❥ one
"Kau yakin mau pergi ke sana?" pertanyaan tersebut keluar dari pria berusia dua puluh lima tahun. Pria tersebut bersedekap seraya menyandarkan punggungnya di dinding.
"Hm,"
"Ke kota Kitakyushu?"
"Hm,"
Orang yang ditanya menjawab singkat. Baik pandangan maupun tangannya, fokus untuk memasukkan barang-barang ke dalam tas besar.
"Apa yang membuatmu senekat ini? Kau tahu, jarak dari sini ke sana itu terbilang jauh,"
"Aku tahu itu Sanemi-san,"
Pria yang dipanggil Sanemi itu menatap laki-laki yang tengah duduk menatapnya.
"Aku tanya, apa yang membuatmu senekat ini?"
"Ingatan,"
Sanemi mengerutkan keningnya.
"Ingatan?"
"Ya. Kau tahu, aku bermimpi tentang tempat itu ... juga seorang perempuan,"
Sanemi mendengus geli.
"Konyol,"
"Terserah apa katamu. Ingatanku saat berusia lima sampai enam belas tahun itu juga hilang. Samar, aku hanya mengingat tempat itu dan siluet seorang perempuan,"
Sanemi menatap sendu laki-laki itu. Ia berdiri tegak lalu menghampirinya. Pria itu berjongkok. Tangan kanannya terangkat lalu mengelus pelan kepala lelaki tersebut-yang tentunya berakhir dengan tepisan kasar.
"Baiklah. Aku tak bisa melarangmu. Sebelum pergi, sempatkan dirimu untuk berpamitan dengan Kanae,"
"Ya,"
Sanemi menatap sendu manik mint yang menyerupai kabut tersebut. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke luar.
"Semoga kau menemukannya,"
***
"Kanae-san,"
Kanae-wanita yang tengah duduk di sofa ruang tengah itu menoleh.
"Ara~ Muichiro-kun? Ada apa?"
Pertanyaan dengan nada khas tersebut terdengar. Pemuda itu-Muichiro, menatap Kanae dengan pandangan kosongnya.
"Aku akan pergi,"
"Jadi ... kau serius?"
Muichiro mengangguk. Kanae tersenyum lembut.
"Baiklah. Tapi sebelum itu, apa kau tidak ingin memotong rambutmu? Panjangnya sudah hampir sepinggang loh,"
Muichiro menggeleng.
Kanae tersenyum. Ia berdiri lalu melangkah mendekati Muichiro. Kedua tangan yang tadinya ia lipat di dalam haori, kini ia angkat untuk menangkup kedua sisi pipi pemuda tersebut.
Kanae maupun Sanemi tak pernah marah. Jika Muichiro hanya menjawab singkat atau semacamnya, mereka tak pernah marah. Yuuichiro, kembaran Muichiro, meninggal ketika laki-laki itu berusia tiga belas tahun. Dan berubahnya sifat Muichiro saat ini adalah hal yang wajar.
"Semoga kau menemukan apa yang kau cari,"
Kanae membelai pipi Muichiro dengan lembut. Muichiro sendiri tak menepis ataupun memberontak. Laki-laki yang kini menginjak usia delapan belas tahun itu memegang kedua tangan Kanae.
"Kanae-san, terima kasih sudah merawatku selama lima tahun terakhir. Maaf aku banyak merepotkanmu,"
Kanae tersenyum dengan khasnya.
"Ara ara~ apa ini? Rasanya seperti akan melepas anak yang mau merantau,"
Muichiro-masih dengan wajah datarnya, kini menurunkan kedua tangan Kanae.
"Sanemi-san juga. Terima kasih," ujar Muichiro setelah matanya menangkap Sanemi yang tengah bersandar di dinding dekat sofa.
"Ya. Sama-sama,"
Muichiro mengikat tinggi rambut panjangnya. Ia menyampirkan tas tersebut di bahu kanan lalu pergi ke luar. Sanemi dan Kanae mengikuti dari belakang. Keduanya mengulas senyum tipis.
"Ittekimasu,"
"Itterashai ... "
Kanae menautkan jari jemarinya pada tangan Sanemi. Pria itu menoleh, menatap Kanae yang lebih pendek darinya.
"Apa menurutmu Muichiro-kun bisa bertemu dengannya?"
Sanemi beralih menatap punggung Muichiro yang perlahan mengecil.
"Entahlah ... kuharap iya,"
•Omake•
Anak kecil itu duduk di atas batu. Matanya menatap kosong lahan di depannya.
"Apa yang kau lakukan?"
Panggilan yang berasal dari belakang membuat anak itu menoleh. Matanya menangkap gadis kecil yang tengah berusaha untuk duduk di sampingnya-di atas batu. Terlihat gadis itu mati-matian berusaha menaiki batu yang tingginya melebihi kepalanya.
"..."
"Sepertinya kau sedang sedih, kalau begitu ... aku akan menghiburmu!" ujarnya bersemangat. Gadis itu menjeda sesaat. Mengelap peluh yang ia keluarkan saat naik ke atas batu.
Anak laki-laki itu melirik dari ekor matanya. Gadis kecil itu melakukan berbagai hal. Dari yang biasa saja, konyol, dan bahkan tak masuk akal.
"Pfft-"
"Wah!"
Kekehan keluar dari bibir mungil itu.
"Akhirnya! Kau tertawa!"
Tangan anak itu terangkat. Telapak tangan itu mengelus surai si gadis perlahan.
Rona merah muncul, menjalar ke seluruh wajah-bahkan ke telinga. Gadis itu menunduk dengan tangan anak laki-laki yang masih setia di puncuk kepalanya.
"N-namamu siapa?!"
Mengalihkan perasaan aneh itu, si gadis bertanya. Nadanya yang terkesan membentak sempat membuat anak laki-laki di depannya tersentak. Tapi sedetik kemudian, ia mengulas senyum tipis.
"Tokito ... Muichiro,"
"Tokito-san-"
"Muichiro,"
"Eh?"
Gadis itu mengerjapkan matanya. Ia mendongak. Menatap laki-laki itu-laki-laki yang tengah tersenyum.
"Panggil aku ... Muichiro,"
Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia mengangguk semangat.
"Muichiro-kun!"
"Namamu?"
Muichiro beralih menggenggam tangan mungil si gadis. Matanya tidak lepas dari sepasang manik (Eyes Color).
"Namaku ... "
"(Full Name),"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro