Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

032 - Date At The Festival (2)

Dimulai dari beberapa permainan seperti; bianglala, komedi putar, tembakan dengan target merubuhkan kayu kecil untuk mendapatkan hadiah, Alma dan Jackson segera bergabung di salah satunya. Rela mengantri panjang untuk mendapatkan tiket, di mana katanya mereka ingin menaiki bianglala. Well, lebih tepatnya Alma memaksa Jackson. Kami pun terpaksa harus mengikuti keinginan gadis itu, tetapi mendapatkan keringanan karena Jackson menawarkan diri untuk mengantri bersama Alma.

Aku dan Aiden pun mengangguk cepat, penuh kerelaan hati lalu segera melanjutkan perjalanan menuju Jajaran penjual makanan, minuman, serta aksesoris yang berhubungan dengan festival. Tidak ingin kelaparan di tengah festival, kami dengan sangat bijaksana memilih untuk membeli beberapa makanan kering--tapi mengenyangkan--buat kedua teman kami yang sedang mengantri, serta membeli dua hotdog dan cola untuk disantap sambil menonton sulap badut.

"Jika aku mengajakmu ke gua hantu, apa kau akan setuju?" Aiden bertanya padaku, sambil menunjuk ke arah barat. 

Sinar matahari begitu mendominasi sore ini, sehingga membuat pandanganku memburuk dan memerintahkanku untuk menyipitkan mata. Bukan hanya itu, aku juga harus menaikkan tangan kiriku di depan kening demi menghalau cahaya, setelahnya barulah aku mampu melihat gua hantu.

Baiklah, sebenarnya aku tidak takut hantu. Reaksi berlebihanku hanya terjadi jika mereka--para hantu--berhasil mengjutkanku. Aku melirik ke arah Aiden, sambil memberikan senyum miring. Terkadang para lelaki selalu berpikir bahwa perempuan sangat membenci dan takut hantu, sehingga kesempatan tersebut selalu mereka gunakan untuk melakukan kontak fisik alih-alih memeluk saat ketakutan menghampiri sang gadis. 

Yeah, anggap saja bahwa saat itu lah para lelaki memperlihat jiwa melindunginya. Sehingga dengan sangat sadar, aku pun berkata, "Tentu saja. Aku suka tantangan, selama itu tidak mengejutkanku."

"Bagaimana jika mereka mengejutkanmu?" tanyanya. "Bukankah tugas mereka adalah mengejutkan, hingga semua yang masuk ke dalam gua itu pun harus ketakutan. Kudengar, salah satu dari pengunjung bahkan sampai harus mengorbankan sepasang sendalnya akibat terlalu takut untuk kembali."

"Oh, I see," ujarku sambil mengangguk-anggukan kepala.

Aiden pun menoleh ke arahku lalu mengubah posisi berdirinya menjadi berhadapan denganku. "Sepertinya kau benar-benar tidak peduli dengan kejadian yang telah terjadi di sana."

Aku mengangkat bahu kemudian memakan sandwich, di mana dengan sengaja aku membuka mulutku lebar-lebar untuk mengetahui--hal yang tidak penting--apakah, Aiden akan kehilangan rasa jika menghadapi gadis tanpa rasa jual mahal.

Sayangnya, tanpa perlu di teliti lebih jauh pun sudah terlihat jelas, bahwa Aiden tidak peduli sebab detik itu juga ia menarik tangan kiriku, hingga membuat cola-ku nyaris jatuh.

Seperti anak kecil yang berlari-larian sambil meniup gelembung busa kami pun turut berlari, selalu menabrak orang-orang lalu meminta maaf tanpa rasa penyesalan hingga cola-ku benar-benar jatuh di depan gua hantu. Aku menatap Aiden--sengaja tidak bersuara--melirik ke arah cola utuhnya yang masih berada di dalam kantung plastik, kemudian menunjuk menggunakan bibir yang mengerucut.

Aiden pun mengembuskan napas panjang dan mengambil cola miliknya. "Kau menginginkan ini karena aku telah menjatuhkannya, bukan?"

Aku mengangguk lalu segera mengambilnya dan bersandar pada bahu Aiden, senyum lebar pun kuberika untuk lelaki itu. Tidak ingin membuang banyak waktu, sisa sandwich di tangan kananku segera kuhabiskan lalu meminum cola sebagai penutup. 

Dari sudut mata, aku bisa melihat Aiden sedang membeli tiket. Aku menggeser sedikit posisi dudukku, sengaja memerhatikannya sambil memuji betapa beruntung bisa pergi ke festival bersama Aiden. Meskipun harus menghadapi perangai buruk mantan pacarnya, kurasa Aiden akan terus melindungiku, seperti bagaimana sikapnya saat kami berlari melewati arus ramai manusia.

"Hai, kau ingin kita bergantian untung memasangkan ini?" tanya Aiden sambil memperlihatkan dua gelang yang berubah fungsi sebagai tiket. "Aku sudah mencoba untuk memasangnya sendiri, tapi aku kesulitan jadi--"

"Tidak apa-apa." Aku menyerahkan sekaleng cola yang telah habis separuhnya kemudian mengambil satu gelang berwarna biru milik Aiden beserta tangan kanannya. 

Jika dibolehkan untuk jujur, maka kau akan memberitahu Aiden bahwa jantungku sudah benar-benar tidak keruan. Setengah mati, aku berusaha agar tidak gemetar sehingga yang kupikirkan hanyalah bergerak cepat dan menyelesaikan semua ini secepat mungkin. Namun, bukannya bergerak bagai kecepatan cahanya, kedua tanganku justru bergerak lambat karena terlalu gugup.

Aiden pun tanpa berbicara apa-apa, apalagi protes pun lebih memilih untuk menunggu dengan sabar. Di mana keputusan itu membuat dewi batinku menyimpulkan, Aiden benar-benar menjadi lelaki terbaik, yaitu menghargai keadaanku yang mana saat ini tampak sekali gugupnya. 

Sebenarnya jika dia bukanlah Aiden, tentu semua akan berjalan lancar. Namun, karena dia adalah lelaki yang telah lama kusukai, maka ....

... aku tahu sekali, bahwa Aiden pun mengetahui arti dari kegugupanku.

"Sudah selesai," ujarku dengan nada super pelan, nyaris serak karena hanya untuk memasang gelang plasik, aku membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk mendapatkan kesempurnaan dan untungnya selama itu pula, Aiden menungguku tanpa bicara.

Aiden menarik tangannya seiring dengan aku yang akhirnya berhasil menyelesaikan misi dengan baik. Lalu dengan sangat buru-buru aku pun mengambil kaleng cola yang berada di tangan kiri Aiden, dan saat itu juga aku meminumnya seakan-akan tidak pernah memanjakan tenggorokan dengan cairan selama seratus tahun.

"Thanks," ujarnya tulus setelah aku selesai meredakan kekeringan pada tenggorokan. 

Dan belum saja aku selesai menormalkan deru napasku, Aiden langsung saja mengambil tangan kananku lalu memasangkan gelang.

Parahnya, Aiden hanya butuh lima detik untuk memasangnya. Sehingga demi menyembunyikan rasa malu, aku pun menunduk tanpa disuruh.

"Sebenarnya, aku menikmati saat kau memasangkan gelang untukku," ujarnya yang membuatku mendongkakkan wajah agar bisa melihatnya. Aiden memberikan senyuman itu, di mana hal tersebut selalu meluluhkan hatiku. "Bukan hal memalukan jika memerlukan waktu lama, karena aku pun saat kecil pernah mengalaminya." 

Sambil mengulurkan tangannya, aku tahu bahwa secara tersirat ia meminta agar aku mau menerima ulurannya yang mana dnegan kata lain, kami akan saling bergandengan saat memasuki gua hantu. Tanpa rasa ragu, apalagi berpikiran negatif, aku pun menerimanya dan detik itu juga Aiden menuntunku menuju pintu masuk.

***

Jump scare adalah hal yang paling kubenci dan kuhindari. Sehingga keputusan untuk menyetujui ajakan Aiden pun adalah kesalahan fatal, tetapi aku sama sekali tidak menyesali itu karena dari momen ini, aku jadi mengetahui bahwa Aiden adalah lelaki yang sopan.

Oke, lupakan tentang bagaimana awal kami bisa seperti ini, sebab menurut pengakuan Aiden itu karena ia kehabisan ide untuk mendekatiku.

Terkadang--karena ucapan Aiden tersebut--aku pun turut memikirkan, bahwa ke-jomblo-an mungkin karena terus-menerus bersama Jackson dan Alma. Sehingga jika ada seseorang yang mendekat, akan menjadi sulit karena menerima penolakan di depan orang lain, justru akan memalukan.

"Kau benar." Aiden berkata saat kami baru saja keluar dari gua hantu. "Kau memang tidak takut hantu, tetapi kau akan terkejut jika mereka mengejutkanmu." Dia tertawa lebar, sedangkan aku tidak punya kesempatan untuk mendiamkan Aiden.

Napasku terlalu pendek-pendek dan cepat, sepasang kaki terasa lemas, hingga membuatku harus menunduk serta menekan kedua lututku. Aku pun sebenarnya berusaha mendongkakkan wajah, saat Aiden terus-menerus berbicara mengejekku.

Namun, ketika aku baru saja ingin memperingatkan Aiden agar berhenti mengejek, ponselku berdering, dan saat kulihat siapa nama di layar ponsel, aku tahu apa tujuannya menelepon.

"Jakson memerintahkan bahwa kita harus ke kembali untuk melanjutkan double date ini."

"Kau sungguh ingin bergabung dan mengabaikan waktu berdua denganku." Aiden mengambil ponselku, membaca pesan Jackson, lalu mengembalikannya kembali padaku.

Ia pun mengedikkan bahu, sambil menggulung lengan bajunya. "Baiklah, kita kembali dan kau harus bersiap saat kita berada di puncak bianglala."

Refleks aku pun mengerjapkan mata. Ucapan Aiden membuatku seketika memutar memori saat dulu sekali mencoba membaca draft tulisan mom, sebelum diterbitkan menjadi buku. Salah satu adegan yang sangat memorable untukku adalah saat, sang pria mengajak kekasihnya untuk menaiki bianglala dan saat mereka berada di puncak, kerusakan sementara terjadi. Mereka berdua tentu panik hingga sang pria harus mencium gadis, demi menenangkan keduanya. Lalu sangat tidak disangka-sangka lelaki itu melamar perempuan tersebut.

Kuakui jika hal itu terjadi di dunia nyata, mungkin akan terkesan biasa-biasa saja. Namun, mom memang penulis terbaik di mana ia sangat pandai membangun mood keduanya, suasana yang mendukung yaitu cahaya keemasan dari matahari sore menembus sangkar mereka, disertai dengan beberapa burung gereja di antara kapas tipis tersebut.

Alma melambaikan tangan ke arah kami, di saat ia sedang berdiri di depan salah satu sangkar bianglala. Di sisi lain, Jackson berteriak meminta agar kami berjalan lebih cepat lagi.

Kami pun memutuskan untuk berlari demi menghampiri Jackson dan Alma. Kemudian kepekaanku menangkap bahwa sesuatu yang lebih telah terjadi di antara mereka. Yaitu saat Jackson menggenggam tangan Alma saat ingin masuk ke dalam sangkar dan kami pun mengikuti di sangkar berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro