Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

eat, sacrifice, and love - osari hikaru

"[N-Name], berat sekali!" keluh Hikaru dengan napas terengah-engah. Mentari di musim panas usia kesepuluhku memaparkan segala eksistensi dengan terik. Namun, aku tidak peduli. Hikaru seenaknya mengambil camilanku saat perjalanan dengan bus darmawisata.

Tahu apa yang ia keluhkan? Itu karena aku sedang bertindak sebagai sesosok ratu. Membiarkan Hikaru membopong diriku di balik punggungnya. Tega? Oh, tidak. Ini setimpal karena dia membuatku kelaparan lebih cepat.

Dan, kalau aku mengetahui kejadian beberapa menit ke depan lebih cepat, aku tidak pernah menyesal berkepanjangan. Selama beberapa tahun ke depan. Napas Hikaru terdengar semakin nyaring. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Kami dimintai untuk mendaki gunung. Kondisi daratan pun bervariatif. Rerumputan, tanah humus, atau terkadang ada sejumlah kerikil. Beruntung, kami memijaki area rerumputan.

Detik krusial itu mengubah hidupku.

Sekali kejadian, tetapi terus membekas dalam benak.

Hikaru jatuh ambruk saat menggendongku. Teman kecilku yang kukenal di usia sembilan tahun. Ia tak sadarkan diri. Menggendongku, [Full Name] yang terdeteksi obesitas.

eat, sacrifice, and love - osari hikaru

"Kau wajib bahagia. Menikmati makanan enak adalah salah satunya."

"Tidak. Aku tidak mau menggendut, tak sepertimu yang bisa makan sebanyak apapun."

"Kalau karena kau takut akan masa lalu, jangan khawatir."

"Tapi ...."

"Aku jauh, jauh lebih kuat dari yang kaubayangkan!"

b-project ©MAGES

Rate: T

Plot © agashii-san

.

.

.

Sejak saat itu, aku membenci pemeran putri dunia dongeng. Adegan bridal style, piggy-back, dan romantisme terasa begitu menjenuhkan walau dilirik sekilas. Muncul kebencian terhadap tayangan roman picisan, begitu pun karya sastra. Aku tahu semua itu tak nyata. Rekayasa. Fiksi. Namun, sumber-sumber itulah yang membuatku - satu dari sekian korban yang berakhir terlena dan lupa diri. Lalu ditampar oleh kenyataan bahwa kehidupanku tak layak bagai pemeran utama dalam kisah-kisah seindah drama serial atau komik cantik.

Bagaimana nasib kami terjatuh saat itu? Aku mengeluh kesakitan karena luka lecet. Hampir mengomelinya, tetapi tidak jadi karena ia pingsan. Aku panik. Sekitar hutan sepi karena kami rombongan terakhir yang menyusul. Hikaru kesulitan mengangkatku sehingga tertinggal oleh teman-teman lainnya. Aku berteriak sebisa mungkin dan guru-guru menolong kami.

Aku tidak ingin mengingat, tetapi aku terus melakukan hal sebaliknya. Terutama karena tidak sengaja mendapati foto-foto buku album masa kecil. Ibu menyuruhku berberes di ruang tamu.

"[Name], seragammu sudah tiba!" tutur ibu membawa sekantong biru muda, tampak baru habis kembali dari rumah.

Ya, memori itu telah berlalu selama enam tahun lamanya. Kini, aku menjadi murid SMA.

"Ada apa?" Ibu bertanya karena aku tertegun memegang sejumlah foto. Ia turut berjongkok, lalu menunjuk subjek yang mencolok baginya. "Ah, dia temanmu, 'kan?"

Bocah berambut sebahu hijau cerah di dalam foto menunjukkan deretan gigi yang rapi. Tampak bahagia dengan kaus oranye tak berlengan bersama bocah berambut ungu jabrik yang tetap berekspresi datar. Dua bocah yang dahulunya teman baikku. Hikaru dan Tatsuhiro.

Ya, Tatsuhiro yang paling membenciku. Aku bahkan tidak tahu mereka ada di mana. Menuju kelulusan sekolah dasar, segala kejadian berubah drastis. Hikaru semakin jarang ke sekolah. Tatsuhiro tidak pernah bicara denganku. Kami perlahan menjadi sekumpulan orang asing yang terkurung bersama karena sekelas.

"Bukan," elakku cepat-cepat menutup buku. "Aku mau minum obat dulu."

Ibu menahan pergelangan tanganku. "Hentikan. Kau tak memerlukannya lagi."

"Tidak bisa. Dia seperti satu-kesatuan dengan nyawaku."

Ibu berdecak. "Berlebihan. Dengar. Dalam masa remaja, kau wajib makan dengan baik."

"Aku makan kok!" jawabku cepat membela diri.

"Hanya makan telur rebus dua butir dan sebutir apel sehari tidak mengenyangkan!"

Aku mendengus. "Ini demi kebaikan penampilan anakmu juga, Bu."

"Itu penyiksaan. Kalau masih bersikeras mengubah pola makan itu hingga hari masuk SMA, ibu akan memanggil inspektur khusus untuk menanganimu."

Aku menaikkan satu alis. "Siapa yang mau repot mengurusi anak yang makan sedikit?"

"Ada. Jangan anggap ucapan ini angin lalu jika tidak mau kehilangan kamar belajarmu. Laksanakan dan semua akan aman secara terkendali."

"Ibuuuu!" seruku mengacak rambut frustrasi, tetapi ia tak menanggapi. Lantas, ia menapaki anak tangga dan melanjutkan kesibukan lain. Entah apa.

Soal kamar belajar, aku memiliki sebuah ruang yang nyaman teruntuk diriku sendiri. Aku tidak mau teralihkan dengan tempat tidur sehingga bisa lebih fokus belajar. Dahulu, itu adalah sebuah gudang penyimpanan. Kini peninggalan-peninggalan itu berakhir dibuang sepenuhnya. Ibu memang tampak geram dengan ruang spesial itu. Ia bahkan ingin ruang itu dijadikan sebagai salah satu hunian bagi tamu homestay. Paling tidak ada devisa tambahan baginya selain hanya mengandalkan profesi ayah. Persetan dengan niatnya, aku berhasil membuktikan ruangan itu efisien meningkatkan kemampuan akademikku. Aku berhasil menggapai nilai baik dan bersekolah di sebuah SMA negeri.

Kulirik kalender yang dipasang tak jauh dari posisi jam dinding di sisi kanan ruang tamu. Aku menandai betul hari menjadi siswa SMA. Aku harus bisa meyakini ibu dengan makan sesuai dengan ekspektasinya. Namun, aku perlu persiapan. Dua minggu, mungkin?

Ah, tidak.

Hanya tersisa seminggu.

Tidak masalah. Lebih cepat, lebih baik.

× × ×

Aku terkhianati dan tak sempat mempertahankan ruang belajarku. Bahkan belum dua hari berjalan. Ibu bergerak tanpa sempat memberiku kesempatan menebak tindakan-tindakannya lebih lanjut. Ruang belajarku yang dipenuhi buku-buku pun dikosongkan. Ruang itu tergantikan dengan objek berikut; sebuah tempat tidur dengan matras tebal (tentu saja lebih empuk dari milikku), lemari dua pintu, nakas, meja belajar mungil, dan rak tiga sekat baru.

"Ibu! Apa-apaan ini?" tegurku menahan amarah yang memuncak. "Aku bahkan belum membuktikan perubahanku!"

Sempat berdiskusi dengan buruh penata ruang, ibu menoleh ke arahku. "Ada tamu homestay yang tinggal selama dua tahun di sini. Dia memerlukan ruangan ini secepatnya."

"Bukan inspektur, 'kan?" tanyaku ingin mendapatkan kelegaan sedini mungkin.

"Setelah dipikir-pikir, ibu akan sangat sibuk untuk melihat perubahan itu sendirian. Baik-baik sama dia, ya."

Aku menganga lebar. Tidak menyangka. Orang seperti apa yang bersedia menangani orang yang dianggap kesulitan makan? Apa ibu menggaji dengan nominal yang tinggi? Yang jelas, dia secara tidak langsung mempersempit teritorialku!

"Kapan dia datang?" tanyaku sudah memasang wajah suntuk. Sebenarnya, aku enggan bertanya hal ini, tetapi tetap saja merasa penasaran. "Perempuan atau laki-laki?"

Ibu malah mencubit pipi kiriku. "Besok datang! Tebak!"

"Perempuan? Iya, 'kan?" tebakku penuh harap. Sebagai anak tunggal, aku selalu menginginkan saudara. Kalau bisa, lebih tua dariku. Kemudian bisa berbagi pakaian atau alat dandan. Imajinasi yang menarik!

Kedua sudut ibunya terangkat lebar. "Bukan. Laki-laki. Bocah rambut hijau yang di foto album itu, lho. Fufu, bumi memang sempit, ya!"

Bagai disambar petir siang hari, aku terdiam seribu bahasa. Kenyataan macam apa ini?

"Candaan ibu kurang lucu," sahutku tertawa canggung, padahal tidak ada momen jenaka sama sekali.

"Siapa yang bercanda? Dia bersekolah di SMA swasta, tetapi tidak jauh dari sekolahmu. Seingat ibu, dia bermarga Osari."

Aku mengerucutkan bibir. "Bu, apa tidak ada tamu homestay lain yang mau menempati kamar itu?"

Ibu menautkan alis. "Ck. Sudah. Ibu tidak mau menolak rezeki lebih lanjut. Toh, kalian sebenarnya sudah saling kenal."

Tidak, aku tidak mau mengenalinya kalau bisa memutar kenyataan tujuh tahun silam itu.

Dia satu dari sekian bibit pengingat aib terdalamku di masa lampau!

Aku memasang tatapan memelas; walau ini bukan ide baik agar ibu mau berubah pikiran. "Ibu baik dan cantik, deh. Boleh yang lain saja, tidak?"

"Tidak. Ibu pergi dulu. Kerjaan sudah menumpuk."

Tentu saja, pemikiran yang sudah ibu bentuk menjadi keputusan sangat sulit dielakkan. Sekeras baja. Aku menarik napas dalam-dalam. Menyandarkan punggung di dinding pembatas kamar tidur dan mantan kamar belajarku. Bertatapan empat mata dengan Hikaru saja sudah membingungkan bagiku, terlebih lagi dia akan menetap di sebelah kamarku.

× × ×

"Selamat pagi."

Sapaan itu bukan untukku, melainkan kepada ibu. Aku tidak duduk di dekat mereka. Melainkan bersembunyi di balik dinding ruang tamu. Posisi Hikaru membelakangiku. Aku tidak jelas melihat rupanya. Namun, ada penampilan yang hingga kini masih terasa sama. Rambut hijaunya tetap panjang dan bertubuh ramping. Aku tidak begitu ingat suaranya di masa kecil, tetapi dia tetap periang. Seperti matahari.

Entah karena lontaran candaan Hikaru yang membuat Ibu bisa tertawa sebebas itu. Padahal seharusnya ini pertemuan pertama mereka. Aku mengelak sejenak menuju toilet. Namun, ibu pasti cepat atau lambat curiga kepadaku. Ingin saja aku melalui dalam diam, tetapi itu tidak mungkin. Terkecuali aku ingin mendengar ceramah panjang dari ibu.

Kuselipkan helaian rambut, walau tidak sepenuhnya menutupi wajah. Namun, penampilan ini bisa menyamarkan penampilanku. Aku berjalan pelan-pelan. Tidak perlu waktu lama, ibu dan Hikaru sudah memandangku.

"Hai!" sapa Hikaru melambaikan tangan ke arahku. Agar terkesan menanggapi, aku membungkukkan sedikit badan. Ingin saja aku kembali berbalik ke kamar, tetapi ibu memegang pergelangan tanganku.

"Kenapa berantakan seperti itu?" tanya ibu menautkan alis. "Rapikan rambutmu."

"A-aku sedang tidak enak badan. Perutku sakit," tuturku menjelaskan alasan kebohongan yang sebenarnya tidak logis.

Hikaru mengusap dagu. "Hm, PMS, ya? Tunggu, aku ingin memberikan sesuatu."

Manikku membola penuh. Apa dia tidak bisa mengabaikanku seperti angin lalu?

"Pisang! Menurut artikel yang kubaca, buah ini bagus, lho!" Hikaru memberiku sesisir pisang yang terlalu banyak untuk diberikan langsung kepadaku sekaligus. Tingkah Hikaru mirip kucing biru yang memiliki benda-benda aneh dari kantong tubuhnya.

Ibu tersipu, lalu menepuk pelan bahu Hikaru. "Pengertian sekali. Ibu jadi tenang kalau Hikaru-kun memperhatikan [Name]."

Iris perpaduan hijau-cokelat cerah Hikaru membola lebar. "Loh, dia [Full Name]? Berubah banyak, ya! Masih ingat aku, tidak? Aku hampir tidak kenal, lho! Tapi kalau dilihat-lihat masih ada kemiripan waktu kecil, sih!"

Aku tidak berani berbalik badan karena tidak berani melihat ekspresi Hikaru. Sejenak terdiam, aku mendapati sepasang kaki saat menundukkan kepala. Perlahan terangkat ke atas, uluran tangan Hikaru terarah kepadaku.

"Mari berusaha yang terbaik."

Bibirku mengerucut. Aku tidak bisa membiarkan uluran itu tidak terjabat dengan telapak tanganku. Kalau tidak mau terlalu lama dibidik laser imajiner - tatapan tajam dari ibuku.

"Ya," jawabku singkat, lalu berlari secepat mungkin menuju kamar tidur. Aku tidak peduli jika ibu akan mengomeliku sore nanti. Aku tidak berani menatap matanya. Situasi cemas menjebak batinku. Ini masa depan. Hikaru juga mengalami perubahan. Ia jadi lebih tinggi dariku. Tentu saja perlakuan kepadaku tidak lagi sama. Apa yang kuharapkan karena kesalahanku di masa lalu?

Dan, aku pun memilih larut. Selarut-larutnya menuju alam bawah sadar, pelarian yang bisa kutuju sementara.

× × ×

"[Name], apa perutmu masih sakit?"

Aku tidak menjawab. Kesadaranku sudah kembali setengah jam lalu.

Pintu kamarku terketuk tiga kali. "Mau kuseduh teh jahe? Hangat-hangat, gitu!"

"Nggak," tolakku memeluk lutut. Aku ingin segera cepat masuk sekolah. Bertemu teman-teman baru. Bukannya terjebak serumah dengan orang yang harus membuatku kembali dalam nostalgia buruk seperti ini.

Pintu kamarku lagi-lagi diketuk. "Jahe memang pedas dan berbau tajam. Aha, bagaimana kalau yogurt?"

Aku tidak menjawab sepatah kata pun.

"Cokelat panas?"

"Nanas?"

"Sashimi?"

"Teh hijau, deh. Simpel! Lalu-"

Lelah mendengar usul Hikaru yang berkepanjangan, aku membuka pintu kamar.

"Masih ada usul lain? Buat saja buku resep sekalian," sindirku menautkan alis.

Hikaru mengucir setengah bagian rambut dengan karet. Ia duduk di sebelah pintu kamarku dengan sebuah notes dan bolpoin. Dia menulis daftar menu yang disebutkan kepadaku barusan. Tampak sibuk dan menikmati segala pencarian dengan ponsel pintar.

"Hei, aku tahu aku berbuat salah denganmu saat kita duduk di bangku kelas lima. Aku menyesali perbuatan itu, tapi kau tidak perlu berpura-pura ramah kepadaku," tuturku bertindak skeptis berjongkok di hadapannya.

Bolpoin Hikaru mengudara saat aku selesai berucap. Dia mendengarku walau sempat sibuk sendiri. Seakan dunia memang hanya miliknya sejenak, tanpa diriku di sana.

"Kau masih memikirkan hal itu? Aku bahkan sudah lupa," kata Hikaru memasang cengiran lebar. "Aku senang karena kita bertemu lagi. Ibumu khawatir dengan kondisimu."

"Aku baik-baik saja!"

Hikaru meletakkan notes dan bolpoin, lalu beralih memegang kedua bahuku. "Kau tidak baik-baik saja. Berhenti merasa bersalah kepadaku. Saat itu, aku pingsan karena lupa sarapan pagi."

"Bohong."

"Sungguh. Kita temui bersama di sekolah dasar dan meminta data kesehatan kalau perlu!" Hikaru beralih memegang jemariku, memandang penuh keyakinan. Aku tidak merasa itu ide buruk. Toh, belum tentu data itu masih ada. Hikaru memandang waktu dari ponsel pintarnya.

"Besok jam sembilan. Aku tunggu di depan rumah!" Hikaru melambaikan tangan, lalu menghilang di sebelah kamarku.

Membatu, aku dalam diam memandang pintu bertempelkan papan nama "Hikaru's Room". Dia bahkan tidak sempat menanyakan kesediaan waktuku esok. Namun, aku memang tidak memiliki kesibukan apapun. Aku memegang kedua pipi yang mendadak terasa panas. Kami pergi berdua saja? Bukan, ini bukan kencan! Aku segera mengelakkan balon imajiner - menghentikan asumsi barusan.

Pintu kamar Hikaru kembali terbuka sedikit. Astaga, dia mengagetkanku saja.

"Aku masih belum menyerah menunjukkan apapun yang enak untukmu. Bagaimana kalau-"

"Aku nggak PMS!" elakku langsung masuk kamar. Dasar kelewat gigih!

Aku berbohong kalau tidak merasakan apapun. Mungkin kami bisa lebih dekat daripada yang kubayangkan. Aku mengepalkan tanganku tepat di tengah dada.

Pakaian apa yang harus kukenakan besok, ya?

× × ×

O m a k e

× × ×

Lupakan asumsi memalukan semalam, aku tidak pergi berdua dengan Hikaru. Tatsuhiro menemani Hikaru, bahkan ia menunggu setengah jam lebih awal di depan gerbang sekolah dasar dari janji yang ditetapkan. Aku menatap Tatsuhiro takut-takut. Dia dan Hikaru berteman sangat dekat hingga kini. Seakan jarang konflik, jadi sedikit-banyak aku merasa cukup iri.

Tatsuhiro mengulurkan tangan. "Lama tidak berjumpa."

Aku menjabat tangannya. "Be-begitulah."

"Semalam, Hikaru menceritakan kejadian menjadi tamu homestay di rumahmu. Dan menurutku, kita salah paham. Aku tidak menyalahkanmu, tetapi aku menduga kau yang takut kepadaku."

"Jadi kita berteman lagi, 'kan?" tanyaku tanpa sadar mengulum senyum tipis.

Kudapati iris ungu Tatsuhiro menyambut tidak kalah hangat dengan milik Hikaru. Mungkin selama ini kesalahan yang aku anggap sebagai aib bisa terselesaikan lebih mudah. Kami berjalan menuju unit kesehatan sekolah. Hikaru menyapa guru yang melewati lorong dengan ramah dan beberapa masih mengingat eksistensinya.

Petugas kesehatan bersedia mencari data di masa lampau. Kami bertiga duduk di sebuah sofa dan menunggu sejenak. Kulirik ponsel Hikaru yang menunjukkan foto-foto makanan. Aku heran kondisi perutnya yang siap menampung makanan apapun - bagai karet.

"Ini. Osari Hikaru, kelas 5-2. Punya penyakit bawaan, tetapi alasan pingsan saat darmawisata karena dehidrasi dan kekurangan nutrisi," ujar petugas kesehatan menyerahkan buku data yang sudah menguning lembarannya.

"Tuh, aku benar! Lalu, aku menggendongmu saat itu tidak murni karena mencuri camilanmu," tutur Hikaru berbisik kepadaku.

Alisku tertaut. "Eh? Bukan karena aku memaksa mengejarmu hingga dapat?"

Tatsuhiro mengusap dagu. "Kau tersandung di tengah hutan, tetapi tidak ada yang berani menggendongmu. Guru-guru tak ada di sana dan aku tiba dengan rombongan lain. Hanya Hikaru di sana. Benar?"

Hikaru mengacungkan jempol. "Jackpot! Jadi, mulai saat ini kau wajib bahagia. Menikmati makanan enak ini adalah salah satunya."

"Tidak. Aku tidak mau menggendut, tak sepertimu yang bisa makan sebanyak apapun."

Kami berada di sebuah area jajanan yang tidak jauh dari sekolah dasar. Hikaru mengarahkan corndog - dan kawan-kawan gorengan yang selalu kuhindari setengah mati. Namun, mereka selalu peduli kepadaku. Terlepas kondisi fisikku.

"Kalau karena kau takut akan masa lalu, jangan khawatir," ujar Tatsuhiro menambah saus mustard.

"Tapi ...."

"Aku jauh, jauh lebih kuat dari yang kaubayangkan!" Hikaru mengacak rambutku, lalu mengarahkan ponsel yang sudah mengaktifkan kamera depan. "Ayo! Satu, dua, tiga!"

"Hei! Tanganmu tidak terkena saus apapun di rambutku, 'kan!" tanyaku menatap jijik sembari mengusap rambut. "Ih, tapi ada yang lengket."

"Uwaaaa! [Name], gomennasai! Ada saus mayonnaise di sana!"

Aku mendengus kesal, tetapi tidak bisa mengejarnya karena corndog yang belum kuhabiskan sepenuhnya. Mereka pernah menjadi pecahan bagian masa laluku yang tidak menyenangkan. Saat ini, semua tak lagi sama. Semua kejadian akan kembali menuju masa permulaan. Dalam hidupku.

-Fin-

A/N:
Hai, pembaca terkasihku! Terima kasih karena masih meluangkan waktu demi membaca tulisanku. Hampir kiranya dua bulan tidak update untuk buku-buku lain, osananajimi juga teranggurkan selama setahun. Dengan peresmian bagian ini, MooNs osananajimi ver. dinyatakan kelar. Horeeee~

Khusus part ini aku lebih mengedepankan sisi self-love dan friendship, jadi bibit romance-nya agak minim. Semoga tetap suka, ya! ^^

Dan, aku mau survey, nih! Kalian ingin sub unit mana dulu yang akan menjadi bagian selanjutnya? Kitakore sudah pasti terakhir, ya ^^

Komen di kata "THRIVE" atau "KiLLER KiNG" ya! Cukup satu saja! Yang terbanyak akan menjadi sub part selanjutnya! Lalu, anggota yang terpilih dan dirilis duluan masih random, fufufu.

1. THRIVE

2. KiLLER KiNG

Terima kasih sudah memilih!

With love,

Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro