Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 187 [Setengah Jalan Menuju Epilogue]

Vote ditutup dengan hasil 11:6 atau 12:6 tadi, ya😂😂 pokoknya segitulah.

    Changkyun meninggalkan perpustakaan, bersiap untuk segera meninggalkan istana. Namun saat itu Namgil tiba-tiba muncul dari arah samping dan mengikuti putra bungsunya dengan Byeolungeom yang telah berpindah ke tangannya.

    Semua kepala tertunduk ketika berpapasan dengan keduanya, dan setelah berjalan cukup jauh Changkyun baru menyadari keberadaan seseorang yang berjalan di belakangnya. Changkyun menghentikan langkahnya dan segera berbalik. Namun saat itu Namgil melempar Byeolungeom di tangannya ke arah Changkyun yang dengan sigap menangkapnya menggunakan tangan kanan.

    Changkyun memperhatikan pedang di tangannya ketika sang ayah berjalan mendekatinya. Changkyun tahu bahwa itu adalah Byeolungeom, pedang yang selalu ia inginkan saat kecil. Namun mengingat bahwa dia seorang Pangeran, Changkyun tidak lagi berharap bisa memiliki pedang itu.

    Ketika Namgil telah berdiri di hadapannya, Changkyun mengulurkan Byeolungeom di tangannya kepada sang ayah.

    "Ambil saja untukmu," ucap Namgil, tetap menyimpan kedua tangannya di balik punggung.

    "Aku tidak bisa menjadi Ungeom."

    "Tapi bukan berarti kau tidak bisa memiliki pedang itu."

    Changkyun tak merespon.

    Namgil kembali berucap, "aku sudah lelah membawa pedang itu. Ambil saja untukmu, itu lebih cocok denganmu."

    Changkyun kembali menjatuhkan pandangannya pada Byeolungeom di tangannya. Terdapat keraguan yang besar dalam sorot mata pemuda itu, hingga perhatiannya yang kemudian teralihkan oleh pergerakan kecil sang ayah.

    Namgil mengambil pedang di tangan kiri Changkyun. Sang ayah sudah memutuskan pada siapa Byeolungeom itu diwariskan, dan dia memilih putra bungsunya untuk menjadi orang selanjutnya yang memiliki Byeolungeom.

    Namgil kemudian berucap, "perlakukan pedangmu dengan baik, dengan begitu dia juga akan memperlakukanmu dengan baik."

    "Jangan kau kira bahwa pedangmu tidak mengetahui isi hati tuannya?"

    Senyum Namgil melebar, tak menyangka jika si bungsu mengingat apa yang dulu pernah ia ucapkan. "Kau mengingatnya dengan sangat baik. Sekarang pergilah, lakukan tugasmu dengan baik dan kembali pada ayah."

    Saat itu garis senyum tercipta di wajah Changkyun. Seulas senyum tipis yang cukup untuk mewakilkan kebahagiaan yang berhasil didapatkan oleh pemuda itu setelah melalui masa sulit yang membuatnya bertanya-tanya, orang seperti apakah dirinya yang sesungguhnya.

    Sebuah tundukan singkat lantas menjadi perpisahan bagi keduanya. Changkyun segera pergi ke tempat Hoseok. Dan hari itu keduanya meninggalkan istana untuk mengawal para pengkhianat yang akan dikirim ke pengasingan.

    Menaiki kuda masing-masing, kedua pemuda itu berdampingan di barisan paling belakang. Mengikuti para pengkhianat yang berjalan kaki bersama beberapa prajurit.

    Dalam ketenangan menjelang sore hari, Hoseok mengarahkan pandangannya pada Changkyun. Keduanya belum terlalu dekat, namun tidak terlalu canggung untuk berbicara satu sama lain.

    Hoseok kemudian menegur, "Pangeran sudah bertemu dengan Baginda Raja?"

    Changkyun sekilas memandang dan kemudian memberikan jawaban. "Dia menanyakan Hyeongnim. Setelah ini, sebaiknya Hyeongnim menemui Baginda Raja."

    Hoseok tak menyahut dan kembali memandang jalanan di depannya. Sedangkan Changkyun yang masih menunggu jawaban lantas sekilas memandang dan bersikap acuh ketika tak melihat tanda-tanda bahwa Hoseok akan menyambung pembicaraan.

    Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, para rombongan menyusuri jalan di tengah hutan. Semua masih sangat tenang, bahkan ketika Changkyun turun dari kudanya dan menghentikan langkah semua orang.

    "Berhenti di sini!"

    Semua orang serempak berbalik. Hoseok turun dari kudanya dan menghampiri Changkyun. "Ada apa?"

    "Sudah saatnya menyelesaikan tugas."

    Dahi Hoseok mengernyit, menyadari bahwa tempat yang mereka tuju masih jauh. Namun saat itu Changkyun memandang pada prajurit dan memberikan perintah yang cukup mengejutkan bagi Hoseok.

    "Bunuh, para pengkhianat?"

    Semua orang kecuali para prajurit yang sudah mengetahui rencana Changkyun sejak awal tampak terkejut. Dan sebelum ada yang bersuara, pada prajurit itu segera membunuh para pengkhianat tanpa menyisakan satupun.

    Hoseok memberikan tatapan menuntutnya pada Changkyun. "Apa yang kau lakukan?"

    Changkyun mempertemukan pandangan keduanya dan menjawab dengan tenang, "tugas kita sudah selesai."

    "Kau bertindak terlalu jauh, Pangeran. Ini tidak sesuai dengan perintah Baginda Raja."

    "Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Baginda Raja terlalu baik hati untuk memimpin Joseon, untuk itulah aku ada di sini sebagai kaki tangannya ... aku pikir Baginda Raja tidak perlu mengetahui hal ini. Sampai jumpa di istana, Hyeongnim."

    Changkyun kembali menaiki kudanya dan lantas meninggalkan tempat itu. Sedangkan Hoseok masih belum bisa menerima dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Changkyun.

    Setelah sosok Changkyun tak lagi terlihat, Hoseok menjatuhkan pandangannya pada para prajurit yang baru saja membantai para pengkhianat itu.

    Hoseok kemudian berucap, "berikan pemakaman yang layak pada mereka."

    Para prajurit itu patuh dan Hoseok pun meninggalkan tempat itu.

    Tiga bulan kemudian.

    Tiga purnama berlalu, malam itu kembali menjadi malam yang panjang bagi si Penasehat kerajaan. Kim Hwaseung, pemuda itu kini telah menjabat sebagai Penasehat pribadi Taehyung. Seperti malam-malam yang telah berlalu, pemuda itu terbaring di tempat tidur. Melipat kedua tangannya di bawah kepala dengan pandangan menatap langit-langit.

    "Dalam waktu satu minggu kau akan benar-benar menjadi orang gila," ucapan yang terdengar seperti sebuah cibiran itu datang dari Namgil yang duduk bersila di ujung ruangan.

    Sang Panglima perang tampaknya sudah cukup bosan melihat tingkah putra bungsunya yang menjadi seperti itu karena masalah percintaan. Meski istana sudah kembali tenang, sampai saat ini Hwaseung belum berani menemui Hwajung. Terlebih setelah mendengar rumor bahwa gadis itu akan segera menikah, beginilah nasib kakak dari sang Rubah saat ini.

    Merasa tak dipedulikan, Namgil meraih buku di atas lemari kecil tepat di sampingnya lalu melemparkannya ke arah Hwaseung.

    "Akh!" Hwaseung memekik tertahan. Memiringkan tubuhnya sembari memegangi keningnya yang baru saja terkena lemparan buku dari sang ayah.

    Hwaseung berbalik, memandang tak terima. "Apa yang Abeoji lakukan?"

    Dengan santainya Namgil menjawab, "memikirkan wanita cantik yang kutemui tadi siang."

    Hwaseung menatap kesal, tangan kiri pemuda itu meraih buku yang tergeletak di lantai dan langsung melemparkannya pada Namgil. Tak semudah itu mengenai si mantan Ungeom. Dengan mudahnya Namgil menepis buku tersebut yang kemudian terlempar ke arah pintu, namun bersamaan dengan itu pintu terbuka dari luar. Membuat kedua penghuni kamar tertegun ketika buku tersebut mengenai wajah Taehyung yang juga menghentikan pergerakannya.

    Hwaseung buru-buru bangkit dan menghampiri Taehyung. "Yang Mulia, Yang Mulia baik-baik saja?"

    "Apa yang sedang terjadi?" suara lembut Taehyung terdengar.

    "Tidak ada apa-apa."

    Taehyung kemudian melangkahkan kakinya masuk dan berjalan mendekati Namgil di saat Hwaseung mengambil buku yang sempat mengenai Taehyung lalu menutup pintu.

    Taehyung kemudian duduk di dekat Namgil. Membuat tatapan sinis pria itu tak lepas dari sosoknya. Hwaseung kemudian bergabung dengan keduanya.

    "Untuk apa Yang Mulia datang kemari?"

    Hwaseung segera memukul lutut Namgil menggunakan buku di tangannya. Memang Namgil memanggil Taehyung dengan sebutan yang benar, namun cara pengucapan yang tidak tahu diri itu sama sekali tak menunjukkan bahwa dia tengah berbicara dengan Kaisar Joseon.

    Taehyung kemudian menjawab, "hanya ingin berkunjung. Apakah kedatanganku mengganggu Abeoji?"

    "Bisa jadi begitu," sahut Namgil dengan begitu santai.

    Hwaseung berdehem dan berucap dengan suara yang dibuat tegas, "Panglima Kim, aku harap kau bisa menempatkan diri dengan baik."

    Namgil memandang tanpa minat dan mengacuhkan teguran putranya begitu saja. Kembali memandang Taehyung, Namgil lantas berucap, "jika ada hal yang penting, katakan saja."

    Taehyung tersenyum dengan lembut, dan untuk kali ini ia tidak lagi mendapatkan pukulan dari sang ayah angkat ketika ia tersenyum seperti itu.

    Taehyung kemudian berucap, "sejujurnya aku kemari karena mengkhawatirkan Changkyun."

    Hwaseung menyahut, "ada apa dengan anak itu?"

    "Aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh anak itu di Seongsucheong. Tapi anak itu tidak berhenti datang ke sana setiap hari."

    Namgil dan Hwaseung sempat saling bertukar pandang. Tentu saja keduanya tidak tahu alasan kenapa Changkyun selalu pergi ke Seongsucheong.

    Taehyung kembali berbicara, "aku berencana kembali menggunakan tempat itu."

    Namgil dan Hwaseung sama-sama terkejut. Namun keterkejutan itu lebih tampak di wajah Hwaseung.

    Hwaseung lantas menegur, "Yang Mulia ingin mengembalikan aktivitas cenayang di istana?"

    "Bukan seperti itu. Aku berencana menjadikan tempat itu sebagai perpustakaan ... bagaimana menurut kalian."

    Namgil memandang penuh selidik sebelum berucap, "Kim Hwaseung, pergi dan carilah adikmu."

    Hwaseung menatap bingung. "Kenapa?"

    Namgil menatap sinis. "Jika ayahmu memberimu perintah. Jangan bertanya dan cepat lakukan."

    "Untuk apa aku mencari Changkyun?"

    Suara Namgil meninggi. "Jangan banyak bertanya. Cepat pergi dari sini dan jangan memandangku dengan mata lebarmu itu."

    "Mataku sipit, jangan menghinaku!" balas Hwaseung tak terima.

    Namgil menaruh jari telunjuk di depan mulutnya sendiri dan berucap, "cepat menghilang dari pandanganku."

    Hwaseung mendengus sebal dan beranjak dari duduknya. Pemuda itu lantas pergi dengan langkah yang tampak kesal. Sedangkan Namgil segera mengembalikan pandangannya pada Taehyung ketika pintu kamar tertutup dari luar.

    Namgil memandang ke pintu dan berucap dengan lantang, "jika kau menguping, akan kupotong telingamu!"

    Hwaseung yang memang berniat untuk menguping kembali mendengus dan benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.

    Namgil kembali menjatuhkan pandangannya pada Taehyung. "Ada hal lain yang ingin kau katakan?" gaya bicara yang telah kembali seperti semula. Menegaskan bahwa saat itu ia tak menganggap Taehyung sebagai Kaisar Joseon, melainkan putra angkatnya.

    "Cepat katakan."

    Taehyung kemudian berbicara, "aku berniat mengangkat Changkyun menjadi Putra Mahkota."

    Namgil terdiam, tak menunjukkan reaksi apapun meski pernyataan Taehyung cukup mengejutkan. Masih dengan nada bicara yang santai, Namgil lantas berucap, "katakan alasannya."

    "Jungkook pernah menjadi Raja meski dalam waktu yang singkat. Dia tidak bisa lagi kembali menjadi Putra Mahkota, untuk itu aku ingin menunjuk Changkyun sebagai pewaris takhta."

    Sebelah alis Namgil terangkat. "Jangan konyol. Yang harus mewarisi takhtamu adalah putramu sendiri, bukannya putraku."

    "Aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan terikat dengan sebuah pernikahan."

    Senyum Namgil tersungging. "Bicara yang benar."

    "Aku sudah mengutarakan niatku."

    "Kau tidak sadar juga?" Namgil terlihat lebih serius. "... putraku tidak diizinkan untuk menjadi Raja."

    "Abeoji takut terhadap ramalan itu? Raja tanpa takhta? Apakah Changkyun pernah melukai seseorang tanpa sebab?" pertanyaannya beruntun dan tak mendapatkan jawaban.

    Namgil mengambil napas sedikit kasar dan berucap, "kau seorang Raja, tentu saja kau harus menikah. Apapun alasanmu, rakyat tidak akan peduli ... mereka hanya ingin Raja mereka menikah dan garis keturunan keluarga kerajaan akan tetap berjalan."

    "Aku tidak beniat memberikan mereka pengertian. Aku hanya ingin berjalan di jalanku ... aku datang hanya untuk meminta izin pada Abeoji."

    Dahi Namgil mengernyit dan saat itu terlihat kekhawatiran dalam sorot matanya. "Kenapa kau harus memilih putraku?"

    "Karena aku percaya padanya."

    Namgil memalingkan wajahnya, tampak tak memiliki solusi. Dia kemudian berucap, "katakan sendiri pada anak itu."

    Taehyung kembali mengulas senyumnya. "Terima kasih, Abeoji."

    Namgil menatap sinis. "Aku tidak memberi izin padamu."

    "Tetap saja aku ingin berterima kasih pada Abeoji."

    "Sinting," cibir Namgil.

    Taehyung tersenyum lebar. "Abeoji tidak bisa berbicara sekasar itu pada Kaisar Joseon."

    Namgil menatap tanpa minat. "Kalau begitu, pergi dari hadapanku sekarang juga."

    "Aku akan duduk di sini sedikit lebih lama lagi."

Selesai ditulis : 01.09.2020
Dipublikasikan : 01.09.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro