Warung Mi Ayam Bu Soerti
“Ibu, kapan Ibu akan membelikan Anjani sepatu baru?” rengek seorang anak perempuan pada ibunya. “Sepatu Anjani sudah jebol, nih…”
Ibu tersenyum, mengelus pucuk kepala anak itu. “Nanti, ketika Ibu sudah punya uang, Ibu akan belikan itu buat kamu, Nduk*.”
(*Nduk: panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa)
Sekali lagi, Anjani mendengar untaian kata yang sama seperti jawaban yang sudah-sudah.
Anjani sudah tidak percaya lagi omong kosong itu.
Namun ia tidak bisa dan tidak boleh mengatakan apapun selain, “Nggih**, Bu.”
(**Nggih: "iya" dalam bahasa Jawa Krama)
[][][]
Tidak seperti hari Minggu lainnya, hari ini Warung Mi Ayam Bu Soerti tutup. Dan masih tidak seperti hari Minggu lainnya, Anjani mendapati ibunya tengah merapikan diri di depan cermin.
Karena pintunya tak terkunci, anak itu pelan-pelan berjalan masuk ke kamar ibunya. Bu Soerti sendiri kelihatannya juga sudah menyadari keberadaan anaknya dari pantulan cermin. Kelihatannya ia tidak keberatan
“Ibu mau kemana?” tanya Anjani, menatap pantulan wajah ibunya. “Apa hari ini hari pengambilan rapor?”
“Ibu mau ke rumah saudara, Nduk,” jawab Bu Soerti. Tangannya masih sibuk membenarkan letak jilbab hijau lumut di kepala. “Rumahnya rada jauh.”
Kedua alis Anjani menaut. “Siapa? Saudara kita ada banyak, Bu.”
“Pokoknya ada.”
Nada jengkel bu Soerti membuat Anjani bungkam, enggan bertanya lebih banyak lagi. Anjani berasumsi tujuan Bu Soerti adalah salah satu hal yang tidak boleh ia ketahui, meski Anjani merasa tidak ada gunanya merahasiakan nama saudara yang ingin dikunjungi.
Setelah keheningan melanda selama beberapa detik, barulah Bu Soerti membuka suara lagi, “Ibu bakal pulang rada sore.” Wanita itu menoleh ke arah anak semata wayangnya. “Kamu dititipkan ke tetangga kita, Bu Maya, ya, Nduk.”
Anjani hanya mengangguk. Karena ia tahu protesnya bernilai nol.
Baru saja Bu Soerti akan tersenyum ketika sepasang matanya melihat apa yang dipegang Anjani. Matanya melotot. Raut wajahnya yang ramah berubah drastis menjadi raut wajah geram. Hampir saja Anjani berpikir wanita di depannya itu Mak Lampir.
“Anjani! Ibu kan sudah bilang, kamu tidak boleh menggambar! Kamu itu ..." dan rangakaian ceramah yang tidak ingin Anjani dengar mengalir tanpa henti.
Tidak seperti hari Minggu lainnya, hari ini sarapan Anjani adalah amarah ibunya.
Anjani menyantap sarapannya tanpa ekspresi. Mulut terbungkam. Kepala menunduk. Sementara batin anak itu merutuki dirinya sendiri yang nekat masuk ke kamar Ibu sambil membawa kertas sketsa. Dia tidak bisa dan tidak boleh mengatakan apapun selain, “Nggih, Bu.”
[][][]
Bu Soerti sudah pergi sejak kurang lebih 1 jam yang lalu. Di rumah Bu Maya, Anjani asyik mewarnai gambarnya menggunakan crayon milik anak Bu Maya yang sedang berkemah. Diam-diam Bu Maya menonton jari jemari mungil Anjani yang menari di atas kertas. Goresan-goresan warna itu menyempurnakan gambar Anjani.
Sering kali Bu Maya merasa iba pada bocah itu. Anjani punya bakat dan keinginan, tapi tak punya fasilitas dan dukungan--kecuali dari beberapa orang seperti Bu Maya.
Bu Maya tak berkata sepatah katapun, sampai setangkai ide brilian hinggap di otak. “Anjani Sayang."
"Bagaimana kalau gambarmu dikirim di Koran Lokal? Mau, tidak?” tawar wanita itu lemah lembut, “Siapa tahu dimuat dan dapat uang.”
Batang crayon biru lepas dari genggaman. Anjani menoleh dengan tatapan nyaris tak percaya. Tak lama kemudian, senyum kecut terlukis di wajahnya. Baru saja ia akan senang ketika ia teringat sesuatu yang miris. "Sebenarnya Anjani mau, tapi Ibu bakal marah kalau tahu.”
“Tenang saja. Tante tidak akan bilang-bilang pada ibumu,” sambil berkata enteng, Bu Maya berdiri. Anjani tidak menemukan sedikitpun keraguan atau candaan di mata tetangganya. “Ayo siap-siap. Kita ke kantor redaksi Koran Lokal sekarang.”
Sekali lagi, mata Anjani melebar tidak percaya. Ini bukan mimpi, kan?
[][][]
Setengah jam setelah meninggalkan rumah Bu Maya, Bu Soerti tiba di tujuan, sebuah rumah di kaki Gunung Berkah. Sekilas rumah itu tampak sederhana dan biasa. Namun entah apa yang membuat bulu kuduk wanita itu berdiri ketika si tuan rumah mempersilakan untuk melangkah masuk, lebih tepatnya, ketika aura mistis menyapa. Wanita itu menggigit bibir bawahnya.
Ini demi Anjani, tekadnya dalam hati, menguatkan diri. Ini demi aku dan Anjani.
“Saya tidak suka basa-basi,” ujar Mbah Bejo—si tuan rumah—blak-blakan sambil menngusap janggut putih lebatnya. Suaranya jauh lebih medhok daripada yang Bu Soerti sangka. Kakek berbalut baju hitam-hitam itu duduk menyilang di atas tikar, menatap datar Bu Soerti yang masih berdiri. “Ibu ini ingin apa?”
Setengah takut setengah pasrah, Bu Soerti mendudukkan dirinya di depan Mbah Bejo. Mereka berdua dipisahkan oleh segelas air, beberapa bunga mawar dan putih, serta anglo yang berisi arang. “Saya punya warung mi ayam sejak lama, tapi semakin ke sini warung saya semakin sepi,” Bu Soerti memulai dengan nada memelas. Diam-diam ia berusaha tidak terlihat gugup atau gagap. Sorot mata penjual mi ayam itu tertuju pada Mbah Bejo. Keputusasaan tersirat dalam pandangannya. “Saya tahu Bapak ini sakti.
"Tolong buat warung saya laris.”
Mbah Bejo tersenyum lebar, memamerkan salah satu gigi emas kebanggaan. Bu Soerti tahu maksudnya.
[][][]
Beberapa hari kemudian, semua hal berjalan lancar seperti biasa. Anjani bersekolah, Bu Soerti membuka warung, Bu Soerti tidak tahu rahasia Anjani, begitu juga sebaliknya.
Ketika matahari berada tepat di atas kepala, Anjani berjalan pulang ke rumah. Telinganya menangkap suara ramai yang samar-samar, sepintas Anjani mengira ada acara pernikahan tetangga, tapi setelah didengar lagi, sumber suara itu adalah warung ibunya.
Meski masih kelas 2 SD, Anjani tahu, mushatil pernikahan meriah diselenggarakan di sebuah warung sederhana.
Lantas, apa?
Anak itu mempercepat langkah kaki-kakinya ke rumah.
Mulut Anjani menganga lebar saat melihat lautan manusia berkumpul di Warung Mi Ayam Bu Soerti. Mereka mengobrol dan menyantap mie ayam dengan santai. Anjani tak tahu seharusnya ia heran atau bergembira. Perasaannya tercampur aduk seperti adonan mi.
Biasanya tidak seramai ini, batin Anjani heran. Tubuh kurus keringnya masih membatu di depan warung. Tumben.
Sambil sesekali berbisik “permisi”, kaki-kaki Anjani berjalan cepat kebalik gerobak biru. Seperti yang Anjani duga, ia menemukan Ibu sibuk melayani pelanggan yang tak ada habis-habisnya. Anak itu menunggu kesempatan untuk bertanya pada bu Soerti dalam diam.
Seolah mengetahui isi pikiran anaknya, Bu Soerti mengelus rambut Anjani dan berucap, “Alhamdullilah. Warung kita laris manis, Nduk. Besok, kita beli sepatu untukmu, ya.”
Akhirnya Anjani tidak mendengar untaian kata yang sama seperti jawaban yang sudah-sudah.
"Bu, mi ayam satu pakai ceker."
Sayang sekali, sebuah suara berat memecah suasana indah ibu-anak itu hingga berkeping-keping.
Buru-buru Bu Soerti mengisyaratkan anaknya itu ke rumah belakang warung. Penjual mi ayam itu menaruh atensi pada sumber suara. "Oh ya. Minumnya--" Napas Bu Soerti tercekat saat menemukan siapa pelanggan berikutnya.
Dia seorang pria tinggi nan kekar yang tampak menyeramkan. Bertato di leher pula. Entah mata Bu Soerti sudah rabun atau apa, pandangannya menangkap bekas luka lebar di wajah. Preman adalah kata pertama yang terpikirkan oleh Bu Soerti.
"Es teh." Suara orang itu membuyarkan lamunan Bu Soerti. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, ia langsung pergi, duduk di bangku kosong.
Medeni*, pikir si penjual mi ayam.
[*Medeni: menakutkan dalam bahasa Jawa]
[][][]
Butuh 10 menit lebih untuk sekadar menunggu pesanan. Selama itu, Eka—pelanggan yang dicap preman oleh Bu Soerti—hanya membisu, kaki kanannya terus diangkat dan menapak lantai dengan cepat. Entah apa yang dipikirkan pria itu. Ketika pesanan sudah datang pun, Eka makan dalam diam.
Satu senyum puas terulas kala satu suapan masuk ke dalam mulut. Enak, pikirnya, Murah, lagi. Tidak salah aku makan di sini.
"Ah iya," gumam Eka, "Aku lupa berdoa."
Ia meletakkan sumpitnya kembali, lalu mulai berdoa dengan khusyuk. Dalam diam, lagi. Setelah itu ia melanjutkan makan siangnya.
Mata Eka terbelalak kala satu suapan masuk ke dalam mulut. Reflek ia menutup mulut dengan tangan kiri.
Kenapa rasanya beda? batin pria itu cepat. Keterkejutan dan keheranan dicampur aduk jadi satu dalam otak. Sekarang rasanya—
—BUSUK!
Meski begitu, ia tetap memaksakan diri untuk menelannya. Mana mungkin Eka akan muntah di meja. Coba saja kalau ada tisu di meja ini.
Eka melihat ke sekeliling, mengamati eskpresi tiap-tiap orang. Semuanya tampak menikmati sambil berbincang-bincang. Dosis heran Eka bertambah satu sendok nasi. Masa mereka tidak sadar?
Seketika perut Eka serasa bak pakaian basah yang diperas kuat-kuat. Seolah lambungnya menolak mentah-mentah gumpalan mi yang barusan dimakannya. Seolah makanan itu ingin keluar dan bebas.
Cepat-cepat Eka beranjak dari duduk. Kepalanya celingak-celinguk mencari tanda toilet. Yang ia temukan hanya tempik kuning pucat polos. Bu Soerti sendiri sedang mengantarkan makanan. Perhatian Eka tertuju pada Anjani yang berada di balik gerobak. Ia sedang mengerjakan tugas, seperti biasa.
"Dik," panggil Eka, "Toiletnya di mana, ya?"
Anjani mendongak. Kemudian ia menunjuk pintu yang terbuka lebar di dekatnya. "Di dalam sana, jalan sedikit, kamar mandinya ada di sisi kanan."
"Thanks," setelah berkata begitu, Eka buru-buru berjalan cepat mengikuti instruksi anak itu.
Anjani mengerutkan kening. Baru pertama kali telinganya menangkap kosakata itu. Apa yang barusan orang itu ucap? "Tengs? Tank? Alat tempur mainan?" Ah, seharusnya ia bertanya tadi. Paling tidak ia masih bisa bertanya ketika orang asing itu kembali.
Sementara itu, setelah beberapa hal yang tak perlu disebutkan, Eka keluar dari kamar mandi dengan perasaan lega. Paling tidak mulesnya berkurang.
Ketika melewati dapur, mata Eka menangkap sesuatu yang tak asing. Sebuah kertas dalam pigura. Kertas putih itu bertuliskan aksara Jawa. Eka tahu arti susunan huruf-huruf kuno itu.
Kertas itu bukan kertas biasa. Itu jimat. Dan Eka tahu persis siapa yang menulisnya.
Pantas saja!
Ia mempercepat jalannya. Semakin lama, semakin tidak ingin ia berada di tempat ini. Ketika Eka keluar dari lorong, ia menemukan Anjani menatapnya dengan senyuman lebar. "Om, tengs itu apa?" tanyanya polos.
Om? batin Eka sembari tersenyum kecut. Diam-diam kata itu menggores hatinya. Aku masih 20.
"Thanks. T-h-a-n-k-s. Itu artinya makasih, dalam bahasa Inggris," jawab pria itu. Sebisa mungkin bersabar, terutama karena yang dihadapinya bukan preman seperti biasa, tapi seorang anak kecil.
Anjani menyimak baik-baik. Tangannya dengan cepat mencatat. Alhasil tulisannya tak karuan. Setidaknya masih terbaca. "Tengs, Om!"
"O ... ke."
[][][]
Setelah membayar pesanannya, Eka cepat-cepat pergi dari warung itu tanpa rasa puas. Ia merogoh ponsel usang dari kantong. Dengan setengah hati pria itu menelepon nomor yang selalu ia tolak panggilannya.
Tak lama, yang ditelepon menjawab. "Ada apa, Le? Tumben telepon duluan," Suaranya agak serak, seperti orang berumur. "Sudah menyerah?"
"Sampai kapan Bapak mau menyesatkan orang?" sebisa mungkin Eka menahan amarh ketika bertanya.
"Lho? Bapak itu cuma bantu mereka. Mereka yang butuh seorang Mbah Bejo yang sakti. Toh bisnis ini untung," balas orang di seberang tanpa bersalah.
"Iya, membantu," Eka mengucapkan tiap-tiap kata dengan penuh penekanan. "Membantu orang masuk neraka."
"EKALAYA!"
Dan itu akhir pembicaraan mereka hari ini, sama saja seperti yang sudah-sudah.
[][][]
Bu Soerti menepati janjinya. Pada hari Minggu, wanita itu mengajak Anjani ke toko-toko sepatu di Jalan Mataram menaiki motor butut. Setelah tanya-tanya dan coba-coba, Bu Soerti membeli sepatu kets hitam yang nyaman untuk Anjani. Beruntung harga sepatu itu pas di kantong. Penantian anak itu sejak lama kini terbayarkan. Senyum tak kunjung lepas dari wajah Anjani sepanjang jalan pulang. Setidaknya sampai Bu Soerti membuka mulut.
“Nduk, Ibu kan sudah menepati janji Ibu,” Bu Soerti berkata begitu tanpa melepas pandangan dari jalanan di depan, “Sekarang, tolong kamu janji pada Ibu.”
Anjani bungkam. Daripada bertanya, ia lebih ingin menunggu ibunya melanjutkan. Sebab sepucuk firasat buruk hinggap di hati anak itu.
“Jangan jadi pelukis, seniman, atau apalah itu.”
Dalam mimpi sekalipun, Anjani tidak pernah mengira ibunya akan setega itu. Anak itu menelan air ludahnya. Ia menunduk, menahan bendungan air mata. “Ke-kenapa...?” tanya Anjani terbata-bata.
Bu Soerti menghela napas ketika melihat reaksi Anjani dari kaca spion. “Ibu tidak mau kamu berakhir seperti ayahmu. Ibu cuma mau yang terbaik buat kamu, Nduk."
Apa salah Ayah?
Apanya yang "terbaik"?
Bagi Anjani, alasan itu tak masuk akal. Bagi Anjani, ini tidak adil, cita-cita yang ia bangun sejak lama kini harus runtuh. Namun ia tidak bisa dan tidak boleh mengatakan apapun kecuali, “Nggih, Bu.”
[][][]
Laris manisnya Warung Mi Ayam Bu Soerti tak berlangsung lama. Gosip-gosip buruk tentang warung itu menyebar luas dari mulut ke mulut.
Ada yang bilang, rasa mi ayam di sana menjadi busuk setelah membaca doa. Ada yang bilang, banyak wewe gombel di dapur. Ada yang bilang, cara memasak mie di sana jauh dari kata higeinis.
Gosip-gosip itu adalah penyebab ditutupnya Warung Mie Ayam Bu Soerti untuk selama-lamanya. Sekarang makanan sehari-hari Anjani bukan mi ayam, melainkan bisikan-bisikan orang tentangnya, ralat, warung Bu Soerti.
Bu Soerti pikir ia tidak punya jalan lain kecuali menjual warungnya yang bangkrut pada Pak Jaka, seorang pemain properti tanah. Setelah perundingan selama 47 menit, kesepakatan mereka mencapai kata deal. Bu Soerti mendapat uang yang amat banyak baginya. Diam-diam, wanita itu berpikir, apa uang sebanyak ini cukup untuk menghidupi dirinya dan Anjani?
Ketika mobil hitam milik Pak Jaka menjauh dari rumah, barulah Anjani bertanya pada Bu Soerti, “Setelah ini, kita bagaimana, Bu?”
Pertanyaan itu amat sederhana, tapi Bu Soerti tak tahu harus menjawab apa.
[][][]
Seperti pagi di hari-hari yang lain, Pak Jaka menyirami otak dengan berita-berita yang tertulis di Koran Lokal. Berhubung ini hari Minggu, pria itu iseng-iseng membuka Pojok Anak.
Di hari-hari lain, ia hanya melihat-lihat dengan ekspresi datar. Namun kali ini, lengkungan indah merekah di bibirnya. Alasan di balik senyum itu adalah lukisan anak yang membuatnya bernostalgia. Dengan raut wajah gembira, anak-anak menyantap mi ayam bersama-sama dalam lukisan karya Nina Anjani.
[][tamat][]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro