2 - The Weird Guy
🎶
Did a full 180, crazy
Thinking 'bout the way I was
Did the heartbreak change me? Maybe
But look at where I ended up
I'm all good already
🎶
"So ... I lost my job."
"Gila!"
Hyunjoo membanting kepalan tangannya ke atas meja, kemudian meringis kesakitan. Dia sama seperti Nate, menentang keras hubunganku dengan Jeff, tetapi sekarang dia juga yang paling marah atas berakhirnya kami. Wajahnya merah, dan matanya melotot, seperti dikuasai oleh emosi. Suaranya lumayan nyaring, sampai berhasil meredam musik jazz yang sedang dimainkan di bar ini.
"Dan kau merelakannya?"
Aku mengangguk sembari menyuap es krimku. Tadi aku sengaja memesan semangkuk besar es krim demi mendinginkan kepalaku. Aku tidak ingin dikontrol emosi saat menceritakan bagaimana Jeff memecatku.
"Ava, aku mungkin menentang hubungan kalian dulu, tapi kalian cocok bersama. Kenapa tidak dengarkan penjelasannya dulu? Mungkin ada cara untuk mengembalikan hubungan kalian?"
Keningku berkerut, mempersatukan sudut kedua alis agar bertemu di atas batang hidung. Kuharap aku tidak salah mendengar, tetapi Hyunjoo memang sudah mengatakan itu. Segera saja aku merapalkan doa dalam hati agar itu tidak terjadi.
Aku. Tidak. Akan. Sudi. Kembali. Dengannya. Walau ia sudah banyak mengeluarkan uang untukku, termasuk tas bermerk di atas meja ini, yang harganya setara dengan sewa apartemenku selama sebulan. Big no.
"Sekali lagi kudengar itu dari mulutmu, Joo." Aku belum menyelesaikan kalimatku, tetapi Hyunjoo sudah menciut. Dia memberiku cengiran terbaiknya, dan berhasil membuatku urung melanjutkan kalimatku lagi.
"Dia sudah membuatku malu, apa kata seisi kantor? Aku mengundurkan diri karena patah hati?" Aku berdecih kesal, lalu menyuap satu sendok es krim lagi. Isi mangkukku sudah hampir habis dan aku berencana memesan lagi nanti.
"Mungkin dia ingin balas dendam. Kaubilang sudah menyiramnya di tempat umum."
"Kupikir itu pantas buatnya. Aku tidak menangis karena dia bersama wanita lain, tetapi menyiramnya dengan minuman yang bekasnya tidak mudah hilang meski dicuci berkali-kali. Apalagi harga jasnya tidak murah. Thanks to his parents."
"Maksudmu ... dia masih disponsori orangtuanya?"
Whoopsie. Aku tidak hanya mengumpat tentang Jeff, tetapi juga mempermalukannya.
"Dia anak tunggal seorang pengusaha, dengan cara apa lagi mereka menghabiskan uang kalau bukan untuknya? Mereka sudah terlalu tua untuk bersenang-senang." Ya ... karena sudah telanjur keceplosan, sekalian saja kuceritakan.
"Woah, woah." Hyunjoo mendorong angin dengan telapak tangannya ke arahku, mengisyaratkan agar aku tidak bicara dulu. "Kau tidak perlu melampiaskan itu pada orangtuanya, Va."
Apa aku mengucapkannya dengan penuh emosi tadi? Maaf, Tuan dan Nyonya Austine. Aku masih menghormati mereka meski putranya sangat keterlaluan.
"Yo, guys, sorry for being late, got traffic on the way here."
Aku ingin berterima kasih pada mereka sekarang karena tiba di saat yang tepat—meski sangat terlambat; kemacetan di jam-jam makan malam sangat wajar terjadi di jalan besar kota New York—Hyunjoo sudah memicing ke arahku, seperti menuntut kelanjutan cerita tentang Jeff. But instead, aku memberi senyuman terbaikku pada dua pria yang tengah menarik kursi di hadapan kami.
"Joo, kau tampak lebih berisi," ujar pria satunya.
Aku menjerit dalam hati, bisa-bisanya Dave, atau David, mengucapkan itu kepada Hyunjoo. Tidakkah dia tahu seperti apa yang akan dirasakan wanita Asia itu? Mungkin Dave sudah tahu, karena dari kerlingan matanya pada Hyunjoo, dia sengaja melakukan itu untuk mengganggunya. Kami semua tahu kalau Dave naksir berat dengan Hyunjoo—kecuali Hyunjoo tentunya. Segala cara akan dia lakukan demi mengobrol dengannya.
Hyunjoo yang baru saja menenggak habis minumannya lantas membanting gelas itu dengan kuat, tak peduli jika gelas dan meja yang kami tempati sama-sama berbahan kaca. Dia memicing pada Dave, dan aku menantikan aksi Hyunjoo selanjutnya.
"This is my body, Dude. It's fine by me."
Ya ... cukup mengejutkan Hyunjoo hanya merespons seperti itu, mengingat selama ini keduanya selalu terlibat adu mulut. Dan kurasa Dave kecewa akan hal itu, mata biru langitnya kehilangan binar. Selanjutnya dia menyisipkan kelima jari di antara rambutnya yang pirang hampir putih. Tangannya masih berada di sana, seperti sedang menunjukkan sisi terbaiknya—dahi dan alis tebal—kepada Hyunjoo. Namun, dia sama sekali bukan tipe wanita itu dan aku tidak tega memberitahunya.
"Aku haus. Sudah boleh pesan, 'kan?" Peter, yang lebih suka kupanggil Pete, mulai celingukan ke sana kemari dengan gelisah. Terlebih lagi ketika tidak ada bartender yang berjaga di balik konter. Pria berkulit hitam ini mulai mencari-cari pelayan yang kira-kira dapat menerima pesanannya, entah itu segelas cocktail, tequila, atau—
"Pete, tak ada alkohol malam ini." Aku berkata buru-buru.
"What? Malam ini tidak akan lengkap tanpa bir." Seperti yang kuduga, Pete akan protes. Dia berkebalikan denganku yang sudah teler meski hanya meminum satu botol bir.
"Ava serius. Jangan malam ini," ujar Hyunjoo menimpali.
"Kudengar Jeff akan bertunangan dengan model terkenal itu. Bagaimana perasaanmu, Ava? Oh—seharusnya kau minum sedikit untuk mengalihkanmu dari kesedihan." Dave menggebu-gebu mengatakannya.
"Aku tidak sedih," sahutku sembari memutar mataku, tidak terima.
"Mungkin Ava tidak ingin jadi seperti itu," timpal Hyunjoo seraya mengerling ke sebuah meja yang posisinya di paling ujung.
Ada seorang pria dengan berbotol-botol minuman di atas mejanya. Di ujung sana memang lebih temaram karena tidak tersorot oleh lampu sepenuhnya, hingga wajah pria itu tidak tampak jelas untuk kukenali. Bagian menariknya, pria itu seperti tidak memiliki semangat hidup sama sekali.
Aku masih memperhatikannya. Dia meracau, seperti berbicara pada seseorang dan tertawa sendiri, padahal tak ada siapa pun di sana. Kupikir itu efek mabuk. Orang aneh yang malang. Andai dia tidak minum-minum seperti itu, mungkin aku akan meminta Dave atau Pete mengajaknya bergabung dengan kami.
"Dia seperti sedang patah hati."
"Atau kehilangan pekerjaannya."
"Bisa saja keduanya. Kehilangan adalah sesuatu yang berat."
Mataku menyipit kesal, aku sadar Dave dan Pete sedang menyindirku agar aku tergiur untuk minum seperti saran mereka. Tidak akan. Aku tidak ingin menerima risiko terjadi sesuatu karena mabuk.
"One more ice cream, please," ujarku pada seorang pelayan yang baru saja lewat.
🎶
Hari Sabtu minggu kedua di bulan Mei.
Aku menyesal melihat kalender pagi ini, karena berhasil menyadarkanku bahwa aku sudah menganggur sebulan lamanya. Walau tidak bisa benar-benar disebut pengangguran karena aku juga mendaftarkan diri sebagai freelancer di beberapa situs daring selagi menunggu panggilan wawancara kerja. Penghasilannya tak sebanyak ketika aku bekerja di perusahaan Jeff memang, tetapi cukup untuk biaya sewa apartemen. Uang pesangon dari Jeff pun masih cukup sampai akhir tahun.
Aku menggeliat di atas kasur, hingga hampir menjatuhkan laptop yang sejak tadi kuletakkan di atas paha. Satu lagi pesanan desain logo yang membuatku tidak tidur semalaman. Aku sampai enggan menatap muka kacauku sendiri di cermin. Setelah membersihkan diri, aku langsung ke dapur sambil mengikat rambut.
"Aku terkejut kau menyiapkan sarapan pagi ini." Dan aku menempel pada Nate agar dapat meraih selembar panekuk yang sudah mendingin di piring, lalu memakannya tanpa topping apa pun. "Hm, lain kali kurangi gulanya. Ini lumayan manis."
"Aku kelaparan," sahut Nate sambil membalik panekuknya dengan tenang. Dia tidak sedikit pun marah panekuknya kumakan duluan. "Dan kau memakannya di sebelahku, makanya terasa manis."
Aku berlagak akan muntah karena ucapannya, tetapi masih dengan lahap menghabiskan selembar panekuk di tangan. Nate tertawa di sela-sela aktivitasnya. Adonannya masih banyak dan kupikir itu akan cukup untuk kami berdua sampai makan malam nanti.
"Kau ada rencana ke mana?" Aku masih berada di sampingnya, tetapi ke arah yang berlawanan dengannya karena aku menyandarkan pinggul ke pinggiran meja pantri. Setelah satu lembar habis, aku mengambil panekuk lagi. Aroma yang menguar dari panekuk Nate berhasil memancing nafsu makanku.
"International Food Festival is being held on 9th Avenue today." Nate menumpahkan panekuk yang sudah matang ke atas setumpuk panekuk lainnya di atas piring, sementara aku berusaha mengingat tanggal berapa hari ini. "Teman-temanku akan ada di sana, jadi aku tidak mau ketinggalan."
"Bisakah aku ikut denganmu?" Kupikir aku perlu sedikit bersenang-senang setelah hampir dua minggu mendekam di kamar dan hanya keluar jika sudah tiba waktunya belanja mingguan.
"Ya, tapi kita berpisah di sana, aku ingin bersenang-senang dengan mereka."
"Jadi, kau hanya memberiku tumpangan? Well, tak masalah." Perjalanan dari 5th Avenue ke 9th Avenue lumayan jauh, aku bisa menghemat biaya transportasi dengan menumpang motor Nate.
"Hm, hm. Sebaiknya cepat ganti baju, karena setelah sarapan, aku akan langsung berangkat."
Ketika dia menyuruhku, aku baru menyadari penampilannya yang sudah rapi, tak ada lagi rambut acak-acakan. Wajar saja, ini sudah jam sembilan lewat. Nate mengenakan kemeja kotak-kotak merah tak dikancing, berlengan panjang yang digulung setengahnya, dipadukan dengan celana jeans hitam. Di balik kemejanya, dia mengenakan kaos berwarna hitam. Sayangnya, dia tidak cukup keren karena kacamata yang harus bertengger di atas hidungnya.
Aku sudah melarangnya untuk tidak terus-terusan menatap layar, tetapi dia tidak pernah menurut. Andai untuk menyelesaikan tugas kuliahnya, tak masalah, tetapi ia lebih banyak bermain game. Dan aku kesal karena harus membeli gagang kacamata baru untuknya hampir setiap bulan. Alasannya? Nate ceroboh dan selalu mematahkannya.
"Aku akan siap dalam lima menit, tenang saja."
🎶
Aku keluar kamar dan siap berangkat. Kukenakan celana jeans hitam yang semerk dengan milik Nate. Gaya berpakaian kami hampir sama, tetapi aku lebih suka melapisi apa pun yang kukenakan dengan jaket, dan kali ini aku memilih jaket kulit hitam untuk melengkapi penampilanku. Rambutku yang cokelat bergelombang dibiarkan terurai membingkai wajahku yang nyaris kotak. Aku baru memberi highlighter di beberapa bagian rambut dengan warna platinum blonde minggu lalu dan memercayakan jiwa seninya Nate. Kemudian Ankle boot warna cokelat tua membungkus kakiku. Aku tidak akan peduli jika Nate protes dengan penampilanku yang jauh dari standar feminin baginya.
"Jadi, aku menunggumu 20 menit hanya untuk penampilan yang seperti ini?" Nate memandangku dari kepala sampai kaki. "Kaubilang cuma lima menit."
"Apa yang kauharapkan? Waktuku terbuang untuk mencari celana ini." sahutku agak kesal, sambil mengangkat sebelah kaki untuk menunjukkan celanaku padanya.
"Mungkin sedikit warna di mukamu yang pucat itu?"
"Berdandan untuk menghadiri festival makanan? Percuma, Nate." Aku merotasikan kedua mataku padanya. Sementara Nate membalas dengan cibiran tanpa bersuara.
"Siapa tahu ada seseorang yang menarik perhatianmu di sana," sahutnya sembari menaiki motor. Dia menyodorkan helm kepadaku setelahnya.
Nate sering bilang agar aku tidak tampil ala kadarnya jika bepergian keluar. Dulu kupikir karena sudah berkencan, jadi aku tidak perlu repot-repot berdandan untuk diperhatikan orang lain. Dan Jeff tidak pernah protes soal itu. Bisa dibilang, dia menerimaku apa adanya. Terlebih lagi, aku memang tidak suka mempersulit diriku sendiri. Pelembap, tabir surya, bedak tabur, dan lip balm yang akan meninggalkan warna di bibir, sudah cukup buatku.
Sekarang, apa kebiasaanku itu perlu sedikit diubah demi menuruti ucapan Nate? Mencari pengganti Jeff? Aku bahkan tidak yakin apa aku sudah siap berhubungan lagi. Well, ini bukan tentang aku tidak bisa move on dari Jeff, tetapi aku baru dikhianatinya bulan lalu, dan bukan berarti itu tidak meninggalkan kewaspadaan.
"Ava, kau melamun."
"Ha?" Aku tersentak karena teguran Nate.
"Kita sudah sampai, mau sampai kapan duduk di sini?
Dari kaca spion motornya, aku bisa menemukan kalau Nate sudah sangat kesal. Wajahnya tertekuk masam, dan di mataku, dia seperti anak kecil yang tidak diberi permen. Aku tidak tahu sudah berapa kali dia memanggilku.
Aku turun dari motor sambil melepas helm, lalu mengedarkan pandangan ke pintu masuk festival. Ini masih terhitung pagi, pukul 11.00, belum banyak orang yang datang meski sudah terbilang ramai. Biasanya tempat ini akan sangat penuh di malam hari.
"Kita akan berpisah di 45th Street." Nate bicara ketika kami mulai memasuki kawasan festival, yang pintu masuknya ada di 43th Street.
"Fine by me."
Kami sudah melewati banyak stan makanan lokal. Namun, belum berencana mampir karena panekuk yang masih dicerna dalam perut. Di festival ini tak hanya menjual makanan lokal, tetapi juga makanan khas dari berbagai negara. Mana mungkin festival yang memakan tempat sampai hampir sepuluh blok itu hanya memamerkan makanan lokal. Tak akan ada yang datang, aku berani jamin.
Itulah yang membuat Hyunjoo sangat senang datang ke sini. Dia bisa menyantap makanan khas negara asalnya tanpa harus pulang dulu. Sayangnya, aku terlalu malas untuk sekadar mengabari bahwa aku sudah di sini.
"Mereka di sana," ujar Nate dan berhenti melangkah, dia menunjuk sekumpulan laki-laki yang ada di stan penjual Risotto; masakan khas Italia, aku belum pernah memakannya, tetapi pernah membaca kalau menu itu merupakan sajian beras yang dimasak dengan kaldu lengket menyerupai krim.
"Oke, jadi kita berpisah di sini," sahutku sembari memperhatikan sekitar, mencari-cari stan camilan.
"Um, kau bisa menghubungiku kalau mau pulang."
Aku kembali memandang Nate yang sudah menatapku lembut, tersirat rasa bersalah di kedua maniknya yang gelap. Memangnya siapa lagi yang akan mengurusku selain dirinya? Kami hanya memiliki satu sama lain. Kisah orangtua kami sangat buruk untuk diceritakan, dan aku tidak ingin dikasihani.
Kuremas pundaknya dan memberi senyum yang menunjukkan bahwa aku akan baik-baik saja. "Tidak, hubungi aku kalau mau pulang, kita bertemu di parkiran."
Dia mengangguk dan aku segera meninggalkannya. Aku tahu Nate, dia tidak akan pergi sebelum aku melakukannya. Sungguh adik yang baik. Di samping sikapnya yang menyebalkan, aku cukup bersyukur memilikinya.
Stan popcorn yang biasa-biasa saja menarik perhatianku. Tak ada yang spesial kecuali varian rasa dan warnanya yang tak jauh-jauh dari pastel. Posisinya ada di perempatan dekat 46th Street. Camilan itu menjadi favoritku karena Ibu selalu membuatnya untukku. Sebenarnya aku lebih suka memakan ini di bioskop, tetapi tak masalah, itu bisa jadi camilanku selama berkeliling festival.
Aku menerima popcorn rasa manis gula berwarna putih beserta kembalian sebelum melanjutkan langkah. Pengunjung lainnya mulai berdatangan memadati festival. Hampir semua stan dipenuhi oleh pengunjung, seolah-olah tiap penjual menerima jumlah pengunjung yang sama. Langit biru terang seperti mengizinkan mereka untuk mencari uang. Aroma berbagai masakan berlomba-lomba menyapa penciuman. Aku sampai dibuat bingung ingin mampir ke mana karena semuanya sungguh menggugah selera.
Sayangnya, aku harus bernasib sial, ketika seseorang yang keluar dari belokan menabrakku dengan keras. Aku tidak mempermasalahkan sakitnya, sungguh. Namun, popcorn-ku ... .
Aku menatap kotak di tanganku sebelum mendongak untuk memandang pelakunya.
"Hei, akan kutelepon lagi nanti." Dia menurunkan ponsel yang menempel di telinga dan mematikannya sebelum menatap wajahku.
Bolehkah aku mengagumi parasnya sebentar? Dia tampan, dengan standarku tentunya. Wajahnya dipahat sempurna tanpa cela, dan rahang yang bekas dicukur itu membuatku hampir lupa bernapas. Jangan lupakan hidung bangirnya yang lancip, matanya yang abu kehijauan menyedot seluruh atensiku sampai tak mampu mengalihkan pandangan. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, tidak cepak. Dengan semua kesempurnaan itu, entah kenapa terasa tidak asing bagiku. Aku pernah melihatnya di suatu tempat meski ingatanku agak samar.
Oh!
"Kau si pria aneh di bar waktu itu," ujarku dan menunjuk tepat di depan hidungnya. Aku ingat potongan rambut dan bentuk rahangnya. Jaket denimnya juga sama.
Dia melempariku tatapan penuh tanya. "Kita pernah bertemu?"
"Secara teknis, tidak, tapi aku pernah melihatmu di bar, seperti orang yang ... kehilangan semangat hidup."
Sekarang aku jadi lebih bersemangat memastikan bahwa pria di bar waktu itu adalah dirinya, daripada mempermasalahkan popcorn-ku yang meluap dari kotak lebih separuhnya—kini berhamburan di trotoar.
Kerutan di dahinya semakin dalam, gelagatnya menunjukkan bahwa dia memang pernah berada di bar dengan situasi itu, terlebih setelah dia membalas, "Kapan?"
"Kira-kira sebulan lalu?"
Dia berpikir cukup lama sebelum akhirnya mengelak dengan gelengan kepala dan wajah yang cemberut. Aku memicing curiga, tetapi memutuskan untuk tidak membahasnya lebih jauh, pria setampan dia mungkin punya reputasi untuk dijaga. Mengakui bahwa dia pernah seperti itu mungkin akan merusak harga dirinya, persis seperti Jeff.
"Soal popcorn-mu ... akan kuganti dengan yang baru. Atau kubayar?"
Aku memandang kotak di tanganku dan menggeleng pelan. "Tak perlu, Tuan. Ini murah, aku bisa membelinya lagi."
Pria tampan ini tidak sopan juga memutar kedua bola matanya padaku dan menggeram seperti orang menahan marah. "Anggap saja sebagai permintaan maafku," ujarnya sambil mengeluarkan dompet, dan aku sempat melihat banyak lembaran uang $100 di dalamnya.
"No. It's okay. Pakai saja uangmu yang banyak itu untuk membeli hal lain." Aku tidak ingin dianggap mengemis karena menuntut ganti dari orang lain, padahal harga popcorn ini tidak sampai $10.
Sebelum dia memaksaku untuk menerima uangnya, aku segera pergi dari sana. Aku juga sudah tidak sanggup menahan napas terus-menerus karena terpesona padanya.
Dan lagi-lagi aku tidak beruntung hari ini. Di antara ribuan orang yang memadati 9th Ave, bagaimana bisa aku dipertemukan dengan mereka. Aku setuju kalau dunia itu sempit, tetapi tidak pernah kuharap akan sesempit ini. Parahnya, aku tidak sempat menghindar karena mereka sudah lebih dulu melihatku.
"Hai, Ava, kita ... bertemu lagi." Claudia tersenyum padaku, sambil berusaha menarik tangannya dari kungkungan jari besar Jeff. Bisa kutangkap gurat-gurat rasa bersalah di wajah wanita itu. Mungkin dia tidak enak sudah merebut priaku, padahal dia harus tau kalau aku merelakannya. Demi menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, aku memberi mereka senyum terbaikku.
"Hai, tidak kusangka akan bertemu kalian di tempat ini. Coba lihat, tidak ada meja romantis di sini. Hanya beberapa set meja dan kursi plastik untuk para pengunjung," ujarku agak sarkastik, sebab lihatlah wajah Jeff, kentara sekali ingin pamer padaku.
"Kami berencana makan malam setelah ini, kebetulan lewat, jadi sekalian mampir. Kau kelihatan baik-baik saja. Sudah mendapat pekerjaan baru?"
Thanks to you, I'm jobless.
"Tentu, aku punya hidup yang harus dijalani sebaik mungkin. Dan ... aku bekerja cukup baik, terima kasih sudah bertanya."
Jeff tertawa ringan, seperti mengejekku. "Ada seseorang yang sedang kaulirik? Aku akan dengan senang hati membayar makan malam untuk double date?"
Sial. Pria ini sengaja menyudutkanku. Dia menyeringai, seperti tahu bahwa aku belum menemukan pengganti dirinya. Menyebalkan.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyindirmu, aku tahu perpisahan kita menyisakan luka, tetapi kuharap kau selalu bahagia." Jeff bersikap seolah bersimpati kepadaku. Dan aku tahu itu tidak tulus, tetapi aktingnya perlu kuacungi jempol.
Aku menyugar rambutku yang beberapa helainya tertiup angin dan menutup wajah, sembari bernapas sekuat mungkin untuk menghalau emosi. Aku benci dengan fakta bahwa saat ini aku menghirup oksigen yang diselimuti oleh bau parfum mereka. Namun, setelahnya aku tersentak kaget karena seseorang tiba-tiba datang merangkulku, hingga tercium aroma lainnya yang lebih menenangkan.
"Hey, Babe, sorry, the line was too long."
Aku hanya bisa menganga ketika si pelaku, yang adalah seorang pria, menyodorkan roti bakar padaku. Samar-samar, aku bisa mendengar Claudia menyebutkan satu nama.
"Alby."
***
Hai, Tuteyoo balik lagi dengan bab 2. Gimana menurut teman-teman?
H-2 lebaran, nih. Udah punya rencana apa? "Bikin kue, dong." Ah, benar juga.
Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran, ya ^^ Penulis ini perlu banyak-banyak masukan.
Dan bagikan bintangnya jika cerita ini sudah pantas menerimanya. Sampai jumpa Sel—
Eit, tunggu dulu. Besok bakalan ada playlist yang update, lho. Lovesick Girls punya NeissLyn Cek deh cuplikannya di bawah.
***
Sebuah mobil box menghalangi kami. Cahaya lampu merah jambu yang mendominasi mobil itu benar-benar menarik perhatian.
Di sana, sebuah aplikasi bernama Lovacation sedang diiklankan. Aku sudah tak merasa asing dengan nama itu karena sering mendengarnya menjadi topik pembicaraan para gadis populer di kelas. Meski tak banyak yang dapat kuingat, yang jelas katanya dengan aplikasi itu kita bisa tahu di mana jodoh kita berada.
Cukup konyol memang, dan aku sendiri tak memerlukannya. Untuk apa menggunakan aplikasi itu jika aku sudah berhasil menemukan jodohku sendiri? Kalau pun aku mengunduhnya, aku yakin ia akan mengantarkanku ke seberang jalan, tempat Angga berada.
***
Nah, sampai jumpa Selasa depan, Ava bakal ketemu sama kalian lagi.
Lots of Love,
Tuteyoo
11 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro