07
Hari-hari seterusnya, Finn selalu menjemputku setiap berangkat sekolah. Dan sesampainya di sekolah, kami langsung bertingkah seperti pasangan yang serasi dan rukun.
Vanya tampak semakin jengkel. Dia selalu menatapku dengan sinis setiap kami berpapasan.
Johnny terlihat menjaga jarak denganku. Aku selalu ramah kepadanya. Tapi sialnya, si Finn tinggi itu selalu bersikap songong.
"By, nanti kamu mau nge-date sama aku gak?" tanya Finn kepadaku. Di depan Johnny.
Aku tersenyum dan mengangguk, melirik Johnny sekilas. Aku menarik tangan Finn dan membawanya pergi ke tempat yang sepi.
"Woi!" Aku melotot kepada Finn.
"Napa sih lo?" Dia mengernyit tanpa dosa.
"Gue kan mau ngomong sama Johnny, kok lo gangguin lagi sih?!" Aku mendengus jengkel.
"Kan kita harus akting depan Vanya." Finn mengangkat bahu, "maupun Johnny."
"Ih, tapi kan gue mau ngomong sama dia dulu!"
"Ngomongin apa sih? Bukannya lo kesel sama dia waktu itu?" Finn menyengir.
"Heh, sekesel apapun gue sama Johnny, gue gak bakal bisa jauhin Johnny." Aku mengepalkan tanganku.
Finn menyengir. "Haha, bucin."
Aku menginjak kaki Finn dengan kesal lalu pergi. Finn merintih pelan, masih menyengir.
° ° °
Waktu istirahat tiba. Aku keluar dari kelas dengan Johnny. Kami mengobrol, walau Johnny terlihat agak canggung.
"Eh, lo masih inget gak pas lo bikin kue, terus kuenya ngembang?" tanyaku pada Johnny, menahan tawa.
Johnny mengernyit. "Ha? Yang mana tuh?"
"Pas gue ke rumah lo. Terus gue lihatin lo bikin kue. Eh, kuenya jadi ngembang banget pas di keluarin dari oven." Aku berusaha mengingat itu.
Johnny berpikir lagi, lalu dia tertawa. "Inget! Inget! Gara-gara gue main handphone sampai lupa keluarin."
"Nah!" Aku tertawa. Kami kembali mengobrol tentang hal-hal konyol yang dulu kami lakukan, sampai seseorang menabrakku.
BRUK!
Aku langsung menoleh dan berhenti berbicara. Begitupun Johnny.
Vanya menyeringai. Dia sengaja menabrakku ketika dia melihatku.
"Lain kali, kalau jalan pakai mata ya." Vanya menyindirku dengan sinis.
"Kalau ketemu sama orang, jangan suka nabrak-nabrak gak jelas juga." Aku bersedekap tangan.
"Kalau ketemu sama mantan orang, jangan langsung diambil juga." Vanya menatapku dari atas sampai bawah.
Mendengar perkataan Vanya, aku tertawa. "Kasihan, masih sayang sama mantan."
Vanya menatapku dengan tajam.
"Apa kabar selingkuhan lo?" Aku masih menyindir Vanya.
Vanya mendengus. "Dasar, gak punya bakat."
Aku memutar bola mata. Pandanganku pun teralih kepada Finn yang sedang mengobrol dengan ketiga temannya di dekat loker. Finn bersandar di lokernya, sambil tertawa-tawa.
Aku menyeringai kecil dan berjalan menghampiri Finn. Vanya memandangku dengan bingung dan kesal. Sedangkan Johnny, juga melihatku sambil diam.
Finn menoleh, memandangku. Terlihat raut bingung di wajahnya. Koridor ramai oleh siswa dan siswi. Beberapa di antaranya memandangku yang menghampiri Finn.
Sesampainya di hadapan Finn. Aku tersenyum dan berpikir dengan cepat, apa yang harus kulakukan sekarang.
Shit. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku berusaha tak menampakkan raut bingungku, agar tak membuat yang lain tertawa.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benakku.
Senyumku semakin lebar. Aku menatap Finn, mendekat ke arahnya, dan mencium pipinya.
Finn terkejut dengan perbuatanku tadi. Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya.
"How's your day?" tanyaku dengan senyum manis. Finn masih terkesima, sedikit bingung.
"Great," jawab Finn, mengangguk sambil tersenyum manis.
"I love you." Aku menatap Finn.
Argh. Andai ini bukan karena Vanya, aku tidak akan melakukan ini di depan banyak orang, maupun hanya berdua.
Finn tersenyum. "I love you too." Di mengelus surai rambutku.
Keempat temannya terkejut. Mereka saling pandang sambil mengulum senyum, ingin tertawa sepertinya.
Terdengar suara bisikan teman-teman Vanya. Sementara Vanya, terlihat kesal dan berang. Pacarnya sekarang, Mark, menghampirinya.
"Kamu kenapa?" tanya Mark dengan perhatian. Dia tak tahu kalau Vanya masih suka dengan mantannya.
"Gapapa." Vanya menatap Mark dan mencium Mark. Finn melihatnya.
"Hei, Finn. Come on." Tak mau Finn melihat Vanya terus—sampai dia kesal dan marah—aku menarik tangan Finn dan membawanya pergi. Dia kaget, ingin meminta tolong kepada teman-temannya, tapi tidak bisa karena harus akting seperti biasa.
"Kita mau kemana, By?" tanya Finn. Aku tersenyum, terpaksa.
"Ayo, makan. Kamu gak lapar?" Aku menatap Finn dengan senyuman di wajah.
Aku masih bersikap kalem karena masih ada murid-murid di sekitar kami.
Finn pun mengerti maksudku. "Oh, yaudah ayo."
Finn tersenyum dan merangkulku. Kami berdua pergi ke kantin, seperti pasangan pada umumnya, dan sesampainya di kantin yang lumayan sepi...
"Udah gak ada orang kan? Oke, kita pisah." Aku pergi dari sebelah Finn, dan memesan makanan. Begitupun Finn yang juga memesan makanan.
Aku duduk sendiri di meja yang paling ujung. Pemandangan taman tepat berada di sebelah kananku.
Saat aku tengah menikmati makanan, Finn datang ke mejaku. Membuatku menoleh dengan kaget.
"Lo ngapain?" Aku melotot bingung.
"Sstt! Mereka datang. Kita harus akting seperti orang pacaran." Finn berbisik.
Aku melihat sekeliling. Dan benar saja, terlihat Vanya dan teman-temannya—juga Mark pacarnya sekarang.
Aku pun mengerti maksud Finn datang ke sini. Segera, aku kembali menikmati makananku dan pura-pura tak peduli dengan kedatangan Vanya.
Vanya dan teman-temannya duduk di satu meja, tak jauh dari kami. Mereka memesan makanan untuk Vanya. Sedangkan Vanya, memainkan handphone-nya. Ada Mark di sebelahnya.
Saat teman-temannya datang, Vanya melihat kami. Aku dan Finn berpura-pura tak peduli.
"Hei."
Aku menoleh kepada Finn. "Apa?"
Finn mengambil sehelai tisu dan menatapku. Dia mengelap bekas makanan di pipiku.
"Tuh." Finn terus menatapku, membuatku sedikit kikuk. Aku tahu ini akting, tetapi kenapa seperti beneran?!
"Hehe, maaf." Aku nyengir, ikut berakting. Finn tertawa kecil dan mengacak rambutku.
Vanya melihat kami dari kejauhan dengan kesal. Sedangkan aku, makan dengan Finn.
Berdua.
Sampai waktu istirahat selesai.
° ° °
Beberapa hari kemudian.
"Abby!"
"Yaa?" Aku menoleh kepada Sasha yang baru turun dari tangga dengan gaun putih hijaunya.
Aku terkesima kaget. "Lo mau kemana?"
"Temenin gue ke pesta ultah temen gue, Ashley." Sasha tersenyum manis kepadaku.
Aku mendengus. "Terus? Gue juga harus pakai gaun?"
"Hoodie pun gapapa." Sasha masih tersenyum manis. Aku tahu dia menggodaku agar mau menemaninya.
"Tsk, kau membuat adikmu menjadi seperti babu." Aku memutar bola mata dan beranjak dari sofa, pergi ke kamar.
Bagaimanapun aku harus menemani Sasha. Andrew sedang berkeluyuran dengan temannya. Ngamen mungkin, atau jualan gorengan. Entahlah.
Ava? Dia sedang les matematika, pelajaran paling memuakkan baginya—dan aku. Makanya, Sasha memilihku untuk ikut dengannya.
Aku memakai sebuah hoodie hitam putih dengan celana panjang berwarna hitam. Rambutku ku kucir rapi.
Beda dengan Sasha yang—sialnya—seperti seorang putri. Dia memakai gaun panjang berwarna putih dengan sedikit warna hijau, selutut, dan tanpa lengan. Rambutnya yang pirang panjang digerai lurus.
"Tuh kan." Aku mendecak. "Gue kayak babu."
"Udah, bodo amat. Lo kan cantik, kayak kakak lo pastinya. Siapa tau lo ketemu cogan di sana." Mata Sasha berbinar.
"Cogan?" Aku mengernyit. "Enggak ah. Lo kira gue kayak lo."
"Oh iya lupa, lo kan udah punya Finn—"
Aku mendelik galak. "Jangan sebut nama dia!" desisku.
"Kenapa?" Sasha tertawa. "Toh, dia bakal jadi masa depanmu."
"Sasha!!" Aku melotot. Sasha hanya tertawa jahil.
° ° °
Sesampainya di hotel, kami turun dari mobil dan masuk ke dalam hotel. Sasha melihat sekeliling.
"Oh, itu dia!" Sasha berseru semangat. Dia menatapku. "By, gue ke situ ya, tempat acaranya. Lo mau ke mana?" tanya Sasha.
"Emm, keliling aja mungkin?" Aku menjawab seraya mengernyit.
"Oke. Kabarin gue kalau perlu." Sasha berpesan. "Bye!" kemudian dia pergi ke aula hotel, tempat acara ulang tahun temannya diadakan. Sasha melambaikan tangan dan aku membalasnya.
Aku menghela napas. Alasan kenapa aku tak mau ikut dengannya : nanti aku dikira babu Sasha. Jadi, lebih baik aku keliling sendiri daripada dianggap babu.
Aku pergi ke restoran hotel, untuk mengisi perut. Untung aku membawa uang.
Baru saja berjalan, aku sudah ditabrak oleh seorang anak laki-laki.
BRUK!
Aku terjatuh. Anak laki-laki yang tadi berlari sampai menabrakku, segera membungkuk.
"Maaf! Saya tidak sengaja..." Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya. Aku berusaha mengusir kemarahanku dan memilih untuk diam. Aku menerima uluran tangan anak tersebut dan berdiri.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Aku mengangguk, dan mendongak, memandang anak laki-laki tersebut.
Seketika, aku membelalak. Begitupun dia yang juga memandangku. Wajahnya tak familiar lagi bagiku.
"Aidan?!"
·
·
·
hii, i'm back :D
akhirnya ujian selesai juga sksksk. semoga mey bisa naik kelas, aamiin.
don't forget to vote n comment !
sorry kalau ada typo dan kesalahan lainnya 🙏🏻
sys <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro