
T W E N T Y - N I N E [Repost]
DITEMANI angin malam, kami bergerak pasti ke depan, berjalan dengan formasi dua-tiga-dua.
Ravi, yang masih dongkol karena kupermainkan dan Indira paling depan; Yozita, aku dan Xaya tengah; diikuti oleh Paxtof dan Kadarius. Tak ada yang berbicara bahkan Xaya sekalipun—kurasa dia masih berusaha mengusir apa yang direkam oleh otaknya sebagai guncangan ala IronMobs. Tentu saja Paxtof sudah menghilangkan rasa mual yang menimpanya, namun bukan berarti sensasi mengerikan itu bisa hilang juga dalam sekejap.
Tidak.
Ada beberapa rasa sakit yang terus menetap di hati serta pikiran kita selamanya. Tidak peduli sekeras apapun kita mencoba untuk melupakannya. Aku mengerti karena Acres, aku membenci ketakutanku sendiri juga karena Acres. Acres—pemuda dengan luka mengerikan pada tangannya.
Terkadang, mimpi burukku di malam hari adalah tentang luka itu. Aku berlari kearah Acres, berusaha membebat lukanya dengan bajuku. Tetapi semakin aku mencoba semakin deras darah yang mengalir, dan Acres akan memucat, meninggalkanku meratap sendirian di ruangan yang sepanjang mataku memandang hanya warna putih yang mendominasi.
Suatu saat, aku mencoba untuk berteriak pada bagian otakku yang masih sadar jika itu hanyalah mimpi, tapi aku terlalu lumpuh untuk sekadar bergerak, pergi begitu saja tanpa menolong Acres. Aku terus terjebak disana sampai mimpiku berpindah ke mimpi buruk lainnya, sampai aku terbangun dengan perasaan lelah.
Avgustin selalu mengatakan padaku bahwa aku bukanlah orang yang menjerit-jerit ketika mimpi buruk menyambangi. Aku hanya bergerak-gerak gelisah, lalu terbangun dalam keadaan lumpuh sesaat, masih berusaha keras untuk mencerna apakah itu nyata atau tidak.
Indira sudah berkali-kali menegaskan padaku, bahwa jika aku ingin keluar tanpa memalukan diri sendiri dari kengerian itu. Aku harus melepaskan segala mimpi buruk serta ketakutanku sendiri. Namun barangkali sebab aku berusaha terlalu keras, mimpi-mimpi itu makin ganas menyerangku. Jadi, aku menyerah. Kubiarkan saja mimpi itu menemaniku setiap malam. Aku akan terbiasa, tetapi jauh di dalam sana, bagian kecil dari hatiku. Aku tahu, aku takkan bisa. Takkan pernah.
Aku menunduk merasakan tekadku retak pelan-pelan, begitu menyadari kalau malam ini akan jadi kali terakhir aku bertemu dengan Acres.
Aku mengepalkan tangan, jangan berpikir yang aneh-aneh. Jalan terus, fokus.
"Berhenti!" Walaupun berbisik, suara Indira cukup keras, sehingga aku pun terlonjak mendengarnya. Beruntung Xaya menahan dadaku dengan lengannya, sehingga aku tidak jadi terjatuh dengan muka lebih dahulu ke tanah. Indira berjongkok, menumpukan satu lututnya dan kami semua pun mengikuti gerakannya. Ternyata kami hanya berjarak beberapa langkah saja dari perbatasan Sector Dva dan Wan, suara deburan ombak yang terdengar membahana di depanku adalah buktinya.
Aku melirik jenis tanah yang aku pijak. Berpasir. Berarti sudah dekat. Tinggal memerlukan beberapa langkah ke depan, lalu ... jantungku berdegup kencang.
"Analisa keadaan," gumam Ravi pada Indira.
Indira menempelkan kesepuluh jemarinya ke tanah berpasir. Bahunya naik turun pelan, berkonsentrasi. Tak sampai sedetik, Indira sudah selesai. "Penjagaan ketat. Lima pos jaga, masing-masing pos berisi dua orang. Senjata, negatif. Kadarius kau bisa merasakan senjata apa yang mereka bawa?"
"Senjata standar, lengkap dengan armor UrsaMayor. Tak perlu khawatir," jawab Kadarius cepat.
Indira menjauhkan tangannya dari tempat semula, tanpa menoleh dia berkata, "Roger that."
"Bravo. Langkah selanjutnya." geram Kadarius di belakangku.
Kami semua bekerja cepat, tanpa menanyakan apa langkah selanjutnya itu, sebab kami semua sudah tahu. Tanganku bergerak untuk menekan Gamma di pelipisku, bukan untuk berkomunikasi, tetapi untuk mengaktifkan mode mata-mata. Benar, kami menjadi tidak terlihat. Kucatat dalam hati, setelah sekembalinya aku dari sini, aku harus bertemu dengan Tonia. Saat satu-persatu tubuh anggota timku menghilang, aku merasa ketakutan, membayangkan mereka akan meninggalkanku sendiri disini.
Xaya berbisik di sampingku, "Pakai goggle-nya, Ellie," tanganku yang gemetaran, mengambil benda yang terlupakan itu di ikat pinggangku, lalu menggenakannya. Secara cepat—begitu diaktifkan—goggle memindai sekelilingku, menjadikan pengelihatanku mampu menemukan wajah-wajah anggota timku lagi. Xaya mengedipkan sebelah matanya, menepuk bahuku. "Semoga beruntung," doanya.
Lidahku kelu, sampai kukira aku takkan bisa mengatakan apapun. Namun nyatanya aku berkata dengan suara serak, "Ya, kau juga."
Kadarius berdehem pelan, kurasa entah kenapa, dia kedengarannya gugup juga."Semuanya siap?" Kami menangguk, tentu saja. sebab tak ada pilihan lain selain anggukan. "Bagus. Ayo, bergerak!"
Semuanya berdiri, aku berniat mengikuti yang lain, "Kau—" Kadarius menahan kerah mantelku, "ikut bersamaku."Mata merahnya bersinar dalam kegelapan, dan membuatku terpaksa mengakui ketimbang penampilan Sector Wan, penyamarannya saat ini dengan rambut cokelat kemerahan, dan mata merah. Kadarius terlihat begitu berbahaya.
Rasanya aku kepingin menjerit, tapi aku menelan jeritan itu dan mengubahnya menjadi sebentuk jawaban yang singkat. "Ya sudah!"
Sekarang kami bergerak sejajar, kali ini yang di depan adalah Yozita. diikuti Ravi. Ketika aku menyibakkan ranting yeng menghalangi. Lautan dengan ombak berbuih, cahaya bulan yang merah terpantul di permukaannya yang terus beriak, suaranya menyamarkan dengungan Glass Gate, dan obrolan para UrsaMayor di atas Tembok Perbatasan. Ketiga hal itu menjadi semacam regu penyambutan untuk kami. Yozita dengan percaya diri, berjalan cepat menuju Tembok Perbatasan yang menjulang tinggi. Aku menengadah memperhatikan betapa agung dan kuatnya Tembok Perbatasan, dulunya ketika di Sector Tres, aku tak pernah merasa sekecil ini setiap kali menatap Tembok Perbatasan. Mungkin karena waktu itu, aku tak merasa nyawaku bisa saja tercabut kapan saja.
Kedua tanganku mengepal erat. Baiklah aku akan melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang bisa dilakukan oleh Yozita, yang saat ini—matanya terpaku pada sesuatu di atas sana, lalu menunduk memandangi kakinya, sekilas aku percaya kalau dia komat-kamit memperkirakan dan menghitung sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.
Kemudian secara mendadak, gadis itu mengalihkan pandangan dari Tembok Perbatasan kepada saudaranya yang setia menunggu perintah. Yozita mengangguk, hampir tak terlihat, tapi aku—dengan bantuan goggle—setidaknya masih bisa melihat gerakannya, begitu juga dengan Ravi sebab tanpa mengatakan apapun, dia mundur beberapa langkah saja dari tempatnya semula berdiri.
Lalu dia menjulurkan satu tangan kedepan, seperti hendak menerima uluran tangan seseorang, tetapi aku tahu bukan itu maksud dari pose tangan Ravi. Perlahan-lahan, seiring dengan gerakan tangan Ravi, tubuh Yozita bergerak naik. Tentu saja, seharusnya aku tak lupa dengan apa yang bisa Ravi lakukan dengan tangan serta pikirannya. Lodestar.
Kami terus memperhatikan Ravi dengan wajah tegang. Ketika dia menghentikan gerakan tangannya, kami masih menunggu tanpa suara. Sementara selama sesaat yang singkat itu, aku tak mampu mengabaikan rasa penasaran, apa yang dilakukan Yozita di atas sana? Melumpuhkan para UrsaMayor? Tidak, mustahil. Membunuh satu UrsaMayor itu sama seperti membunuh benalu. Satu mati, yang lain akan datang menggantikan. Lebih banyak, lebih kuat. Tak ada habisnya. Menyebalkan.
"Selesai. Zita sudah membuka jalan." Aku tergagap tak mengerti. Namun yang lain tak ada yang mempertanyakan apa dan bagaimana. "Indira, Xaya, kalian selanjutnya."
Dua gadis yang disebutkan oleh Ravi bergerak ke spot Yozita berdiri tadi. Indira memakai tudung mantelnya, meregangkan kesepuluh jemarinya yang kaku. Xaya mengacungkan jempol pada Ravi.
Siap.
Melihat wajah mereka yang tanpa keraguan, jantungku mau tak mau berdentam-dentam amat keras sampai kukira aku akan memuntahkan jantungku sendiri. Aku butuh pegangan, pegangan, pegangan.
"Kadarius," angguk Ravi pada sosok di sebelahku.
Bola ranting Kadarius terbagi menjadi dua, berubah bentuk menjadi lempengan segi empat sempurna, seukuran tiga jari. Aku terkejut pada saat menyadari dua benda itu di tempelkan pada punggung Paxtof dan Ravi, begitu Kadarius memposisikan tangannya seperti Ravi tadi, mereka melesat ke atas. Meninggalkanku berdua dengan Kadarius.
Sialan, rasanya aku tak sanggup merasakan kakiku sendiri. Aku butuh permen lagi, tapi di saat yang bersamaan aku takut jika aku membuka tutup permen pemberian Paxtof, kotak itu akan jatuh ke tanah berpasir, dan aku akan kehilangan semuanya. Jadi, aku bertahan dengan menggunyah daging pipiku.
"Ellie?"
"Aku ... siap." kataku pada Kadarius, dari sela-sela gigi. Terlalu cepat.
Kadarius memasukkan lempengan yang tadi ditempelkan di punggung Ravi dan Paxtof, ke balik mantelnya. "Bagus." Di saat-saat terakhir dia sempat-sempatnya berkata padaku, tersenyum kecil. "Jangan terkencing-kencing,"
"Apa?" Kurasakan tubuhku—kami berdua—mulai bergerak naik.
"Tinggi sekali tahu," katanya.
Oh, aku mengerti. Kemudian tanpa mampu kucegah, aku mencibir.
Namun sesuatu yang tak terduga terjadi, di tengah-tengah—sekitar seratus lima puluh meter—gerakan terbang kami tersendat. Aku bahkan hampir meluncur ke bawah, suara pekikan kecil keluar dari bibirku, tapi Kadarius dengan sigap memegang sikuku, dan lalu menarikku hingga dekat sekali dengannya. Kalau dia mau, dia bisa saja memelukku, tetapi Kadarius seperti sengaja menjaga jarak dariku barang sejengkal saja. Satu tangannya masih di sikuku, sementara yang lainnya ditempatkan di punggungku, hampir tak terasa. Aku menutup mulut dengan tangan, pekikanku pasti bergema, sebab dikegelapan malam, satu UrsaMayor menlongokkan kepalanya hanya beberapa meter jauhnya di sebelah kiri, tempat kami berdua melayang.
Mampus! Habis sudah!
Aku membuka mulut hendak mengeluarkan suara, tapi tak jadi sebab tangan Kadarius keburu menutup mulutku. Dia menggeleng, oh benar. Armor UrsaMayor membuat siapapun yang memakainya memiliki pendengaran seperti kelelawar. Walaupun angin laut berhembus kencang di sekelilingku, keringat dingin sebesar biji jagung mulai bermunculan di keningku.
Aku yakin seratus persen, saat ini aku pasti pucat pasi. Aku tadi memekik, bukan kesalahanku jika aku memekik. Namun tetap saja, aku memejamkan mata rapat-rapat, tak mau melihat apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Kudengar suara UrsaMayor yang sudah didistrosasikan dengan mesin, sehingga suara asli mereka tersamar. "Bro, sepertinya aku mendengar sesuatu.
"Apa?" tanya suara kedua dengan nada sinis yang kentara. "Sedari tadi yang kudengar hanya suara lautan, dan kau yang terus mencicit ketakutan setiap kali mendengar suara khayalan."
"Kali ini aku serius," ketus orang pertama. Kedengarannya dia sama jengkelnya. Pelan-pelan aku mengintip ke balik punggung Kadarius. Jelas sudah di sana ada dua UrsaMayor dengan Armor hitam legam nyaris tersamarkan malam, andai saja aku tak memakai google atau tidak ada beberapa bagian dari armor itu yang diwarnai merah, menyala dalam kegelapan, aku pasti takkan melihatnya.
"Coba kuperiksa!" Si UrsaMayor galak merampas teropong dari tangan rekannya. Tepat saat dia hampir menempatkan teropongnya, tubuh Kadarius melesat naik, secara spontan aku membenamkan kepalaku ke dadanya, tanganku mencengkram erat pundaknya. Aku tak pernah merasa setakut ini. Samar-samar, terdengar bentakan. "Tak ada apapun di sana dasar goblok! sudah kubilang kau sebaiknya—"
Suara itu menjauh, Ada celah sedang di kubah Glass Gate. Tubuh kami masuk melalui lubang itu, aku melihat dua UrsaMayor yang tadi masih bertengkar tak menyadari adanya penyusup.
Tubuhku perlahan turun dari ketinggian mendekati sosok-sosok yang sudah menunggu. Aku masih berada dalam pelukan Kadarius. Tak sanggup menggerakkan tubuh seincipun saking takutnya. Ketika Xaya membisikkan kata aman. Barulah aku melepaskan diri dari Kadarius, tetapi tangannya tak kunjung melepaskan sikuku, seolah-olah dia takut aku bakal pingsan.
Aku meneguk ludah, dengan susah payah. "Aman."
Kadarius mengerjap satu kali, perlahan dia melepaskan pegangannya padaku.
Sementara yang lainnya mendekat untuk mendiskusikan langkah selanjutnya, ujung mataku menangkap pemandangan Yozita yang mengepalkan tangan, bersamaan dengan itu lubang pada permukaan Glass Gate tadi seketika lenyap, kembali ke bentuknya seperti semula. Jadi itulah yang tadi dimaksud Xaya.
"Apa yang terjadi?" tanya Kadarius pada Ravi, mengalihkan perhatianku.
"Kunjungan mendadak."
Ravi mengendikkan kepalanya pada beberapa OtoMobs dekat Tembok Perbatasan. Aku melihat hologram merah dengan beruang berkedip-kedip di bagian belakang setiap kendaraan, semuanya kendaraan resmi dari pemerintahan. Aku menunggu Ravi mengatakan lebih banyak, tapi sepertinya dia merasa sudah cukup, sebab Kadarius juga tidak menanyakan detailnya.
Dan entah ini khayalanku atau apa, aku yakin untuk sesaat Ravi dan Kadarius saling berbicara hanya dengan beberapa kedipan mata. Semacam kode rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh mereka. Sudah bukan rahasia lagi jika Kadarius dan Ravi adalah sahabat. Korain menjuluki mereka sebagai sepasang kecebong ningrat.
Melihat mereka, aku mau tak mau merasa iri, membuatku makin teringat akan Acres, dan bagaimana kami menjalin hubungan selama bertahun-tahun. Tak sulit rasanya kami menjalin hubungan yang bahkan bisa dibilang lebih dekat ketimbang saudara sedarah, tapi masih dalam batas yang telah ditetapkan masing-masing individu. Mungkin hubungan antara Kadarius dan Ravi juga begitu.
"Beruntung tak ada yang brengsek di sana tadi," Xaya bergumam pada Yozita yang sibuk mengibaskan rambutnya, untuk merontokkan salju yang melekat di sana.
"Beruntung kita tak tertangkap," sahut Yozita dengan lebih tepat, tangannya terjulur berniat melakukan hal yang sama pada tudung mantel Xaya. Namun ditepis pelan oleh sang pemilik mantel.
"Sebaiknya kita lanjutkan sebelum udara makin membeku," ujar Paxtof menyela. Aku setuju sekali dengan Paxtof.
Kadarius sepertinya juga, sebab dia bergerak barang sedikit dari sampingku, menyuruh yang lain berkumpul disekeliling kami. Dia memandang temannya-temannya dengan lekat, tatapan matanya menajam, dan dia kedengaran lebih dari serius saat berkata, "Tidak ada lagi yang perlu kukatakan, selain hati-hati."
"Roger." Jawab mereka serempak nyaris berbisik.
Aku tidak melihat dengan pasti kemana saja arah yang dituju rekanku, sebab lengan Paxtof keburu melingkupi tubuhku. Aku tersentak, tak menyangka bakal dipeluk. Selama sesaat aku bimbang, antara membalas pelukannya atau menghindar seperti biasa.
Tetapi bukannya memilih satu di antara keduanya, aku semata-mata hanya menyandarkan pipiku pada dada Paxtof, memejamkan mata barang sejenak, menghirup aroma tubuhnya yang entah kenapa terasa seperti rumah. Mungkin begitulah aroma Sector Zero, yang aku lupakan, yang sekarang samar-samar aku ingat. Sedikit demi sedikit aku merasa utuh kembali.
"Sampai jumpa," bisiknya.
Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tidak, mungkin lebih panjang daripada sekedar balasan baik hati. Namun aku tak sanggup mengatakan apapun.[]
Total : [2067 words]
I'll do anything for you.
-Your Fav Author, Prasanti.
Call me Pras or Kahnivore!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro