Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

しち

Heyo gaes~ besok weekend~

Happy reading!

.

.

.

.

.


❄❄❄


Acara Wisata berakhir begitu saja, dan kini para murid pun kembali pada kenyataan duniawi yang kejam dan penuh siksaan dari Ujian Tengah Semester yang akan datang tak lama lagi.

Untuk Ice, jangan ditanya. Ia jadi jauh lebih sibuk mengurusi lomba-lombanya dan Ujian Tengah Semester sampai ia tak punya waktu bersama pacarnya.

Untunglah Halilintar adalah pacar yang pengertian.. atau lebih tepatnya diam-diam ia pulang bersama Solar saat Ice terlalu sibuk untuk bersamanya.

Sungguh, sekolah ini penuh dengan kompetisi mematikan yang membuat Ice menyesal berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik pada setiap mata pelajarannya. 

Hari-hari sekolah mereka pun berjalan seperti biasanya. 

Mulai dari pelajaran Matematika di pagi hari, disambung dengan Fisika dan Kimia, kemudian pelajaran Biologi yang memaksa otak untuk menghafal begitu banyak organ tubuh dan tulang , dan diakhiri dengan pelajaran kesenian.

Pelajaran seni musik adalah pelajaran terakhir di hari itu.

Sang guru musik memainkan piano, sedangkan para murid-murid bernyanyi. Sekaligus berlatih untuk pertunjukan paduan suara yang akan diadakan di akhir semester.

Ice lagi-lagi harus izin karena.. ya, latihan untuk pertandingan matematika. Sudah bukan hal yang aneh lagi.

Halilintar yang menghadiri kelas itu mau tak mau harus duduk bersebelahan dengan Solar. Karena kelas diadakan di ruangan musik, jadi tidak ada meja yang menyekat diantara para murid.

Dengan selembar kertas berisi not dan lirik lagu di tangan masing-masing, semua murid mulai berdiri dari tempatnya. Intro yang mengalun dari piano menandakan permulaan dari lagu itu.

🎶Time, time, time
See what's become of me

Lagu mulai dinyanyikan, seiring dengan mengalunnya suara piano yang begitu lembut di telinga.

Time, time, time
See what's become of me
While I looked around for my possibilities
I was so hard to please

Look around
Leaves are brown
And the sky is a hazy shade of winter

Hang on to your hopes, my friend

Masuk lebih dalam pada melodi dan lirik lagu, semua murid pun menutup mata dan mulai meresapi bait demi bait lagu tersebut.

That's an easy thing to say
But if your hopes should pass away

Simply pretend that you can build them again

Look around

The grass is high

The fields are ripe
It's the springtime of my lifeSeasons change with the scenery
Weavin' time in a tapestry
Won't you stop and remember me?

Netra keduanya perlahan berotasi, saling menengok dan bertemu satu sama lain. Dengan bibir yang masih mengalun lirik lagu, netra ruby dan silver itu terkunci dalam sebuah tatapan intens.

Keduanya tertegun.

Look around
Leaves are brown
And the sky is a hazy shade of winterLook around
Leaves are brown
There's a patch of snow on the ground

Hey, do you allow me to create a love story with  you?🎶

Bait terakhir dinyanyikan, suara piano pun berhenti. Sang guru memberikan tepuk tangan , demikian juga dengan semua murid saling memberikan tepuk tangan satu sama lain. Memuji diri masing-masing.














❄❄❄













Begitu jam pelajaran berakhir, Halilintar masih berdiam diri di ruang musik. Tepatnya di depan piano.

Kepalanya sedikit tertunduk, jari-jarinya bergerak memainkan beberapa not. Berbagai hal kini berkecamuk di pikirannya, dan ia menyalurkannya dengan bermain piano.

Sebenarnya Halilintar tidak ahli bermain piano, atau alat musik lain. Namun ia sempat belajar piano saat sekolah dasar. Ia masih mengingat sedikit-sedikit mengenai tuts dan not lagu.

Di ruangan itu, ia benar benar sendirian. Sampai seseorang masuk dan memecah kesunyian itu. Hanya dari langkahnya saja, Halilintar sudah bisa menebak siapa itu.

"hei, kamu kenapa sendirian? gak pulang?"

Sosok itu duduk disamping Halilintar, menatapnya lembut.

Halilintar pun turut menengok dan bertemu mata dengan sosok itu, ia tersenyum tipis.

"aku cuma pengen lamaan aja disini, Solar" jawabnya.

Solar mengangguk angguk mendengarnya, jarinya mulai menelusuri tuts-tuts piano itu dan memainkan beberapa not dasar.

"aku perhatikan, kamu seperti ada masalah" Solar membuka topik pembicaraan

"kamu nggak seperti orang yang bahagia karena sudah jadian dengan orang yang kamu cintai.. apa karena dia sibuk?"

Mendengar itu, netra Halilintar membelalak "m-maksudmu?"

"Pacarmu, Ice.. dia sibuk mempersiapkan lomba kan? Apa kamu sedih karena kamu merindukannya?" tanya Solar.

Bohong, kalau Halilintar bilang ia tidak rindu dengan Ice. Ia hanya sedang mati-matian menahan dirinya untuk tidak membiarkan rindunya merusak citra Ice di mata banyak orang. 

Tapi sejujurnya, itu bukanlah satu satunya yang ia pikirkan saat ini. 

Karena itulah, Halilintar mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu menggeleng "nggak.. bukan gitu kok. Gak ada alasan untukku merindukannya, hanya akan menyusahkannya.."

Menekan satu not panjang, Solar lalu berbalik menatap Halilintar.

"apa harus ada alasan untuk merindukan seseorang?"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Halilintar, lidahnya kelu. Sedangkan Solar, ia nampak tidak menunggu jawaban itu. Kedua tangannya langsung menaiki tuts dan mulai memainkan lagu.

Lagu yang dimainkannya hanya sepotong, Halilintar bahkan tak tau lagu apa yang dimainkan dan dinyanyikannya.

You fell to the ground like rain
On deaf ears your cries met hands and knees were blistered

You don't see me like I know you
Hiding behind the glass
So sickened by grief

You can't let them win
They'll have you..

Kalimat terakhir dinyanyikan Solar dengan begitu emosional, bahkan tuts-tuts itu ditekannya dengan penuh emosi hingga Halilintar merinding dibuatnya.

Terdengar indah, namun menyakitkan.

Seperti seseorang yang tak bisa merelakan cintanya.

Tapi..untuk siapa?

Saat Halilintar larut dalam pikirannya, Solar rupanya sudah selesai bermain. Ia tersadar saat Solar tiba-tiba berbicara padanya.

"mau jalan jalan sekitar sini?"

Itu hal yang terakhir ia katakan sebelum mereka akhirnya pergi dari sana, bersama.














***












Solar dan Halilintar kini berjalan di hamparan salju yang luas.

Lubang-lubang di sepanjang jalan menandai jejak keduanya, berjalan di tengah bantalan salju yang tebal cukup sulit kalau tidak menggunakan boots.

Namun bukan masalah bagi Halilintar, ia memekik girang saat melihat salju yang begitu banyak.

Lihat saja, belum apa apa dia sudah berjongkok dan asik membuat boneka salju. Gayanya seperti anak kecil yang baru keluar kandang , ia nampak begitu gembira. Solar pun refleks tersenyum melihatnya.

Menghampiri Halilintar, lalu ikut berjongkok didepannya, membuat boneka salju yang sama. Dengan lihai, jari jari Solar mengukir gumpalan dingin itu membentuk sebuah wajah.

Wajah yang sama dengan sosok yang ada di depannya , lengkap dengan bentuk poni dan bahkan topi bercorak petir yang menjadi ciri khasnya.

Mata Halilintar berbinar kagum melihat keterampilan tangan Solar, lalu membandingkannya dengan miliknya sendiri. Wajahnya langsung berubah lesu menyadari miliknya yang lebih mirip bukit es campur dibanding kepala.

Solar tertawa melihat wajah kecewa Halilintar, ia lalu meletakan miliknya dan mengambil gumpalan es dari tangan Halilintar.

Dengan perlahan, ia menjelaskan dan mengajari Halilintar bagaimana membentuk benda putih itu dengan rapi agar ia tidak hancur. Halilintar pun mendengarkan dengan seksama lalu menirunya.

Ia terlihat bangga saat menunjukan sebuah boneka salju kecil yang akhirnya berhasil ia buat sesuai dengan yang diajarkan Solar. Setelah lama memendam kesedihan, ia akhirnya bisa tersenyum lebar.

Perasaannya saat ini terasa lebih ringan.

Mereka meletakan boneka salju masing-masing di atas kursi taman, bersebelahan. Senyum menghiasi bibir keduanya melihat betapa lucunya kedua benda itu terletak berdampingan satu sama lain.

Halilintar lalu kembali berlari menuju bantalan salju paling tebal dan Solar mengejarnya. Baru saja Solar akan memanggil, tiba tiba..

Bukk!

Sebuah bola salju berukuran cukup besar sudah mendarat di wajahnya. Halilintar langsung tertawa lepas melihat wajah Solar yang berselimut salju.

"ohhh- berani kau??" geram Solar sembari menyingkirkan salju yang ada di wajahnya, lalu merunduk dan mengambil gumpalan putih itu.

"sini kamu!!"

"uwaa!!"

Halilintar berlari secepat mungkin menghindari Solar yang mengejarnya. Lemparan bola salju Solar yang pertama tidak kena, karena itu keduanya langsung buru-buru membuat bola salju lagi.

Mereka pun saling melempar dan menghindar dengan tawa keras menghiasi wajah keduanya.

Puas bermain lempar bola salju, mereka kemudian membuat sebuah benteng yang cukup besar.

Benteng berbentuk seperti batang pohon itu mereka dirikan menutupi tubuh keduanya, lalu tertawa begitu menyadari tubuh mereka tersangkut saking sempitnya ruang didalam benteng itu.

Lalu dilanjutkan dengan Halilintar yang tau-tau menaiki salah satu batang kayu tumbang yang cukup tinggi. Ia berdiri dan berjalan disana layaknya seorang stuntman berjalan di seutas tali yang ada diantara dua gedung tinggi. 

Merentangkan kedua tangannya, ia berjalan dengan keseimbangan yang buruk. Berkali kali kakinya hendak terpeleset karena batang kayu yang licin karena salju. Karena itulah, Solar menawarkan tangannya untuk dipegang Halilintar.

Awalnya, Halilintar ragu. Namun akhirnya ia pun tersenyum dan memegang tangan Solar. Ia berjalan hingga ke ujung sambil berpegangan tangan dengan Solar, rasanya menyenangkan sekali. 

***

Setelah bermain cukup lama, akhirnya mereka kelelahan dan memutuskan untuk berbaring di bantalan salju itu. Untungnya, curah salju tidak deras hari ini sehingga rasa dingin tidak terlalu menyerang mereka.

Keduanya berbaring sambil menggerakan tangan dan kaki mereka, menyapu salju dibawahnya. Kemudian mereka pun saling menoleh, bertukar pandang dan senyum.

Solar kemudian menghentikan gerakannya, menciptakan keheningan diantara mereka. Suasana itu memberi mereka ruang lebih untuk berpikir, merenungkan pertanyaan yang selama ini mengganjal pikirannya dan menemukan jawabannya.

Tidak ada pembicaraan atau obrolan ringan yang dimulai selama beberapa menit kedepan. Suasana canggung diantara mereka pun semakin melebar, hingga hati Halilintar tidak nyaman dibuatnya.

Namun setelah itu, Solar kembali membalikan wajahnya , menatap insan disebelahnya. Ia masih disana, memandanginya dengan wajah sendu.

"apa kamu lelah?" pertanyaan sederhana itu keluar dari mulut Solar, dipenuhi kekhawatiran.

Halilintar menggeleng "nggak.."

Solar tidak menghindar dari topik itu kali ini, ia menatap kedua netra ruby itu dengan serius.

"sejujurnya.. apa kamu nggak lelah, berbohong pada dirimu sendiri? Kamu bahkan tidak tau sedikitpun, kemana hubunganmu akan berjalan.. dan kapan kau bisa berhenti.."

Halilintar terdiam, seolah olah ia baru menyadarinya. Padahal sejak awal dia sudah tau, dan itu adalah pertanyaan yang sama yang ia tanyakan pada dirinya sendiri.

Apakah ia siap, untuk melangkah lebih jauh lagi bersama Ice? Jika ia memilih untuk melanjutkan, ia tidak tau apakah hubungan mereka akan memiliki akhir yang jelas. Begitu ia melewatinya, maka tidak akan ada jalan kembali. Jika pada akhirnya hubungan mereka tidak berhasil, maka ia dan Ice akan menjadi orang asing.

Jika saat itu tiba, apakah ia sanggup untuk menghadapinya? Tidak mudah baginya untuk kehilangan sahabat yang telah bersamanya lebih dari 10 tahun. Namun pertanyaan itu selalu muncul di benaknya setiap kali ia bersama Ice.

'apakah aku benar benar mencintai Ice lebih dari sahabat? '

Halilintar lalu menatap balas mata Solar, berusaha setenang mungkin dan mengungkapkan apa yang ada di benaknya.

"aku tidak tau apa yang ada di depan.. aku tidak tau apa yang akan terjadi.. aku..mencintai Ice, dan akan berada di sisinya.."

Keraguan nampak jelas tersirat pada nada suara Halilintar. Solar yang menyadarinya pun mengubah posisinya menjadi duduk, diikuti oleh Halilintar.

Diam, Solar nampaknya larut dalam pikirannya. Matanya setia memandang hamparan salju putih selama beberapa lama.

"k-kamu sendiri.. kamu begitu bahagia bersama gadis itu, bukankah kamu seharusnya menemaninya sekarang?"

Halilintar berkata lagi, nada suaranya mulai gemetaran.

"gadis..? maksudmu..cheryn?" tanya Solar bingung.

"k-kau menyukainya kan?? kau bahkan tak menolak saat ia menyentuhmu, memperlakukanmu dengan mesra-- aku tau, kalian memang cocok! kalian harusnya menjadi sepasang kekasih!"

"Hali.. itu nggak seperti yang kau pikirkan.."

"aku gak memikirkan apapun!" Halilintar langsung menyahut cepat "aku hanya bilang kalau.. k-kau harusnya mengencani orang sepertinya! Ia cantik, pintar, populer-"

"Halilintar ! hentikan!"

"tidak! seharusnya kamu! tolong hentikan semua ini!" bentak Halilintar dengan suara keras.

"berhentilah bersikap baik padaku- berhentilah menatapku seperti itu- berhentilah bersikap seolah olah kau peduli padaku, dan perasaanku , karena setiap kali kau melakukannya, itu membuatku semakin sulit untuk memahami perasaanku" tangis Halilintar, mencurahkan seluruh isi hatinya yang terpendam selama ini.

"kumohon hentikan semua ini.. kau tau aku sudah punya pacar, tapi mengapa malah kamu yang selalu ada di kepalaku?? bahkan saat aku melihatmu bersama orang lain- aku tak bisa menghentikan diriku untuk tidak cemburu! Padahal aku sudah punya Ice..tapi.. kenapa... kenapa kamu..Solar.."

Suara Halilintar mengecil pada kalimat terakhir bersamaan dengan airmata yang membanjiri pipinya.

Solar buru-buru menangkup pipi Halilintar. Jari-jarinya bergerak menghapus airmata yang terlanjur mengalir deras.

"Hali.. aku minta maaf.." Solar menggumam sedih.

"mungkin aku nggak setampan, sepintar, seperhatian, sesempurna Ice.. mungkin aku brengsek, aku seenaknya datang ke hidupmu, saat mungkin semuanya baik baik saja denganmu. Aku seenaknya menyukaimu, dan mungkin kamu tak menyukai itu.." Solar sendiri berusaha menahan airmatanya , namun pada akhirnya airmata itu tumpah.

Jika diibaratkan, perasaannya itu seperti container yang terisi sedikit demi sedikit setiap kali ia bertemu, berbicara, hingga menyadari perasaannya terhadap sosok didepannya. Dan hari ini, seluruh isinya telah luber saking penuhnya tempat itu terisi.

"aku hanyalah orang bodoh yang mencintaimu, orang yang penuh dengan kekurangan.. seseorang yang mungkin tak akan bisa jadi sempurna untukmu.." ucapnya, mulai memberanikan diri menatap langsung netra ruby yang menangis itu.

"tapi berapa kali pun aku mencoba untuk berhenti.. berapa kali pun aku mencoba untuk tidak jatuh lebih dalam.. aku tak pernah bisa melakukannya... saat kamu bersama dengan Ice, rasanya seperti tertusuk pisau berkali kali.."

Solar lalu menempelkan keningnya pada Halilintar, ia menggumam lagi.

"aku tak pantas mengatakannya.. tapi aku benar-benar menyukaimu.. aku tulus menyukaimu, sejak pertama kita bertemu.."

Usai mengatakan itu, Solar mulai menutup jarak diantara mereka dan membawa Halilintar kedalam sebuah ciuman lembut. Bibirnya bergerak begitu lembut menyalurkan seluruh perasaannya pada Halilintar, ia melakukannya seolah tengah menjaga satu permata yang paling berharga.

Setelah beberapa detik, ia menarik diri dari ciuman itu. Halilintar langsung menunduk dengan wajah memerah, ia perlahan mendorong tubuh Solar menjauh darinya.

"tidak.. Solar..jangan begini.." Halilintar terisak "aku tak ingin menyakiti Ice..."

Solar menggeleng dan kembali mengelus lembut pipi Halilintar.

"tapi kau menyakiti dirimu sendiri..." ucapnya "terkadang.. kita harus jadi egois untuk diri kita sendiri.. tidak selamanya kita harus hidup demi kebahagiaan orang lain.."

Airmata Halilintar sekali lagi mengalir turun membasahi kedua pipinya yang menghangat bersamaan dengan jantungnya yang berdetak semakin keras.

"aku menyukaimu, Halilintar Thunderstorm.."

Solar tersenyum teduh melihat Halilintar menangis jauh lebih keras dibanding sebelumnya, nafasnya tercekat dan rona merah telah menguasai wajahnya.

"a-aku..juga menyukaimu.." ungkap Halilintar ditengah tangisnya.

"aku menyukaimu, Solar.."

Keduanya pun kembali berpelukan, pelukan yang lebih erat kali ini.

Mengecup lembut pucuk kepala Halilintar, Solar kembali berbisik lembut.

"mungkin pertemuan ini begitu singkat.. tapi pertemuan singkat ini tak menghalangiku untuk jatuh cinta padamu, karena cinta itu nggak kenal waktu"

"aku sayang kamu, Hali" sambungnya.

Ucapan Solar barusan sukses membuat Halilintar tersipu malu, ia membenamkan wajahnya di dada Solar dan memukulnya pelan.

"Solar ni..." gumam Halilintar malu-malu.




























Di kejauhan.

Seseorang yang berdiri disana menjatuhkan payung dan buket bunga yang dibawanya.

Suara isakan lembut pun terdengar dari bibirnya yang gemetaran, bersamaan dengan setitik airmata dan darah segar yang menetes pada permukaan salju yang putih.


To be continued. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro