Chapter 03
Hari itu dipenuhi kesan yang asing dengan emosi tumpang tindih yang datang susul menyusul. Sewaktu Zhan Yao siuman dari pingsan, itu tidak lebih dari dua puluh menit sejak Bai Yutong pergi meninggalkan ruangan.
Ketika ia membuka mata, apa yang pertama kali dilihatnya adalah dinding nuansa putih dan semburat keemasan dari sinar matahari yang merembes masuk melalui jendela ruangan. Aroma yang ia hirup mengirimkan sinyal kacau ke otaknya karena ia masih merasa sesak. Tetapi ia tahu persis bahwa ini adalah salah satu kamar rumah sakit.
Mengapa aku berada di sini?
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang sempurna, Zhan Yao memejamkan mata dan mengumpulkan ingatan.
Astaga, dia ingat sekarang. Di awal pagi yang cerah hari ini, dengan perasaan kacau dan letih, ia berdiri di tepi jembatan Twickenham dan memikirkan banyak hal sampai cincin tunangannya jatuh ke sungai. Kemudian dia terkejut karena menduga bahwa cincin yang jatuh itu justru pemberian ibunya. Saat itulah, dalam posisi membungkuk, seseorang memeluknya secara brutal dari belakang yang berakibat insiden mengenaskan.
Tercebur bersama-sama ke dalam sungai, seperti dua pecundang putus asa yang berniat melarikan diri dari kehidupan dengan cara bunuh diri.
Lebih memalukan lagi, ini bukan aksi bunuh diri yang dramatis melainkan kecelakaan konyol.
Zhan Yao mengedip-ngedipkan mata, berusaha mengingat kembali wajah pemuda yang memeluk dan membuat tubuhnya oleng ke sungai. Rasa panik dan terkejut membuat ia tidak bisa mengamati dengan jelas wajah itu. Hanya sekilas kesan yang tertinggal. Dia pemuda berwajah tegas, tatapan mata tajam dan tampan.
Dia mengerjap lagi, kali ini matanya bersinar-sinar. Mengingat momen tidak terduga saat semua sudah berlalu, kesannya berbeda dengan saat mengalaminya. Ada kesan menakjubkan yang tertinggal, juga sedikit kengerian. Tetapi, entah mengapa dia senang bisa bertemu pemuda asing yang tiba-tiba datang, salah paham dan memeluknya dari belakang. Mencegahnya dari tindakan berbahaya. Sungguh suatu kepedulian yang sulit dipahami.
Zhan Yao ingat, kali ini mengingat meski sangat singkat, tentang satu aroma yang membuat imajinasinya sedikit lebih indah. Dia mengingat kehadiran pemuda asing konyol itu sebagai suatu keajaiban, mungkin karena aroma tubuhnya yang maskulin, sensual, dan mengungkap dimensi yang lebih mendalam. Aroma khas yang segar dan nyaman.
Zhan Yao menghela nafas, ada rasa sakit di dadanya mungkin akibat terlalu banyak air yang masuk. Perlahan, ia beringsut duduk, menoleh ke jendela yang terang benderang pada pukul sembilan pagi. Zhan Yao duduk dalam kesunyian, memikirkan pemuda asing itu. Ada sedikit rasa tersentuh, rasa penasaran, dan perasaan lucu serta konyol. Kesan pertama dengannya penuh dengan kejengkelan namun mengingat kembali mendatangkan senyuman di wajahnya tanpa sadar.
Setelah beberapa kali menghela nafas, indranya mulai berfungsi dengan baik dan merasakan keharuman itu lagi saat ia membayangkan wajahnya. Seharusnya, pemuda asing itu berada dalam ruangan ini beberapa waktu lalu. Mungkin belum lama~ karena aromanya masih tertinggal.
Sepuluh jemarinya saling meremas, dan ia menundukkan pandangan, memeriksa apakah cincin tunangannya benar-benar terlepas dan jatuh. Dia mengamati jarinya, bernafas lega ketika mendapati bahwa cincin pemberian ibunya masih melingkar di jarinya. Jadi yang jatuh itu sungguh cincin tunangan. Bagaikan suatu pertanda, Zhan Yao tidak merasa khawatir sama sekali jika pertunangan ini akan benar-benar berakhir seperti cincin yang tenggelam di dasar sungai.
Suara pintu terbuka membuatnya terkesiap. Diam-diam ia berharap pemuda asing itu yang datang. Tetapi saat melihat seorang gadis perawat melangkah masuk, Zhan Yao merasa sedikit kecewa.
"Anda sudah siuman," perawat berkomentar dengan wajah tersenyum ramah.
Zhan Yao membalas komentarnya dengan tatapan naif dan penuh tanya.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?"
"Seorang pemuda dan petugas paramedis membawa Anda kemari."
Perawat itu memeriksa beberapa hal penting, juga memeriksa tekanan darah Zhan Yao.
"Oh begitu, ya?" Ia bergumam hampa.
"Bagaimana perasaan Anda sekarang?" perawat bertanya lagi.
"Lumayan. Hanya sedikit sakit di bagian dada terutama saat aku bernafas dengan keras. Rasanya seperti ingin batuk."
"Anda perlu istirahat beberapa lama lagi."
Perawat sudah selesai menyelesaikan tugas dan kini berbalik kembali ke pintu.
"Tunggu!" cegah Zhan Yao.
"Ada keluhan lagi?"
Zhan Yao menggeleng, "Tidak. Aku hanya ingin tahu, siapa pemuda yang membawaku?"
Dia merasa tidak punya harapan ketika perawat itu menggelengkan kepala. "Mungkin bagian pendaftaran dan administrasi bisa memberikan informasi." Si perawat memberikan saran.
"Bagaimana ciri-cirinya?"
"Hmmm, dia..." suara perawat terdengar meragukan. Zhan Yao bisa membaca gelagat bahwa dia melupakan orang yang dia tanyakan.
"Aku tidak bicara dengannya. Hanya bisa mengingat bahwa ia seorang pemuda tampan dan kharismatik."
Bibir tipis Zhan Yao melengkung, kecewa. "Dia tidak menyebutkan namanya?"
"Mungkin petugas administrasi mencatatnya. Dan ya, dia juga telah membayar semua biaya perawatan Anda."
Sesaat sebelum keluar ruangan, perawat itu berkata lagi pada Zhan Yao. "Jika dia merasa dirimu penting. Dia pasti akan menelepon atau menjenguk kemari."
Zhan Yao ingin sekali memotong kata-katanya, "Tidak, rasanya tidak mungkin."
Perawat menatapnya bingung, mengangkat bahu lantas berlalu pergi. Zhan Yao kembali sendirian, memandang sekeliling dan menghela nafas. Dia memutuskan untuk turun, berjalan keluar dengan langkah-langkah perlahan. Pemuda itu menyusuri lorong dan teras sepanjang taman samping, memandang lepas pada barisan pintu membisu. Setelah beberapa waktu dia menuju bagian resepsionis untuk mencari tahu tentang si pemuda asing, namun sesuai dengan bayangannya, dia tidak menemukan petunjuk apa pun. Dari cara petugas menerangkan, jelas sekali ia memang tidak berniat memberikan informasi apa pun. Tetapi saat ia tiba di bagian administrasi, petugas menyebutkan satu nama padanya.
"Oh, ya pemuda berpakaian putih? Dia memberikan keterangan di sini, namanya Bai Chi."
Hati Zhan Yao merasa bagai disiram air dingin, terasa lega dan sejuk. Dia tersenyum pada si petugas, di saat yang sama bayangan wajah pemuda asing itu muncul di pikirannya.
"Terima kasih," ia mengangguk pada petugas, lalu mundur kembali ke tempat semula ia berjalan-jalan.
Bai Chi...
Dia menggumam berulang kali di dalam hati.
🍀🍀🍀
Bai Yutong nyaris setengah berlari setelah keluar dari ruangan rapat yang serasa bagaikan ruangan interogasi polisi. Selama pertemuan bisnis itu berlangsung, dia kesulitan berkonsentrasi, kerap melakukan pergerakan yang tidak perlu sebagai tanda bahwa ia tengah memikirkan sesuatu. Benaknya membayangkan kembali peristiwa yang terjadi beberapa jam lalu. Betapa jelasnya ia melihat wajah itu, memeluknya sangat dekat, dan betapa mudahnya keraguan muncul ketika waktunya meninggalkan pemuda cantik itu di rumah sakit. Bai Yutong memutuskan tidak memberitahu informasi tentang dirinya karena sejujurnya, momen konyol itu membuatnya tidak nyaman jika harus berjumpa lagi dengannya. Tetapi setelah waktu berlalu, entah mengapa seperti ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Perasaan berat hati memenuhi dadanya hingga ia terseret dalam beberapa pemikiran yang sepi. Mengapa ia tidak meninggalkan pesan untuk pemuda itu? Atau mengapa ia tidak kembali saja ke rumah sakit siang ini untuk menjenguknya lagi, kalau-kalau dia masih di sana. Dia masih ragu untuk mengambil tindakan.
Sekitar pukul dua siang, masih bersama Bai Chi, Yutong memilih makan siang di sebuah restoran Jepang. Melupakan satu momen apakah itu baik atau buruk akan lebih mudah jika dalam kondisi perut kenyang. Jadi, siang itu Yutong memesan banyak menu selain untuk memenuhi selera makan Bai Chi, juga untuk melepaskan kelegaan karena telah melewati pertemuan yang membosankan. Ada beberapa jam terbentang di depan tanpa rencana, ia akan memikirkannya lagi nanti.
"Astaga, sebanyak ini?" Mata Bai Chi melebar saat semua hidangan telah tersaji di meja.
"Tidak usah pura-pura terkejut, aku tahu air liurmu sudah menetes-netes. Ayo serbu," komentar Yutong, mendengus, mengusir satu bayangan presentasi rapat terakhir dari pikirannya. Ketika mendengar sepupunya seolah sudah memahami bahwa ia sangat kelaparan, Bai Chi tersenyum.
"Sudah sepantasnya," ia mengambil sumpit, memulai dengan beberapa potong sushi.
"Aku menemanimu sejak pagi, tanpa protes maupun keluhan, walaupun hari ini aksi heroikmu cukup merepotkan."
Bai Chi bicara dengan cepat sambil menguyah. Ucapannya menyentakkan Yutong, sorot matanya yang terpaku pada makanan seketika dipenuhi ingatan tentang pemuda cantik yang tercebur ke sungai bersamanya.
"Kenapa bengong?" usik Bai Chi, melihat sepupunya hanya memainkan sumpit di tangan sejak tadi.
"Aku? Uhh, aku hanya sedang meneliti makanan ini," elak Yutong.
"Bohong," cetus Bai Chi acuh tak acuh.
"Memikirkannya?"
"Siapa maksudmu?"
"Pemuda yang tercebur ke sungai, siapa lagi?" Sudut bibir Bai Chi terangkat sinis dan curiga.
"Jangan mengoceh," Yutong menyeringai, tak kalah sinis.
"Saat makanan atau kopi ada di depan mata, biasanya kau tak memiliki waktu untuk merenung."
Pandangan mata Yutong nampak tersesat untuk sekilas, kemudian berusaha mengembalikan ke mode normal. Sejujurnya, dia masih memikirkan keputusannya meninggalkan pemuda itu di rumah sakit bahkan tanpa mengetahui identitasnya. Setelah sekarang, mungkin akan sulit menemuinya lagi.
"Aku memikirkan bagaimana tindakanku tadi pagi bisa begitu konyol," ia berdalih sambil tertawa kaku, mengambil potongan salmon inugiri.
Bahkan Bai Chi pun masih merasa geli mengingat ketololan Yutong. Tapi ia tidak setuju jika pemuda itu bengong di depan makanan tanpa menyentuhnya hanya gara-gara memikirkan momen tidak penting.
"Aku setuju kalau itu konyol. Sekarang, fokus makan saja. Itu hanya kebetulan yang memalukan. Jangan dipikirkan lagi."
Kebetulan? Mungkin.
Ataukah ... takdir?
Yutong merenung lagi sambil menguyah lambat-lambat. Yang tidak setuju tentu akan mengatakan bahwa pertemuan dengan pemuda cantik itu hanya kebetulan, dan takdir adalah khayalan semata. Dia pernah mendengar ungkapan macam itu sebelumnya.
"Kau benar. Mungkin hanya kebetulan saja," gumam Yutong.
"Jangan bertingkah seperti anak perempuan yang pertama kali bertemu pemuda tampan," Bai Chi berkata lagi, sok bijaksana.
"Kau bahkan tidak mengenalnya. Dia juga tidak mengenalmu. Selesai."
Bai Yutong tidak siap mendengar komentar sarkastis semacam itu, tapi ia hanya mengangkat bahu. Jika ia pernah merasakan hal-hal semacam terpesona pada kesan pertama, ia akan merasa yakin bahwa perasaan inilah yang tengah mengusiknya.
Jika setelah makan siang ia masih merasa galau, ia akan mengemudi kembali ke Saint Fatima hospital. Meskipun ragu bahwa dia masih ada di sana, namun apa salahnya mencoba. Mungkin setelah itu, tidak akan ada emosi yang mengganjal dan tidak ada pertanyaan atau rasa penasaran yang muncul saat ia terbangun di pagi hari yang sepi dan mendapati bayangan wajah pemuda cantik itu masih tertinggal di sudut ingatannya.
🌼🌼🌼
Aiyooooo
Grab him, Yutong!
___ Dear Stranger ___
To be continued
Please vote ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro