Chapter V
Morning Coffee
Pagi yang dingin di musim gugur, angin sejuk membelai wajah Xiao Hua, dan rasanya menyenangkan. Menenangkan. Dia menarik nafas dalam-dalam, merasa lebih lega. Pagi belum pukul tujuh dan saat ini ia duduk di meja makan apartemen Hei Yanjing menghadapi secangkir kopi seraya memandang langit yang dibanjiri bias kekuningan matahari yang terbit di ufuk timur.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik?"
Xiao Hua menoleh. Di sana, keluar dari kamarnya, berdiri Hei Yanjing dengan senyuman. Hatinya berdetak oleh sukacita. Entah mengapa.
"Lumayan. Obat pereda nyerimu bekerja dengan baik," jawab Xiao Hua.
"Kau tidak bisa tidur nyenyak. Kelihatannya tempatku tidak nyaman," kata Hei Yanjing, terburu-buru bergabung di meja makan.
"Tidak. Bukan itu masalahnya. Aku hanya tidak terbiasa tidur di tempat orang lain. Aku ... hanya ... "
"Tidak apa-apa," tukas Hei Yanjing, dengan lembut meletakkan tangan di atas punggung tangan Xiao Hua.
"Yang penting kau baik-baik saja."
Xiao Hua tersenyum samar, menatap lensa kacamata hitam yang membingkai wajah Hei Yanjing, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia sangat ingin menatap langsung ke dalam matanya, jauh ke baliknya, untuk mencari beragam emosi yang mungkin tersembunyi.
"Wajahmu masih memar. Apa kau akan pergi kerja hari ini?" Hei Yanjing mengetukkan buku jari ke permukaan meja.
Xiao Hua menunduk sekilas dan merasa ngeri menyadari bahwa ia masih mengenakan pakaian semalam dengan jejak kotor di beberapa bagian akibat sepatu sialan para penyerangnya.
"Sepertinya tidak," ia mendesah.
"Aku tahu kau cukup bijak untuk memutuskan. Akan lebih baik bagimu istirahat di tempatku alih-alih bekerja dengan kondisi tidak karuan. Kita bisa menghabiskan waktu bersama sepanjang hari dan aku jamin kau akan cepat sembuh." Senyuman Hei Yanjing penuh rasa percaya diri, kemudian dia mengambil sesuatu dari saku mantelnya.
"Ini ponselmu. Aku memungutnya di tempatmu jatuh pingsan. Kau perlu menelepon kantor." Dia mendorong ponsel itu ke arah Xiao Hua yang menerimanya dengan mata melebar.
"Astaga, aku baru saja memikirkannya. Kau tidak memeriksa isi ponselku, bukan?" setelah melontarkan pertanyaan bodoh itu, Xiao Hua seketika merasa malu. Di depannya, Hei Yanjing menyeringai dan berkata sembarangan, "Tidak ada gunanya memeriksa ponselmu. Tidak ada foto telanjangmu di sana."
"Ah, itu artinya kau memeriksanya!"
"Aku tidak bilang begitu."
"Ya, tapi---"
"Aku hanya mencuri tahu nomormu, agar kau bisa meneleponku di tengah malam jika butuh bantuan."
"Ugh, kau .... " Wajah Xiao Hua perlahan memerah.
"Segera telepon kantormu. Aku akan keluar membeli kopi dan roti lapis." Hei Yanjing bangkit berdiri, dan sambil lewat, menepuk bahu Xiao Hua dengan seringai yang belum memudar di bibirnya.
"Tunggu, Hei Ye. Tidak perlu repot. Kau harus pergi kerja bukan?" Xiao Hua menoleh ke arah pintu ke mana Hei Yanjing menuju.
"Aku sedang melakukan pekerjaanku," sahut Hei Yanjing, memalingkan wajah padanya.
"Maksudmu?"
"Pekerjaanku adalah menjagamu."
" .... "
Jawaban yang penuh teka-teki. Kilasan kebingungan dan rasa khawatir melintas di wajah Xiao Hua.
"Aku akan segera kembali," Hei Yanjing menambahkan, dan sebelum pemuda tampan itu sempat menjawab, dia bergegas membuka pintu dan lenyap keluar.
Selama dua menit Xiao Hua masih terpaku pada pintu sebelum akhirnya menyadari apa yang harus ia lakukan. Dia menelepon pihak museum untuk izin cuti satu hari dan menjelaskan malapetaka apa yang terjadi padanya semalam. Selama menunggu Hei Yanjing kembali, dia menyelinap keluar dan masuk ke apartemennya sendiri. Dia mandi cepat-cepat, kemudian berganti pakaian yang lebih casual. Beberapa bagian tubuhnya masih sakit dan ia menemukan banyak lebam biru di rusuk dan pinggang. Wajahnya juga berantakan. Terlalu pucat di beberapa bagian dan lebam biru di bagian lain. Rambutnya kusut, tapi tidak seburuk yang dia bayangkan. Dia memeriksa dirinya sendiri di cermin, ragu untuk mengakui bahwa ia tidak ingin terlihat sangat kacau di hadapan Hei Yanjing. Dia akan merasa lebih baik jika sarapan pertama bersamanya dalam penampilan yang cukup rapi.
Ketika ia keluar apartemennya, Hei Yanjing sudah menunggu di depan pintu. Tangannya membawa kantong plastik dengan merk satu pattiserie berisi sekotak besar roti. Melihatnya dalam kondisi yang lebih bersih dan segar, pria itu membeku, menatapnya, tak bisa berkata-kata. Jika saja tidak ada kacamata itu, mungkin Xiao Hua akan merasa istimewa dengan bagaimana cara Hei Yanjing memandangnya.
"Nah, kau terlihat lebih baik," ujar pria hitam itu, lembut.
"Jadi di mana kita akan sarapan?" Xiao Hua mengarahkan pembicaraan pada sesuatu yang lebih penting selain penampilan.
"Di tempatku, sudah kubilang," jawab Hei Yanjing.
"Oke."
Unit mereka berdekatan. Sungguh lucu bagaimana dengan mudahnya mereka saling mengunjungi. Ini pertama kalinya bagi Xiao Hua. Jika berada dalam situasi lain, mungkin ia akan merasa keberatan. Tapi Hei Yanjing bisa dikatakan adalah penolongnya. Dia bahkan belum mengucapkan terima kasih secara benar.
"Aku juga membeli kopi untuk kita. Karena aku masih belum tahu seleramu, kali ini ada hot Americano untuk pagi yang dingin." Mereka duduk di meja makan sementara Hei Yanjing mengatur paper cup kopi dan membuka kotak roti.
"Terima kasih," ucap Xiao Hua setelah terdiam beberapa lama.
"Tidak perlu sungkan, ini hanya sarapan."
"Bukan itu. Maksudku ... terima kasih sudah menolongku semalam."
Terlepas dari apa yang terjadi di jalan tadi malam, rasanya menyenangkan bisa tiba tepat waktu dan menyelamatkan Xiao Hua dari sesuatu yang lebih fatal, dan mendengar ucapan terima kasih yang rendah hati, Hei Yanjing merasa seolah-olah dia sedang berjalan di udara.
"Astaga, masih membicarakan itu," kekehnya, mengibaskan tangan.
"Kau tahu siapa yang memukulku?" tanya Xiao Hua, tidak peduli, dan terus mengembangkan rasa ingin tahu.
Hei Yanjing mengangkat bahu.
"Mungkin salah satu dari preman tengik itu."
Xiao Hua menatapnya, terlihat ragu.
"Bagaimana kau bisa mengetahui aku ada di sana dan sedang dalam bahaya?"
Kali ini Hei Yanjing yang menatapnya, ekspresinya terlihat bingung. "Aku sama sekali tidak tahu kau ada di sana. Aku hanya kebetulan lewat."
"Benarkah?"
"Jangan terlalu banyak berpikir. Kau kira aku tidak ada pekerjaan lain selain menguntit dan mengawasimu."
"Kau memang tidak memiliki banyak hal untuk dilakukan, bukan?" Xiao Hua mengulurkan tangan, mengambil sepotong roti lapis.
Hei Yanjing tertawa kecil. "Oh ayolah, sayang," gumamnya, tidak paham.
"Apa kau bilang?" Xiao Hua nyaris tersedak.
"Apa? Aku tidak bilang apa pun," sergah Hei Yanjing.
Fuhhhh ...
"Jadi kau menghajar preman yang tersisa? Sepertinya kau hebat juga," komentar Xiao Hua curiga.
Hei Yanjing mengangguk. "Aku bahkan nyaris ingin menghancurkan mulut mereka."
"Kau memiliki dendam pribadi?"
"Tidak. Aku hanya tidak tahan mendengar komentar cabul mereka tentangmu."
"Apa yang mereka katakan?" Xiao Hua mendadak tertarik.
"Tidak penting," gumam Hei Yanjing sebal. "Itu semacam ucapan yang mencemarkanmu."
"Karena itu kau sangat marah? Aku terharu."
"Yah, tidak boleh ada yang menggodamu selain aku." Seringai keji lagi, tanpa malu-malu.
Xiao Hua melempar pandangan ke arah jendela, menghindari ekspresi licik pria hitam di depannya. Satu saat jemari mereka bersentuhan sewaktu berbarengan mengambil roti. Xiao Hua merasakan sensasi ganjil tangan pria di depannya, seperti ada aliran arus listrik. Saat mereka bertatapan, dia ingin bertanya mengapa jarinya terasa panas. Tapi dia tidak mau mengambil resiko terlalu berani dengan menunjukkan kegugupannya. Jadi, Xiao Hua kembali memfokuskan diri pada kopi dan roti, berharap Hei Yanjing akan mengajaknya bicara mengatasi kebisuan mereka yang tiba-tiba terasa menekan berat. Dia tidak bergerak. Ini masih pagi, dan ia merasa canggung.
Sepuluh menit berlalu dan mereka menyelesaikan sarapan yang lezat. Xiao Hua meneguk sisa kopi, melirik jam tangannya sekilas. Pagi pukul delapan, cuaca mulai hangat dan terang benderang.
"Jam tangan yang bagus," komentar Hei Yanjing, melirik pergelangan tangan Xiao Hua yang dilingkari jam tangan berwarna hitam.
"Oh ... " Xiao Hua tersenyum tipis. "Chopard Mille Miglia klasik Raticosa. Limited edition."
"Wah. Hadiah dari siapa?"
Xiao Hua mengernyit. "Tidak dari siapa-siapa."
"Pacar?"
"Tidak ada pacar."
"Kau bohong. Pemuda setampan dirimu ... "
Xiao Hua benar-benar mendelik sekarang. "Apa masalahmu??"
Hei Yanjing menanggapi dengan tawa santai. "Jangan terlalu serius."
"Ugh, yang benar saja ... " Xiao Hua mendesah tidak paham. Bagaimana dia bisa melewati sepanjang hari bersama pria penggoda ini.
*****
Berita pagi menyiarkan insiden penganiayaan dan perkelahian di jalanan tadi malam. Lokasi itu kini dipenuhi wartawan dan petugas polisi. Korban penganiayaan ditemukan masih hidup. Saat ini dirawat di rumah sakit dan belum bisa memberikan keterangan. Tujuh orang preman bergelimpangan pingsan dalam jarak berjauhan. Tidak ada korban jiwa, tapi mereka semua terluka sangat parah, bahkan terancam mengalami cacat seumur hidup. Kawanan preman itu sudah dua bulan terakhir berkeliaran dan meresahkan warga. Polisi kebingungan tentang siapa petarung hebat yang melumpuhkan mereka. Sejauh ini, mereka masih melakukan penyelidikan di TKP.
Xiao Hua menatap kosong pada layar televisi besar di ruangan duduk Hei Yanjing. Mereka menayangkan secara langsung situasinya, dan bagaimana kekacauan di tempat itu. Dia berharap polisi tidak menemukan jejak yang menunjuk pada dirinya. Bagaimanapun, dia juga nyaris menjadi korban alih-alih pelaku. Dia hanya membela diri. Jika ada yang melumpuhkan mereka secara brutal, kemungkinan orang itu adalah ...
"Apa yang kau pikirkan?" Hei Yanjing muncul dari belakang sofa, ikut menonton televisi.
"Polisi menyelidiki siapa yang menyerang preman-preman itu," jawabnya.
"Kau khawatir akan terlibat?"
"Entahlah." Xiao Hua menggeleng lesu.
"Mereka akan segera menyelesaikan kasus perkelahian semacam ini, dan fokus pada kasus pembunuhan lain yang lebih menggemparkan."
"Kasus mana yang kau bicarakan?"
"Astaga, Xiao Hua ... apa kau sungguh-sungguh tidak memperhatikan sekitarmu dan hanya fokus pada artefak. Kau akan berubah menjadi fosil suatu hari nanti. Apa kau tidak membaca berita? Detektif pembunuhan mencurigai ada vampir menghantui kota yang sangat kau cintai ini."
Hei Yanjing menggeleng prihatin. Saat itu Xiao Hua teringat berita yang dia baca di surat kabar, kemudian ia merasa gelisah tanpa alasan.
"Ya. Aku ingat itu," gumamnya ragu karena ia tahu bahwa ingatannya sering kabur sewaktu-waktu.
"Jadi kau harus waspada, oke?"
"Hmm. Kau tidak khawatir mahluk penghisap darah itu akan menyerangmu?"
Hei Yanjing tertawa geli. "Mereka takut padaku. Jangan khawatir. Oh ya, aku baru saja mengurus mobilmu. Mereka sudah mengantarnya kemari, dan aku juga sudah mengisi penuh tangki bahan bakarnya."
Sepasang mata Xiao Hua berbinar. "Benarkah? Sekali lagi, terima kasih atas bantuanmu."
"Tidak semudah itu. Kau harus membalas kebaikanku." Hei Yanjing duduk di sofa, di sampingnya, hingga Xiao Hua bisa mencium aroma parfumnya yang maskulin.
"Apa?" Ia menahan nafas, siap mendengar hal tidak masuk akal.
"Liburan."
"Liburan?"
"Ya. Kau harus mengajak aku jalan-jalan dengan mobil bagusmu itu."
Lengannya diletakkan di sandaran sofa hingga seolah-olah melingkari bahu Xiao Hua. Gayanya yang percaya diri lagi-lagi membuat Xiao Hua menghela nafas.
"Aku tidak percaya kau begitu miskin hingga mengharap tumpangan. Agen hitam mempertaruhkan nyawa dalam satu misi. Seharusnya kau kaya, bukan? Negara akan membayar mahal untuk seorang jagoan sepertimu."
Hei Yanjing tertawa, merasa lucu dengan nada ngotot dalam suara pemuda itu. Namun seperti biasanya, dia tidak berniat bicara banyak tentang profesi dan pekerjaan, menikmati citra misterius dalam dirinya.
"Jangan menghabiskan energimu untuk memikirkan aku. Jika kau sudah pulih dan memiliki waktu senggang. Mari kita berlibur sejenak," ujarnya santai.
"Ke mana?"
"Ke mana pun."
"Huh, kau membingungkan dan menyebalkan," gerutu Xiao Hua.
"Kita akan putuskan nanti. Tapi ingat, aku anggap ini sebagai utang."
Xiao Hua, " .... "
[Tbc]
***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro