Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 : Ketua Bandit

Wang Yan menatap api perapian tanpa berkedip, aura dingin melintasi matanya. Menoleh pada masa lalu bagaikan menatap rembulan pucat di malam hari cerah. Nampak jelas dan dekat, tetapi kenyataannya jauh. Karena jauh itulah, nampaknya indah. Tetapi kala kau mendekat, semua kesan indah hanyalah segenggam debu.

Pria itu menarik nafas panjang yang terasa lebih berat. Cahaya yang memancar dari perapian mengalir bagaikan bayangan memenuhi wajahnya yang muram.

Satu nama yang ia sebutkan, seperti gema masa lalu yang tak tertahankan.

*****

Lima belas tahun lalu

Mereka datang ke satu wilayah negara yang dirawat dengan baik, melintasi padang-padang rumput dan areal pertanian luas. Mereka menemukan beberapa lahan kosong yang subur, dibingkai barisan pepohonan yang padat. Aliran sungai jernih dan menjanjikan kehidupan. Bukit-bukit bergelombang menghijau.

Di sisi lain dari perbukitan yang angkuh, terbentang kawasan hutan lebat yang dipilih untuk lokasi persembunyian dan perlindungan. Mereka adalah kawanan bandit yang tak segan-segan menghabisi nyawa orang-orang dan sudah merajalela selama bertahun-tahun, menebarkan teror dan ancaman, terutama bagi para pejabat dan saudagar kaya.

Sang ketua bandit masih sangat muda. Sekitar dua puluh lima tahun. Tetapi mari abaikan umurnya. Meski muda dan memiliki paras tampan dan aristokrat, terlalu menawan untuk jadi pimpinan begal, dia memiliki aura kejam tak tergoyahkan. Wajah tegas, tautan alis ganas dan bibir tipis menyeringai.

Sang ketua bernama Di Feisheng.

Kawanan anak buahnya tidak pernah berani memanggil nama itu secara langsung. Bahkan pelayan yang selalu bersamanya semenjak ia remaja, memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia.

"Yang Mulia!"

Derap langkah kuda diiringi satu seruan membelah keheningan lembah batu hitam. Siang yang berawan, sang ketua duduk tegak di bawah sebatang pohon beringin rindang.

Di Feisheng mengenakan jubah panjang hitam diikat pada pinggang, talinya melambai ditiup angin. Di dekatnya tergeletak sebuah pedang panjang bersarung hitam.

"Ada rombongan bergerak dari barat." Pemuda yang baru datang menarik tali kekang kuda, membuat binatang itu meringkik, berhenti seketika setelah menendang debu di depannya.

"Apa barang bawaan mereka banyak?" Di Feisheng menggumam, tanpa menolehkan wajah ke arah temannya.

"Menurut mata-mata, kemungkinan itu iring-iringan pejabat istana. Bangsawan Jing. Mereka mengangkut tandu kerajaan dan banyak peti besar."

Pemuda itu adalah wakil ketua gerombolan perampok, Wang Yan, teman dan tangan kanan kepercayaan sang ketua.

"Pejabat istana?" Di Feisheng mendengus. "Bagus sekali."

"Kau yakin ini tidak terlalu beresiko?" Wang Yan meyakinkan.

Seringai bengis terbentuk di wajah Di Feisheng.

"Berapa lama lagi mereka akan lewat di jalan ini?"

"Tidak lama lagi."

Di Feisheng menarik satu helai kain hitam dari balik jubah, memasangnya sebagai cadar menutupi wajah. Tangannya bergerak mengenakan penutup kepala yang menyatu dengan jubah, sehingga hanya menyisakan satu garis di wajahnya. Dia berdiri dari duduknya, memasang sikap siaga. Sepasang matanya berkilau penuh hasrat membunuh.

"Kumpulkan semua. Kita serang mereka," suaranya dingin dan tajam.

Wang Yan mengangguk cepat.

*****

Lebih dari dua puluh orang pria menunggang kuda menyerbu dari balik bukit terjal, iring-iringan pejabat istana seketika pecah dalam kekacauan. Suara teriakan bergaung di mana-mana. Wanita dan pelayan memekik ketakutan dan berkeringat. Para perampok sebagian turun dari kuda, mulai menyerang prajurit bersenjata. Situasi kacau balau, mengerikan, dan beraroma debu pekat dan darah.

Di Feisheng menyerbu ke satu tenda paling mewah. Dengan ujung pedang, dia menyingkap tirai penutup jendela. Di dalam tandu seorang pria seusianya bermandikan perhiasan mewah dan gaun sutra duduk kaku. Sebuah kotak emas tergeletak di pangkuannya.

Di Feisheng menjangkau kotak itu, merebutnya dengan mudah. Bangsawan di dalam tandu memekik, memanggil para pengawalnya kemudian berkata di sela ketegangan.

"Singkirkan mereka!"

Pertempuran terus berlangsung. Dalam waktu tidak lama, kawanan bandit berhasil menghabisi para pengawal kerajaan.

"Mundur!"

Wang Yan melompat ke atas kudanya dan memacu dengan kecepatan tinggi, diikuti belasan anggota lainnya. Beberapa di antara mereka berhasil menjarah barang berharga dan peti-peti berisi kepingan logam emas.

Mengumpat, menyumpah, mendengus keras, mereka memutar kuda dan berlalu dari tempat itu. Mereka berhenti di tepi anak sungai yang mengalir di sisi utara lembah untuk memperbaiki kerusakan dan mengobati beberapa anggota yang terluka.

Wang Yan mengawasi kondisi para anggota bandit yang terbujur di tanah mengeluarkan erangan demi erangan. Dia menyapukan pandangan, mencari seseorang, sesaat kemudian bertanya pelan namun tegas.

"Di mana Yang Mulia?"

*****

Berderap di tengah padang rumput, debu dari gesekan kaki kuda beterbangan ke udara. Di Feisheng menderu cepat kala dia menyadari satu titik di kejauhan mengikutinya. Wang Yan dan pasukannya bergerak ke arah lain untuk menghindari kemungkinan dikuntit seperti sekarang.

Mil demi mil tertinggal di belakang dan kini Di Feisheng memasuki lahan berpasir yang lebih gersang. Dari balik pusaran debu, kuda si pengejar tiba-tiba mengimbanginya.

Di Feisheng terkesiap dan terlambat menghindar.

Pria di atas kuda itu melompat menerjang ke arahnya, mencengkeram bahu Di Feisheng sekuat tenaga. Dua tubuh terlempar dari punggung kuda, berdebam di atas permukaan tanah berpasir. Dua ekor kuda itu meringkik keras dan berhenti dengan mengangkat dua kaki depan mereka.

Di Feisheng melakukan salto ringan dan menjejakkan kaki di tanah berdebu.

"Kau pemimpin perampok itu bukan?" Si pengejar yang tak lain adalah bangsawan Jing menggeram. Kedua tangannya dalam posisi siap mencekik. Matanya mendelik garang.

Di Feisheng tidak menjawab, dari balik cadar hitam, bibir tipisnya menyeringai. Bahkan dalam posisi satu lawan satu dia masih terlihat kejam.

Terengah dan marah, bangsawan Jing merenggut cadar hitam, membuat wajah dibaliknya tersingkap, terpapar di bawah cahaya matahari.

Di Feisheng menyeringai licik, kedua tangannya bergerak di depan dada, menyiapkan serangan tenaga dalam. Pihak lawan sama sekali tidak mengantisipasi kekuatan si ketua bandit. Tiba-tiba saja gelombang angin yang luar biasa kuat menghantam dada hingga tubuhnya terpental jauh.

"Aaarrggh!"

Sruukk!!!

Bangsawan Jing seketika tak sadarkan diri mencium tanah.

Di Feisheng menyeringai ganas, senyum kemenangan hinggap di wajahnya.

Cihh! Dasar pria lemah!

Sang ketua perampok melakukan lompatan ringan, berdiri bagai menara di samping tubuh si bangsawan. Dia belum puas menganiaya, satu tendangan melayang mengenai pinggang bangsawan Jing yang terpejam dalam ringisan.

"Benar-benar bangsawan menyedihkan!" umpatnya.

Kuda yang ditunggangi Di Feisheng berlari seperti kerasukan. Menyeret tubuh bangsawan Jing yang sudah terluka di sana sini dan bersimbah darah. Sang ketua bandit bergabung dengan kawanannya yang sudah menunggu di tepi sungai.

"Yang Mulia!"

Wang Yan bergegas menghampiri. Debu dari tendangan kuda menghambur ke wajahnya. Dia melirik pada luka-luka di tubuh bangsawan Jing yang mengerikan.

Di Feisheng melompat turun dari kuda, mendekati bangsawan Jing yang tergeletak di tanah dengan kedua tangan dan kaki terikat kuat.

"Masih ingin menyerangku?" tanyanya pada pria yang sekarat, tatapan keji memancar dari sepasang mata gelapnya.

"Aku akan memberimu banyak uang dan emas, maukah kau membebaskanku?" Suara bangsawan Jing terbata-bata, samar terdengar dari bibirnya yang nyaris hancur.

Kekesalan Di Feisheng yang berbahaya terusik lagi. Dia mendaratkan satu tendangan ke dada lawan, membuat pria mengenaskan itu sekali lagi terbanting ke tanah.

"Aarghh!"

"Kudengar kau pejabat paling korup di pemerintahan," ujar Di Feisheng, melirik galak.

"Itu tidak benar," bangsawan Jing melontarkan sanggahan.

"Jika kau butuh harta, aku akan memberikannya. Tolong lepaskan aku!"

"Sikapmu masih arogan tanpa rasa bersalah. Jika aku memotong lidahmu karena banyak bicara, apa kesombonganmu akan berkurang?"

Sang ketua perampok menarik pedang yang tersandang di pinggang, menyentuhkan ujungnya di dagu bangsawan Jing.

"Yang Mulia, tolong jangan bicara hal mengerikan seperti itu." Di belakangnya, Wang Yan berbisik lembut dan waspada.

Di Feisheng memutar bola matanya malas.

"Membosankan," ia bergumam.

"Dengar, temanku pernah bilang kalau aku terlalu tampan untuk bertindak kejam sebagai ketua bandit. Kau beruntung pria lemah! Aku akan memberikanmu kematian yang cepat dan tidak menyakitkan."

Senyum keji terukir di sudut bibirnya saat sekejap mata, ia menggerakkan pedang dan mengiris leher si bangsawan. Darah muncrat dan memercik ke wajahnya.

Bangsawan Jing tewas tanpa sempat menjerit kesakitan. Sepasang matanya mendelik menatap langit di mana burung nasar berputar-putar, siap berpesta pora. Bukan hanya matanya yang melebar tak percaya, Wang Yan pun mendelik ngeri pada genangan darah di sekitar mayat si bangsawan.

Di Feisheng menyarungkan kembali pedangnya, lantas menoleh pada Wang Yan dengan seringai lebar. Wajahnya yang menawan ternoda darah merah pekat, jejak dari tindakan kejamnya.

Tanpa merasa bersalah, ia berkata santai pada Wang Yan, "Aku cuci muka dulu."

*****

Fang Duobing ternganga penuh ekspresi ngeri saat Wang Yan menghentikan penggalan kisah masa lalunya.

"Dia membunuh dengan tersenyum?"
gumam Fang Duobing.

Pertanyaan itu jelas tidak memerlukan jawaban. Wang Yan terdiam hingga kebisuan menjerat mereka. Di luar pondok, siulan angin melengking diiringi hembusan keras menabrak jendela, ditingkahi jeritan burung hantu.

Di sudut ruangan, Li Lian Hua menghela nafas panjang, memejamkan mata. Dalam benaknya ia mencoba menciptakan gambaran akan sosok pemuda yang dia temui di lereng gunung, dengan paras rupawan dan senyuman penuh misteri. Tampan tapi kejam. Sayangnya, ia gagal membayangkannya. Momen itu terlalu singkat.

Keheningan dalam pondok kembali menjerat mereka. Hanya ada suara derak api terbakar di perapian. Hujan berangsur-angsur mereda, meskipun gerimis rapat masih tersisa. Ketika itu suara resah datang dari kejauhan, di antara gemerisik yang ditimbulkan gesekan dan dan ranting pepohonan.

Gema tawa melantun bersama angin. Tubuh Wang Yan menegang, sontak menoleh ke arah jendela yang berderit.

"Ada apa paman Wang Yan?" Fang Duobing ikut menoleh ke jendela kayu tua saat menangkap tatapan sang tuan rumah yang nampak gelisah.

Melihat reaksi Fang Duobing yang tidak menunjukkan kecemasan, Wang Yan paham bahwa mereka tidak mendengar suara tawa itu. Tetapi Li Lian Hua mendengarnya. Seketika dia membuka mata, lantas berdiri perlahan-lahan. Pemuda tampan berjubah hitam itu pasti berada tidak jauh darinya. Seolah-olah ada kekuatan supranatural yang menariknya, Li Lian Hua melangkah ke pintu, mendorongnya hingga terbuka. Angin kencang berhembus masuk, menggoyangkan nyala api di perapian. Fang Duobing dan Wang Yan serempak menoleh ke arah pintu yang bergerak-gerak menutup dan membuka, melahirkan derit mengerikan.

"Cuacanya terlalu dingin dan beku," keluh Fang Duobing, wajahnya memucat dan matanya menyipit pada siluet gelap pepohonan di luar sana.

*****

Di sisi utara hutan, sosok pemuda berjubah hitam berjalan menembus gerimis, perlahan-lahan menyusuri setapak yang menembus hutan. Ujung tali yang mengikat pinggangnya melambai di sela tiupan angin, menyentuh ujung-ujung pucuk ilalang. Beberapa helai rambut di sisi wajahnya ikut menggeletar saat tatapannya lurus menembus gelap malam.

Langkah kaki semakin lebar saat ia nyaris tiba di tujuan. Satu area paling sepi dan jarang sekali dikunjungi. Kecuali olehnya.

Dia kini berhenti, menatap hampa pada satu pohon beringin tua tepat di depannya. Tumbuh tinggi meski di tanah gersang. Cabang dan ranting kering kusam saling membelit membentuk lingkaran.

Dia telah berada di sini untuk waktu yang lama, terpenjara dalam zona waktu yang tak akan bisa diputar kembali.

Memandang cabang dan ranting kering mengirimkan kesedihan dan perasaan buruk lainnya yang sulit ditepiskan. Tetapi dengan penuh ketegasan, sepasang matanya tak beralih dari sana. Siluet bulan sabit mulai terlihat samar di balik awan serupa gumpalan kabut asap kehitaman nampak bagaikan layar yang perlahan terangkat, menampilkan kilasan masa lalu yang lama tersimpan.

Pemuda itu menatap semakin dalam, menghalau segala perasaan yang berkecamuk laksana badai dalam dadanya.

Biarkan tirai waktu terangkat. Biarkan ia menatap sekali lagi pada masa masa itu. Satu kisah kekejaman yang bermuara pada kesepian panjang.

Masa muda yang tersembunyi di balik setiap lekukan cabang pepohonan, semak belukar liar yang memekarkan bunganya untuk kali pertama, setelah belasan tahun masa melesat bagai kilatan petir di waktu hujan.

Dengan tatapan sepi, matanya beralih memandang bulan sementara angin dingin membelai wajahnya yang rupawan.

Apa yang kupandang sekarang?

Bulan di masa kini

Ataukah bulan di masa belasan tahun lalu?

Dia bergerak perlahan menuju satu batu besar, duduk di atasnya. Kemudian dia mulai tertawa sendirian, melepaskan semua emosi yang mengendap dalam jiwa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro