11 : Cinta dan Kematian
Hawa perbukitan yang teramat dingin serasa menusuk tulang saat Lian Hua menggigil dengan wajah diselimuti kecemasan dan sedikit rasa takut. Suasana senja ini terasa menyeramkan, dan untuk pertama kalinya ia bergidik menatap kilau aneh di mata Di Feisheng.
"Jadi aku telah mati di dasar jurang?" ia terbata-bata, sementara kabut kesedihan menyelimuti wajahnya.
Desah angin yang gelisah seakan menjawab pertanyaan itu. Seketika netra gelapnya meredup seiring kedipan mata yang melambat. Setiap kali ia berkedip, beberapa ingatan pendek datang menyapa, menghancurluluhkan hatinya.
Dia menyadari sekarang, di momen suram ini mengapa Wang Yan tidak melihat ke arahnya saat di dalam pondok. Tuan rumah yang baik hanya menyajikan satu cangkir teh pada dua orang tamu. Wang Yan juga tidak melihatnya sewaktu keluar dari dalam gua di mana peti mati itu tersimpan. Fang Duobing gelisah menanti kemunculannya malam itu, dan hanya melihat pintu pondok yang terbuka dengan sendirinya saat ia berjalan ke luar untuk mendatangi sumber suara Di Feisheng. Dia tidak menyadari hal itu, sejujurnya ... dia bahkan tidak tahu apa yang telah terjadi.
Lian Hua tidak berani mendengar jawaban dari Di Feisheng yang pastinya akan memantik sejuta emosi.
Di luar dugaan, senyum pemuda tampan itu tampak lebih lembut sekarang. Kepalanya menggeleng perlahan dan berjalan mendekatinya.
"Tidak, Lian Hua ..."
Tatapan itu menenangkan hatinya serta sentuhan lembut di bahunya yang seakan menjelaskan bahwa semua mungkin akan baik-baik saja.
"Apa maksudmu?" gumam Lian Hua bingung.
"Kau ingat apa yang terjadi sore itu? Saat kau bertarung dengan perampok di tepi jurang."
Tentu saja Lian Hua tidak akan melupakan peristiwa sore itu di mana ia pertama kalinya melihat Di Feisheng.
"Aku melihatmu untuk pertama kalinya," ia berbisik, suaranya tergetar. "Aku bertarung dengan bandit itu dan terseret jatuh ke jurang. Tetapi kau tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan aku."
Senyum Di Feisheng terukir hambar. Ada sekelebat penyesalan di matanya.
"Maafkan aku Lian Hua, aku sengaja tidak membantumu. Saat kau jatuh ke dasar jurang, kau cedera dan pingsan. Coba pikirkan, bagaimana petarung tangguh sepertimu bisa berakhir begitu mudah dan mengenaskan?"
"Nyatanya..." Lian Hua menukas. Sepasang matanya berkilat-kilat.
"Aku berdiri di hadapanmu dan tidak menyadari bahwa aku hanyalah roh yang tersesat."
"Karena senja itu aku merapalkan mantera penarik arwah," Di Feisheng berkata lebih tenang dengan suara mendesis rendah.
"Apa??" Ekspresi Lian Hua kosong untuk sesaat.
"Tapi ... mengapa kau lakukan itu?"
Jauh dalam hatinya, Di Feisheng tahu ini adalah puncaknya. Selama beberapa malam terakhir, mereka telah menjalin keintiman dan jatuh cinta. Seperti ada bunga bermekaran dan kupu-kupu beterbangan dalam jiwanya yang gersang dan kesepian. Kini, kupu-kupu itu telah terkoyak dan bisa saja mati. Terkubur di kelamnya jurang ini. Menunggu takdir semesta dan bagaimana kisah singkat ini akan berakhir.
"Aku menginginkanmu untuk berada di sini, di dekatku ..." bisik Di Feisheng, mata gelapnya nyaris tak berkedip memandang Lian Hua dan ekspresinya yang dingin.
"Maksudmu, kau sengaja membuatku tersesat di sini?"
"Aku menyukaimu pada pandangan pertama," Di Feisheng menukas cepat. "Dan aku merapalkan mantra itu untukmu. Fakta bahwa kau tidak menyadari dirimu adalah arwah hanyalah kebenaran yang ironis."
Lian Hua memejamkan mata.
"Astaga .... "
Dia mengangkat tangannya cukup tinggi untuk mengawasi apakah cahaya kemerahan di langit senja bisa menembus dirinya. Tapi tidak. Dia hanya melihat wujud dirinya yang pucat.
"Kau ingin menyaksikan hal lain yang lebih mengejutkan?" tanya Di Feisheng dengan kerlingan misterius.
Siasat apa lagi yang akan dilancarkan pemuda ini padanya. Lian Hua menatap curiga.
"Pejamkan matamu," ia berbisik sambil mendekatkan wajah mereka.
Lian Hua tercekat, berada sedekat ini dengan Di Feisheng sesaat membuatnya lupa akan kenyataan bahwa tubuhnya masih berbaring di dasar jurang.
"Untuk apa?"
"Lakukan saja."
Dia kesal dan tidak ingin mematuhinya. Tetapi matanya justru terpejam seketika. Tiupan lembut menyapu wajah Lian Hua. Itu udara yang dihembuskan nafas Di Feisheng.
"Bukalah ...."
Ketika Lian Hua membuka mata, pemandangan yang menyambutnya sangat mengerikan. Di hutan dan perbukitan, serta jalur setapak di bawah sana. Sosok-sosok menyeramkan berkeliaran, bermandikan darah, merintih, mengerang, ada pula yang hanya terdiam sekarat. Wujud menyeramkan dan kumandang mengiris hati memenuhi sekitarnya. Tirai yang membatasi pandangan ke dimensi lain telah terangkat. Tubuh Lian Hua gemetar hebat. Bulu kuduknya meremang dan ia bergidik tanpa henti. Dia menutup mata, tidak sanggup melihat semua penampakan yang luar biasa.
"Tolong ... " ia mengerang, memegang lengan Di Feisheng karena ia nyaris limbung.
"Cabut kembali penglihatan ini dariku ...."
*****
Langit telah gelap seluruhnya sewaktu Bibi Guru dan Fang Duobing berhasil mengangkat tubuh Lian Hua dari dasar jurang dengan susah payah.
Mereka menempatkannya di atas punggung kuda dengan posisi duduk dan diikat pada tubuh Fang Duobing yang telah berada di atas kuda lebih dulu.
"Kita jalan perlahan-lahan," Bibi Guru berkata pada pemuda itu.
"Anda yakin akan membawanya dengan cara seperti ini?" tanya Wang Yan.
"Tidak ada pilihan lain. Kita harus secepatnya meninggalkan hutan ini."
Dia menatap Wang Yan yang berdiri di samping kudanya.
"Terima kasih atas bantuanmu." Bibi Guru mengangguk singkat berusaha keras menunjukkan tampang ramah yang nampaknya tidak berhasil.
"Hati-hati," sahut Wang Yan dengan ekspresi kosong yang tak juga berubah.
"Sampai jumpa," Fang Duobing berpamitan.
Wang Yan membalas dengan anggukan setelah itu mereka memacu kudanya dan menderu pergi meninggalkan jejak kepulan debu tipis.
Di atas bukit, Lian Hua menatap panik. Dia nyaris berlari untuk mengejar mereka yang telah pergi dengan membawa tubuhnya. Namun kakinya serasa berat untuk melangkah. Akhirnya ia hanya bisa menatap Di Feisheng dengan pasrah. "Apakah aku bisa kembali ke tubuhku?"
Di Feisheng mengangguk. "Tentu saja. Kau bisa memilih untuk kembali dan melupakanku atau tinggal bersamaku di hutan sunyi ini."
Ini pilihan tersulit yang pernah dihadapi Lian Hua seumur hidupnya. Hati dan jiwanya seakan diamuk badai. Dan melalui lapisan kabut di permukaan matanya, ia mencoba memahami seperti apa perasaan Di Feisheng yang sesungguhnya, dan juga perasaannya sendiri terhadap pemuda tampan itu.
Jika alam pernah memberikan anugerah terindah yang mungkin terjadi pada siapa saja, mungkin inilah yang kini sungguh terjadi pada mereka berdua. Cinta. Saling menghangatkan dan melengkapi, dengan cara yang sekilas nampak tidak wajar. Hanya itu yang kini mereka miliki di tengah sunyinya pegunungan, serta hamparan hutan dengan gumaman aliran sungainya.
Ya. Hanya ini. Hanya ada dirinya dan Di Feisheng. Tetapi jika ia tetap tinggal di sini, bagaimana Bibi Guru dan seluruh kawan di Jianghu? Bagaimana ia bisa melepaskan dengan mudah ribuan hari di perguruan yang telah ia lewati.
"Aku akan pergi," ia berkata dengan suara berat. Matanya berkaca-kaca menatap paras indah yang perlahan mulai meredup, kehilangan cahayanya.
"Jika kau menginginkannya... " Di Feisheng berbisik kecewa, lantas menambahkan dengan muram.
"Kenangan yang kita miliki bersama. Kuharap kau tidak melupakannya."
Lian Hua membeku. Namun ia sudah menentukan pilihan. Dia sudah melewati banyak tantangan dan kesulitan dalam hidup, hilangnya kepercayaan dan juga kendali diri, terkadang sulit dielakkan. Pada akhirnya, ia akan selalu mampu mengatasinya. Langkahnya terasa berat saat ia maju mendekati Di Feisheng untuk memberikan pelukan perpisahan.
"Aku mencintaimu, Di Feisheng ..." bisiknya sedih. "Sayangnya, aku memiliki hidupku sendiri."
Di Feisheng balas memeluknya. Di bawah terpaan cuaca dingin, dua sosok bayangan itu berpelukan erat, paduan hitam dan putih di tengah jejak keunguan senja yang kian menjauh pergi, dan angkasa malam siap melebarkan jubah hitamnya.
"Memiliki seseorang yang mencintaiku di dunia ini, bagiku itu sudah cukup..." Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Di Feisheng padanya.
"Aku akan merindukanmu, Lian Hua."
Ketika Lian Hua memulai langkah pertamanya yang terasa sangat ringan untuk kembali pada tubuhnya, dia menangis dalam hati dan berdoa semoga ia tidak menyesali keputusan ini. Dia tidak menatap lebih lama pada Di Feisheng. Tak sanggup menunjukkan kesedihan di matanya.
Dia sudah mencapai pertengahan jalur setapak curam saat ucapan Bibi Guru bergema kembali dalam benaknya yang hening.
Hati-hati dengan apa yang kau dengar ...
Tapi saat ia menajamkan pendengaran, ia tak menangkap bunyi apa pun.
Dari atas bukit, lantunan mantra mengalir dari bibir Di Feisheng. Melayang terbawa angin hingga ke seluruh hutan dan perbukitan.
Burung-burung gagak meringkuk di balik rimbun pepohonan. Anjing-anjing hutan menegakkan telinga runcingnya, lidah-lidah mereka terjulur, siap untuk melolong panjang. Di depan pondok tua, Wang Yan berdiri kaku, menoleh ke titik di mana Di Feisheng berada. Alih-alih menatap kosong seperti biasanya, kali ini bibirnya melengkung misterius, membentuk senyuman.
Di kaki bukit, Lian Hua menghentikan langkah. Buliran air mata jatuh di wajahnya yang pucat. Dengan putus asa dia berbalik, mendongak menatap langit.
Tahukah kau apa yang paling menyedihkan?
Dia berkata pada kekosongan.
Itu adalah saat kau mampu memiliki seseorang, namun karena nasib buruk, kau tidak bisa mendapatkannya. Dan bahkan saat kau ingin pergi darinya, kau tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan...
"Ah Fei..." bibirnya bergetar.
Saat itulah ia memutar tubuhnya dan berlari kembali ke tempat di mana Di Feisheng berada.
Seperti sudah mengetahui bahwa Lian Hua akan kembali. Pemuda tampan berjubah hitam itu masih tidak bergeming di tempatnya. Dia mewujudkan satu senyuman yang terindah. Kekasihnya telah kembali. Dia batal pergi, dia tidak bisa jauh lagi. Mantra Penarik Arwah adalah racun, namun yang lebih kuat dari itu, adalah pesonanya yang tak terlukiskan.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu."
Lian Hua terengah, menghapus kasar air mata di wajahnya.
"Mari kita tinggal bersama meski dalam kematian."
Sekali lagi, keduanya berpelukan erat. Tenggelam dalam lautan rasa yang bergelora, terlibat dalam kisah cinta yang ganjil namun tetap sarat keindahan. Bibir mereka saling bertaut dalam ciuman panjang, sementara beberapa ekor kelelawar melintas di atas kepala mereka.
Begitu ciuman itu berakhir, Di Feisheng membelai sisi wajah Lian Hua, dan melekatkan pandangan nan lembut dari sepasang mata gelapnya yang berkilauan.
"Kematian?" gumamnya, lantas menggeleng.
"Kita tidak hidup, tidak juga mati. Kita hanya ... berada di sini.
Bersama. Selamanya...."
Author's Note :
Dear reader, akhirnya cerita ini ending. Oke, sedikit dark tapi happy ending. Terima kasih yang udah setia baca dan kasih vote komen.
Sampai ketemu lagi di story Feihua yang lain.
See you ❤😘
Regard,
Shenshen ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro