Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

𖥔 Absquatulate 𖥔

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
ᴛᴏ ʟᴇᴀᴠᴇ ᴡɪᴛʜᴏᴜᴛ ꜱᴀʏɪɴɢ ɢᴏᴏᴅʙʏᴇ
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

ᵀʷ // ˢᵖᵒⁱˡᵉʳ

Porco Galliard x Alberta Jaeger
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
□•□•□

█▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀█

A B S Q U A T U L A T E

█▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄█

□•□•□

"Lepaskan Eren!"

"Eren Jaeger adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan Eldia!"

"Kembalikan Eren kepada orang-orang!"

Hingar-bingar masyarakat penuhi seluruh gerbang gedung militer, sorakkan satu nama yang mereka anggap sebagai pahlawan Eldia─Eren Jaeger. Berhasil menyerang wilayah Liberio bersama pasukan pengintai, jadikan pemuda bersurai coklat itu mendapatkan atensi dari seluruh warga Pulau Paradis.

Namun tak hanya Eren, sang adik bahkan turut mendapatkan atensi yang tak diinginkan. Berbagai pertanyaan perihal si kakak, akan dilontarkan setiap Alberta berpapasan dengan warga di dalam dinding, sebabkan setitik rasa risih pada si gadis.

Bertemu saja sudah tidak pernah, apalagi mengetahui hal yang bersangkutan dengannya. Selama lima tahun terakhir, hubungannya dengan sang kakak merenggang. Tak ada lagi berbalas surat, keduanya sibuk dengan kehidupan masing-masing yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Alberta? Halo~? Kau baik-baik saja? Barang belanjaanmu sudah aku bungkusan."

Yang dipanggil seketika tertarik kembali ke dunia nyata. Netra sewarna zamrud menatap belanjaan yang telah ditata rapi dalam tas, lantas berpindah kepada sosok pria di depannya. Sesuai dugaan, tatapannya penuh akan kekhawatiran.

Mengeluarkan beberapa uang dari dalam dompet, Alberta mengangguk kecil sembari menyerahkan benda tersebut kepada penjaga toko langganannya, "Iya. Terima kasih, Paman," ujarnya, menerima belanjaan yang jika dilihat-lihat banyak juga jumlahnya. 

Kaki melangkah keluar dari gedung sederhana, menyusuri jalan dengan susah payah sebab pandangan terhalang. Dalam hati merutuki diri lantaran perkiraannya meleset dari sasaran. Jika tahu akan menjadi sebanyak ini, seharusnya ia menunggu Keith Shadis mendapatkan waktu luangnya. 

BRUGH!

"Aduh!"

Daksa si gadis seketika menyentuh tanah, begitu pula dengan barang bawaannya yang sudah jatuh tak karuan. Ia meringis kesakitan, lantas membuka kedua mata; mencari tahu siapa manusia kurang ajar yang berani menabraknya. Netra sewarna zamrudnya meneliti setiap sudut figur di depannya, tanpa sengaja melebar tatkala sadar siapa orang di depannya.

"Hei! Kalau jalan lihat-li─"

"JAW TITAN!"

Sosok yang ditunjuk menegang seketika, kemudian menutup mulut gadis berusia delapan belas tahun di depannya dengan segera. Diseretnya tubuh yang lebih kecil darinya itu ke tempat yang sepi, total abai dengan pemberontakan yang diberikan oleh si gadis. Bagaimana bisa ada orang awam yang mengetahui tentang identitasnya?!

Netra kini mengobservasi sekitar, memastikan tidak adanya eksistensi insan tak dikenal. Helaan napas dikeluarkan begitu yakin bahwa hanya ada dirinya dan sosok si hawa di tempat sekarang. Bekapan lantas dilepaskan, sosok yang masih dilanda panik itu bertanya, "Katakan, bagaimana kau bisa tahu?!" tanyanya tanpa basa-basi.

Alberta hanya menatapnya datar, sebelum akhirnya menatap kembali ke belanjaannya yang berserakan di tengah jalan. "Bereskan."

"Jawab pertanyaanku." Sosok yang tak dikenalnya menolak secara tidak langsung. Ia tak punya waktu hanya untuk membereskan belanjaan milik gadis di depannya.

"Bereskan."

"Jawab."

Aliran listrik imajiner dari tatapan keduanya beradu. Baik Alberta, maupun sosok tersebut tak mau mengalah. Keduanya masih bersikukuh untuk menyuruh satu sama lain melakukan perintahnya.

"Bereskan!"

"Jawab!"

Kalimat kedua insan tersebut naik satu nada. Aliran listrik imajiner semakin beradu kuat, kali ini disertai perempatan yang terbentuk di dahi keduanya.

Alberta berpikir sejenak. Jika terus seperti ini, belanjaan yang dibelinya akan menjadi sia-sia. Maka ia, lantas berucap, "Kalau kau tidak membereskan belanjaanku, aku akan melaporkanmu ke pihak militer. Begini-begini, aku punya koneksi dengan mereka, lho~" Kalimat diakhiri dengan nada yang membuat figur di depannya semakin terlihat marah, kendati sebenarnya Alberta memberikan sejumput kebohongan kecil pada kalimatnya.

Decakan tercipta, menarik atensi dari Alberta. Yang menciptakan suara hanya bisa mengusak rambutnya kasar, lantas berjalan menjauh menuju barang yang disebut-disebut tergeletak guna merapikannya.

Si gadis mengamati sosok tersebut sembari merasa tak percaya dalam diam.

Serius? Semudah itu?

"Sudah kubereskan semua. Sekarang jawab pertanyaanku tadi."

"Bawakan sekalian, dong. Badanku sakit karena jatuh tadi."

"AKU BUKAN PEMBANTUMU!"

· ─────── ·♪· ─────── ·

Prolog menyentuh akhir.

Tinta pun siap menulis takdir.

· ─────── ·♪· ─────── ·

"Pada akhirnya kau tetap membawakan belanjaanku, huh?" Alberta membuka suara setelah beberapa saat membiarkan keheningan menyelimuti. Ia membelakangi tempat di mana sosok lawan bicaranya duduk, sedang tangan sibuk mengurus pupuk.

Pemuda yang ditanya mendengus, menatap cakrawala dari sela pohon rimbun. "Aku tahu kalau kau akan melapor jika aku tidak membantumu," jawabnya, kembali diakhiri dengan dengusan yang kian terdengar kesal. Sejujurnya, ia bisa aja berubah menjadi titan dan langsung membunuh gadis di depannya. Namun entah mengapa, diri tak bisa melakukannya saat itu juga. Rencananya akan berubah hancur berantakan mungkin menjadi alasannya.

Si gadis dibuat terkekeh sebab pernyataan sang lawan bicara. Membiarkan keheningan kembali sejenak, lantas Alberta berucap, "Aku tahu karena tak sengaja mendengar ciri-cirimu ketika menguping pasukan pengintai yang sedang menyusun rencana untuk menyerang Liberio." Atensi pemuda itu seketika tertarik, beralih memperhatikan Alberta yang tengah sibuk sendiri. "Aku tak menyangka akan bertemu denganmu seperti ini, lho. Galliard-san. Ah, aku boleh memanggilmu begitu, bukan?"

"Terserah saja." Yang ditanya langsung lontarkan jawaban. Netra sewarna topaz itu lagi-lagi mengobservasi sekitar, memperhatikan sekumpulan bunga matahari di sekitarnya. "Kau tinggal di sekitar sini?" tanya Porco kemudian. Entah apa alasan yang mendorongnya untuk bertanya seperti barusan.

Alberta mengangguk, mengeluarkan dengungan senandung. "Iya. Walaupun kau tak bisa melihat tempatnya, aku tinggal di sekitar sini," jawabnya. Kepala ditolehkan ke tempat di mana si adam berada. "Galliard-san sendiri?"

Kedua alis Porco bertaut tak suka. Dengan kasarnya menjawab, "Kenapa aku harus memberitahu soal itu kepada musuhku sendiri?"

Angin berhembus seiring keheningan menyelimuti. Netra sewarna zamrud menatap lurus ke arah si pemuda, sedang yang ditatap alihkan pandangannya. 

Benar, mereka berdua bukanlah kawan; maupun rekan kendati sebangsa. Mereka memiliki nenek moyang yang sama, serta kesalahan yang dipikul bersama pula. Lantas, mengapa saling memerangi satu sama lain padahal mereka adalah sama?

Porco Galliard tak pernah tahu akan jawabannya.

Begitu pula dengan Alberta Jaeger.

"Benar juga, maaf karena sudah lancang." Si gadis berucap, lantas kembali mengurus kebun bunga mataharinya. Meninggalkan si pemuda dengan perasaan bersalahnya.

Porco tak tahu apa yang salah dengannya. Mengapa ia tiba-tiba merasa bersalah pada adik dari orang yang telah menyebabkan kekacauan di kampung halamannya? Mengetahui bahwasanya Alberta tidaklah bersalah mungkin alasannya.

· ─────── ·♪· ─────── ·

"Hei, bisakah kamu pergi ke sini lagi besok?"

"Asal kau tidak memberitahu siapa-siapa."

· ─────── ·♪· ─────── ·

Anila berhembus terbangkan dedaunan, pun surai sewarna pohon milik Alberta yang tengah berjalan sendirian. Gumaman nada diciptakan, yang kini menjadi teman di tengah damainya keheningan.

Sudah beberapa hari semenjak pertemuannya dengan pemilik Jaw Titan terjadi, semenjak itu pula hubungan keduanya menjadi lebih dekat kendati jarang berjumpa. Alberta tetap menjaga janjinya untuk tidak memberitahu siapa-siapa, begitu pun dengan Porco yang tetap mengunjungi si gadis meski hanya sementara saja.

Hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu─atau begitulah yang dikatakan oleh sang adam pada pertemuan sebelumnya, ditambah kecilnya kemungkinan mereka berdua akan bertemu lagi, jadikan munculnya niat memberikan sesuatu pada diri Alberta. Yah, hitung-hitung sebagai rasa terima kasih karena telah menemaninya selama beberapa hari ini. Kesepian yang biasa dirasakannya seolah diusir oleh kehadiran Porco yang tiba-tiba.

Netra sewarna zamrud menatap kantong di tangannya dengan senyum terkembang. Si pemuda pernah mengatakan, bahwa ia bisa dibilang jarang melihat bunga di sekitarnya, membuatnya sedikit terbuai tatkala pertama kali melihat keindahan bunga matahari yang ditanam oleh si hawa. Maka dari itu pula, Alberta memutuskan untuk memberikan sekantong biji bunga matahari pada si pemuda Galliard, dengan harapan, ia dan teman-temannya dapat melihat keindahan bunga matahari di sana.

Hehe, aku sudah tidak sabar.

.

Pusing dirasa sebab menerima hantaman keras, sedang pandangan kabur akibat darah dari luka yang menganga. Pendengarannya berdengung, karena kebisingan di sekitarnya. Di tengah itu semua, sekelebat memori melintasi angannya.

"Reiner ..., maaf. Seharusnya kau tidak dipilih untuk menjadi prajurit. "

"Aku ... ingin melindungi adikku ...."

Tanpa sadar, air mata menetes dari kedua netra sewarna topaz miliknya. Seiring dengan teriakan Zeke yang membahana, Porco Galliard sudah membulatkan tekadnya.

.

"Ugh, apa gempa bumi baru saja terjadi?" Alberta berucap sembari mengobservasi sekitar. Entah mengapa, ia merasakan getaran dari tanah seharian ini, begitu pula dengan suara keras yang berasal dari dalam dinding. Ingin rasanya ia melihat apa yang sebenarnya terjadi, namun apa daya karena Keith melarangnya untuk memasuki dinding hari ini.

Menghela napas, netra sehijau zamrud itu kembali mengobservasi sekitar. Masih belum ada tanda-tanda kehadiran insan yang ditunggunya. Menenggelamkan wajahnya di kedua lututnya, Alberta bergumam, "Cepat kemari."

.

"PORCOOO!!!"

Teriakan rekan yang memanggil namanya ia abaikan, dengan mantap berjalan menjauh dari tubuh titan-nya yang sudah mengalami kerusakan parah. Kedua mata dibuka sedikit lebih lebar, melihat wujud titan lain yang berlari ke arahnya cepat-cepat.

Inilah akhirnya.

"Dengan begini sudah jelas, bukan? Kalau sampai akhir, tetap akulah yang terbaik." Aku berkata seperti itu, padahal aku telah mengingkari janji yang kubuat dengan dirinya. Maafkan aku, Alberta.

.

"Huh?"

Daksa Alberta tersentak kala merasakan pipinya basah, lantas dengan segera menghapusnya. Kebingungan seketika menguasai dirinya.

Mengapa ia menangis?

Mengapa matanya terasa panas?

Mengapa ... ia merasa sedih?

Kendati banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, tak ada satupun pertanyaan yang dapat terjawab. Perasaannya bercampur antara marah, sedih, dan kecewa seiring menderasnya air mata. Ini aneh, sungguh aneh. Alberta tak pernah merasa seperti ini sebelumnya; ini adalah yang pertama kali bagi dirinya. Bahkan saat mengetahui kematian Sasha, bahkan saat mengetahui kematian teman-temannya, bahkan saat mengetahui kematian kedua orang tuanya.

"Maafkan aku, Alberta."

"Hah? Galliard-san?"

· ─────── ·♪· ─────── ·

"Alberta! Apa yang sedang kau lakukan?! Cepat lari dari sini sekarang!"

"Kenapa? Aku hanya menunggunya datang."

· ─────── ·♪· ─────── ·

-fin-

©Shikyr, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro