Chapter XVIII
Roche Qui Pleure
Untuk sesaat Xiao Hua merenungi satu momen yang jelas tidak masuk akal. Dia terus menatap sosok hitam yang menjauh dengan cepat, mencoba memahami setenang mungkin segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Beberapa ekor serangga bergerak ke arahnya sekarang, tanpa suara. Sulur wisteria dan ranting pohon diberati dedaunan lebat berayun di depan jendela rusak. Itu menjadi bayangan anggun di sudut matanya. Suasana hening dan tenang, mengingatkan Xiao Hua pada suasana kantornya. Tak dapat dipungkiri jika dia memikirkan sekilas kehidupan yang biasa dia jalani sebagai manusia normal, sebelum vampir sialan ini menguasai tubuh fananya.
Apa yang aku lakukan di sini? batinnya pahit.
Menjadi tawanan atas kejahatan yang tidak disadari, diikat seperti binatang liar dan dikejar-kejar seperti pencuri. Sungguh lelucon.
Apakah ini tidak lebih dari kemalangan? Dan mengapa ia harus berkonfrontasi dengan Hei Yanjing?
Dia tidak bergerak untuk beberapa lama, hanya menunggu pria hitam itu kembali. Sayup pekikan jalak terdengar jauh di dalam hutan, memantul di antara pepohonan. Pikirannya yang hening menciptakan bayangan menakutkan tentang pertarungannya dengan Hei Yanjing. Mungkin akan ada bentrokan lain lagi dan lagi. Dia tidak sanggup membayangkan mereka harus saling melukai satu sama lain.
Kala matahari mulai naik, derap langkah kaki berat dan mantap memutus alur pikirannya yang rumit, tiada berawal dan berakhir. Xiao Hua menatap sosok yang dia tunggu telah kembali. Berdiri beberapa meter di depannya, ia melihat sosok tinggi tegap menjulang itu mengacungkan satu tangan yang membawa sekantong buah-buahan.
"Aku lupa kalau aku tidak membawa banyak uang. Jadi aku membeli apa saja yang pertama kali kutemukan, dengan sedikit bermain kata-kata, aku berhasil mendapatkan diskon. Semoga bibi tua pedagang buah itu diberkati," Hei Yanjing menutup rangkaian kata-katanya dengan senyum manis.
Xiao Hua mencoba membalas senyumannya, tapi akhirnya ia malah meringis.
Dia menatap sosok yang masih tegak berdiri, tidak kunjung mendekatinya, dan mengingat kembali saat dirinya kehilangan jejak terakhir kenangan sebagai manusia dan terserap ke dalam kegelapan. Dan seburuk apa pun pertentangannya dengan para pemburu, dan juga ketua mereka, dia tidak bisa menangis untuk hal itu, karena pasti seseorang harus melakukannya. Bagaimanapun, vampir keji harus dihabisi.
"Kau membual tentang banyak makan," Xiao Hua mencoba bergurau, "tapi apa yang kau bawa untukku? Buah-buahan tidak menggemukan."
Hei Yanjing meringis, menghampiri pemuda yang terikat dan duduk bersila di lantai. Kini mereka saling berhadapan dengan buah-buahan segar di antara mereka.
"Uhh, lihat ini. Begitu indah dan segar, halus berkilau," Hei Yanjing memuji sebutir apel kuning kemerahan berukuran besar, memegang dan mengangkatnya di depan wajahnya dengan gaya dramatis.
"Ini anugerah langit yang agung," lanjutnya, lantas mengulas senyum lagi.
"Kuharap kau memang bicara tentang buah apel," komentar Xiao Hua, memutar bola matanya sebelum meneruskan, "Siapa yang tahu bahwa di balik lensa kacamata hitam ini, matamu menatap padaku."
Hei Yanjing tercengang, seketika mendesis. "Itu tuduhan yang tidak masuk akal," desahnya. Kemudian dia menyodorkan buah apel di tangannya ke depan mulut Xiao Hua.
"Gigitan pertama untukmu."
Tatapan Xiao Hua nampak agak canggung. "Aku bisa makan sendiri."
"Aku tahu, aku juga tidak berniat menyuapimu. Hanya satu gigitan pertama, sisanya biar aku. Bagaimanapun pria sejati harus mengalah."
"Konyol," gumam Xiao Hua, tapi dia melakukan apa yang diminta si pria hitam. Gigitannya lumayan besar, dan rasanya juga manis. Dia menguyah dengan hati-hati, dengan gayanya yang elegan, seperti biasa.
"Nah, bagaimana rasanya? Manis?" Hei Yanjing mengukir senyum penuh kemenangan.
Xiao Hua mengubah ekspresinya dengan cepat, kemudian menggeleng.
"Ini kesat dan pahit."
"Benarkah? Kalau begitu aku harus meminta uangku kembali dari penjualnya."
Tawa ringan Xiao Hua berkumandang untuk pertama kalinya sejak beberapa hari. Entah mengapa setiap kali bicara santai dan bercanda dengan pria hitam ini, hatinya selalu dipenuhi emosi yang berwarna warni. Kesal, tidak sabar, namun di sisi lain ia merasakan kehangatan.
"Kau coba saja sendiri," ucapan Xiao Hua belum selesai saat Hei Yanjing menguyah apel itu. Gerakannya terhenti sejenak, lantas menyeringai.
"Buahnya manis." Dia menatap apel di tangan, bergantian dengan Xiao Hua. "Yang pahit adalah mulutmu."
Tawa Xiao Hua seketika lenyap. "Apa maksudmu?"
"Ugh, ya. Itu dia. Kau selalu berkata tajam dan frontal padaku. Jarang sekali berkata manis. Sepertinya aku akan lebih menyukai apel ini daripada dirimu."
Mata Xiao Hua melebar. Satu tangannya terangkat, merebut apel itu dengan kasar sambil melayangkan lirikan tajam.
"Berikan padaku!" katanya.
Hei Yanjing hanya terbengong-bengong mendapati tangannya tiba-tiba kosong. Masih dengan raut wajah heran, ia mengawasi Xiao Hua memakan apelnya dengan rakus.
"Hei, Xiao Hua ... apakah kau memiliki kebiasaan cemburu pada benda mati?" tanyanya, berpura-pura lugu. Xiao Hua nyaris tersedak mendengar ucapan tidak tahu malu itu.
"Siapa yang cemburu? Astaga, kau tidak masuk akal," tukasnya, berhenti makan.
"Baiklah, lupakan." Hei Yanjing mengambil seikat anggur, memetiknya satu per satu dan melahapnya.
"Kau tidak membaginya denganku?" protes Xiao Hua.
"Kenapa kau meributkan hal-hal kecil?" Hei Yanjing mengerutkan kening.
"Berikan itu padaku!"
"Aishh, kau menakutkan bahkan saat menjadi manusia biasa." Diiringi desahan tidak paham.
"Tapi aku akan mengalah sekali lagi. Nah, ini dia. Kau mendapatkan gigitan pertama." Hei Yanjing mengangkat sebutir nanas yang belum dikupas.
"Aku tidak tahu mengapa bibi tua memberikan ini," gumamnya.
Kali ini Xiao Hua benar-benar kesal.
"Kau ingin membuat mulutku berdarah?"
"Astaga, aku tidak berani."
"Sebagai ratu vampir, aku memang tidak ingin membunuhmu. Tapi saat ini aku benar-benar ingin melakukannya."
Xiao Hua mencoba tertawa, menirukan gaya bercanda Hei Yanjing yang buruk. Namun ia mendadak terdiam saat melihat pria hitam itu meletakkan nanas di lantai dan melekatkan pandangan muram padanya.
"Jika suatu hari kau mendapat kesempatan itu, dengan cara apa kau akan membunuhku?"
"Hei Ye, aku hanya bergurau. Jangan terlalu serius ... " dengan cepat ia menyesali ucapannya.
"Aku tahu." Hei Yanjing tersenyum. Dia lebih banyak tersenyum dibanding tadi pagi.
"Aku 'kan hanya bertanya." Raut wajahnya kembali santai tanpa mengetahui ketegangan dalam diri Xiao Hua.
"Gara-gara nanas ini. Maaf Xiao Hua, aku tidak bisa membelikanmu roti yang lezat, dan sebotol anggur. Aku bahkan lupa di mana menaruh sepeda motorku," ia berkata penuh penyesalan.
Xiao Hua memandangnya tidak percaya, sementara angannya melayang jauh.
"Tak apa," bisiknya. "Jika suatu hari aku bisa terbebas dari Rose Queen, kau boleh menghabiskan uangku."
"Benarkah? Aku akan semakin bersemangat memikirkan rencanaku untuk menyelamatkanmu."
Xiao Hua mau tidak mau tersenyum lebar. Secercah harapan bersinar di hatinya.
"Aku sempat bertanya-tanya," Xiao Hua berkata, jemarinya memetik sebutir anggur dan memakannya.
"Pada waktu aku dikurung di ruang bawah tanah gereja tua, kau bersikap sangat dingin. Caramu bicara padaku bahkan penuh intimidasi."
"Posisiku adalah ketua jika berada di sekitar mereka." Hei Yanjing menghela napas, melakukan hal yang sama dengan Xiao Hua, dan melempar anggur itu dengan gaya sebelum menangkapnya dengan mulutnya. "Untuk saat ini, aku adalah temanmu. Tak ada gunanya bergaya di depanmu hanya saat kita berdua saja."
"Jadi kau berpura-pura?"
"Tidak sepenuhnya."
Xiao Hua melipat bibir bawahnya, menekannya dengan gigi atas. Ada rona terkejut di wajahnya.
"Jadi ancamanmu sungguhan?"
"Bisa dikatakan begitu. Kau dan aku dalam posisi yang sulit. Ratu vampir yang bersemayam di tubuhmu memiliki dendam terhadap leluhurku, Marius. Hubungan kita adalah kuno, berawal dari masa lalu yang jauh. Namun, sebenarnya kau hanya alat dan juga korban. Karena itulah, aku ingin melindungimu."
Satu butir anggur lagi terlempar ke udara.
"Bagaimana dengan air suci? Apakah itu memang tidak berpengaruh padaku? Ataukah memang air suci kehilangan kekuatannya?"
"Hmmm, sepertinya Lao Wei benar-benar ingin bermain-main denganmu menggunakan air suci." Hei Yanjing mendengus samar. Gerakannya memakan anggur kian bersemangat seakan-akan ia kesal dan melampiaskannya pada makanan.
"Kau mengetahuinya?"
"Aku menduganya, dan sudah waspada sejak awal."
"Jadi kau menukar botol air suci itu?"
Senyuman licik Hei Yanjing terkembang di bibir tipisnya yang penuh godaan.
"Cerdas," gumamnya beberapa saat kemudian.
"Ayo, makan lagi!" ia mengubah topik dan mendapati bahwa sebagian besar buah-buahan itu sudah masuk ke dalam perutnya.
"Aah, ini keliru," ia mendesis penuh penyesalan, bibirnya melengkung sedih.
Xiao Hua memandangi pria hitam itu, seakan dia tak akan bisa melihatnya lagi untuk waktu yang lama. Dalam hatinya ia sangat cemas. Bahwa sosok ini suatu hari akan hilang bersama dengan persahabatan mereka dan, semua yang pernah dijalani dan disaksikannya. Waktu tenang mereka di rumah tua ini juga akan segera berakhir. Semua peristiwa yang terjadi, sepertinya di luar kemampuannya untuk menerimanya.
"Hei Ye ... " suaranya datar dan serius, mengabaikan ocehan Hei Yanjing tentang makanan.
Pria itu menatapnya, menghentikan gerakannya menggigit sebutir apel yang baru.
"Aku mengerti sekarang mengapa ada begitu banyak kebencian yang sulit dipahami setiap kali aku kehilangan kendali di bawah tekanan kekuatan gelap itu," ia berkata lambat-lambat.
"Kebencian?"
"Ya, kebencian saat melihatmu dan kawan-kawanmu. Mungkin itu energi dari sang ratu. Atau apakah itu kebencian yang dia rasakan terhadap leluhurmu, kebencian yang telah menunggunya selama berabad-abad, bercampur dengan kebencian dan kelelahan, dan anehnya, perasaan itu bercampur aduk dan berubah menjadi kesedihan bagi hati manusiaku."
Hei Yanjing mengangguk, lagi-lagi bibirnya membentuk lengkungan sedih.
"Mungkin memang seperti itu. Kebencian yang sekarang mendidih menjadi panas yang tidak pernah kau bayangkan."
"Tapi mengapa ada begitu banyak dendam dan kebencian?"
"Karena Marius telah menghabisinya, dan menyegel rohnya di dalam kotak pusaka. Itu saja."
Dalam visi yang dia lihat di hutan, Hei Yanjing sempat memahami bahwa ada semacam pemujaan dalam dua mahluk yang berbeda itu satu sama lain, tetapi dia tidak berniat menjelaskan hal sentimentil semacam itu pada Xiao Hua. Kedengarannya menggelikan dan khas melodrama.
"Aku tidak ingin mewarisi kebencian sebesar itu," ujar Xiao Hua dengan nada pahit.
"Sederhana saja. Kau bisa mengubahnya menjadi emosi yang sama kuatnya dengan kebencian."
"Apa maksudmu?"
"Kau pemuda yang cerdas dan kritis. Sudahlah, jangan bicara lagi. Makan yang banyak." Hei Yanjing mengatupkan mulutnya, menyadari bahwa tidak ada yang tersisa selain nanas dan beberapa biji anggur.
"Maaf, sepertinya aku menghabiskannya." Dia terkekeh sedikit malu. Xiao Hua ikut tertawa, walaupun tubuhnya masih terasa lemas.
"Jadi kapan kau akan membawaku ke tebing Gris Gris?" tanyanya setelah mereka terdiam beberapa lama.
Hei Yanjing menatapnya dengan kepedulian yang tak terpatahkan.
"Kau yakin benda itu jatuh di sana?"
"Kita tidak pernah tahu jika tidak memeriksanya."
"Tapi ... aku khawatir jika kita pergi ke sana. Anggota pemburu bisa berada di mana saja."
"Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku melihat keindahan pantai." Xiao Hua mulai keras kepala.
"Tidak. Itu belum terlalu lama." Gelengan kepala Hei Yanjing terlihat resah.
"Terjebak dalam kegelapan akan membuat aliran waktu terasa sangat lambat." Kemudian Xiao Hua menolehkan wajah ke arah jendela di mana ia bisa melihat selarik sinar matahari yang mulai terik.
"Hei Ye, jika upayamu dalam menyelamatkan aku gagal, mungkin bertahun-tahun yang akan datang, aku tidak akan bisa menatap secara langsung permukaan air laut bermandikan sinar matahari mengalir. Hanya aku sendiri yang akan menangisi kesempurnaan ilusi itu. Karena vampir takut matahari akan menyakitinya. Mungkin ini kali terakhir aku bisa berdiri di sana, menyaksikan matahari bersinar, karena aku tidak akan pernah melihatnya lagi jika aku meninggalkan kehidupanku sebagai manusia fana."
Hei Yanjing kehilangan kata-kata. Merasakan ketakutan yang aneh. Sebenarnya sejak awal ia selalu khawatir, dan kali ini perasaannya tidak lebih baik. Tidak dulu, tidak sekarang. Senyuman dan leluconnya hanya kesenangan sementara.
"Aku akan mencari sepeda motorku. Gris gris cukup jauh, sepertinya aku meninggalkannya sembarangan setelah kembali dari Henrietta."
"Jadi kau setuju untuk pergi bersamaku?" desak Xiao Hua dengan napas mulai naik turun cepat oleh semangat.
"Sebenarnya aku tidak merasa tindakan ini aman. Tapi baiklah. Akan lebih efektif mencari benda itu bersama-sama." Hei Yanjing mengangkat bahu, lantas menepuk lembut punggung tangan Xiao Hua yang masih terikat.
"Terima kasih, Hei Ye. Kupikir akhirnya kau harus mengalah sekali lagi dan melepaskan ikatan akar pohon ini."
Kata-kata yang diucapkan penuh nada kemenangan itu membuat Hei Yanjing menyeringai.
"Pemuda licik," desisnya.
Xiao Hua tersenyum lebar. Dia menarik napas pelan-pelan. Tidak ada suara lain dalam ruangan setengah terbuka itu selain suara mereka, yang kini memudar digantikan oleh helaan napas naik turun bersama gemuruh pikiran masing-masing.
"Aku berharap tidak ada pemburu yang mencium jejak keberadaanku." Xiao Hua mengatasi keheningan.
"Selama matahari belum terbenam dan gelap datang, kemungkinan mereka tidak akan tahu. Instingku mengatakan hal itu dengan pasti. Terkecuali mereka melihatmu secara langsung berkeliaran di pantai."
Terdiam lagi, dan Xiao Hua mengamati bahwa garis-garis tegang di wajah Hei Yanjing menunjukkan bahwa ia masih merasa ragu.
"Hei Ye, aku ingin tahu apakah menurutmu kalung perisai darimu saat ini masih ada gunanya?"
Hei Yanjing menarik napas panjang. "Tentu saja."
Ada keraguan dalam suaranya dan Xiao Hua mengetahui itu.
"Kau nampaknya tidak yakin."
"Kau sendiri mengatakan bahwa kita tidak akan tahu jika tidak memeriksa. "
"Sebenarnya misi sederhana ini bisa kau lakukan sendiri, bukan? Mencari bersama-sama bukanlah alasan yang tepat untuk seorang pria tangguh sepertimu."
Hei Yanjing terbatuk serak. "Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan?" dia mengelus lehernya, seakan-akan tenggorokannya bermasalah.
"Apa alasan sebenarnya kau bersedia pergi ke Gris Gris bersamaku?"
Hei Yanjing tersenyum miring, nampak terheran-heran dengan bagaimana keras kepalanya Xiao Hua atas hal-hal yang tidak penting.
"Apa itu cukup penting?" tanyanya yang dibalas Xiao Hua dengan anggukan.
"Hmmm, mungkin karena ... aku tidak ingin kehilangan cahaya harapan di matamu."
Xiao Hua merasakan tusukan rasa sakit di dadanya. Namun di saat bersamaan, merasakan kehangatan di wajahnya. Sungguh luar biasa.
*****
Hei Yanjing menaikkan kecepatan ke tujuh puluh mil per jam hingga sepeda motornya melesat di jalanan beraspal, mengikuti arah yang akan membawanya ke pantai Gris Gris. Waktu telah lewat tengah hari. Sinar matahari berkilauan di helaian rambut Xiao Hua yang beterbangan menjadi beberapa bagian terpisah-pisah. Pemuda itu terlihat bersemangat dan matanya cemerlang oleh kegembiraan saat menyaksikan pohon-pohon dan objek lainnya berlarian di sepanjang tepi jalan sementara desa Savanne tertinggal jauh di belakang.
"Ini luar biasa, Hei Ye!" serunya di antara deru angin. Duduk di bagian pengemudi, Hei Yanjing tersenyum miring, penuh kebanggaan dan menaikkan kecepatan lagi.
"Woah! Tapi kau harus tetap hati-hati!" Xiao Hua berteriak lagi.
Ini perjalanan pertama mereka dengan sepeda motor besar. Beberapa kali jalan bersama, mereka selalu menggunakan kendaraan miliknya dan Hei Yanjing akan sangat patuh mengikuti gaya dan kebiasaannya yang elegan. Namun kali ini tidak. Angin menampar wajah dan rambutnya, semakin brutal dan nyaris membuatnya sesak napas. Tetapi ia menyukai perjalanan ini.
"Kita harus tiba di Gris Gris sebelum matahari terbenam," teriak Hei Yanjing.
Mereka masih terus bicara beberapa patah kata lagi, seakan tidak tahan dengan kesunyian di tengah deru angin. Suasana jalanan semakin bising dan beberapa kendaraan dengan kecepatan yang sama melesat dari arah depan dan belakang. Hei Yanjing menaikkan kewaspadaan tanpa mengabaikan Xiao Hua. Sesekali dia melirik spionnya, merasakan sebuah firasat bahwa dia tengah diawasi dan diikuti. Ada beberapa kendaraan lain berdatangan dari arah belakang. Dia tidak bisa memastikan apakah firasatnya itu benar.
Tangannya mengerat pada handle dan berkata pada Xiao Hua, "Pegangan dengan erat. Aku akan memaksimalkan kecepatan."
Kemudian ia menahan napas.
[Tbc]
***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro