
F O R T Y - T W O [Repost]
RUANG PERTEMUAN masih sama seperti saat terakhir kali aku memasukinya. Lantai berbuih, langit-langit buatan yang—kali ini dibuat mendung—meja panjang dikelilingi oleh kursi-kursi tinggi. Satu-satunya perbedaan yang ditangkap oleh mataku, mungkin hanya kenyataan bahwa masing-masing dari kursi kristal itu telah di tempati. Suara sepatu Kadarius yang bergema ke seisi ruangan seketika menghentikan dengungan dari masing-masing mulut yang berbicara.
Seperti bagaimana aku menghadapi audiens yang banyak, tubuhku langsung bereaksi karena kebiasaan. Hasil pelatihan dari Institut. Punggung diluruskan, bahu tegak, tangan berusaha diperlihatkan supaya tergantung santai di sisi tubuh, dan tidak lupa—ini yang paling penting—mimik muka haruslah netral. Tak terbaca. Namun biarpun aku pandai menyesuaikan diri, ahli dalam bersikap, bukan berarti aku mampu menekan sensasi yang membuat aku merinding sampai ke tulang belakang begitu mengenali wajah-wajah dari orang yang ada di dalam ruangan ini. Aku benci kejutan, lebih benci lagi apabila aku sampai tidak menyiapkan diri akan hal ini.
Lagi-lagi karena keteledoranku. Suara Indira terngiang-ngiang kembali. Gegabah. Gadis dangkal.
Andaikata aku masih di Institut sudah dapat dipastikan aku akan kehilangan satu Pins untuk nilai kecermatan dan lima lainnya untuk kemerosotan kecerdasan serta kewaspadaan otak. Untuk menghilangkan rasa muak dan malu yang mendesak ingin muncul, aku menyibukkan diri dengan mengedarkan pandangan, mencoba mencari wajah-wajah yang aku kenali.
Di sana, terpisah tiga deretan kursi dari seorang pemuda Sector Wan ada Tonia dengan senyumannya yang sudah tak asing lagi. Aku menggeser pandangan sedikit, menemukan Avgustin yang diapit oleh dua orang yang tidak mungkin salah kukenali sebagai dua orang paling penting pada dua Sector di Pheasen.
Saat mereka balas menatapku, lalu memberi aku senyum serta anggukan sekenanya. Aku hanya tahu satu hal, apapun yang akan kami bahas disini, tidak akan selesai dengan cepat.
Aku ingin muntah.
Namun suara Kadarius membuyarkan—setidaknya—setengah dari keinginanku untuk segera berlari ke luar dari sini. Dia masih sama seperti sebelumnya. Tinggi, perkasa, tak terjangkau. Penampilan tanpa cela. Mata birunya yang hampa jelalatan mengamati semua orang, menelaah segalanya. Perlahan mulutnya berkedut, menampilkan senyum tipis yang teramat sopan. "Mohon maaf untuk waktu yang terbuang sia-sia, dan terima kasih karena sudah mau bersabar menunggu." Katanya dengan khidmat, berucap sembari menundukkan kepala.
Gerakan yang lumrah untuk menunjukkan kesungguhan dari perkataan yang baru saja diucapkan. Para hadirin serempak berdiri dan balas menunduk, mereka akan menegakkan tubuh sampai Kadarius melakukan hal yang sama, tidak terkecuali aku juga.
Begitu Kadarius menyelesaikan salamnya. Aku disenggol Korain. Dengan penuh syukur aku menghenyakkan pantat pada kursi yang tersisa, tepat di sebelah pemimpin para Void. Indira melirikku melalui ujung matanya, aku menemukan perubahan ekspresi wajah yang tadi tegang, kini mengendur sedikit. Di bawah meja, ujung jemari Indira berkedut-kedut. Aku segera memalingkan wajah sebelum kepergok, dan apa yang kulakukan itu merupakan pilihan yang salah sebab mataku langsung bersibobrok dengan mata Kadarius.
Kadarius. Dia pemimpin Para Lichas. Dalam rapat penting seperti ini kursi pemimpin seharusnya berada di kepala meja dengan kursi kaca yang diukir atau disepuh tetapi sepertinya semua orang tidak peduli dengan hal semacam itu, lebih memilih kursi sesuka hati mereka, dan tentu saja, tidak ada kursi kaca yang diukir atau disepuh, yang ada hanya sepasang tatapan mata biru membeku.
Kali ini aku sama sekali tak mampu berpaling. Lebih tepatnya, aku tidak sudi melihat ke arah lain, tak ingin mengambil resiko melebihi yang sekarang ini. Terutama apabila kemudian tanpa sengaja bertemu pandang dengan dua sosok yang mengapit Avgustin, aku tak perlu mengecek untuk kali kedua, karena aku sendiri bisa merasakan tatapan dua orang itu terus menerus terpaku padaku. Menunggu sesuatu dariku. Aku bisa menebak apa yang sekiranya akan diberitahukan Tuan Crowe dalam rapat ini, aku tak perlu mengkhawatirkan keberadaan Kepala Divisi Avgustin itu. Yang harus aku waspadai adalah si wanita yang satu lagi.
Aku mengunci kedua telapak tangan dipangkuan kuat-kuat. Sekarang aku mesti memilih kata-kata dengan cermat.
Kadarius masih berdiri, belum memutuskan untuk duduk. Aku tak bisa untuk tidak mendesah lega saat dia membebaskan aku dari cengkraman mata birunya, dengan gerakan lembut mengedarkan pandangan pada setiap pasang wajah yang ada.
Kadarius kemudian mengatupkan tangan di depan dada, berkata dengan suara mendayu. "Para hadirin sekalian, sebelum kita memulai, mari kita mengheningkan cipta sejenak untuk moyang dan kawan kita yang telah gugur."
Aku mengikuti teladan Kadarius, mengatupkan kedua tangan dan memejamkan mata. Selagi kelopak mataku tertutup rapat dan yang bisa kubayangkan hanyalah kegelapan semata. Sejujurnya aku tak tahu harus berdoa untuk siapa. Beberapa hal yang berkelidan dalam pikiranku hanyalah wajah-wajah tak berdaya para Arhaki, dan pilihan yang telah pria bermata seram dari masa lalu—yang saat ini kusebut ayah—buat. Berikut tumpukan mayat yang menggunung. Akan ada lebih banyak korban. Sudah pasti begitu.
Tapi aku bisa mencegahnya. Aku mampu.
Selang beberapa kali lagi helaan nafas, Kadarius mengakhiri sesi mengheningkan cipta. Kemudian mengawali petaka yang kutakutkan. Pembahasan tentang masalah yang sedang menggerogoti Para Lichas. Permasalahn yang kuungkit lebih awal daripada yang diharuskan. Mau bagaimana lagi, aku tak punya pilihan lain. Permasalahan ini memang selalu mengintai Para Lichas, mereka menunggu selama bertahun-tahun untuk hari ini, dan akulah yang mesti dikorbankan untuk mereka.
Aku seharusnya tidak berpikir seperti itu, tapi semenjak aku kehilangan banyak hal, aku tak bisa untuk tidak berpikir demikian. Mudah saja membenci, lebih mudah lagi apabila kita melihat kehancuran sesuatu yang kita benci, tanpa perlu mengotori tangan sendiri.
Mudah benar berangan-angan.
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran Anda sekalian. Saya merasa sangat terhormat bisa berdiri disini, bertatap muka untuk masa depan yang lebih baik." Beberapa orang tersenyum menyambut entah masa depan apa yang mereka pikirkan, sisanya—orang-orang sepertiku—hanya bisa berkedut gelisah. Kalaupun Kadarius melihatnya, dia semata-mata tidak peduli. Dengan enteng, menjentikkan jari, seketika ruangan berubah menggelap.
Satu-satunya yang bercahaya di ruangan ini hanyalah layar hologram penampil di atas meja panjang, tepat di tengah-tengahnya. Hologram itu di desain sedemikian rupa sehingga masing-masing orang dari setiap sisi meja mampu melihat layar hologram dengan jelas tanpa perlu menjulurkan leher ataupun berpindah dari tempat mereka duduk. Walaupun begitu aku tetap saja merasa gelisah, keringat dingin meluncur di punggungku, dan aku mesti mengepalkan tangan supaya tidak menggerakkan tubuh lebih kentara lagi. Aku menangkap lirikan penuh arti dari Paxtof. Bersabarlah.
Kadarius mencondongkan tubuhnya ke depan, satu tangannya dijadikan tumpuan, sementara tangannya yang satu lagi mengetuk permukaan meja. Ketukan dari jari tengahnya, memunculkan lambang yang mengingatkan aku kepada tato pada lengan Indira. Ketukan lembut kembali terdengar, menghilangkan lambang itu, memunculkan entri baru pada antar muka hologram. "Pertama ini tentang apa yang beberapa hari yang lalu kami temukan dalam Darf ingatan Aurelion Dearth. Setelah beberapa kali mengamati rekaman,saya menyimpulkan bahwa semua kejadian mengerucut pada Sector Zero."
Segera saja setelah Kadarius menyatakan hal tadi, terdengar beberapa bisikan dan gumaman. Aku yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri pun jadi menegang. Kadarius tidak menunggu sampai dengungan di sekeliling kami makin keras. Dia menyela, menyeriangi. "Dengan kata lain, selama ini kita benar. Apapun yang selama ini kita cari ada di suatu tempat di Sector Zero."
Dari balik cahaya hologram, mata Kadarius anehnya terlihat begitu hidup. Menyala-nyala. Lebih berbahaya daripada yang sudah-sudah. "Seperti yang kita semua tahu, Albercio Alachiotis mempunyai kemampuan Cathaoir. Seorang dengan kemampuan paling hebat dari yang lain, evolusi yang paling sempurna. Satu keahlian yang paling dikenal dari beliau adalah kemampuannya untuk memanipulasi neuron-neuron dalam otak dan jejaring pembuluh darah manusia. Selama ini kita meyakini bahwa seorang Cathaoir hanya bisa mengendalikan, bukan memberi atau dalam bahasa kita—mentransfer apa yang ada dalam kepala mereka pada orang lain. Namun apa yang terjadi dalam rekaman ini telah membuktikan bahwa ada beberapa hal yang sengaja disimpan rapat-rapat. Sejarah bisa salah."
Aku mengintip reaksi Avgustin, bertanya-tanya dalam hati apakah dia tahu tentang hal itu? Wajah kakak tiriku sedatar papan kayu. Membuat aku—lagi-lagi harus puas hanya dengan menebak-nebak. Kurasa tidak, pikirku. Atau bisa jadi dia tak diizinkan untuk memberitahu tentang rahasia ini, apapun konsekuensinya.
"Saya ingin menunjukkan sesuatu pada Anda sekalian," dengan satu ketukan, mimpi burukku kembali berputar. Kali ini aku melihat dari persepektif yang berbeda. Adegan ini lebih jernih daripada yang kulihat sendiri sebelumnya, lebih menyakitkan.
Sesuatu terasa seperti pecah dalam kepalaku begitu hologram menampilkan apa yang kuingat sebagai Ayah yang sedang putus asa, baru saja habis menangis gara-gara kehilangan belahan jiwa. Alachiotis terus berulang kali bergumam kalau dia menyayangiku, mencintaiku dan menyuruhku untuk bertahan. Bertahan sebentar saja, sementara apapun yang ada di dalam kepalanya, apapun rahasia yang selama ini dia simpan seorang diri, berpindah padaku, menjadi beban baru untukku.
Beban itulah yang diinginkan oleh Para Lichas. Mereka bersikeras menyebut beban itu dengan rahasia atau berkah yang akan membebaskan mereka dari keterasingan.
Kurasakan jemari Korain menyentuh kepalan tanganku, meremasnya dengan lembut.
Ternyata bukan aku seorang saja yang tegang gara-gara wacana Kadarius.
"Kurasa sudah cukup," Avgustin berkata. Suaranya memang lembut, tapi dia berucap dengan rahang menegang. Sudah pasti murka. "Langsung saja pada intinya."
Kadarius tidak terlihat ragu saat dia mengubah tampilan hologram menjadi seperti semula. Tak ada apapun di sana selain entri pembahasan. Di Sector Wan, etikanya tidak peduli seberapa cerdas dirimu atau seberapa berkuasa kedudukanmu. Kau sudah sepatutnya mendengar dan mematuhi perkataan dari orang yang umurnya jauh berada di atas angka umurmu sendiri.
Mata Avgustin bertemu dengan mataku. Aku memalingkan wajah cepat-cepat, menolak untuk menerima kenyataan bahwa baru saja dia membantuku. Aku sejujurnya, sama sekali tak mengharapkan bantuan dalam bentuk apapun dari Avgustin. Aku merasa lebih dari cukup untuk dikemudian hari memaafkannya karena kebaikan yang tak pernah kuinginkan. Aku sudah muak bermain balas membalas seperti ini.
Namun ketika aku akan sampai pada titik untuk memaki di dalam kepalanya, Avgustin memutuskan kontak mata di antara kami. Dia menatap kemanapun selain ke arahku.
Itu lebih baik.
"Mohon maaf atas ketidaknyamannya." Ucap Kadarius dengan nada datar meresahkan. Apa adanya tetapi tetap saja meresahkan. "Apa yang kita lihat tadi, saat Albercio Alachiotis memegang kening Aurellion, saat itulah proses plug-in memory sedang terjadi. Ada begitu banyak yang Albercio Alachiotis berikan pada Aruellion. Salah satunya adalah apa yang selama ini kita cari. Saya akan memperlihatkan apa itu."
Sebelum melanjutkan Kadarius lagi-lagi mengedarkan pandangan, menunggu protes yang akan dikumandangankan. Namun tidak ada satupun yang membuka mulut, mereka enggan sekaligus penasaran. Genggaman tangan Korain makin erat, kali ini aku membalas meremas tangannya, hanya untuk menyatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku takkan lari kemanapun. Tidak lagi.
Kadarius menyunggingkan senyum tipis, dia mengetuk. Kali ini bukan vidgram tetapi hanya berupa gambar-gambar. Pertama yang ditampilkan adalah sebuah Darf hijau yang berbeda dari Darf yang kutemukan di dalam bandul kalungku. Kalau saja aku tidak memperhatikan dengan lebih cermat aku pasti akan menganggap bahwa itu adalah dua Darf yang sama.
Tetapi di sana, begitu aku memperbesar gambar itu, dipojok kanan Darf tersebut ada sebuah retakan, seakan-akan Darf itu pernah dijatuhkan."Begitu Darf ini ditemukan, kita akan mengetahui keberadaan dari rahasia-rahasia lainnya,"
"Jadi Darf itu bukan main menunya?"
Untuk pertama kalinya wanita itu mengeluarkan suara. Gagal sudah upayaku untuk melupakan keberadaannya. Caranya dalam mengumpamakan Darf sebagai main menu agak janggal dan anehnya kedengaran lucu. Namun dia tidak tersenyum, tidak pula melepas mata yang bernetra merah dari hologram.
Kadarius menyeriangi. "Tepat sekali."
"Jadi?"
"Beberapa hari yang lalu saya mengirim Tim untuk mencari keberadaan Darf ini, dengan bantuan Tonia dan Avgustin. Kami menemukan bahwa Darf itu adalah peta atau kunci dari benda yang amat sangat penting," sementara Avgustin dan Tonia memberi senyum yang kelihatan seperti senyum gugup daripada bangga. "Kami bersama-sama meretas ke sistem Darf, dan coba tebak apa yang kami dapat."
Semua orang menunggu dengan was-was, termasuk aku.
"Sebuah teka-teki. Kode." Hologram berkedip, sesuatu yang kuyakin sebagai tangkapan layar dari Darf yang berhasil diretas menampilkan angka-angka. Satu lagi hal yang akan memusingkan aku, menjebak dan mungkin membawaku ke dalam petaka lainnya.
Sudah pasti begitu.
Aku menggertakkan gigi, muak sendiri gara-gara pemikiran yang kekanakan. Sebelum Kadarius sempat membuka mulut untuk melanjutkan, aku angkat bicara. Tidak mampu menahan lebih lama lagi. "Di mana kau menemukan Darf itu?"
Sekarang semua mata memandang bergantian dari aku ke Kadarius.
Dengan enteng Kadarius menjawab, "Pada salah satu reruntuhan yang telah diidentifikasikan sebagai sebuah rumah." Rumah, dia bilang. Kemungkinan itu rumahku. Sangat amat mungkin bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Seakan belum cukup Kadarius menambahkan, tanpa tedeng aling langsung memindahkan pengamatan kepadaku. "Apa kau mengingat sesuatu setelah membaca kode ini, Aurellion?"
Aku melihat kode di layar hologram. Menatapnya lama, sebelum ada satupun masuk ke dalam kepalaku, barangkali ingatan. Dentuman lagi-lagi menyerang bagian dimana Gammaku beberapa hari yang lalu terpasang. Aku mesti meremas tangan Korain kuat-kuat untuk menghalau sensasi tidak mengenakkan itu. Namun aku tak mengingat, tak mampu mencerna apapun selain kode yeng berkedip, berdenyar mengejek. Menggeletar seperti bayangan yang goyah dalam sudut pandangku.
1.11EX
Dengan rahang yang mengatup rapat aku menjawab, "Belum."
Kadarius menatapku lama seolah-olah dia ingin melihat apakah aku sedang membohonginya, tetapi semua orang bilang—tak terkecuali diriku sendiri—aku seperti Darf tanpa kode keamanan. Gampang ditebak, mudah diretas. Dia tentu melihat bahwa saat ini aku mengatakan yang sebenarnya. Andai saja Kadarus gampang percaya semudah itu. Untuk membuktikan jikalau aku berkata benar, kuteguhkan hati untuk menatap langsung ke mata Kadarius, tidak mengedip. Jangan mengedip, bergeming. Mata itu terlalu menghakimi. Aku yang sudah terbiasa diberi tatapan seperti itu, seharusnya tidak lagi gemetaran. Namun nyatanya aku tetap saja bergidik, merasa gentar.
"Jadi bagaimana perkembangan kode itu, Kadarius?" Mr. Crowe menyela, alhasil menyelamatkanku dari tatapan maut yang berat sebelah.
"Kami berusaha untuk menguraikannya, Michael. Tetapi tidak ada yang cocok. Barangkali tidak ada yang bisa selain orang dari Sector Zero sendirilah yang memecahkan arti dari permainan angka ini."
Paxtof yang sedari tadi bungkam, hanya memperhatikan dengan badannya yang besar angkat bicara. " Sector Zero bukan hanya Aurellion seorang."
Yorick menegakkan punggung, bersidekap. "Ya. Bagaimana dengan Avgustin?"[]
Total : [2202 words]
Dah guys, gw capek. Mau meninggoy. Jadi pertanyaannya di skip aja. Banyak plot hole, iya saya tahu... makanya frustasi banget mau meninggoy. :)
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro