Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

F O R T Y - S I X [Repost] | END of Book 1

"KAU tahu apa yang aku pikirkan saat melihat teman lama kita berusaha meretas sistem keamanan server di Sector Dva demi melarikan diri ke neraka lainnya?"

Teman lama katanya. Seakan-akan Acres pernah menganggapnya teman saja. Namun ku tutup mulutku rapat-rapat, tidak akan pernah membiarkan kata-kata Exen meresap ke dalam kepalaku. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Semudah itu. Selalu saling mengabaikan.

"Dia masih secerdas biasanya. Dasar bangsat beruntung. Tapi keberuntungannya habis begitu aku melihat kalung itu. Kalung yang selalu kau bangga-banggakan itu. Aku tahu aku mendapat kesempatan setelahnya. Kesempatan yang luar biasa sekali." Kami telah sampai di tingkat yang entah keberapa, saat dia tiba-tiba berhenti di depan engsel besi rusak, sengaja menghalang-halangi aku untuk melihat ke dalam. Lesung pipitnya terbentuk, senyumnya kembali merekah. Hampir-hampir terlihat kegirangan. Sinting. "Aku berterima kasih untuk itu, Lionne."

"Tutup mulut!" aku mendesis. Tak sudi diberi ucapan selamat karena kesalahan yang kubuat. Dia seakan-akan sengaja berniat menggarami luka yang telah lama terbuka.

Dia menanggapi desisanku dengan mengerjap-ngerjap polos. Memamerkan muka murung. Sungguh merupakan aktor yang lebih ulung dibandingkan Kadarius. Aku mengencangkan rahang gara-gara menyadari betapa tidak tercela diri Exen.

Dilihat dari luar, dia memang seperti itu.

"Kau dan aku punya waktu sejam sebelum Lick-Ass itu kehabisan tenaga, lalu menyadari kau tak lagi berada di tempat yang seharusnya. Jadi, jangan terburu-buru, Lionne. Jarang-jarang aku mendapat kesempatan bicara denganmu selama ini. Aku suka penampilanmu yang baru." Exen mengakhiri kata-katanya dengan kedipan main-main. Sama sekali tak lucu.

Selama beberapa sesaat aku mempertimbangkan untuk menonjok bibirnya, merontokkan beberapa gigi, lebih bagus lagi kalau aku bisa membuatnya tumbang seperti yang kulakukan padanya beberapa hari yang lalu. Kami saat ini hanya berdua, tanpa gangguan UrsaMayor nan mencekam. Tapi pada akhirnya aku memalingkan wajah. Aku tak tahu di mana Acres. Andai saja aku tahu di mana dia berada, aku takkan repot-repot melakukan hal ini. Hal sakit ini.

"Satu hal lagi. Kau penasaran tidak siapa yang ada di dalam sana?"

Kupelototi langit-langit terbuka di balik bahu Exen. Lebih baik daripada menatap mukanya.

"Aku juga tidak," ujarnya enteng saat aku tak kunjung memberi respon yang berarti. Bukan berarti dia tidak kesal diabaikan, tetapi dia akhirnya menyingkir, membiarkan aku melangkah terlebih dahulu. "Kau telah meninggalkan mereka di belakang sana. Kurasa kau sudah tentu melakukan hal serupa pada mereka bukan?"

Apa yang kau dapatkan dari menjadi baik?

"Oh, tak usah terkejut begitu, Ellie," Exen menepukkan kedua tangannya satu sama lain. Telingaku berdenging hebat, seolah-olah Glass Gate tiba-tiba merosot dari ketinggian, berada sangat dekat denganku. Bau yang kuhirup amat sangat menyengat, sampai hidung serta mataku memedih. Aku bermaksud menjerit tapi yang keluar dari dalam mulutku justru kesiap ngeri. Sesaat setelahnya, mataku mulai berkunang-kunang. Sekejap kukira aku bakal jatuh tak sadarkan diri, tapi aku ternyata masih di sini. Berdiri seperti orang tolol. Mempercayai Exen seperti orang tolol.

Aku pernah mengatai Kadarius sebagai monster, biarpun demikian sedari dulu Exen lebih cocok dengan julukan itu. Lebih daripada yang sudah-sudah. Bagaimana bisa Aviator Sector Tres menempatkan orang sinting sepertinya dalam Divisi? Aku tak mengerti, sedari awal aku memang tidak mau mengerti.

Wajah pertama yang kukenali, dan mengenaliku adalah Harendra. Tidak ada lagi cengiran main-main. Tidak sebab bahkan membuka mulutpun dia tak mampu, hanya matanya saja yang memiliki bisa melakukan apa yang mulutnya tak bisa dilakukan.

Harendra membelalak, meronta-ronta sebisa yang dia mampu.

"Ceiling gang loser!" Geram Exen melalui sela-sela gigi. Dengan langkah-langkah panjang dia mendekat pada tubuh terdekat. Mengangkat tangan dan aku berusaha untuk tidak berjengit begitu tangan Exen yang dibalut armor logam menghajar bagian sisi wajah pemuda yang sebelumnya kulihat pada hologram penampil di Ruang Pertemuan. Mulutnya juga disumpal. Memukul dua sisi wajah pria malang itu secara bergantian.

Sepuluh kali.

Aku tak bisa untuk tidak merasa jijik pada diri sendiri karena membiarkan kepalaku untuk menghitung. Namun walaupun aku berusaha, aku tetap saja tidak bisa menghentikan kepalaku, atau Exen atas apa yang dia lakukan. Lidahku kelu, sesuatu bagai membesar di tenggorokanku. Menghimpit teriakan amarah dan protes yang ingin segera dikeluarkan.

Setiap pukulan menggema di telingaku, setiap helaan napas pemuda yang berdengih-mengeruk tepi otakku. Aku sampai tidak menyadari jika aku sudah mengepalkan tangan, sampai buku-buku jariku memutih, sampai pinggiran Darf yang kusembunyikan di dalam saku jaket mengoores kulitku. Aku baru menyadarinya saat pukulan itu terhenti. sudut-sudut bibir dan hidung pemuda itu mulai meneteskan darah segar. Mengalir ke pelipis, dahi baru kemudian jatuh ke lantai. Walaupun dalam posisi tergantung terbalik pada langit-langit, aku bisa melihat bahu Harendra bergetar hebat. Bukan karena takut, tapi karena amarah.

Hanya Yozita seorang yang sepertinya memiliki kekuatan untuk mengeluarkan suara. Wajahnya yang cantik mengerut menyeramkan. "Vlakas!!" umpatnya. Bahkan suaranya terdengar rusak, seakan-akan dia sebelumnya telah dipaksa untuk mengeluarkan suara selama berjam-jam. "Lepaskan aku dan kita lihat siapa yang bakal jadi Ceiling gang loser!!"

Exen semata-mata menulikan telinga, memutar bola mata. Tanpa ekspresi dia menggerakkan leher untuk berbicara dengan seorang UrsaMayor yang berdiri di depan koper yang memunculkan antar muka hologram di udara. "Tambah Heatsrtoke pada subyek 003."

Mataku langsung jelalatan mengamati salah satu selang yang menempel pada tubuh Yozita mengalirkan cairan oranye, saat itu pula jeritan Yozita yang sama sekali tidak pernah dan memang tidak ingin kudengar bergaung, seakan-akan menghancurkan gendang telinga siapapun yang mendengar.

Aku tersentak saat Exen berbalik, kali ini mata emas itu berkilat-kilat seperti orang sinting. Di latar belakangi dengan jeritan Yozita, dan nafas sesak pemuda yang entah siapa itu namanya, dia mendengkur. "Aku menunggu ..." lalu tersenyum, saking cepat raut wajah Exen berubah dari sinting ke mode belas kasihan, aku jadi ngeri dibuatnya. Terutama saat dia menyebut nama asliku. "Aku juga tahu kau mendengar, Ellie. Coba tebak siapa yang membawa berita tentangmu padaku."

Seperti sudah diberi aba-aba, dari belakangku muncul langkah-langkah kaki yang banyak, berderap naik. Samar-samar aku mendengar umpatan Korain dan geraman Paxtof. Aku mundur, menengok untuk melihat kebenarannya. Semuanya tidak dalam keadaan baik. Tidak ada satupun dalam keadaan baik kecuali tiga orang.

Denaya tak mampu menatap mataku tapi Yorick berdiri dengan sikap tanpa cela, tanpa rasa bersalah sedikitpun dalam wajahnya. Tanpa ampun menyepak betis Korain hingga dia pun jatuh berlutut, UrsaMayor yang menahan Indira dan Paxtof mengikuti teladannya. Mereka berdua tak mengangkat pandangannya sedikitpun.

Berbeda sekali dengan Korain.

"Aku takkan pernah memaafkan ini, York." Korain memberi Yorick tatapan yang niscaya bisa membunuh, andaikata dia bisa. Sekonyong-konyong dia mengalihkan tatapannya yang mematikan padaku, mata kelabu badainya menusuk-nusuk. Aku sampai-sampai terguncang dibuatnya tapi dia malah kelihatan lebih takut daripada marah. "Ellie?"

Kupalingkan wajah cepat-cepat, tak ingin Korain melihatku dengan cara yang sama seperti dia melihat Yorick.

"Sungguh reuni yang menyenangkan." Exen bertepuk tangan lagi. "Aku merasa terhormat ditunjuk sebagai kepala penata rencananya. Bukan begitu, Acres?"

Aku menoleh, saking cepatnya sampai-sampai leherku ngilu. UrsaMayor yang ada di balik antar muka hologram yang digunakan untuk menyiksa Lichas. Seiring langkah yang dia ambil, topeng armornya beriak per molekul, menampilkan wajah yang menjadi tujuanku ke sini, yang menjadi tujuanku untuk melakukan hal keji ini. Aku mesti mengerjap beberapa kali untuk memastikan kalau aku tidak melihat sesuatu yang salah. Dan memang diaAcres. Hidup. Dalam keadaan baik.

"Acresv..."

"Aurellion," katanya singkat. Dingin. Jauh. Berjarak. Aku merasa telah dibuang.

"Aku bisa memperbaikinya," aku ingin maju, berlari untuk menyongsong sosok yang tak kutahu bakal kurindukan sebesar ini. "Aku akan meluruskan semuanya."

"Tidak usah repot-repot." Tukas Acres. Menyemburkan kalimat yang persis sama seperti terakhir kali kami beradu argumen. Untuk kesekian kalinya ditolak. Sesungguhnya aku takkan ambil pusing andaikata dia melakukan ini karena ingin membalas penolakanku padanya. Namun begitu melihat alasan yang sesunguhnya pada wajah serta matanya, aku berharap dia membusuk di Permukaan, aku berharap Acres membusuk di Permukaan sehingga tak satupun dari ini akan terjadi. Membusuk di Permukaan lebih baik ketimbang hari ini.

Akan tetapi selagi Acres masih ada di hadapanku, masih bernapas. Aku takkan menyerah. Aku takkan mengulangi kesalahpahaman yang sama untuk kali kedua. "Apa tawaran itu masih berlaku? Apa aku masih punya kesempatan?"

Mata Acres melebar begitu dia menyadari kesungguhan dalam suara, serta dari raut wajahku. Aku memberi dia anggukan kecil. Menegaskan maksudku.

Ayo kita lakukan.

"Maafkan aku, Ellie."

Dibandingkan aku, Acres lebih pandai berbohong.

"Lihat 'kan." Exen berkata, merentangkan tangan lebar-lebar. Tenang-tenang saja diperhatikan oleh sekian banyak mata. "Teman lama kita ini sudah memutuskan dengan benar. Sekarang, hanya tinggal kau seorang,"

Acres menatapku dengan tatapan memohon, aku menghiraukan ajakan itu. Memilih untuk memelototi Exen, dengan gemetar oleh amarah bertanya. "Apa yang akan berubah, Exe?"

Exen tersenyum. Alangkah mudahnya dia berbuat begitu. "Menurutmu bagaimana?"

Aku meludah. Kuberi Exen tatapan paling garang yang bisa kubuat. "Menurutku kau hanya akan membual. Lagi dan lagi."

"Menurutku," dia menggeleng, berdecak seperti menegur siswa yang bodoh. "hidupmu akan lebih bahagia, Ellie. Bukankah kau menginginkan hal itu? Atau rupanya kau sudah berhenti berharap? Sungguh memalukan."

Kemarahanku surut seketika. Bahagia? Siapa yang bisa hidup bahagia di dunia seperti ini? Hanya orang baik dan aku bukan salah satu dari mereka. "Aku takkan pernah bahagia, aku tahu itu." Otot-otot pipiku berkedut tak terkendali. Belakang kepalaku seperti dipukul godam, dan mataku juga panas. Terasa perih oleh sesuatu. Aku sengaja membiarkan emosi yang ini beriak ke permukaan, semata-mata bukan untuk Exen, tetapi untuk pemuda yang satu lagi. Yang bergeming, yang tanpa kusangka sudah mengkhianatiku habis-habisan. "Aku juga berhenti berharap, sebab mengharapkan sesuatu atau memberi harapan yang tak nyata itu senantiasa disebut sebagai kejahatan tak termaafkan."

"Puitis sekali." Nada bicara serta ekspresi wajah Exen jauh berbanding terbalik. Dia mengibaskan tangan di udara. "Buat pilihannya, Lionne. Kau serahkan Darf itu, kau akan mendapat Acres. Kau serahkan dirimu beserta Darf itu. Maka Acres dan Lick-Ass sialan ini akan hidup sampai aku membunuh mereka lagi. Adil bukan?"

"Dasar ular!" Indira menggeram. Aku seketika tersadar, kemampuan Indira menghilang, sama halnya seperti Paxtof dan Korain serta yang lainnya. UrsaMayor di belakang mereka pasti sudah melakukan sesuatu tentang hal itu, atau Yorick. "Pilihan ini, pilihan itu. Selalu tentang pilihan. Bangsat keparat tanah!!"

"Lebih baik bisa memilih daripada tidak sama sekali!" Acres nyelutuk dengan ketus. Memelototi Indira dengan kebencian yang tak kutahu dimiliki oleh pemuda seperti Acres. Tidak. Bukan begitu. Aku pernah melihatnya. Aku hanya terlalu buta untuk menyadari hal itu.

Demi mengabaikan rasa sakit yang makin keras pada sekujur tubuhku. Aku menunduk sejenak, pura-pura berpikir. Seolah-olah dengan begitu aku bisa menyembunyikan wajahku dari seisi dunia, menyembunyikan parut serta bopeng yang tengah menyerang bagian hatiku. Aku bukan orang baik. Kita semua sebenarnya bukan orang baik. Sebab itulah selama ini kita selalu berpura-pura. Supaya sekedar kita tidak dianggap sebagai penjahat.

Exen bergerak dengan luwes dari tempatnya berdiri, hingga saat ini kami berdiri saling berhadap-hadapan, menatapiku lekat-lekat. Di Sector Tres etikanya begitu, lebih sopan berbicara dengan menatap langsung ke wajah orang yang bersangkutan. Dia menyunggingkan senyum ramah itu lagi. Senyum yang akhir-akhir ini jarang aku lihat di wajah orang lain. "Begini saja. Aku akan memegang janji asalkan kau melakukannya dengan benar. Bagaimana dengan itu, Ellie?"

Apa yang bisa dipercayai dari orang yang sudah mengerahkan segala kemampuannya untuk menjebak sekian banyak orang. Termasuk aku. Tak ada.

Menyadari kekakuanku, Exen bertindak cepat, dia mengetukkan jari telunjuk ke kening. Berkata dengan suara pelan. "Aku selalu memegang janji."

Untuk sesaat aku hanya bisa terbengong. Mustahil. Exen tetap teguh, sama sekali tak berjengit sedikitpun. Dalam gelap mata emas itu bersinar seperti mata kucing. Sekonyong-konyong pemikiran itu muncul ke permukaan. Exen akan memenuhi permintaan apapun yang aku ajukan padanya, asalkan aku juga menuruti apa yang dia katakan. Asalkan. Aku benci kata itu, tapi tak ada langkah lain yang bisa kulakukan saat ini. Aku terkepung, kalah jumlah, lemah. Aku tak punya pilihan selain menyetujui janji Exen.

"Pilih, Lionne. Pilih."

Aku maju selangkah, makin dekat dengan Exen. Dia tidak mundur, malah ikut maju. Mengulurkan tangan, menyalahartikan gesturku dengan telak. Aku tersenyum amat lebar sampai-sampai setiap sudut bibirku sakit keterlaluan. Acres menegang, tangannya terjulur ke arah hologram pengendali di belakangnya. Aku juga mengangkat tangan, menebas lengan tangan Exen yang terjulur. Seperti halnya kepala UrsaMayor yang menjadi korban pertamaku, tangan yang dibalut armor hitam keemasan terpental jauh dari pemiliknya. Bedanya UrsaMayor yang kutebas kepalanya tidak mengeluarkan suara, sementara Exen, menjerit seperti hewan yang disembelih. Tembakan berdesing terlambat, beruntung bahwa tubuhku sudah dibalut jaring pelindung sehingga peluru itu hanya terpental untuk terongok di lantai tanpa mengenai atau bahkan melukai aku.

Semuanya berlangsung dengan cepat. Korain berbalik, membantu Yorick serta Denaya untuk membunuh UrsaMayor yang menahan dia dan yang lain hanya dengan sekali kibasan tangan. Xaya muncul berkelebat untuk membawa Lichas yang tertahan pergi dengan segera. Acres menghancurkan hologram dengan Jadrové kepunyaannya, kemudian berbalik untuk berlari ke arahku, mengulurkan tangan, tersenyum. "Itu baru gadisku."

Sekali ini aku merasa semua akan baik-baik saja.

Namun rasa itu menghilang secepat datangnya. Tembakan itu menjungkalkan Acres, memuncratkan daging dan darah ke udara. Sebelum aku sempat bereaksi, semburan listrik menerjang hanya beberapa senti dari depanku. Exen terkapar, terkejang-kejang oleh kemampuan Indira, tapi saat Indira berusaha menuntaskannya, seorang UrsaMayor muncul tiba-tiba, memukul, menyergap Indira dari belakang, membawa gadis itu terbang menjauh dari kami. Seorang lagi menyambar Exen.

Aku mengubah Jadrové menjadi AirArcher, memanah UrsaMayor yang berniat menculik tubuh Acres juga. Aku belum sempat menembak yang berikutnya ketika terdengar bunyi dentuman yang teramat keras di bawahku. Bangunan yang kupjikai sekarang akan roboh. Mulanya perlahan, tapi semakin lama semakin cepat. Aku melompat, menggapai Acres, menggapai apapun yang bisa aku gapai. Acres masih hidup, mata emasnya balas menatapku. Kupeluk dia seerat mungkin, dia balas memelukku walaupun tidak sekuat biasanya.

Aku berbisik sementara bangunan makin lama makin oleng. "Aku takkan pergi lagi."

Dia balas berbisik, suaranya hampir-hampir tak bisa kudengar. "Ya. Tapi aku akan."

Acres memegangi sikuku, bukan untuk mempererat pelukan, tetapi untuk mendorongku menjauh darinya.

Aku tidak mengerti.

Tubuhku ditarik oleh kekuatan tak kasat mata, membawaku melayang menjauh. Dari petaka, dari Acres yang masih dalam posisi terlentang, armor UrsaMayor yang semula dijatuhkan kembali menyatu ke tubuhnya, mengiringi gapaian tanganku yang mencakar-cakar udara dengan sia-sia dengan tatapan mata emasnya yang polos. Teramat sangat polos. Seperti remaja laki-laki kedinginan yang kutemukan saat pertama kali kami bertemu.

Aneh bahwa aku melihat kenangan Acres, sesaat sebelum seluruh langit-langit dan dinding bangunan menguburnya. Genggaman tangan ayah dan ibu Acres yang hangat; senyum neneknya; syal yang dirajut dengan tangan sendiri oleh kakeknya; tawa keempat adiknya; Islee berangkulan dengan seorang pemuda; dan wajahku yang teramat cantik di Sector Dva-hanya sesaat sebelum Acres memutuskan untuk menciumku.

Ayahku mengobrak-abrik kepala orang lain demi mendapatkan keadilan. Akankah aku melakukan hal yang serupa?

Tidak. Sudah terlambat bagiku untuk itu. Aku tahu aku akan gagal lagi, aku tahu aku akan mati rasa lagi. Namun tetap saja aku tidak rela, aku berteriak sekencang-kencangnya, sama seperti ketika aku melihat Leah terbaring dengan darah di Arcade. Namun kali ini aku berteriak memanggil nama pemuda yang mencintaiku, yang kusayangi. Aku terus berteriak sementar seseorang mendekap tubuhku erat, membiarkan aku hanya menonton Ciung Wanara beserta Acres di dalamnya hancur lebur, hanya menyisakan asap dan debu yang membungbung tinggi. Memedihkan mata. Melukai hatiku.

Aku ambruk dengan lutut terlebih dahulu. Merasakan sesuatu meledak dari dalam tubuhku. Dukaku, kemurkaanku. Kacau balau. Telingaku berdenging, darahku mendidih, aku bersujud,menutup kepalaku, merasakan kerasnya goncangan tanah di sekitarpada dahiku.

Setelahnya, aku tak mendengar apapun lagi, selain senandung lamatentang akhir, kehilangan dan penyesalan yang mencabik-cabik bagian hatiku yang memang sudah rombeng.[]

Total : [2471 words]

I'm here. Always here. But none of u could see me.

-Your Fav Author, Kahnivore.
Call me Pras, Karnip, Kahn, Pras.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro