Last Wish - [Ichinose Tokiya x Reader]
Requested by Regzi_Amalia
Di pertengahan cerita, silakan aktifkan audio untuk memperdalam suasana~
"To-Tokiya-senpai?"
Laki-laki berambut biru gelap itu menoleh, mendapati [Full Name] yang erat menggenggam lengan blazer-nya. Lain halnya, tangan kanan [Name] memegang sekotak putih.
"Kau ..."
Seulas senyuman hadir di kedua sudut bibir gadis itu. "Otanjoubi omedetto, Tokiya-senpai."
Bulan agustus. Tepat tanggal kelahirannya, ia mendapati sebuah kue. Ketika orang-orang ingat akan kelahirannya, ia merasa dicintai.
Perasaan yang takkan tergantikan oleh apapun.
Last Wish
Pair : Ichinose Tokiya x Childish!Sick!Reader
Genre : Romance, angst, slight comedy
Warn : Gagal baper, romance gagal, OOC, Semi-AU, semoga enggak diabetes (ngek)
By agashii-san
.
.
.
"Sudah kubilang, kau harus beristirahat," tegur Tokiya mengernyitkan dahi.
Sebagai mantan trainee agensi yang pernah direkrut sebagai aktor solo, ia masih mampir untuk menemui CEO yang dianggap sebagai ayah sendiri. Tidak hanya itu, Tokiya dan [Name] adalah sepasang kekasih. Tentunya, ayah [Name] tahu hal itu dan mengizinkan hubungan mereka.
"Tapi ... aku merindukanmu," ucap [Name] lirih sembari menunduk, "Sekalian saja aku ingin merayakan ulang tahunmu. Atau ... apa aku mengganggu?"
Pemuda itu memegang dagu [Name]. Membiarkan gadis itu menatap sepasang manik birunya. Ia menggeleng lalu tersenyum lebar.
"Tidak. Aku senang. Arigatou."
Wajah [Name] memanas namun memudar begitu saja ketika ia membuang muka.
"Kenapa?" tanya Tokiya menyadari [Name] mulai uring-uringan dengan tatapan yang tak bisa ia pahami.
[Name] menarik napas lalu mengembus pelan. "Karena hari ini senpai ulang tahun, aku mau dikabulkan suatu permintaan."
Tokiya mengernyitkan dahi. Tidakkah seharusnya ia menerima hadiah alih-alih mengabulkan permintaan orang lain?
Iyup, sang pacar termasuk unik.
Namun karena [Name] adalah pacarnya, ia akan sulit menolak. [Name] mengetuk kedua jari telunjuknya yang saling bertemu.
"Aku ... mau Tokiya-senpai menjadi cosplay ouji."
Tokiya mengerjap beberapa kali. Beberapa detik ia terdiam, ia memijat dahi.
"T-tunggu. Apa aku salah dengar?"
Ouji -- seorang pangeran yang dimaksudkan [Name] adalah sebuah karakter dari drama musikal Ouji no Hana. Walaupun tidak ada unsur romance di dalamnya, Tokiya menjadi pemeran yang memiliki banyak penggemar kaum hawa -- termasuk [Name].
Kilasan singkat, Tokiya menjadi seorang pangeran tampan yang memiliki banyak ksatria, hendak menjalani petualangan dan menemukan persahabatan sejati.
"Serius. Aku memang ingin senpai jadi cosplay ouji. Seharian saja, bagaimana?" pinta [Name] mengepalkan kedua tangan di depan dada -- hendak merasakan euforia.
Tokiya menggeleng cepat sembari merentangkan tangan di depan [Name]. "Kau boleh meminta apapun dariku, tapi tidak dengan ajakan ini."
Tidak bisa dipungkiri, gadis itu kecewa akan penolakan singkat dari sang pacar. Bahunya merosot. Jemari kanan gadis itu meraup ponsel dari saku celana.
Hendak ditempelkan ke telinga beberapa detik, [Name] berucap, "Moshi-moshi. Masato-senpai, apa kau sibuk? Ehm, hari ini Tokiya-senpai ultah. Aku ingin meminta bantuanmu demi senpai."
Tokiya menyilangkan tangan, mengira-ngira siasat gadis itu. Apalagi gadis itu dengan kontrasnya berkata 'demi senpai'. Jelas-jelas, bukan kejutan lagi untuknya.
Seulas senyuman penuh akal dari [Name] hadir ketika mengungkapkan idenya. "Em, Masato boleh jadi cos--"
Namun tidak semudah itu.
"Maaf, Hijirikawa-san. Anggap saja tidak mendengar apapun!" ucap Tokiya setelah merebut ponsel [Name] lalu menekan opsi 'end call'.
Dengusan keras terdengar jelas ketika [Name] cemberut. Ia berkacak pinggang sembari menatap sinis Tokiya. "Senpai! Kenapa kau merebut ponselku?"
"Kenapa kau malah meminta laki-laki lain demi keinginanmu?"
[Name] mengerucutkan bibir. "Habisnya, ini kesempatanku untuk bersenang-senang setelah diopname seminggu penuh."
Memang, daya tahan tubuh [Name] cukup lemah. Beberapa kali ia harus dirawat di runah sakit karena menjalani sejumlah pengobatan teratur.
[Name] menarik tangan Tokiya lalu menyerahkan kotak berisi kue ulang tahun. "Aku tidak mau tahu lagi. Ja--"
Tak mau gadis itu hilang dari pandangan, Tokiya mendekap [Name] dari belakang.
"Aku tak bisa membiarkanmu sendirian. Sudah kupastikan ... bahwa kau milikku."
Manik [Name] berbinar-binar. Sebagai penggemar drama musikal Jepang, ia mengingat jelas dua kalimat barusan. Ia menoleh, mendapati semburat merah di kedua pipi Tokiya.
"Aku tidak akan melakukan cosplay tapi akan berakting untuk hari ini. Jadi, kita rayakan berdua saja," ujar Tokiya menutupnya dengan punggung tangan.
Biasanya ia tidak malu berakting dengan peran apapun demi teman-temannya. Hanya saja situasinya berbeda. Ketika orang yang dicintai meminta, ia jadi begitu gugup. Beberapa detik kemudian, [Name] terkekeh dan disusul oleh Tokiya.
"Tidak apa! Arigatou~"
Bagi gadis itu, Tokiya adalah energinya. Semua tenaga yang tenggelam seolah bangkit kembali dalam sekejap.
• • •
"Aku berjanji akan memberikanmu sebuah hadiah," ucap [Name] berjalan mundur saat menelusuri trotoar.
"Jangan berjalan seperti itu, nanti jatuh," tegur Tokiya yang segera ditatap ketus oleh [Name].
"O-u-ji," ujar gadis itu mengeja, mengingatkan peran sang pemuda.
Perempatan sudut siku-siku hadir di dahi Tokiya, "Baiklah. Nona, apa Anda lelah?"
"Tidak. Aku baik-baik saja! Omong-omong, aku ingin memberikan sebuah hadiah."
Tokiya mengira gadis itu hanya sekadar merayakan ulang tahun dengan memberikannya kue. Rupanya, gadis kekanakkan itu punya kejutan lain. Ia menepuk puncak kepala [Name].
"Eh? Memangnya Anda akan memberikanku apa?"
[Name] terkekeh, "Rahasia."
Mereka melangkah bersama-sama menuju sebuah kafe yang dirintis oleh Ren. Tokiya menarik pintu lebih dulu, membiarkan [Name] masuk duluan. Tentunya, ia melakukan itu di luar akting yang dipinta. Setelah ia menutup pintu kembali, terdengar suara dentingan bel mini penanda kehadiran tamu.
"Ah, Icchi," sapa Ren tengah mengelap kumpulan gelas wine.
"Ren. Ada kursi kosong?"
"Untuk dua orang, ya. Ada, di dekat jendela sebelah kiri. Masato sudah mereservasi untuk kalian lebih dulu," tunjuk Ren mengarahkan tempat duduk.
Tokiya dan [Name] melangkah sesuai instruksi. Namun pemuda itu berhenti melangkah lalu menoleh ke arah Ren.
"Antarkan pesanan yang sudah kuberitahu lewat pesan kemarin, ya."
Ren mengacungkan jempol, "Siap, Icchi."
[Name] mengernyitkan dahi, tidak mengerti pesanan apa yang dimaksudkan Tokiya. Musim panas memang sedang terik-teriknya sehingga cukup membakar kulit apalagi ketika tengah hari. Mencicipi es serut atau pun parfait termasuk santapan menyegarkan. Ia takkan bisa menolak suguhan dingin yang menggoda.
Baru saja [Name] membuka buku menu, Ren membawa nampan berisi tiga cangkir minuman berisi warna-warni yang sepertinya tidak sesuai ekspektasi.
"Selamat menikmati," ucap Ren mengangkat nampan, sebisa mungkin kabur dari [Name] sebelum dihujami dengan garpu.
"Nona, pilihlah. Ada smoothie rasa wortel, tomat, dan bayam," tawar Tokiya sembari mengarahkan gelas-gelas itu kepada [Name].
"Aku enggak mau. Maunya parfait stroberi," bantah [Name] mengerucutkan bibirnya.
"Kudengar dari perawat, kau sering menyisakan sayuran. Itu tidak bagus untuk kesehatanmu."
"Tapi ini 'kan hari liburku. Ouji, yang kamu lakukan kepadaku itu, jahat!"
Tokiya menopang dagu, "Apa aku tidak boleh melakukan semua ini demi kebaikanmu?"
Membiarkan pemuda ini berakting justru seperti senjata makan tuan. [Name] tidak berkutik akhirnya harus menerima resikonya.
Ditunjuk satu demi satu bergantian secara acak. Entah peruntungannya di mana.
"Cap cip cup kembang kuncup. Pilih mana yang mau di ... cup?"
Jemarinya berhenti di gelas berisi cairan hijau. Sang dewi fortuna rupanya tidak setia berada di sisi [Name]. Diambilnya gelas itu dengan malas lalu menyeruput isinya.
Ia bergeming setelah merasakan minuman itu. Walaupun ada kandungan ekstrak sayuran, rasa manis dan asam terasa segar di kerongkongan.
"Bagaimana? Enak, 'kan?"
[Name] melengos. Pemuda itu begitu curang. Ia selalu bisa menyihir segala asumsi umum menjadi luar biasa. Mematahkan segala hambatan yang selama ini [Name] jauhi.
"Tentunya ada rasa lain agar tetap manis. Aku meminta Ren menambahkan rasa apel dan lemon. Syukurlah kalau rasanya enak."
[Name] mengaduk isi smoothie lalu berkata. "Wah. Apa ouji punya kekuatan magis?"
Tokiya menggeleng pelan. "Tidak, Nona. Memangnya ada apa?"
"Ouji pasti punya tapi tidak sadar."
Pemuda itu bergeming lalu terkekeh. Meskipun gadis itu lagi-lagi bertingkah misterius, ia tidak masalah. Selama gadis itu tersenyum.
"Kalau begitu, mulai besok Nona harus meminum smoothie ini setiap harinya."
Gadis itu menatap kosong isi gelas yang kini tersisa setengah. Tak langsung direspons, Tokiya mencubit kedua pipi [Name].
"Apa Nona begitu benci dengan sayuran?"
[Name] menggeleng. Namun maniknya menjatuhkan air mata, yang tak disangka cukup mengejutkan bagi Tokiya.
"Aku tidak bermaksud untuk memaksa. Maafkan aku," ucapnya lirih mengenggam jemari [Name].
"Setiap hari ... sepertinya tidak akan lama lagi."
Tokiya menatap nanar gadis yang kini rapuh di hadapannya. Ia tahu, gadis itu menghabiskan hampir semasa hidupnya di rumah sakit.
"Maaf ya, aku jadi menghancurkan harimu," ucap [Name] bernada parau sembari menghapus air mata, lalu menarik senyuman -- yang ia yakini sedang menahan perih.
Digenggam pergelangan tangan gadis itu lalu meninggalkan kafe.
"Kau masih punya waktu sebelum kembali ke rumah sakit, 'kan?" tanya Tokiya menghentikan langkahnya.
[Name] mengangguk lalu memandang arloji. "Aku sudah bilang kalau paling malam sekitar pukul tujuh. Jadi ... sepertinya sekitar satu jam lagi."
Tokiya mengacak rambut gadis itu. "Kalau begitu, kita masih punya wak--"
"Tunggu. Aku mau mengambil hadiahmu. Nanti kita ketemu saja di tempat yang kaujanjikan."
"Kita bisa pergi bersama-sama," ajak Tokiya yang langsung disahuti gelengan pelan.
"Tenang saja. Tidak jauh dari sini, kok. Oh ya, kau tidak perlu berakting lagi."
[Name] pun berbalik badan. Hendak melangkah jauh dari pemuda itu. Sedikit rasa cemas menghampirinya, tetapi ia berharap semuanya akan baik-baik saja.
Pemuda itu bahkan tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya; interaksi 'ouji-nona' layaknya bertindak sesuai dengan sikap sebenarnya.
• • •
"Taraaa~" ucap [Name] menyerahkan sebuah buku tebal berkover ungu tua.
Suasana outdoor di atap agensi ketika malam hari tidak cukup buruk bagi mereka. Panorama yang mengerlip -- city light -- walau tidak bisa melihat eksistensi kumpulan kejora, [Name] tetap menyukai tempat ini.
"Ini apa?" tanya Tokiya hendak membuka buku tetapi [Name] mencegatnya.
"Sebelumnya, terima kasih senpai. Untuk hari ini, kemarin, dan masa-masa sebelumnya."
Tidak. Pemuda berambut biru itu tidak ingin mendengarnya. Tersirat perasaan pilu dari gerak bibir [Name]. Ia yakin, gadis itu sedang menahan perih yang perlahan merapuh.
[Name] menampilkan maniknya yang mulai berkaca-kaca. "Maaf karena aku kekanakkan, menyebalkan, dan payah. Apalagi aku produk gagal."
Terkejut, Tokiya memegang bahu [Name], membiarkan buku di genggamannya mendarat begitu saja. "[Name], kau--"
Isakan kecil, linangan air mata mulai membanjiri pipi [Name]. "Aku juga tidak pantas sebagai kekasihmu. Maka, maafkan aku."
Jemari Tokiya kini menghapus air mata gadis itu, walau sepertinya seolah takkan usai karena terus menitik. "Bisakah ... aku bicara?"
Disahuti dengan anggukan, pemuda itu merengkuh [Name]. Mengelus puncak kepalanya.
"Aku tidak pernah menyesal bersamamu. Jadi, jangan berkata 'produk gagal' atau pun 'tidak pantas sebagai kekasih'. Kau membuatku terluka."
Usai melepas pelukan, [Name] tersenyum lalu memungut buku yang tadi terjatuh.
"Nih, bukumu. Kau baru boleh melihatnya besok."
"Baiklah. Omong-omong, kau tak perlu meminta maaf. Semua orang pernah salah dan aku telah memaklumi semua sejak awal."
Waktu terus berjalan. Melewatkan peristiwa dan masa yang takkan pernah berhenti selama masih ada kehidupan. Ketika berbahagia, waktu terasa begitu cepat. Namun waktu yang terus berjalan akan mengupas seluruh masa-masa penuh kebersamaan.
• • •
Tokiya hadir dengan sebuket bunga matahari. Bunga kesukaan [Name]. Langkah yang berdecit dari sepatu kulitnya terhenti. Yakin tidak salah melihat nomor, ia menatap ruangan itu dua kali.
Tidak ada nama [Name] di sana.
Kebetulan pula, seorang perawat hendak lewat dengan mendorong troli yang memuat obat-obatan.
"Maaf, kenapa nama pasien di sini kosong?"
Terlihat ekspresi mengeruh di wajah perawat itu, Tokiya merasakan firasat buruk.
"Pasien ini ... baru saja meninggal pagi ini."
Sebaris kata perawat itu membiarkan Tokiya bungkam sejenak. Buket itu mendarat, mencecerkan bunga yang baru saja dipetik. Energinya seolah tersedot.
"Anda bohong, 'kan?"
"Maaf, tapi yang saya ungkapkan adalah realita. Pasien bernama [Name] mengalami gagal jantung. Jantungnya melemah ... dan dokter tidak bisa menyelamatkannya."
Tokiya menyandarkan tubuhnya ke dinding. Perlahan hingga ia jatuh terduduk. Ia tidak pernah menyangka bahwa kemarin, hari ulang tahunnya adalah hari terakhir bersama [Name].
Keperihan batinnya ditambah aroma antiseptik yang menyesakkan hendak menggerakan sepasang kakinya keluar dari rumah sakit. Ia masuk kembali ke dalam mobil. Membenamkan wajahnya di depan setir selama beberapa menit. Tak lama, ia menemukan buku berkover ungu itu ada di jok penumpang.
Jemarinya bergetar bahkan untuk sekadar mengambil buku itu. Ia membalik kover, menemukan foto mereka berdua. Lalu, halaman selanjutnya kebanyakan adalah dirinya sendiri.
'Senpai lagi latihan script.'
'Senpai lagi nolong nenek nyebrang.'
'Senpai lagi senyum.'
'Senpai lagi tidur.'
Pemuda itu membungkam mulut dengan punggung tangan. Dia tidak tahu kapan [Name] memotret dirinya. Semuanya terpotret secara candid. Ia melihat isi foto itu hingga dua halaman terakhir. Buku itu dirias [Name] dengan menarik. Berwarna-warni dengan goresan stabilo sekaligus stiker imut.
Buku pemberian [Name] telah sampai halaman terakhir. Karena disampul, Tokiya bisa menemukan sebuah amplop berwarna putih yang terselip di kover. Ditarik amplop itu pelan-pelan lalu disobek bagian kiri.
Untuk senpai yang selalu kusukai, Tokiya-senpai.
Selamat ulang tahun!
Maaf, aku belum bisa membeli barang keren. Padahal aku berencana akan membelikanmu parfum Bvrgari atau arloji Seyko. Kautahu, aku tidak bisa bekerja paruh waktu. Aku juga tidak ingin menggunakan uang ayah.
"Aku tidak butuh parfum atau arloji bermerek seperti itu," ucap Tokiya bermonolog, hendak mengharapkan gadis itu berada di sisinya seperti dulu.
Sekali lagi, ia hanya ingin gadis itu.
Kautahu, ini hasil pemotretanku terhadapmu selama satu tahun terakhir. Aku terlihat seperti stalker, ya?
Dulu, aku adalah pengagummu semasa dirimu menjadi trainee di kantor ayah. Kalau boleh jujur, isi foto yang kukumpulkan bisa sampai satu kardus.
Aku menyukaimu, senpai. Tapi kita tidak bisa bersama-sama lebih lama lagi. Tetaplah berbahagia meski tak ada aku. Aku akan mendukungmu yang terbaik.
Dari [Name], penggemar nomor satumu.
Tokiya membalik buku itu. Sehabis membaca pesan itu, perasaannya bercampur aduk. Diambilnya selembar kertas dan bolpoin di dalam tas tangannya. Meskipun ia tidak bisa mengirimi pesannya secara langsung, ia akan tetap membalas.
OMAKE
Hai, [Name].
Terima kasih telah mengingat ulang tahunku.
Sejujurnya, orang tuaku bahkan tidak mau tahu tanggalku sejak mereka bercerai. Aku kabur ke agensi ayahmu dan menemukanmu.
Di situlah, aku merasa : 'oh, ini tempat yang benar.'
Tapi aku keluar dari agensi ayahmu bukan karena aku membencinya. Aku menemukan jalan yang lebih luas terhadap impianku selama ini; sebagai idol.
Aku tidak menyangka ayahmu tetap menerimaku sebagai anak sendiri. Juga kau, yang selalu menemani hari-hariku.
Semoga kau bahagia di sana.
Dari pemuda yang menyukaimu, Tokiya.
• Fin •
A/N :
Huwe ai telat rilis :"3
Drama banget lagi ficnya uhuk-- x'v
Maaf kalau enggak baper. Angst emang kesulitan terbesar ane walau seneng bikinnya hoho.
Nantikan skenario lainnya ya, rikues masih open~
See ya,
Agashii-san
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro