CHAPTER 01
SHENSHEN_88
PROUDLY PRESENT
⚡⚡⚡
PROLOG
Waktu --
Terasa berbeda untuk orang yang menunggu dan untuk mereka yang takut. Waktu berjalan begitu cepat, singkat, bagi mereka yang merayakan.
Tapi bagi mereka yang jatuh cinta, waktu tidak terbatas.
Waktu juga dapat membuktikan banyak hal-hal tertentu. Mungkin membuatmu terluka, dan jika itu terjadi mungkin itu bukan luka sungguhan.
Luka yang sejati tidak pernah disembuhkan dengan waktu.
Deras hujan menyapu rerumputan dan semak belukar pada satu pelataran pemakaman, menggeliat, menggelepar, tak berdaya di bawah hempasan curahan hujan brutal dan deru angin pada hari terburuk di musim gugur kali ini.
Masih, selalu ada seseorang yang melakukan perjalanan pada cuaca ekstrim, mengemudi di bawah derai hujan, diantara derak halilintar, menenggelamkan suara-suara kendaraan dan binatang. Sebuah sedan Chevrolet hitam bergerak merayap di jalan sempit berliku dan sepi. Berhenti pada satu tempat beraroma bunga-bunga kematian serta berselimut aura kelabu.
Ya. Taman pemakaman. Bunga-bunga yang tumbuh di sana merunduk meratapi tubuh-tubuh yang terkubur sejauh enam kaki di bawah sana. Aster, kenanga, lily dan mawar. Bahkan warna warni bunga serupa pelangi tak mampu meredam nuansa gelap areal pemakaman.
Satu sosok manusia melangkah turun dari mobil, mengembangkan payung hitam. Langkahnya goyah, merayap perlahan-lahan, menikmati setiap gumpalan rumput yang tergilas telapak sepatunya. Deras hujan membuat tanah berumput itu tergenang, merendam telapak kaki orang itu. Namun ia terus berjalan.
Satu garis terpatah-patah mengerjap di angkasa. Kilatan petir menyambar, menerangi pelataran kuburan untuk sedetik. Menerangi nisan-nisan bisu yang diguyur hujan. Gemuruhnya meledak di langit barat, di mana matahari sembunyi lebih awal dari seharusnya.
Ya, ini waktu yang tidak lazim untuk mengunjungi kuburan. Tapi orang itu tidak peduli. Saat hidup manusia pada akhirnya harus berakhir di tanah lembab berlumut, dalam naungan aura kelabu, tidak ada yang ia takutkan lagi.
Terlebih hanya kegelapan sementara yang ditawarkan senja.
Sosok itu berdiri di depan satu kuburan dari granit putih, bunga-bunga aster putih berserakan di atasnya. Dia berdiri mematung di sana, entah berapa lama.
Payung hitamnya bergetar diterpa butiran air yang makin menggila.
Kala waktu terus merangkak, gelap semakin mendekat. Setelah matahari terbenam, akan selalu ada kegelapan.
Mungkinkah hukum alam itu berubah?
Entahlah.
Sosok itu tidak berani bermimpi, terlebih dalam suasana sesuram ini. Dia menggerakkan wajahnya perlahan. Langit barat didekap pekat. Sumber cahaya terbesar tersungkur dibungkam mendung, dibungkus hujan.
Dia tersenyum getir.
Ketika matahari tenggelam, hanya ada kegelapan yang sunyi dan aku merasa semua cahaya mengkhianati.
Akankah kutemukan bahagia setelah ini?
👆Reason ~ Yoari👆
Stasiun radio Choco Mate's selalu menjadi tempat yang menyenangkan bagi Kim Ga On. Alunan musik favorit, secangkir coklat panas, atau sesekali kopi dengan aroma dan rasa mocha, akan menemani dirinya setelah melakukan pekerjaan sebagai radio jockey pada salah satu program acara musik klasik.
Ah, kenapa harus klasik. Sebenarnya itu sedikit kekurangan. Dia tidak terlalu cocok dengan musik klasik, dan lebih menyukai irama yang menghentak diiringi kicauan rapper. Untuk tiga bulan terakhir, tiba-tiba saja ia memegang acara program musik klasik. Mungkin tidak terlalu buruk.
"Ga On, ini di luar kebiasaan. Katanya kepala stasiun akan mewawancarai radio jockey baru untuk pengganti dirimu, dia akan mencoba kemampuannya hari ini. Nampaknya kau bisa pulang lebih awal," suara rekan kerjanya yang hangat dan riang, Oh Jinsu mengusik Ga On dari alur pikirannya.
"Benarkah? Aku tidak mendengar info semacam itu."
"Kau tidak mau tahu," Oh Jinsu menawarkan untuk membuat secangkir kopi sachet yang tersedia di meja pojok ruangan, tawaran itu disambut anggukan oleh Ga On.
"Aku memikirkan hal lain," ujar Kim Ga On, memasang senyum tipis di wajah tampannya yang naif.
"Hal lain apa?"
"Musik klasik, aku masih tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa sangat menyukainya. Aku merasa menjadi tua sebelum waktunya jika mendengar musik seperti itu, dan aku harus membawakan program musik klasik," ada nada geli merayapi suaranya.
Oh Jinsu tertawa.
"Lupakan saja. Kau akan segera membawa acara lain yang lebih cocok denganmu. Ini kopimu."
"Terima kasih, kau baik sekali."
"Ngomong-ngomong, kemana kau akan menghabiskan sisa siang dan sore bebas kali ini?"
Kim Ga On menyesap kopinya perlahan.
"Aku ingin mentraktir So Hyun makan sore ini."
"So Hyun, pacarmu?" Oh Jinsu mengerling.
Kim Ga On mengangguk canggung.
"Aku harus meneleponnya sekarang."
Kim Ga On bergeser ke sudut saat ia mengeluarkan ponsel dan menekan nomor seseorang kemudian bicara dengannya.
"So Hyun, di mana kau? Aku menghubungimu beberapa kali tetapi kau tidak mengangkatnya. Aku santai sekarang, akan ada seorang rekan baru menggantikan aku sementara. Jadi hari ini sudah selesai sekarang. Aku akan pulang sebentar lagi, kurasa aku akan bebas pada sore hari. Bagaimana jika aku mentraktirmu di coffebay?"
Satu suara wanita menimpali dari seberang sambungan, "Aku khawatir tidak bisa menemuimu, ada urusan kecil, mungkin kita bisa bertemu lain waktu."
"Urusan? Urusan apa?" Kim Ga On menelengkan kepala, menekan ponsel lebih dekat. Suara musik dari ruangan samping menerobos dinding, mengacaukan fokusnya.
"Professor kampusku memintaku untuk bertemu dengannya. Aku akan menemuimu setelah itu."
"Siapa?"
"Dr. Min Jung Ho."
"Tapi bukankah kau sudah lulus kuliah setahun lalu? Kenapa dr. Min masih menghubungimu?"
"Aku tidak tahu. Mungkin untuk alasan akademis, Ga On."
"Alasan yang bagus," Kim Ga On menyeringai.
"Tapi baiklah, aku akan menunggumu."
Suara So Hyun terdengar ragu di seberang sana.
"Maaf Ga On. Sampai jumpa, biar aku saja yang akan mentraktirmu kopi. Janji. Bye, aku mencintaimu.."
Mendengar kalimat terakhir, reaksi Ga On tidak seperti pemuda pada umumnya yang mendapatkan ungkapan serupa dari teman wanita. Alih-alih mengatakan hal yang sama, pemuda itu hanya mengangkat bahu, kemudian menutup telepon dan menyimpan ponselnya di saku blazer.
✨✨✨
Kediaman professor Min terletak di salah satu kawasan elit dan menghijau di salah satu titik strategis kota Seoul.
"Pak, aku tidak ingat waktu yang tepat," seorang wanita paruh baya duduk gelisah di sofa, di dalam rumahnya yang besar dan mewah. Tatapnya kosong, dan bibirnya yang pucat bergetar.
"Jung Ho jarang pulang terlambat. Ya, sesekali ia pernah pulang setelah pukul delapan malam. Bahkan jika ia melakukannya, dia selalu memberitahuku atau pelayanku."
"Oke, aku mengerti," suara datar, tenang, dan berwibawa itu keluar dari sosok pria yang duduk tepat di hadapannya, terpisah oleh meja kaca.
Begitu tenang, bibir melengkung manis, namun sorot mata waspada seperti cheetah menyatroni mangsa. Pria itu berusia di akhir tiga puluhan, setelan blazer hitam Alexander McQueen, satu tanda pengenal tergantung di dada. Lengkap dengan foto dan keterangan.
Inspektur Polisi
Kang Yo Han.
"Apa suamimu memiliki musuh yang kau ketahui? Seperti siswa, pasien, atau siapapun, dan bisa jadi siapa saja," Kang Yo Han bertanya, masih datar, namun tegas.
"Coba kau ingat-ingat dan pikirkan."
Wanita paruh baya yang merupakan istri professor Min itu menerawang sejenak, berkata tanpa kesadaran penuh.
"Mustahil bagi Jung Ho untuk punya musuh."
Seorang pelayan laki-laki yang sedari tadi duduk di pojok tiba-tiba berdiri dan menyela, "Itu benar, bahkan aku belum pernah melihatnya marah pada siapapun."
"Kau siapa?" Kang Yo Han melirik sinis.
"Aku pelayan, merangkap asisten pribadinya yang terpercaya," pelayan itu menjawab.
"Kau tahu segalanya tentang dia?" Kang Yo Han berpura-pura tertarik menanggapi pelayan itu.
Mendengar nada tegas dalam suara sang inspektur, si pelayan terlihat disergap keraguan.
"Nyonya Min bisa menjelaskan sendiri, kau tidak perlu ikut campur," Kang Yo Han kembali mengalihkan fokus pada nyonya rumah.
"Maaf pak," si pelayan kembali duduk.
"Sekarang kau jawab aku dengan jujur, apa suamimu punya musuh?"
"Tidak pak. Pelayanku benar," nyonya Min bersuara, lemah dan pelan.
"Mustahil bagi Jung Ho untuk punya musuh."
Kang Yo Han mengangguk-angguk. Selama kariernya sebagai polisi, jarang sekali keluarga korban bisa mengatakan yang sebenarnya. Mereka memiliki naluri alami menutupi kekurangan seorang korban, terlebih jika orang yang dinyatakan korban itu memiliki reputasi baik di masyarakat. Dia menoleh pada seorang opsir bawahan yang berdiri sejauh dua langkah darinya.
"K, cepat catat nomor ponsel dr. Min, kemudian hubungi divisi cyber segera, untuk melacak komunikasi terakhirnya."
Opsir kepercayaan Kang Yo Han, berpangkat sersan, biasa dipanggil dengan sebutan K adalah seorang pria menjelang dua puluh delapan dengan perawakan tinggi kurus, dan berdedikasi tinggi pada inspektur Kang.
Dia membungkuk cepat dan menjawab.
"Siap, pak!"
"Selain itu," Kang Yo Han menambahkan, "Aku juga membutuhkan detail lengkap panggilan masuk dan keluar selama dua minggu."
Setelah interogasi singkat dengan keluarga korban, Inspektur Kang Yo Han mulai menyisir seluruh rumah, seorang opsir lain selain K mengawalnya. Kang Yo Han kemudian bergerak menaiki tangga ke lantai atas, menuju balkon, dia berdiri di sana selama tiga menit menerawang ke sekitar areal perumahan mewah dengan atap-atap tinggi keabuan, rooftop, diselingi pucuk-pucuk cemara pensil yang menjulang. Pemukiman ini damai dan termasuk terbaik di Seoul. Selalu ada alasan seorang kriminal melakukan penculikan pada seorang pria dengan kekayaan seperti dr. Min. Mungkin jika ini kasus penculikan, ia harus siap menerima panggilan si pelaku untuk meminta uang.
Pola yang klise dan berulang, namun masih, polisi kadang tidak bisa menangkap pelaku tepat waktu. Kang Yo Han merenung dengan jemari mencengkeram railing yang dihiasi sulur ivy. Saat itu tatapannya tanpa sengaja jatuh ke jalanan komplek depan rumah yang sepi. Namun kesepian terusik oleh derum sepeda motor jenis matic yang dikendarai seorang gadis. Sepeda motor itu jelas mendekati rumah professor Min. Seketika motor itu berhenti. So Hyun, yang mengendarai motor itu, membuka helm, kemudian mengawasi seorang petugas polisi yang berdiri di gerbang. Dia tampak terkejut, tidak mengantisipasi situasi semacam ini. Ekspresinya semakin terkejut sewaktu menatap ke arah balkon di mana Kang Yo Han berdiri, menghujamkan tatapan yang tidak menyenangkan.
Wajah So Hyun perlahan memucat, tanpa mengenakan kembali helmnya, dia memundurkan sepeda motor, berupaya untuk putar balik.
"Tunggu!"
Seruan Kang Yo Han menggelegar dari arah balkon.
✨✨✨
To be continued
Vote and comment bisa bikin semangat naik niy jadi ditunggu yaa🧡
Lanjut apa ga niy? 😁
Yang suka sama Kang Yo Han dan Kim Ga On silakan bersuara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro