hatinya bersorak penuh kemenangan saat dia menyadari apa yang dia lakukan.
"Aku ..." Xiao Hua tiba-tiba membuka bibirnya. Membuat kesan seolah ia membalas ciuman itu.
Hei Yanjing lagi-lagi terkejut, tapi Xiao Hua tidak benar-benar bangun. Dia hanya mengigau, mungkin diam-diam ia juga bermimpi cabul.
Hei Yanjing bangun keesokan sorenya karena teleponnya berdering. Seorang petugas sepertinya mengganggu tidurnya. Dia melihat sekelilingnya setelah dia mengakhiri panggilan dan menemukan Xiao Hua tertidur lelap di sisinya. Dia mengiriminya senyum lembut lalu menyelinap untuk membuat panggilan darurat lain lalu mengirim pesan pada beberapa rekan.
Dia mengambil handuk, dan menuju ke kamar mandi dengan berjinjit mencoba untuk membuat lebih sedikit suara sehingga tamunya tidak terbangun.
Lima menit kemudian, Xiao Hua merangkak di tempat tidur lalu terbangun dengan sakit kepala yang berdenyut.
Dia menggerutu saat dia turun dari tempat tidur, menyadari bahwa dia berada di kamar asing. Ingatan tentang semalam mengganggunya, tapi setidaknya dia tahu ada di mana. Ini apartemen Hei Yanjing. Pria tengik itu sudah menculiknya dan sepertinya ia sudah pergi kerja. Xiao Hua berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Yang mengejutkan Hei Yanjing ada di sana telanjang di bawah air panas. Xiao Hua merasa kepolosannya ternoda saat dia melihat tubuh telanjang. Dia kemudian mulai melakukan flashback yang tidak tahu malu dari tadi malam. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah cukup memalukan? Tapi dia merasa baik-baik saja di seluruh tubuhnya.
"Oh, tolong jangan bilang kita melakukannya. Tidak, itu mimpi buruk, mimpi buruk!" Xiao Hua berlari seperti anjing gila di dalam ruangan itu, menyambar mantel dan mencari ponselnya. Dia menemukan dua puluh panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan dari Jia Sha, asistennya. Xiao Hua mengumpat pelan dan saat dia berbalik untuk meninggalkan, Hei Yanjing memanggil namanya.
"Xiao Hua!" panggil Hei Yanjing dengan tegas sambil mengangkat alis.
"Apa yang kau lakukan padaku?!" ia balas membentak, pura-pura tidak tahu apa yang mungkin diinginkan pria itu. Pria seksi yang basah keluar dari kamar mandi dengan tidak lebih dari handuk melilit pinggangnya.
"Pakai bajumu dengan benar! Kau tidak tahu malu."
Dia menyambar sehelai jubah panjang dan dengan cepat melemparkannya ke arah Hei Yanjing. Dia tampak sangat marah sekarang.
"Kau ingin pulang tanpa mandi?!"
Pertanyaan itu wajar, namun sesederhana apa pun tetap saja membuat Xiao Hua mendelik kesal.
"Apakah kau tidak keberatan aku menggunakan showermu?"
Xiao Hua merasa sangat tidak masuk akal, dia akan mengatakan sesuatu yang lain ketika dia tidak menemukan keberanian dan tidak dapat menyampaikan apa yang sebenarnya dia inginkan.
"Tentu saja, baby."
Xiao Hua mendorong Hei Yanjing dengan kasar dari jalannya dan berlari ke dalam kamar mandi mengunci pintu di belakang. Mandi sekarang adalah ide terbaik untuk bersembunyi dan mendapatkan waktu ekstra untuk dirinya sendiri. Jadi dia memanjat masuk dalam bathtub. Memastikan untuk mencuci rambut, tubuhnya, dan semua kenangan semalam dengan saksama sebelum naik kembali.
"Apakah kau ingat apa yang terjadi tadi malam?" tanya Hei Yanjing sambil menatap mata Xiao Hua setelah keduanya berpakaian rapi dan siap bertengkar.
"Tidak! Aku tidak ingat apa pun! Pria tidak tahu malu!" Xiao Hua mengungkapkan kemarahan dengan segenap keberanian.
Hei Yanjing tertawa melihat pemuda di depannya begitu marah, dia bermaksud mengatakan yang sebenarnya, namun ia tidak yakin Xiao Hua akan mempercayainya atau tidak.
"Sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Aku hanya menciummu sedikit saja. Setelah itu kau dan aku jatuh tertidur karena mengantuk. Sederhana."
"Mencium? Kau mengambil kesempatan pada seseorang yang sedang tidur? Sialan!"
"Baiklah. Baiklah. Aku minta maaf, oke!" Hei Yanjing menyeringai tanpa beban.
"Aku tidak ingin kau menjauh atau merasa malu. Bisakah kita melupakannya dan kembali seperti biasa?" Hei Yanjing tidak bermaksud meningkatkan kemarahan Xiao Hua dengan pernyataan terakhirnya. Tapi apa yang keluar dari mulutnya benar-benar kacau.
Dia ingin meyakinkan pemuda itu bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan dia tidak ingin masalah ini memisahkan mereka atau membuat mereka bersikap canggung satu sama lain. Tapi tentu saja Xiao Hua tidak bisa menerima begitu saja.
Dengan wajah murka, ia menggeram.
"Cihh!"
*****
Di sudut lain yang remang-remang, Wu Xie bersandar di dinding, mengawasi Xiao Hua dari jarak tertentu. Pemuda itu masih dingin, sinis, tapi sangat manis jika tersenyum. Secara keseluruhan, Xiao Hua pemuda yang tampan dinilai dengan cara yang unik. Mungkinkah dia masih seorang teman yang baik?
Namun, bukan hal-hal itu yang membuat Wu Xie berdiri di sana. Ada sesuatu menarik perhatiannya pada Xiao Hua. Itu adalah matanya.
Bahkan dalam kegelapan, dia bisa melihat beban di sana. Sebuah beban yang belum pernah ia lihat pada siapa pun kecuali diri sendiri. Xiao Hua jelas sedang terjebak dilema. Ada cinta dan kemarahan. Diam-diam, Wu Xie tersenyum samar.
Saat itu dia tidak yakin apakah Xiao Hua bisa mengenalinya, atas pikiran itu Wu Xie berniat pergi sebelum matanya tertumbuk pada seseorang yang berjalan dari luar bar menuju pintu masuk.
Xiao ge ...
Wu Xie mempercepat langkahnya untuk menemui Zhang Qiling di dekat pintu masuk.
"Xiao ge," ia berbisik perlahan pada pria tampan yang baru menjejakkan langkah pertamanya di dalam bar.
"Wu Xie ..." Mata Zhang Qiling berbinar.
Wu Xie memindai seluruh ruangan beberapa saat, lantas memberikan isyarat dengan matanya.
"Bagaimana jika kita bicara di luar?"
Zhang Qiling mengangguk. Kunjungannya berakhir tiba-tiba sebelum dimulai. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun ketika Wu Xie berjalan di depannya, mundur dari pintu masuk dan menuju pelataran parkir. Dia menoleh menatap Zhang Qiling yang tidak pernah menolak permintaannya, dan Zhang Qiling pun tidak ingin bertanya mengapa Wu Xie tidak ingin bicara di dalam bar. Yang dia tahu hanyalah bahwa ia ingin bertemu pemuda manis dan menyenangkan itu, yang selalu menghangatkan suasana hatinya dengan tatapan anak anjing yang imut, yang memberinya ciuman pertama untuk diingat.
"Aku baru saja ingin menemuimu," ujar Zhang Qiling. Dia menoleh sekilas ke dalam bar sebelum bertanya, "Apakah tidak apa-apa kau pergi keluar seperti ini?"
"Sejujurnya, hari ini aku tidak masuk kerja." Wu Xie menyeringai.
"Kebetulan yang manis. Aku ingin membicarakan banyak hal denganmu," sahut Zhang Qiling. Wu Xie melirik mobilnya dan memberikan penawaran.
"Xiao ge, bagaimana kalau kita berjalan-jalan malam ini?"
Zhang Qiling menatapnya sebelum mengangguk setuju, dan pemuda itu menampilkan senyum yang memikat, menjadikan Zhang Qiling termangu. Dia tidak tahu mengapa selalu takluk pada Wu Xie, kapan pun, dalam situasi apa pun. Wu Xie selalu berhasil membuatnya lemah. Bahkan dalam keremangan tempat ini, dia terlihat lebih sempurna.
~°~°~°~
Wahh, asyik nich jalan-jalan malam 😍😍
To be continued
Please vote and comment 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro